Dua pasang mata itu saling pandang. Sorot si pria terlalu sulit dimaknai, sedangkan si wanita tampak berkaca-kaca. Ada luka yang tersirat dari genangan air di dalam sana. Namun, ada harapan yang juga terpancar di sana.
Sunyi. Tidak ada suara yang mengganggu mereka selain embusan napas pribadi. Bahkan tidak ada yang bergerak selain organ dalam tubuh yang tetap beroperasi. Dari luar, penampakan keduanya mirip dengan maneken pria dan wanita yang saling bersitatap.
“Saya jelaskan semuanya satu per satu.” Suara Egi menelan kesunyian. “Tapi, enggak berdiri kayak gini.” Tangan kanannya mengayun dan membelai rambut Afi. “Kamu yang pilih; balik lagi kayak tadi—rebahan di ranjang—atau isi perut? Saya lapar.”
Afi tidak yakin Egi benar-benar lapar. Ekspresi saat mengatakan itu tidak seperti orang yang perutnya keroncongan. Terlalu flat.
“Maaf.” Afi menangkap tangan yang mengelus pipinya. “Saya enggak bisa makan sambil bicara serius.” Dia menurunkan dan menjauhkan tangan pria itu. “Saya juga enggak minat rebahan lagi.” Kakinya mundur selangkah. “Jadi, kalau kamu enggak niat ngasih jawaban, jangan ngasih harapan.”
Egi maju untuk menjangkau wanita itu lagi. Sayangnya, Afi justru semakin mundur. Dia berkelit saat Egi berusaha memegang pundaknya.
“Saya sudah bilang, ‘kan, kalau saya bakal jelasin satu per satu? You can trust me.”
“Saya mau percaya, tapi ....”
Tepat ketika kalimat menggantung itu berhenti, Egi menarik pinggang Afi dalam sekali hentak. Akibat ketidaksiapannya, dada Afi menumbuk perut Egi yang ternyata cukup keras. Tabrakan fisik itu meninggalkan sedikit rasa sakit di dadanya.
“Kalau kamu enggak bisa pilih tempat, okay, saya yang pilih,” kata Egi.
Sejurus kemudian tubuh Afi telah berpindah ke gendongan Egi. Gerakan pria itu sangat tidak terbaca sehingga Afi tak sempat menghindar.
“Kamu mau bawa saya ke mana?” tanya Afi panik.
Awalnya, dia mengira bahwa Egi akan membawanya ke pilihan pertama, yakni kembali ke tempat tidur. Namun, langkah pria itu malah menganyun ke arah sebaliknya. Menuju kamar mandi.
Egi enggan menjawab. Menatap pun tidak. Wajahnya mengeras menahan kekesalan. Lebih tepatnya, dia kehilangan kesabaran.
Egi bukan tipe pria yang sabar menghadapi wanita. Dia tidak pandai membujuk. Satu-satunya yang bisa dilakukan untuk mempermudah keadaan adalah dengan bertindak. Ya, inilah yang dilakukan Egi sekarang.
Afi terkinjat saat Egi menendang pintu kamar mandi. Meski terkesan kasar, Afi paham bahwa pria itu hanya tidak bisa menggunakan tangannya untuk membuka pintu. Maklum, kedua tangan itu sudah penuh untuk menggendongnya. Namun, bukankah Egi bisa menyuruhnya untuk membantu membuka pintu? Apakah pria itu sudah terlalu malas untuk menggunakan mulutnya?
Egi kembali menendang pintu sampai menutup. Suara gebrakan yang ditimbulkan membuat Afi menutup mata dan mengangkat bahunya. Jujur, dia merasa takut.
Afi diturunkan di depan meja wastafel. Awalnya dia mengira bahwa Egi akan berhenti sampai di situ. Ternyata tidak. Egi memeluk pinggangnya, mengangkat tubuhnya, dan mendudukkan di meja wastafel.
Afi merasa was-was. Takut meja itu tidak sanggup menopang bobot tubuhnya. Namun, setelah mengamati meja yang terbuat dari keramik itu, Afi merasa bahwa kekhawatirannya tidak berdasar. Dia hanya terlalu overthinking.
Meja itu menyatu dengan tembok. Tebal dan kokoh. Keramiknya pun tidak akan retak hanya karena diduduki wanita berbobot 45 kilogram. Terlebih lagi Egi masih melingkarkan tangan di pinggangnya. Afi pun masih berpegangan di pundak si pria. Jadi, sekalipun meja itu roboh, Egi masih bisa menyelamatkannya.
