Mobil mewah itu akhirnya melambat, memasuki gerbang raksasa sebuah properti yang lebih mirip kastil modern daripada rumah. Fasadnya yang terbuat dari kaca gelap dan beton terasa mengintimidasi. Saat Brian membukakan pintu untuknya, Alana menarik napas dalam-dalam, merasakan udara malam yang dingin. Ia melangkah keluar, mengangkat dagunya tinggi-tinggi.
“Oke. Ini saatnya….”
Langkah Alana menggema di antara dinding-dinding tinggi rumah utama Ravenshade. Marmer hitam di bawah kakinya memantulkan bayangan dingin dari lampu gantung kristal yang tergantung jauh di atas kepala. Dinding putih bersih, lukisan-lukisan modern, dan aroma bunga segar yang terlalu wangi menciptakan suasana museum, bukan rumah. Ini bukan tempat untuk pulang. Ini tempat untuk memamerkan kekuasaan.
Di ruang keluarga, Edgar dan Isabella sudah menunggu, duduk terlalu tegak di sofa kulit abu-abu yang tampak lebih nyaman untuk rapat direksi daripada percakapan keluarga. Alana melangkah pelan mendekat. Ia bisa merasakan mata mereka mengamati dari kepala hingga ujung sepatu.
"Alana, selamat datang," sapa Isabella, suaranya lembut, tapi dingin. Ia berdiri dan memeluk Alana sepintas, tipis, hanya sentuhan bahu. "Ehm … Penampilanmu … atau haruskah aku bilang, setelanmu ... sangat ... berani."
Alana mengangkat dagunya sedikit. "Maaf tante, Aku cuma mau jadi diri sendiri. Boleh kan?"
Isabella tersenyum, tipis sekali, tapi matanya tidak tersenyum. “Tentu saja sayang, tapi jangan panggil aku tante ya. Kalian kan sudah menikah. Panggil Mama, ya?”
Edgar hanya memberikan satu anggukan kecil, lalu menatap pada putranya. "Brian," katanya pendek, "ikut aku sebentar."
Tanpa menoleh ke arah Alana, Edgar berjalan menjauh. Brian mengikutinya tanpa protes. Tak ada pelukan, tak ada kata manis, hanya perpindahan dari satu ruang ke ruang lainnya seperti pertemuan antar rekan bisnis, bukan hubungan ayah dan anak.
Alana berdiri sendiri, hanya beberapa detik sebelum Leo mendekat dengan langkah malas beserta segelas minuman di tangan. Ia meneguk sedikit sebelum menyeringai.
“Kok kelihatan tegang banget sih, Kakak … Ipar?” ujarnya ringan. “Tenang aja, kami semua di sini ga akan menggigit, kok.”
Alana menoleh pelan ke arahnya. “Aku juga ga pernah takut digigit, kok” katanya, datar.
Mereka duduk di meja makan. Meja panjang dengan lilin-lilin ramping dan peralatan makan yang terlalu banyak. Kursi-kursi berjajar rapi seperti barisan pasukan. Semua anggota keluarga duduk di tempatnya masing-masing dengan koreografi yang sudah tertata. Alana duduk di samping Brian, tapi tak sekalipun menoleh padanya.
Edgar memulai percakapan tanpa basa-basi. “Proyek pembukaan cabang di Asia Tenggara. Sudah ada keputusan soal rekan lokal di Vietnam?”
Brian menyeka sudut bibirnya dengan serbet sebelum menjawab. “Sudah. Aku arahkan mereka untuk negosiasi langsung dengan tim Shanghai. Lebih efisien.”
Edgar menatapnya. “Lalu, bagaimana laporan terakhir untuk proyek Yama Land di Osaka?” tanya Edgar tiba-tiba. “Aku dengar progressnya melambat karena perubahan desain dari pihak Jepang.”
Brian diam sejenak. Alana nyaris bisa mendengar detik dari jam antik di dinding. Jantungnya ikut menahan napas. Jika pria ini gagal menjawab... kalau dia membuat kesalahan kecil...
“Desain utama tetap, hanya ada penyesuaian pada struktur lobi dan akses parkir untuk memenuhi regulasi setempat. Aku juga sudah mengajukan blueprint penyesuaian desain baru pekan lalu, agar lebih manusiawi. Investor Jepang menyetujuinya pagi tadi.” Suaranya tenang. Tajam.
Edgar sempat mengangguk tipis, mulutnya terbuka lagi, tapi belum sempat melanjutkan, Brian menambahkan, “Tapi, Ayah... Bukankah makan malam keluarga bukan tempat yang tepat untuk laporan kerja? Setidaknya beri kami ilusi bahwa ini bukan ruang rapat.”
Isabella terbatuk kecil. Leo menyeringai lebih lebar.
Alana menyembunyikan ekspresinya dengan menyesap air mineral di balik senyum sopannya.
