Share

MEMASTIKAN SESUATU

Afi tidak habis pikir, kenapa Tuhan menjungkirbalikkan hidupnya semudah ini? Dalam kurun waktu kurang dari 12 jam, kehidupannya berubah drastis. Berawal dari kebakaran, sekarang hidupnya diatur oleh seorang pelobi gila. Sialnya lagi, Afi tidak pernah bisa membantah pria ini.

Jika dahulu Afi akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk memilih pakaian, sekarang tidak sampai 20 menit dia sudah keluar dari satu gerai dan membawa 10 setel pakaian. Bukan dia yang berbelanja, melainkan si pelobi gila. Dia hanya bermodalkan anggukan ketika pria itu memilihkan satu jenis pakaian. Setelah itu, semuanya berakhir di kasir.

Berpindah ke gerai pakaian dalam, barulah Afi bebas memilih sendiri. Pria itu hanya menunggu di depan gerai sambil menjaga tas belanjaan. Bukan Afi yang melarangnya ikut, tapi dia sendiri yang tidak mau masuk.

“Sorry! Haram buat saya masuk ke toko pakaian dalam perempuan.”

Begitu katanya ketika menghentikan langkahnya sendiri. Afi hanya menanggapinya dengan tawa kecil dan gelengan kepala.

Pelobian Egi tidak berhenti sampai di situ. Selesai belanja pakaian dalam dan make up, Afi diminta berganti pakaian detik itu juga. Tidak banyak bicara, Egi langsung menggiringnya ke toilet wanita.

“Saya malu jalan malam-malam sama perempuan berpakaian dinas.”

Begitu katanya sebelum mendorong Afi ke toilet. Dia juga membekali wanita itu dengan empat paper bag berisi satu setel pakaian luar dan dalam, sepatu, serta peralatan make up.

“Kenapa aku diam aja, sih? Kenapa pasrah terus disuruh itu-ini? Padahal usiaku jelas-jelas lebih tua daripada dia.” Afi mendumal dalam toilet sambil membongkar isi paper bag. Dia kesal pada diri sendiri.

Entah apa kharisma yang dimiliki pria itu hingga setiap kata yang keluar dari mulutnya hampir semuanya tidak bisa dibantah. Afi curiga, jangan-jangan pria itu memiliki ilmu pelet, gendam, atau sejenisnya. Namun, kecurigaan itu terasa seperti lelucon bagi Afi sendiri.

Keluar dari toilet, penampilan Afi berubah drastis. Jika dalam balutan seragam dinas dia kelihatan sangat dewasa sesuai usianya, saat ini dia kelihatan jauh lebih muda. Malah sepintas seperti remaja.

Mengenakan kaus putih lengan pendek yang dipadukan dengan jeans blue light, ditambah sneakers putih ber-merk famaous, Afi terlihat seperti ABG stylish. Rambut yang semula tergerai sekarang dikuncir rapi. Sementara poninya dibiarkan menutupi dahi. Make up-nya juga natural. Intinya, penampilannya terlihat fresh.

“Nah, kalau begini baru kamu boleh panggil saya ‘Om’. Jelas, saya kelihatan lebih tua dari sisi penampilan. Malah lebih mirip sugar daddy kali, ya,” ucap Egi dengan nada bercanda.

Setelah itu, Egi membawa wanitanya ke sebuah kafe. “Padahal saya mau dinner di hotel supaya suasananya lebih intim. Biar kalau sudah enggak tahan bisa langsung booking kamar.”

Afi paham bahwa Egi bercanda. Hal itu tergambar jelas dari tawa yang mengiringi kalimatnya. Namun, Afi tetap saja merasa shock sampai membelalakkan mata.

“Tapi, berhubung perut saya udah kosong banget, jadi mending di sini aja, deh. Enggak apa-apa berisik, yang penting ....”

“Yang penting ...?”

Afi menunggu kelanjutannya. Namun, Egi malah diam. Sengaja ingin membuat Afi penasaran.

“Ah! Forget it!” ucap Egi sambil mengibaskan tangan.

Tentu saja Afi kecewa karena rasa penasarannya tidak terpuaskan. Namun, dia tidak ingin memaksa. Dia memilih menyisir pandangan ke sekeliling. Siapa tahu dari sekian banyak pengunjung, ada wajah-wajah yang dikenal. Dia bisa bertegur sapa agar tidak dibilang sombong.

“Rosmalina!” Egi memanggil. “Matanya tolong dikondisikan. Ingat! You’re mine! Kamu cuma boleh memandang saya. Lagipula objek di hadapan kamu ini lebih menarik. Diajak ngobrol pun enak.”

Afi mengejek dalam hati. Enak dari mana? Pria ini selalu mendominasi percakapan.

