Rencana tinggallah angan semata, niat hati ingin mengobati rindu yang kian menggebu nyatanya hanya sebatas semu. Angan yang sudah pasti, berubah tatkala hati sudah tak lagi mampu mengatasi.
Kecewa yang dirasakan Elang ada pada titik terdalamnya, ingin meluapkan kepermukaan tidak juga mampu dilakukannya. Karena memang bukan memperbaiki suasana hati, yang ada malah semakin menjadi.
Semua karena ulah tunangannya, Zia, yang awalnya hanya ingin mengantar kepergiannya berubah haluan menjadi keikut sertaan dirinya kemanapun Elang akan pergi. Apalagi dukungan penuh diperoleh Zia dari pihak keluarga Elang, itu membuat Zia semakin besar kepala dan lupa dengan kesepakatan awalnya.
"Kak, bukanya kita mau ke Bandung?" tanya Zia, yang melihat Elang mengganti rute perjalanannya dengan membeli tiket baru dengan tujuan yang berbeda.
"Awalnya," sahut Elang cuek.
"Maksud Kakak?"
"Bukan
"El, nanti gue pulangnya mungkin agak terlambat, nggak usah ditungguin lo langsung tidur saja.""Tumben pamit, bukannya belakangan ini Kakak sudah sering melakukannya?""Iya El, sorry gue nggak sempat bilang karena sibuk dengan urusan kantor.""Dan, sekarang juga nggak pernah minta bantuanku lagi. Aku merasa kalau Kakak sengaja melakukan itu, di mulai dari terakhir pembicaraan kita waktu itu.""Nggak usah punya pikiran yang tidak-tidak, gue memang lagi sibuk sama kerjaan di kantor, El.""Memang apa yang sedang kupikirkan?""Yang jelas itu bukan sesuatu yang baik."Setelahnya Ale berangkat lebih dulu dari Ellea, dan ini juga sudah beberapa hari terakhir dilakukan olehnya. Sedangkan Ellea yang tidak mau ambil pusing membiarkan saja apa yang dilakukan oleh Ale, selama itu masih dalam batas wajar.Dirinya sendiri tengah direpotkan oleh tugas y
"Ternyata selama ini aku menghawatirkan orang yang salah, kupikir Kak Ale sedang tidak baik-baik saja. Nyatanya dia malah terlihat lebih dari itu." Ellea bermonolog sambil menelungkupkan wajahnya di atas kemudi mobilnya. Tanpa terasa bulir bening lolos tanpa dikomando, Ellea bukanya cemburu, tidak! dia hanya sedang meluapkan perasaannya yang sudah lama dia pendam. Namun baru sekarang dia keluarkan. Ellea, gadis itu sudah terlalu nyaman melakoni perannya selama tinggal bersama Ale. Melakukan kegiatan bersama yang diselingi kejahilan Ale, atau rengekan darinya karena ulah Ale yang membuatnya jengkel. Merecoki Ellea saat pagi, atau malam ketika Ale lapar dan menganggu waktu tidurnya hanya untuk menyiapkan laki-laki itu makanan. Dan belakang ini Ale seolah asyik dengan dunianya sendiri, mengabaikan Ellea yang mati-matian menghawatirkan kondisinya. Ellea mengira kalau keadaan Ale sedang tidak baik-baik saja padca kecelakaan
"El, jangan seperti ini," lirih Ale. Ale frustrasi melihat kondisi Ellea yang kian memburuk. Tidak ada yang bisa berkomunikasi dengannya bahkan itu Gema sekalipun, psikiater yang dulu menangani trauma Ellea. "Ini sedikit berat dari sebelumnya, Al, ada indikasi jika trauma yang dulu belum sepenuhnya pulih, sehingga ketika dia mengalami kejadian yang serupa itu membuat jiwa Ellea semakin terguncang," papar Gema. "Tapi selama ini dia terlihat baik-baik saja Kak, sudah bisa berbaur dengan temannya meski hanya beberapa." "Itu tidak bisa dikatakan sembuh secara keseluruhan, Al. Di sini Ellea type yang nggak suka membagi masalahnya kepada siapapun, dan lebih suka memendam apa yang dirasakannya." "Ini salahku Kak, yang belakangan ini mengabaikan Ellea. Aku terlalu sibuk memperbaiki hubunganku dengan seseorang di masa lalu sehingga melupakan Ellea yang masih butuh perhatian dariku juga. Namun
"Untuk sementara waktu, saya belum bisa melakukan terapi Al, tetapi saya beri beberapa obat-obatan dulu untuk satu minggu ke depan. Nanti jika dalam satu minggu sudah ada perubahan baru saya akan jadwalkan terapi sebagaimana mestinya." "Apapun itu, Kak Gema yang lebih tahu mana yang terbaik untuk Ellea." "Sering ajak keluar ya Al, jangan biarkan terlalu lama berada di dalam ruangan agar tubuhnya mulai terbiasa dengan udara dan kondisi di luar. Selama ada yang menemaninya saya rasa Ellea akan cepat sembuh." "Terima kasih banyak, Kak." Ucap Ale lantas membawa Ellea untuk pulang. Selama hampir satu jam berada di ruang praktek Gema, Ellea sudah mulai merespon apa yang diutarakan oleh Gema. Walaupun belum banyak kata yang keluar, setidaknya Ellea sudah bisa diajak untuk berkomunikasi. Sampai di unit apartemennya, Ale dikejutkan oleh kedatangan dua orang yang kini sudah duduk santai di ruan