Isabella meletakkan sendoknya dengan elegan, lalu mengalihkan perhatian sepenuhnya kepada Alana.“Jadi, Alana,” katanya, suaranya ringan berbasa-basi, tapi matanya penuh penilaian.
“Kudengar kau sangat terpukul dengan… kecelakaan itu. Tentu sulit sekali harus melanjutkan pernikahan di tengah duka. Tapi yah, bisnis tetap harus berjalan, bukan?”
Alana membeku. Kata-kata itu seperti pisau yang menyayat tanpa suara. Ia menarik napas pelan, menahan bara yang tiba-tiba naik ke dadanya. Lidahnya sudah siap menembakkan jawaban sarkastik.
Tapi sebelum bibirnya terbuka, suara Brian terdengar. Dalam, mantap, dan sangat tenang.
“Duka bukanlah sesuatu yang bisa dijadwalkan, Mam,” katanya. “Dan kemampuan istriku untuk tetap berdiri tegak dan memenuhi kewajibannya di tengah dukanya yang mendalam, bukanlah kelemahan. Itu adalah kekuatan.”
Pisau itu berbalik arah. Semua orang di meja mendongak. Edgar menatap putranya dengan ekspresi tak biasa, seolah tak yakin siapa yang duduk di hadapannya. Isabella mengerjap sekali, lalu kembali mengangkat gelas anggurnya tanpa berkata apa-apa.
Yang paling terkejut justru Alana. Jantungnya berdebar kencang. Pembelaan itu... begitu tulus. Seperti dilakukan Chandra ketika ada orang yang mengganggunya.Di sisi seberang lain meja, Leo malah terlihat terhibur.“Luar biasa, Kak,” gumam Leo sambil menyeka sudut bibirnya dengan serbet. “Sejak kapan kau jadi penyair yang membela kehormatan wanita? Kudengar benturan di kepala bisa mengubah karakter seseorang. Tampaknya benar.” Ujarnya sambil tertawa geli.
Kalimat itu ditujukan sebagai lelucon, tapi bagi Alana, itu terdengar seperti sebuah kebenaran yang menakutkan. Pikirannya dipenuhi oleh satu hal, pembelaan dari Brian itu tidak masuk akal. Itu tidak sesuai dengan karakter dingin dan kejam yang selalu mereka tanamkan.
Dan untuk pertama kalinya, Alana menatap pria di sebelahnya bukan dengan kebencian, melainkan kebingungan yang mengganggu di hatinya. “Siapa kamu sebenarnya?”Rayhan menghela napas tipis, lalu kembali menunduk pada papan tulis. Spidolnya bergerak, menarik garis panjang ke bawah.“Lalu, datanglah Clarissa.” Suaranya tenang, tapi mengandung tekanan. Ia menunjuk layar tablet di meja, di mana video kesaksian Clarissa masih terbuka. “Leo melihatnya sebagai peluang. Dia memberinya rekaman yang sudah diedit… untuk mengubahnya menjadi senjata.”Ia menatap Alana dan Brian bergantian. “Tujuannya jelas: menghancurkan reputasi profesionalmu, Brian… dan menghancurkan Alana secara emosional pada saat yang sama.”Alana menyandarkan tubuh ke kursi. Ada bekas luka emosional yang berdenyut hanya dengan mendengar itu lagi. “Dan sekali lagi dia berhasil. aku benar-benar hancur saat itu.”Rayhan menambahkan coretan besar di papan: OPERASI CLARISSA. Dari sana, ia tarik panah ke dua sisi: BRIAN: REPUTASI dan ALANA: PSIKOLOGIS.“Namun, reaksi Brian yang diluar dugaan, mengubah segalanya. Rencananya untuk menghancurkan kalian, gagal. Dan ketika semua itu gagal,” la
“Aku, Clarissa Maxwell, ingin memberikan kesaksian mengenai keterlibatanku dalam serangkaian peristiwa yang melibatkan Leo Ravenshade.”Ia berhenti sebentar, menatap ke arah kameranya. Matanya penuh keteguhan, tanpa ada lagi keraguan.“Leo mendekatiku beberapa minggu lalu. Dia datang dengan narasi yang rapi, dengan cerita yang tampak masuk akal, tentang pernikahan tanpa cinta, tentang seorang pria bernama Brian yang terjebak. Dia memberiku potongan rekaman audio yang katanya menjadi bukti. Saat itu, aku mempercayainya.”Clarissa menghela napas pelan. Jemarinya yang terlipat di atas meja sedikit bergetar, tapi suaranya tetap stabil.“Tapi sekarang aku sadar, semua itu hanya kebohongan. Ia menjadikan aku sebagai pion, bagian dari permainan manipulasi yang lebih besar. Ia ingin aku percaya bahwa Alana Ravenshade adalah racun, padahal sesungguhnya dialah yang menyebarkan racun itu. Dan aku... tanpa sadar ikut berperan dalam melukainya.”Ia menunduk sebentar, membiarkan hening menelan ruan
