Sayup-sayup suara seseorang masuk ke gendang telinganya. Ia perlahan membuka kelopak matanya. Lalu pandangannya mulai jernih setelah beberapa saat.
"Wah, apa gue lagi mimpi?" Prita mengedarkan pandangannya ke sekitar kamar yang tampak mewah.
Ia beranjak dari kasur dan mulai mendatangi meja make up yang hanya terdiri dari lotion, minyak rambut dan parfum saja.
"Ini mah buat cowok semua," desahnya. Kemudian terduduk pada bangku dan memandang wajahnya ....
Prita langsung menjerit ketakutan ....
"Aaa!"
"Wajah gue kenapa jadi kayak gini?"
"Wah, ini mimpi buruk si!" Ia langsung kembali ke ranjang dan memejamkan matanya. Di cermin tadi wajahnya berubah menjadi seseorang yang familiar tetapi ia tak ingat wajah siapa ini.
Prita memaksakan dirinya untuk tertidur kembali. Namun nihil, ia tak bisa jatuh ke alam tidurnya.
"Wah gawat nih. Apa jangan-jangan gue terjebak di alam mimpi?"
Untuk memastikan Prita mencoba menampar pipinya sendiri sekeras mungkin.
Plak!
"Aw, sakit."
"Ha?" Mulut Prita terbuka lebar bak trowongan.
"Berarti gue gak mimpi? Tapi kenapa gue berubah jadi cowok? Dan ini di mana? Ini rumah siapa?!"
Sekali lagi Prita menjerit keras, membuat Bi Yem segera datang.
"Suara gue jadi gede gini ... tubuh gue? Dada gue rata?!" Prita merengek.
"S-sudah bangun, Tuan Muda?"
Bi Yem mengagetkan Prita.
"Kamu siapa?" tanya Prita.
Bi Yem mendekati Prita dan memeriksa keningnya lalu berkata," Gak panas."
Prita berpikir keras dan mengira apakah dirinya sedang berada di kehidupan selanjutnya setelah kematian? Tapi ayolah, hal begitu hanya ada di novel-novel. Ia juga punya kepercayaan bahwa setelah kematian tempat manusia adalah alam akhirat.
"Lap dulu mukanya pakai tisu basah, takutnya sepidolnya permanen. Bi Yem sudah siapkan sarapan. Tuan Muda segera mandi dan bersiap-siap ke sekolah. Ini sudah siang lho ...." kata Bi Yem setelah itu minta diri.
Wajah Prita cengo maksimal, ia masih melongo sambil terus meraba-raba buah dadanya yang hilang.
Kemudian Prita pasrah meski masih tak percaya. Cewek itu membersihkan wajahnya dan menatap dirinya ke cermin. Ia lekat-lekat melihat wajah itu dari cermin sampai dirinya tersadar siapa pemilik wajah ini.
"Zain?"
"Hah? Waduh ngaco nih ngaco." Ia masih tak percaya dengan apa yang terjadi.
Prita mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannya secara perlahan.
Beberapa menit gadis itu terus memandangi wajahnya. Lebih tepatnya wajah orang lain yang entah mengapa bisa jiwanya singgahi.
"Apa gue terkena sihir?"
Prita mengacak-acak rambutnya prustrasi. Ia mencubit kedua pipinya lagi dan merasakan ngilu. Pertanda ini bukanlah mimpi. Ini benar-benar nyata.
Hal yang sangat amat mustahil. Rohnya tertukar dengan raga Zain. Kini jiwanya menempati raga cowok itu dan cowok itu pun sudah pasti terjebak juga dalam raga dirinya.
Prita bergegas ke kamar mandi. Membuka pakaiannya dan ....
"Aaa!" Prita segera kembali memakai handuknya. Setiba, di luar ia mendapati Bi Yem dengan wajah khawatir.
"Ada apa, Tuan Muda?"
Prita bergeleng kikuk. "E--nggak ada apa-apa, kok Bi." Prita masuk kembali ke dalam sana. Ia hanya mencuci wajahnya dan menggosok gigi.
Setelah itu, berlanjut memakai baju dengan hati-hati. Prita rasanya seperti sedang di perhatikan oleh Zain, yaitu raga yang sedang jiwanya diami ini.
Sementara di tempat lain, Zain masih tertidur pulas. Tertidur dengan cantik di kamar Prita.
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh, sang empu masih enggan terjaga, membuat sang ibu mengharuskan membangunkan dirinya dengan cara memukul bokongnya. Ya, sudah hal biasa bagi Resti.