“Dari sekian banyak tempat, kenapa harus kamar mandi?” tanya Afi sambil menatap mata Egi. Kali ini dia tidak perlu repot mendongak. Wajahnya dan Egi sudah sejajar.
“Saya suka tempat yang sempit, dingin, dan banyak air,” jawab Egi yang juga menatap mata lawannya.
Keheningan sempat menghinggap karena keduanya sama-sama tak berucap. Beberapa detik kemudian, barulah Egi menyambung topik sebelumnya.
“Tujuan saya buka aib di hadapan kamu bukan karena saya mau tubuh kamu. Saya enggak menampik kalau saya menyukai seks. Bisa dibilang, saya pecandu. Tapi, saya enggak bermaksud menjadikan kamu seperti perempuan-perempuan yang saya ceritakan. I know you’re different.”
Afi memperhatikan setiap detail ekspresi yang tercipta setiap Egi mengucap kata. Dia mencoba meneliti, adakah kebohongan yang terselip di sana. Hasilnya, tidak ada.
“Tujuan saya cuma satu, saya mau kamu mengetahui sisi buruk kehidupan saya,” lanjutnya.
“Tapi, buat apa?” tanya Afi tak habis pikir.
“You’re mine. Saya mau kamu mengetahui segalanya tentang saya. Dimulai dari sisi hitam dan kotor.”
Afi menggeleng. Logikanya masih tidak menerima tujuan Egi.
“Kamu ingat perempuan di kamar bawah?”
Afi yakin bahwa orang yang dimaksud adalah Tiara. Dia mengangguk.
“Dulu, apa yang saya perlihatkan ke dia cuma sisi baik saya. Saya berhenti merokok, minum, dan balapan—semuanya demi terlihat sempurna di mata dia. Tujuannya apa? Supaya dia enggak punya celah buat mengakhiri hubungan sama saya. Saya enggak mau dicampakkan.”
Afi merasakan kesungguhan dalam kalimat terakhir Egi. Selain itu, ada luka yang ikut dia rasakan. Dia seperti dapat merasakan kepedihan yang menyiksa Egi saat Tiara mencampakkannya.
Ah, sebenarnya Afi tidak tahu siapa yang mencampakkan. Namun, berdasarkan cerita barusan, dia mengambil kesimpulan bahwa ada kemungkinan Tiaralah yang meninggalkan Egi.
“Sekarang saya sadar bahwa apa yang saya lakukan dulu adalah kesalahan. Saya ingin terlihat sempurna agar bisa dicintai. Saya lupa bahwa manusia bisa melupakan seribu kebaikan hanya karena satu kecacatan.”
“Well, intinya, saya enggak mau kesalahan itu terulang lagi. Saya mau wanita yang saya miliki enggak meninggalkan saya karena satu kecacatan. Saya mau—”
“Tunggu-tunggu!” Afi menginterupsi sambil mengangkat tangan kanan. “Kamu ngomong kayak gitu seolah saya bersedia jadi milik kamu.”
“Why not? Kamu memang mau, ‘kan?”
Afi ingin membantah. Namun, ketika mulutnya menganga, suaranya malah tidak keluar. Dia justru lupa mau berkata apa.
“Kenapa? Mau menyangkal?” tebak Egi. “Kamu enggak bisa nolak saya, Rosmalina.”
“Afi. Panggil saya Afi.”
“Enggak. Saya suka Fidyana atau Rosmalina.” Egi menunjukkan sisi egoismenya.
“Intinya, saya enggak kasih kamu pilihan ‘bersedia’ atau ‘enggak’. Saya sudah memilih kamu.”
“Egois!”
“It’s me,” sahutnya bangga. “Makanya saya bilang kamu enggak punya pilihan karena saya sudah menentukan dan kamu enggak bisa nolak.”
Afi tidak tahu lagi harus berkata apa. Dia memang tidak memiliki bakat untuk berdebat dan mempertahankan pendapat.
“Masalah ini udah clear, ‘kan? Kalau udah, saya lanjut ke masalah ke dua tentang definisi masa lalu versi saya.”
Perpindahan topik membuat rasa ketertarikan Afi terisi kembali. Dia mendengarkan dengan antusias.
“Buat saya, masa lalu itu identik dengan satu masa, satu kejadian, satu perbuatan di masa lalu yang enggak mau kita ulangi lagi. Kalau kamu tanya, apakah ‘kemarin’ termasuk masa lalu, jawabannya tergantung. Kalau ‘kemarin’ itu membahagiakan, saya enggak mau sebut itu masa lalu.”
