Share

BERENGSEK DAN SOMBONG

Egi menurunkan Afi dari meja wastafel. Tanpa melepaskan pinggang wanitanya, Egi bertanya, “Mau mandi sekarang?”

Afi menggeleng pelan. Sebenarnya dia sedikit takut mendengar pertanyaan semacam itu. Entah kenapa pikirannya menjurus ke hal-hal negatif. Dia takut Egi akan mengajaknya mandi bersama hingga melakukan perbuatan yang ujungnya sudah terduga.

Setelah mengetahui sekelumit sisi keberengsekan pamannya, insting kewaspadaan Afi sedikit meningkat. Dia tidak hanya waspada pada Egi, tapi juga dirinya sendiri.

Afi seorang wanita dewasa dan normal. Hormon yang berhubungan dengan seksualitasnya sudah menumpuk dan terkadang meraung-raung minta dilepaskan. Dia takut kalau hormon ini sewaktu-waktu akan meledak dan tak dapat dikendalikan gara-gara pancingan Egi.

Sebenarnya, tidak hanya Egi yang memiliki sisi hitam yang berhubungan dengan seksualitas. Afi pun sama. Namun, Afi tidak seberani Egi. Dia takut mengungkapkan aib itu. Juga malu dan gengsi. Menurutnya, jika aib itu bisa disimpan sampai mati, kenapa harus dibongkar?

“Kenapa? Kamu takut saya apa-apain?” tanya Egi.

Afi berbohong dengan menggelengkan kepala. Untungnya dia memiliki alibi yang logis. “Saya ke sini enggak bawa pakaian. Baju-baju saya habis terbakar.”

“Aaah, iya, ya.” Egi mengangguk-angguk sambil mendongak. Posisi wajah yang menengadah itu hanya berlangsung beberapa detik sebelum dia memberikan usulan antusias, “Gimana kalau kamu enggak usah pakai baju?”

Usulan gila itu tentu saja membuat Afi melotot shock. Namum, Egi justru sudah menunggu-nunggu ekspresi menggemaskan itu. Egi terbahak dan mengacak-acak rambut Afi. “Bercanda.”

Afi mengembuskan napas. Lega rasanya mendengar kata ‘bercanda’.

“Yuk!” Egi menggiring Afi keluar kamar mandi. Bahkan keluar kamar.

“Ke mana?” tanya Afi saat menuruni tangga.

“Beli baju. Kamu pasti gerah, 'kan, pakai seragam dinas kayak gitu?”

Pertanyaan retoris itu membuat Afi memindai pakaiannya sendiri. Ya, dia masih mengenakan seragam mustard yang penuh dengan lambang pemerintahan dan rumah sakit. Selain itu, noda hitam juga mencoreng kebersihan rok dan atasannya. Afi sangsi noda ini bisa dihilangkan hanya dengan deterjen dan kucekan tangan.

 “Tunggu, Om!” Afi berhenti saat kaki mereka menapaki tangga terakhir. “Dompet sama kunci mobil saya ketinggalan di kamar.”

“Kamu meremehkan saya, ya?”

Afi tersentak mendengar pertanyaan itu. Dia benar-benar tidak paham, kenapa dompet dan kunci mobilnya menyinggung perasaan Egi?

“Saya juga punya dompet. So, kamu enggak perlu buang-buang waktu balik ke atas buat ngambil duit. Saya punya banyak.”

“Wah.”

Kata itu lolos begitu saja dari bibir Afi. Dia sedikit kaget dengan kecongkakan Egi.

Tidak memedulikan pandangan nanar si wanita, Egi menariknya menuju meja kecil di samping tangga. Di atasnya terdapat hiasan vas bunga berisi mawar merah sintetis. Egi menarik laci dan mengambil kunci. “Dan satu lagi, saya juga punya kunci beserta mobilnya,” ucapnya sambil mengapungkan kunci itu di depan mata Afi.

Kali ini Afi tertawa sambil menggelengkan kepala. “Selain berengsek, ternyata kamu juga sombong banget, ya.”

Egi mengangguk dan dengan bangga berkata, “Yes. It’s me.”

Keduanya tertawa bersama, lalu meninggalkan rumah tanpa melepaskan tautan tangan. Mereka tidak sadar bahwa sejak tadi ada sepasang mata yang terus memerhatikan gerak-gerik mereka. Siapa lagi kalau bukan Tiara.

Awalnya Tiara hendak ke dapur, mencari makanan yang bisa dijadikan pengganjal perut. Dia ingat bahwa Egi sudah mengizinkannya menjarah dapur kapan pun dia mau. Namun, begitu keluar kamar, dia buru-buru masuk lagi karena suara Egi dan Afi.

Tiara bersembunyi di balik pintu. Mengintip di balik celah pintu yang sedikit dibuka. Letak kamar tamu yang dekat dengan tangga membuatnya leluasa memerhatikan keduanya.

Sorot rasa iri terpancar di mata Tiara saat melihat pasangan itu tertawa bersama. Kebahagiaan itu seharusnya miliknya. Tangan yang digenggam itu seharusnya tangannya.

Rasa sesal menyesakkan dadanya. Berkali-kali dia memukul dada, berharap sesak itu dapat terurai dengan sendirinya.

“Sabar, Tiara! Sabar! Egi pasti cuma bikin kamu cemburu. Dia sama perempuan itu enggak serius. Hubungan mereka enggak nyata. Kamu udah tau itu, ‘kan?” ucapnya pada diri sendiri sambil menyandarkan kepala di balik pintu.