Buk!
Buk!
"Bangun!"
Zain terkesiap. Ia langsung bangun dengan mata melotot ke arah Resti.
"Siapa lo? Berani-beraninya bangunin gue dengan cara seperti ini?!" bentak Zain kasar.
Resti mendelik sinis lalu menjewer telinga anak itu.
"Kurang ajar sama ibu kamu, ya?"
"Eh? Eh! Siapa sih lo? Pembantu baru?" Zain meringis. Namun, masih sempat-sempatnya bertanya.
Resti menyeret tubuh Zain ke dalam kamar mandi dan menyiramnya dengan penuh kepuasan.
"Bangun! Bangun! Jangan mimpi terus!"
Resti enyah setelah membuat perhitungan dengan anaknya.
Zain berontak mengusap wajahnya dan langsung berdiri. Akan tetapi, matanya refleks melihat cermin di sampinganya. Saat itu juga Zain kaget sekaligus bingung.
"Wajah gue?" Hanya cengo setelah itu menelisik dari kaki sampai kepala.
"Tubuh gue?"Zain terkesiap melihat dadanya membesar dan menyadari suaranya berubah seperti wanita.
Zain menyingsing lengan bajunya.
"Otot gue?"
Bruk!
Seketika anak itu pingsan di tempat.
***
Sinar hangat mentari menyapa pagi Prita. Namun, paginya tak secerah matahari di langit sana. Saat ini jantungnya berdetak tak karuan. Pasalnya, seorang pria baru saja menyuguhkan sehelai roti ke piringnya.
Prita cukup takjub dengan rumah ini yang ternyata salah satu meja makannya bercengkrama langsung dengan suasana alam. Halaman yang dipenuhi dengan tanamam hijau yang bisa menyejukkan pandangan.
"Mau selai apa, Zai?" tanya Zeno mulai mendekatkan tiga kaleng selai ke arah Prita.
"A-anu ... itu aja--" Prita menunjuk selai coklat.
"Tumben? Biasanya nanas?"
"L-lagi mau i-itu, Kak."
Jujur saja Prita sangat gugup. Apalagi tadi pagi saat Zeno masuk kamarnya ia sempat mengira pria itu maling, tapi untungnya Bi Yem datang dan menjelaskan bahwa Zeno ini adalah sepupunya. Dan di situ Prita pura-pura lagi ngelindur agar tidak dicurigai.
Aktivitas Zeno terhenti. Ia mendadak bingung dengan sikap Zain. Tak biasanya anak itu memanggil 'kak'. Bahkan sedari kecil baru kali ini cowok itu mengganti mana sapaan untuk Zeno dari 'abang' ke 'kakak'.
"Otak lo ke geser?"
Sang empu mendongak. "M--mungkin karena kecelakaan kemarin," alibinya.
Berbeda dengan Zain, pria itu sedang dipaksa membantu Resti menyiapkan sarapan. Saat ini Zain benar-benar tidak percaya apa yang terjadi dalam hidupnya adalah sebuah realita.
"Kamu itu kenapa si, Pri? Dari pagi kok kamu kayaknya kepaksa bantu ibu!"
Zain tak menyahut. Ia takut jika mulutnya berbicara lagi wanita itu akan memukul kepalanya dengan panci setelah tadi ia juga sempat di getok.
"Yasudahlah, kamu duduk aja di sana. Biar ibu yang siapin semuanya."
Zain mengembuskan napas kasar setelah itu duduk seperti yang diperintahkan oleh Resti.
Selang beberapa menit, akhirnya nasi goreng dan beberapa lauk yang lain terhidangkan. Namun, Zain malah seperti tak senang atas kedatangan makanan itu. Ia menyeringai menolak hidangannya.
"Gue itu gak bisa makan berat di pagi-pagi gini--" Resti segera menyumpal mulut Zain dengan ketimun.
***
"Eh, tuh! Tuh!" Jali menunjuk-nunjuk Prita yang barusan memakirkan motor bututnya.
Semalam anak PARPATI diberi tugas untuk menjahili Prita yang hampir saja membuat Zain terbunuh dalam kecelakaan waktu itu.
Yudi dan Deo sudah bersiap akan memegangi tubuh Prita untuk mereka karungi.
"Hai, Bro!" sapa Zain yang memang kini sudah tak dikenal sebagai Zain, karena raga dirinya tertukar dengan raga cewek itu.
"Dih so akrab banget." Jali cengengesan.