“Okay,” Egi memajukan badan dan melipat kedua tangan di meja, “daripada mata kamu jelalatan, let’s talk about us.”

“About us? Like ...?”

“What is you favorite food?”

Afi menarik napas sambil menggumam dan berpikir. Namun, tindakannya dikomentari si pelobi. “Nyebutin makanan favorit aja pakai mikir. Punya enggak, sih?”

Afi menggaruk daun telinga kanannya. “Saya bingung.”

“Apa yang bikin bingung?”

“Kayaknya saya enggak suka semua makanan. Terutama yang berbau ikan.”

Kening Egi berkerut tipis. “Kamu masih enggak doyan ikan?” tanyanya tak percaya.

Afi mengangguk.

“Pantesan aja kurus.”

“Maaf, tolong ngaca, ya, Om.”

“Saya proporsional. Lengan dan dada saya berotot. Perut saya enggak buncit. Coba sebutkan, di mana sisi yang bisa bikin saya disebut kurus?”

Afi mengatup bibirnya rapat-rapat. Dia menyesal sudah membalas perkataan pria itu.

“Enggak bisa nyebutin, ‘kan?” tanya Egi retoris. “Okay, next. Which--” Pertanyaan Egi terputus karena HP dalam saku celananya bergetar. Dia memilih menjawab telepon itu daripada melanjutkan ucapannya.

“Hai, Jes! How are you? Udah. Saya lagi di kafe. Hah? Apa, Jess? Enggak kedengaran. Ooooh, itu. Nanti saya pikirin lagi, ya. Mau nyantai-nyantai dulu soalnya. Apa? Putus-putus. Sinyal kamu jelek banget kayaknya. Oooh. Kalau mau ketemu, ke rumah aja. Saya males keluar. Ya, terserah dia maunya kapan. Saya, mah, stand by aja di rumah. Siap. See you.”

Melihat Egi bicara di telepon rupaya menjadi hiburan yang menyenangkan untuk Afi. Terbukti, sejak awal mendengar sapaan Egi, dia sudah mengulum senyum. Bahkan saat Egi kesulitan mendengar suara lawan bicaranya, Afi malah tertawa. Terutama saat Egi dengan menyalahkan buruknya sinyal si penelepon. Padahal bisa jadi sinyalnyalah yang buruk karena berebut dengan puluhan manusia di kafe ini.

“Kamu enggak mau nanya saya dapat telepon dari siapa?”

Pertanyaan itu kembali mendatangkan senyum di wajah Afi. Wanita itu memajukan badannya, lalu menumpukan siku kanannya di meja untuk menopang dagu. “Teman, ‘kan?”

“Bukan. Cuma rekan sesama profesi. Dia tau kalau saya pulang dari Kalimantan, terus nawarin masuk ke lawfirm-nya.”

“Oh, ya? Bagus, dong! Terus, kamu terima?”

Egi menggeleng. Tepat ketika itu seorang karyawan kafe datang mengantarkan pesanan. “Saya mau memastikan sesuatu dulu.”

“Apa? Gaji?”

“Kalau soal itu saya udah tau. By the way, dalam dunia lawyers enggak ada istilah gaji, ya, Dek Rosmalina.  Mungkin ada di beberapa tempat, tapi enggak umum. Pendapatan kami disebut honorarium. Nominalnya enggak menentu. Tergantung kesepakatan sama client. Lawyers yang gajinya tetap itu biasanya bekerja khusus untuk satu perusahaan besar. Kalau kayak saya, ya, nyebutnya royalti.”

Afi berterima kasih karena Egi meluruskan pemahamannya yang salah. Meski begitu, Afi tidak kehilangan fokus dari pembahasan sebelumnya, yakni soal sesuatu yang ingin dipastikan Egi sebelum menerima tawaran pekerjaan.

“Terus apa kalau bukan uang?”

“Kamu dinas di rumah sakit mana?”

Afi mengernyit. Menurutnya, pertanyaan Egi sudah keluar jalur. Bukankah mereka sedang membahas tawaran pekerjaan untuk Egi? Lantas, kenapa sekarang pria itu membahas tempat kerjanya?

Kernyitan di kening Afi terurai dengan sendirinya. Dia mengambil kesimpulan bahwa Egi sedang mengalihkan pembicaraan. Mungkin pria itu merasa tidak nyaman ditodong banyak pertanyaan.

“Citra Husada.” Afi menjawab sambil mengaduk orange juice menggunakan sedotan.

“Good.” Egi menjentikkan jari dan tersenyum puas. “Kalau gitu, besok saya konfirmasi ke Jessica kalau saya bakal gabung di lawfirm-nya.”

“Hah?” Afi mengernyit bingung. “Maksudnya?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status