Kemunculan Tiara di hari yang sama dengan kepulangan Egi bukanlah sebuah kebetulan. Meskipun terpisah pulau, Tiara selalu memantau pergerakan Egi. Dia berteman dengan teman Egi yang sama-sama merantau ke Kalimantan. Dari orang itulah semua informasi tentang Egi dia dapatkan. Termasuk kepulangan pria itu.

Kehidupan Egi berada dalam radar Tiara. Wanita itu mengetahui dengan rinci, siapa saja teman sepergaulan Egi--termasuk wanita mana saja yang menjadi partner-nya dalam bersenang-senang. Namun, radar ini berada di luar kendali begitu dia menginjakkan kaki di rumah ini.

Fidyana Rosmalina. Tiara tidak pernah memperhitungkan nama itu. Dia tidak menyangka bahwa wanita itu lebih dulu menginjakkan kaki rumah ini. Menyambut kepulangan Egi hingga akhirnya menjadi wanita terpilih.

Awalnya Tiara lupa dengan Afi. Dia merasa familiar dengan wajah Afi, tapi lupa di mana mereka pernah bertemu.

Saat mencari tahu--menelpon sumber terpercaya--Tiara akhirnya mengetahui dan mengingat bahwa Afi adalah anak kakak sepupu Egi. Tiga tahun yang lalu mereka pernah bertemu di acara keluarga.

Berangkat dari informasi ini, Tiara yakin bahwa apa yang dilakukan keduanya hanyalah akting belaka. Dia percaya bahwa Egi meminta keponakannya berpura-pura menjadi pasangannya. Ya, seperti kisah klise yang sering dipertontonkan dalam drama pertelevisian.

“Kamu harus tenang, Tiara. Jangan mudah menyerah! Memang enggak mudah memperbaiki hubungan yang pernah hancur. Tapi, enggak mudah bukan berarti enggak bisa, ‘kan? Enggak ada yang mustahil selama kamu mau berusaha.” Tiara memotivasi diri sendiri.

***

Di mobil, Egi memberikan credit card kepada Afi. Sayangnya, meski sekian lama mengapung di depan wajahnya, Afi tidak memiliki niatan untuk menyambut benda pipih itu.

“Kamu yakin?” tanya Afi pada Egi.

“One hundred percent,” jawab Egi tanpa keraguan.

Afi menghirup dan mengembuskan napas, lalu menyambut kartu itu. “Anggap aja saya kasbon, ya. Nanti saya ganti pas sampai--”

Ucapan Afi terputus gara-gara Egi merebut kartu di tangannya. Sambil melepas sabuk pengaman, pria itu menggelengkan kepala dan berkata, “You’re very-very different. Aneh!” Dia mendorong pintu dan turun dari mobil.

Afi kebingungan melihat tindakan Egi. Apalagi saat pria itu mengitari mobil dan membukakan pintu untuknya.

“Sebenarnya saya punya komitmen, enggak akan pernah menemani perempuan belanja. Ribet! Capek! Ngebosanin! Tapi, gara-gara kamu, saya melanggar komitmen itu hari ini,” papar Egi yang semakin membuat Afi tidak mengerti.

“Kok, saya yang disalahin, sih?” protes Afi.

“Terus salah siapa enggak langsung terima credit card saya? Tau enggak, sikap kamu tadi seolah meminta saya buat nemenin kamu belanja.”

“Enggak kayak gitu, Om! Saya--”

“Kamu juga enggak bawa HP, ‘kan? Kalau kamu belanja sendirian, terus lama, gimana caranya saya mendesak kamu supaya cepat pulang kalau kamu enggak bawa HP? Saya ini orangnya mudah bosan. Kalau kelamaan nunggu, saya bisa mati gaya. Jadi, daripada kamu belanja sendiri terus lupa waktu, mending belanja sama saya.”

Sebenarnya, semua itu hanyalah alasan Egi. Pria itu memang tidak ingin berpisah semenit pun dari Afi. Sebab itulah dia mengarang bermacam-macam alasan yang terkesan menyalahkan agar wanita itu tidak bisa berkutik. Egi paham betul bahwa Afi mudah merasa bersalah dan tidak enak hati. Jadi, jika wanita itu disudutkan, dia tidak akan banyak melawan.

Egi tidak memberikan kesempatan untuk Afi membalas ucapannya. Dia meraih tangan wanita itu dan menariknya turun. Afi diseret masuk ke pusat perbelanjaan modern seperti anak kecil.

“Bisa lepasin tangan saya? Saya bisa jalan sendiri. Enggak perlu diseret kayak gini,” protes Afi. Dia sedikit kesulitan mengimbangi langkah Egi yang lebar dan cepat.

“Permintaan ditolak! Tangan saya enggak bisa ngelepasin tangan kamu. So, siap-siap aja kalau tangan kamu kebas dan keringatan.”

“Tapi, seenggaknya kamu bisa jalan pelan-pelan, ‘kan? Saya enggak suka jalan terbirit-birit kayak gini. Malu-maluin juga dilihat orang.”

Kali ini Egi tidak menjawab. Meski begitu, dia memperlambat ritme ayunan langkahnya hingga Afi berhasil menyelaraskan posisi. Wanita itu mengembuskan napas lega dan berterima kasih karena permintaannya dikabulkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status