“Kalau bukan masa lalu, terus apa?”
“Kenangan.”
“Kenangan, ‘kan, bagian dari masa lalu juga.”
“Kamu tanya versi saya, ‘kan? Ya, beginilah versi saya.”
Afi kembali dibuat tak berkutik. Persoalan perspektif memang sulit diselaraskan.
“Back to topic. Kalau pertanyaan kamu soal ‘kemarin’ itu menyangkut cerita saya soal seks, saya berani bilang kalau itu cuma masa lalu. Saya enggak mau ngelakuin itu lagi.”
Untuk pertama kalinya Afi memutar bola mata di hadapan lawan bicara. Selama ini, Afi selalu mengutamakan sopan santun. Meskipun tidak sependapat, dia akan tetap menghargai orang lain dengan cara menjaga mimik wajahnya.
“Ya, iya, lah, kamu enggak mau ngelakuin itu lagi. Orangnya aja ketinggalan di Kalimantan, ‘kan?”
“For your information, saya bisa bawa perempuan itu kalau saya mau. So, saya enggak mau lagi bukan karena ‘rekan’ saya ketinggalan di Kalimantan, tapi karena komitmen.”
“Komitmen?”
“Ya.” Egi mengangguk. “Komitmen untuk enggak ngancurin akhlak perempuan Kalimantan lagi,” tambahnya dengan nada bercanda.
Kedua bahu Afi merosot spontan. Dia kecewa. Jawaban Egi barusan bukanlah yang dia harapkan.
“Next and last answer. Kamu bingung status kita apa? Status kamu adalah milik saya. Saya pertegas sekali lagi, you ... are ... mine. And for your information, saya orang yang posesif. Saya enggak suka berbagi. So, saya enggak akan membiarkan laki-laki lain mendekati kamu. Sudah jelas?”
“Kalau saya milik kamu, kamu milik siapa?”
“Milik semua perempuan yang menginginkan saya.”
Dalam perjalanan pulang, keheningan melanda keduanya. Afi ingin sekali berterima kasih karena Egi begitu peka dengan keadaan alerginya. Kalau saja pria itu tidak langsung membawanya ke klinik, mungkin obat pun tidak akan mempan. Dia pasti tidak akan bisa beraktifitas dengan tenang karena pengaruh rasa gatal.Sayangnya, niat mengucapkan terima kasih itu urung dilafalkan. Selain karena ekspresi Egi tidak enak dilihat--terlalu flat dan kaku, pria itu juga bungkam sejak di klinik. Afi curiga bahwa pria itu menyimpan kekesalan kepadanya.Sesampainya di rumah, keduanya diserbu Ani dan Yati yang ternyata belum pulang, padahal sekarang sudah jam 7 malam. Mereka disambangi tepat setelah melangkahi pintu masuk.“Kok, baru pulang, sih, Mas-Mbak? Kalian enggak apa-apa, ‘kan?” tanya Ani sambil memindai Egi dan Afi dari atas ke bawah.Afi tersenyum tipis dan menganggukkan kepala. "Kita enggak kenapa-kenapa, ko
“Jangan lama-lama. Kalau udah selesai, cepat pulang. Nanti kalau sakit kamu sendiri yang susah.” Begitulah pesan Egi sebelum meninggalkan warung tenda. Dia telah menandaskan sepiring nasi, ayam penyet dan lalapan, serta teh hangat. Ah, jangan lupakan setengah mangkuk ronde milik Afi. Dia meminta Afi pulang bersamanya. “Soal pembalut, kalau enggak urgent belinya besok aja. Titip ke Bu Ani. Mini marketnya masih jauh, ‘kan? Kamu bisa kebasahan kalau nekat ke sana jalan kaki.” Afi menggeleng, menolak ajakan dan bujuan Egi. “Saya mau ke apotek bentar. Cari obat alergi,” ungkapnya jujur. “Kamu alergi apa?” Pria itu kelihatan cemas dan panik. Memindai Afi dari kepala sampai ujung kaki. Afi menggeleng. “Sekarang belum. Enggak tau nanti.” Jawaban yang diberikan sambil mengunyah itu membuat Egi mengerutkan kening. “Maksudnya?” Tanpa menatap Egi, Afi pun menjawab. “Saya alergi dingin.” Mendengar informasi itu, kerutan di kenin