Ruang rapat Maxwell Capital tenggelam dalam ketegangan yang hampir bisa disentuh. Semua mata tertuju pada Clarissa. Beberapa menunggu ledakan emosi, beberapa lain berharap ia akan menyerah. Namun wajah Clarissa justru berubah. Raut tegang yang tadi menguasai garis-garis wajahnya lenyap, digantikan ketenangan yang nyaris mengintimidasi.“Anda semua benar,” katanya, suaranya mantap dan jernih. Kalimat itu bergema di ruangan yang baru saja penuh desakan. Tidak ada nada defensif, tidak ada tanda panik. “Reputasi Maxwell Capital adalah yang utama. Tak ada apapun yang sepadan dengan itu. Kita tidak boleh membiarkan gosip tak berdasar ini merusak kepercayaan.”Beberapa anggota dewan saling bertukar pandang, terkejut mendengar pengakuan yang bukan pembelaan melainkan pengendalian. Mereka bersiap mendengar penyerahan diri, tetapi yang muncul adal
Jantung Clarissa mencelos saat membaca artikel itu. Kata-kata yang tertulis seakan dirangkai dengan racun yang disamarkan sebagai analisis. Artikel itu tidak menyerangnya secara frontal, melainkan dengan gaya elegan penuh insinuasi. Fakta-fakta tentang pertemuan bisnisnya dipelintir, dipotong dari konteks, lalu digabungkan dengan gosip personal yang tak pernah ia bayangkan bisa keluar dari ruang privatnya. Di layar, dirinya tergambar sebagai wanita yang terobsesi, tidak profesional, CEO yang mempertaruhkan masa depan Maxwell Capital demi mengejar mantan kekasih.Tangannya yang berusaha menahan tablet itu bergetar. Clarissa menarik napas panjang, namun dadanya justru semakin sesak. Ia tahu cara kerja opini publik. Sekali narasi ini menempel, hampir mustahil untuk dilucuti.“Ini bukan sekadar gosip murahan,” gumamnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri. “Ini eksekusi reputasi.”Asistennya masih berdiri di ambang pintu, ragu ingin bicara, namun takut menambah beban. “Nyonya Maxwell, tele
Hati nurani Clarissa akhirnya bicara dengan suara yang terlalu nyaring untuk diabaikan. Selama bertahun-tahun ia telah melatih dirinya untuk kebal, untuk tidak membiarkan rasa bersalah atau simpati menjadi beban. Namun kali ini berbeda. Ada sesuatu yang menusuknya terlalu dalam, sesuatu yang menuntut balasan.Ia berdiri di depan jendela suite yang menghadap Danau Jenewa. Air tenang membentang luas, seakan menertawakan kegaduhan di dalam hatinya. Clarissa menarik napas panjang. Ia tahu, jika ia memilih diam, ia akan selamat. Nama baiknya tetap terjaga, bisnisnya di Eropa tetap aman. Tetapi di balik semua itu, ada luka lain yang akan terus berdarah, luka pada harga dirinya sendiri.“Tidak,” gumamnya pelan, nyaris seperti doa. “Aku nggak akan dipermainkan siapa pun lagi.”Ia berbalik, langkahnya mantap menuju meja kerja. Tablet masih menampilkan dua berita dari Kaliandra, dua potongan cerita yang kini ia pahami sebagai kepingan dari permainan yang jauh lebih besar. Jemarinya berhenti di
Suite hotel itu sunyi. Dari balik jendela lebar yang terbuka ke arah danau Jenewa, air berkilau memantulkan cahaya matahari pagi yang lembut. Clarissa Maxwell berdiri mematung, lengannya terlipat di depan dada. Permukaan danau tampak tenang, kontras dengan pikirannya yang kalut.Di meja marmer dekat tempat tidurnya, sebuah tablet menyala, menampilkan dua berita utama dari Kaliandra. Keduanya tampak tak berhubungan, namun Clarissa tahu ada benang merah yang menjahit erat keduanya.Berita pertama adalah laporan tentang kecelakaan mobil yang menimpa Alana Ravenshade. Judul besar berbunyi tegas,“Pengorbanan Seorang Suami: Brian Selamatkan Istrinya dari Maut.” Foto-foto dramatis menghiasi halaman. Salah satunya menampilkan mobil yang ringsek di tepi jalan, dengan api masih menjilat kap mesin. Dalam foto lain, tubuh Brian tampak ditopang oleh paramedis, wajahnya dipenuhi darah, tetapi tangannya tetap menggenggam erat tangan Alana.Clarissa menarik napas panjang, menelusuri ulang berita it