"Makan yang banyak El, sayang kalau nggak dihabiskan. Mumpung Ale lagi baik, jarang-jarang dia waras seperti ini," cetus Esta.Setelah drama kesalah pahaman, mereka semua tak terkecuali Ellea, memutuskan untuk keluar dari dalam kamar dan berkumpul di ruang tengah. Terkhusus Ale, dia yang paling bahagia di sini, sebab Elleanya sudah mulai berangsur membaik. Dengan interaksi yang dilakukannya tadi, Ale merasa lega luar biasa karena ketakutannya tidak terjadi. Sehingga dia menyuruh Esta untuk memesan makanan untuk merayakannya.Namun dasarnya Esta yang kelewat tak tahu diri, dia seperti kesetanan. Memesan apapun yang ingin dia makan, dari berbagai restoran pilihannya."Biarin sih, kalian mana paham kalau tinggal di pedalaman itu sengenes apa. Bisa makan nasi saja sudah sujud syukur gue, bayangkan tiga bulan gue jadi orang primitif di sana."Ungkapnya ketika mendapatkan protes dari Ale, karena sudah memesan be
"Aku kembali dengan jiwa yang baru, karena aku sudah teramat lelah melakoni peranku sebagai wanita lemah." Batin Ellea bergejolak, ini juga yang menjadi alasannya kenapa setelah mengalami pelecehan itu dia mengurung diri juga enggan berinteraksi. Yang sesungguhnya terjadi yaitu, Ellea tengah memikirkan langkah apa yang akan dia ambil. Menyerah atau bangkit dari keterpurukannya. Dan pilihan Ellea untuk terus bangkit tidak salah, walaupun itu tidak mudah. Ellea akan membuktikan jika dirinya mampu untuk itu, apalagi mendapat dukungan penuh dari therapisnya, Gema, juga semua orang terdekatnya. Yang ikut berperan penting dalam memberi semangat untuk dirinya lekas bangkit dari keterpurukan. Tidak banyak orang yang bisa seperti Ellea, setelah hampir dua kali mengalami trauma kekerasan berikut pelecahan Ellea masih sanggup bertahan itu sudah sangat luar biasa. Kini sosok Ellea bak menjelma bagai wanita tanpa celah, apa
"Tuhan memilihku sebagi manusia istimewa, meskipun tahu bahwa aku sudah tak suci lagi. Tuhan juga tahu jika aku kuat, sehingga memberi ujian hidup yang seperti ini untuk kulalui." "Masuk!" seru Ellea setelah mendengar suara ketukan pintu. "Selamat pagi Bu Ellea, maaf sekedar mengingatkan kalau 30 menit lagi ada pertemuan dengan kepala bagian marketing." "Baik, Lin, tolong kamu siapkan berkas yang kemarin saya minta, ya. Perintah Ellea kepada Lina, yang merupakan sekertarisnya selama tiga bulan dirinya bekerja di sini Seperti biasa kedatangan Ellea, menyita perhatian semua orang yang telah hadir, sementara Ellea tidak memperdulikan pandangan mendamba dari para rekan kerjanya. Dan itu membuat Ellea terlihat begitu berwibawa, aura yang dikeluarkan Ellea membuat siapa saja segan terhadapnya. "Bisa kita mulai sekarang?" tanya Ellea.
"Terima kasih masa lalu, berkatmu aku bisa membuktikan kepada dunia jika kini aku tidaklah selemah dulu." Dering ponsel yang sedari tadi berbunyi tidak dihiraukan oleh Ellea. Dia hanya meliriknya sekilas dan memilih untuk tidak membuka pesan juga menerima panggilan itu. Ale berikut Airin, dan tak mau ketinggalan juga Esta. Mereka silih berganti menerornya, Ellea jadi curiga jika semua ini sudah direncanakan oleh mereka. Dan Ellea harus secepatnya pulang untuk memastikan sendiri jika praduganya ini memang benar. Setelah menempelkan key cart dan menunggu hingga tiga detik sampai pintu apartemen itu bisa terbuka. Melangkahkan kakinya untuk masuk dan betapa terkejutnya Ellea mendapati semua penghuni apartemen berbondong-bondong menyambut kedatangannya. Ada apa rupanya dengan mereka semua, sehingga berkelakuan tidak biasanya seperti ini. "Lo, nggak papa kan, El?" Tentu saja Ale yang paling heboh, d