“Yaaaah ....” Kedua bahu Afi merosot lesu ketika membuka pintu. “Hujan ternyata.” Wajahnya berubah cemberut.Afi tidak tahu, material apa yang digunakan untuk membangun rumah megah ini sampai bunyi hujan deras pun tidak terdengar di lantai dua.“Duh, mana lagi lapar banget ini,” keluhnya sambil melangkah ke ujung teras. Memeriksa lebih dekat, seberapa besar intensitas air yang berguguran di bumi.Puas dengan tidur tambahan sampai jam 5 sore, perut Afi pun terasa amat sangat kosong. Dia heran, seberapa keras kerja metabolisme tubuhnya saat tidur sampai bangun-bangun sudah lapar lagi.Sebenarnya wajar, sih, kalau dia lapar. Dia, ‘kan, melewatkan makan siang.Sayangnya, ketika bangun tadi, baik teh ataupun kudapan ringan di meja sudah tidak ada. Mungkin dibereskan oleh Ani.Afi ingin makan nasi, tapi khawatir lauk pauknya belum tersedia. Ini, ‘kan, belum jam makan malam. Dia menebak kalau Ani dan
“Jadinya nonton apa, nih, Mbak?” tanya Ani yang menyuguhkan sepiring pastel panas, potongan buah melon, dan teh panas ke meja.“Korea, Bu,” jawab Afi yang kini mengatur channel TV melalui remote di HP-nya.“Waduuuh. Enggak India aja, Mbak? Biar bisa nyanyi sama joget-joget.”Afi tertawa. “Emangnya Ibu punya rekomendasi film India apa?”“Chori-chori aja, Mbak. Rame, tuh. Cerita suami setia, tapi disuruh ‘asoy-geboy’ sama perempuan nakal.”Afi semakin tergelak. Sedikit tidak menyangka kalau wanita paruh baya yang lebih suka pakai daster itu mengetahui berbagai macam istilah yang menjurus ke arah seks bebas.“Oh, iya, Mbak. Mas Egi udah pulang, tuh.”Tawa Afi langsung berhenti. “Enggak nyariin saya, ‘kan?”“Nyariin, lah. Saya bilang aja lagi di sini.”Afi menghela napas, lalu meningkatkan volume TV. Mendengar na
Sepertinya Egi benar-benar kesal. Saat bangun tidur, dia tidak menyapa ataupun melirik Afi. Meloyor begitu saja ke kamar mandi.Seolah belum cukup, Egi pun enggan sarapan bersama, padahal Afi sudah menunggunya di kitchen island. Egi hanya menyeruput kopi sambil berdiri, menjumput sandwich, lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa.“Lagi berantem, ya, Mbak?” tanya Ani yang menyaksikan dinginnya hubungan Afi dan Egi.Afi hanya merespons dengan senyum seadanya. Menurutnya, pertanyaan itu tidak perlu dijawab. Ani bisa mengambil kesimpulan sendiri.“Bu Ani hari ini ke pasar enggak?” tanyanya, mengalihkan topik.Rencananya, jika Ani ke pasar, Afi ingin ikut. Refreshing. Dia malas nonton ke bioskop sendirian.“Kayaknya enggak, deh. Bahan di dapur masih lengkap,” jawab Ani sembari mengambil cangkir kopi bekas Egi. “Ini saya minum aja, ya, Mbak. Sayang kalau dibuang. Mubazir,” ucapnya sambil memperlihatkan i
Setelah racauan Afi berakhir, suasana kamar sempat disinggahi keheningan. Egi yang masih berbaring menatap wanita itu sambil mengerjap. Cukip lama pria itu terpaku hingga beberapa saat kemudian, tawanya meledak sampai terpingkal-pingkal.Melihat Egi tertawa begitu lepas, Afi pun mengernyit. Bingung. Otaknya berpikir keras. Menebak satu per satu kata yang sebelumnya dia ucapkan. Di mana letak kelucuannya?Sebelum Afi sempat bertanya, pria itu bangun dan duduk menghadap dirinya. Setelah tawanya reda, Egi pun bertanya, “Jadi, kamu mau menikah sama saya?”Kerutan di kening Afi semakin bertambah. Kali ini bukan karena bingung, melainkan tersinggung.Jadi, pria itu hanya bercanda dalam menyematkan gelar ‘calon istri saya’ saat bicara dengan Tiara di telepon tadi? Jadi, pria itu hanya ingin membuat Tiara cermburu? Pria itu ingin mempermainkannya?Rasanya Afi ingin meledak saat itu juga. Dia ingin meminta klarifikasi dengan cara yan