Sebelum sampai pada teman-temannya di dekat gawang, mata Zain teralihkan saat melihat raganya sedang berjalan di tengah lapangan. Dan saat itu pula Zain tersadar bahwa teman-temannya tidak akan mengetahui ia yang sebrnarnya. Lantas Zain cepat-cepat mengejar Prita.
"Woi!" teriak Zain.
"Liat deh, Kak. Cewek itu semakin berani aja sama si Zai!" Pinka bersama temannya melihat tak suka dengan tingkah Prita yang seolah-olah sudah berusaha membuat Joan tertarik dengannya.
Joy melihat nanar dan mengedikkan bahu kemudian berlalu.
"Keluar dari tubuh gue?!" Zain mengguncang Prita yang menempati raganya setelah ia berhasil membawa Prita menjauh dari keramaian.
"Lo pasti main sihir 'kan? Cepat balikin tubuh gue!"
Seakan dirinyalah penyebab permainan tak dir ini, padahal Prita pun masih tak percaya dirinya adalah bukan Prita.
"Gue gak tau apa-apa?! Lo pikir gue punya ilmu sesat? Ini udah bukan jamannya angling darma!"
"Bisa aja lo dikutuk sama leluhur lo' kan. Gue yakin pasti ini ada hubungannya dengan nasib sial lo. Cewek sok cari perhati--"
Grep!
"Ahaha, kena lo," sorak Yudi dan Deo bersamaan.
"Udah Zai, lo bisa tenang sekarang. Lo ngga akan liat cewek ini di hari-hari lo lagi," imbuh Jali. Mereka langsung pergi membawa Zain yang disangka Prita di dalam karungnya.
Di sana mulut Prita masih belum mengatup. Ia masih syok apa yang baru saja ia lihat.
"Jadi kalo jiwa gue ngga nyasar ke tubuhnya kakak kelas sialan itu, mereka bakal ngarungin gue?" lirih Prita pada dirinya sendiri.
Joan melangkah masuk ke bandara. Setalah kejadian pertunangan Zain dan Joy yang gagal, Joan memilih meninggalkan Indonesia bersama kakeknya. Tepatnya Joan akan kuliah di luar negeri. Ia membawa kakeknya sekalian untuk dititipkan di rumah tantenya yang ada di Belanda selama Joan sibuk kuliah.Varos juga akan mendapat perawatan yang lebih baik di sana. Joan sudah menyiapkan semuanya.Joan memilih akan menjalani hidup baru. Keputusannya sudah bulat dan akan dijalankannya."Ayo, Kek," ucap Joan lalu membawa Varos masuk ke dalam pesawat.***Malam ini adalah malam yang berpengaruh bagi nyawa Prita. Sebab saat ini mereka bertiga sudah memegang pistol untuk melenyapkan Prita begitu saja jika Prita tidak menuruti apa yang mereka perintahkan.Seperti yang dikatakan Cici bahwa malam ini bertepatan dengan malam gerhana bulan Merah, malam yang langka bagi Prita dan Zain, namun agaknya akan terlewatkan sia-sia sebab Prita akan segara dileny
Zain menghela napas berat seolah mengeluarkan beban.Merasa gagal, karena belum juga menemukan Prita–ia menangis, menitipkan air matanya di rumah pohon."Seharusnya gue yang diculik! Bukan lo, Pri," kata Zain sembari memandang ke arah rumah tua yang dulu Prita lihat."Kenapa lo yang ngalamin ini?" Zain kembali menunduk dengan air mata yang mulai bercucuran.Tiba-tiba Zain teringat apa yang dulu Prita katakan mengenai Zeno yang akan membunuhnya. Zain teringat dengan kedatangan Misha. Zain mulai mengerti kemana Prita pergi. Mereka telah mengukir Prita."Zeno berniat membunuh lo!" kata Prita waktu itu.Zain bangkit untuk segera mencari keberadaan Zeno di rumahnya. Ia harap Zeno masih ada di sana. Zain akan meminta Zeno memberitahu padanya di mana keberadaan Prita. Zain tidak akan membiarkan Zeno menyakiti Prita.Zain lekas naik ke motornya–motor mewahnya yang ia ambil di pinggir jalan. Motonya yang ditinggalkan Prita begi
Kepergian Danu sudah seminggu lebih, tetapi Liana masih banyak melamun. Liana teringat Danu yang suka mengeluh karena selama ini ia belum mendapatkan apa yang ia mau. Anak itu ingin menjadi pewarisnya Delon, tetapi Delon sama sekali tidak mau membuat Danu menjadi senang. Yang Delon pikirkan hanyalah Zain. Zain si anak haram itu. "Bi, tolong buatkan saya kopi!" seru Delon para pekerja di rumahnya. Mendengar suara Delon, Liana jadi tertegun. Dulu ia pernah berusaha meracuni Delon. Akan tetapi, berhasil digagalkan oleh Zain. Dan sekarang adat kesempatan emas bagi Liana untuk meracuni Delon. Karena tidak ada harapan lagi, Danu sudah tiada, Liana hanya tinggal mengakhiri kisahnya dengan membunuh Delon dan Liana akan berusaha melenyapkan Zain juga dan dengan begitu semua harta dan kekuasaan Delon akan jatuh ke tangan Liana. Liana segera beranjak dari kursi dan secepat kilat menuju dapur. "Biar saya aja, Bi!" cegah Liana pada Bi Ina. "Baik, N
Semua anak-anak Parpati sedang berada di depan ruangan Deo. Mereka dikabari oleh Yudi, sebab ketika Yudi mengunjungi kediaman Deo, pembantuan memberi tahu bahwa Deo masuk ke rumah sakit usai tertusuk pisau."Kita berdoa aja semoga Deo selamat," imbuh Zain."Iya, Zai, lebih baik kita banyak-banyak ini doa supaya Deo segera siuman," tambah Jali yang terlihat paling khawatir.Di sudut kursi, Mela masih mengiringi keadaan Deo dengan tangisannya. Sementara Rino menundukkan kepalanya menunggu dokter keluar.Yudi beranjak menghampiri mereka berdua."Tante, Om," panggil Yudi sehingga mereka mendongak ke arahnya."Saya Yudi, temannya Deo," sapa Yudi memperkenalkan diri.Mela menghapus air matanya dan menerima tangan Yudi dan ingin bersalaman dengannya."Deo, sering ke rumah Yudi. Dia sering curhat masalah kalian," gumam Yudi membuat Rino dan Mela saling memandang satu sama lain."Dia curhat mengenai kami?" tanya Mela.
Cici sedang asik menonton acara. Namun tiba-tiba sang ayah malah memindahkan channel-nya dengan seenaknya. Glen memindahkan channel-nya ke siaran berita. "Ih, ayah! Ganggu aja si!" protes Cici melirik ke sang ayah di sampingnya yang baru duduk. Glen tak menggubris Cici dan tetap melihat ke arah televisi. Pada saat Cici melihat siaran berita itu, Cici kaget saat membaca tulisan di layar tivi mengenai gerhana bulan merah. Glen merasa tidak tertarik dengan beritanya, lalu ia memindahkan nya lagi. Akan tetapi segera Cici cegah. "Eh, tunggu!" tahan Cici. "Hah, nanti akan ada gerhana bulan?" gumam gadis itu di dalam hati. "Gue harus cepet-cepet kasih tahu Prita," ucap Cici. Dan segera bangkit dari duduknya lalu melenggang ke luar memakai sepatu nya. "Eh, kamu mau kemana malam-malam begini?" teriak Glen melihat sang anak dengan tiba-tiba terbirit ke luar. "Mau ke rumah Prita, Yah. Ayah silakan saja tonton beritanya!" s
Joy keluar dengan gaun mewah dan indah. Gadis itu terlihat sangat cantik memakai gaun putih itu.Para tamu terhipnotis dengan aura kecantikan Joy. Mereka bertepuk tangan saat Joy memasuki mimbar dan berdiri di sebelah anaknya Delon.Acara tiup lilin sebentar lagi dan Zain belum juga datang. Prita dibuat cemas, kemana sebetulnya Zain?MC sudah mengatakan agar Prita meniup lilin. Para tamu masih bernyanyi untuknya. Namun Prita tak kunjung meniupnya, ia ingin melihat Zain lebih dulu."Silakan Tuan Muda, tiup lilinnya," ulang MC berseru.Prita hanya bisa menghela napas dan meniup lilin itu. Gemuruh tepuk tangan menghadiahi telinga Prita.Selanjutnya acara potong kue. MC kembali meminta Prita agar memotong kuenya. Tetapi Prita tidak melakukannya, ia meminta Delon agar menunggu seseorang sebenar saja."Pah, kita tunggu teman aku satu lagi yah," ucap Prita berbisik pada telinga Delon."Lho siapa? Memangnya ada teman kamu yang belum sa