Afi mengatup bibir sangat rapat. Dia sadar bahwa pertanyaan barusan melampaui batas. Terlebih lagi dia mengucapkannya dengan nada yang cukup tinggi. Kentara sekali bahwa dia lepas kendali.
Afi menyesali pertanyaannya—pertanyaan yang menggambarkan kekesalan, ketidakterimaan, dan ketidaknyamanan. Dia seperti wanita pecemburu yang naik pitam mendengar sang kekasih ‘menyemai bibit’ di mana-mana.
Sekarang pertanyaannya adalah apakah Afi berhak memiliki emosi seperti ini? Egi memang menyebut dirinya sebagai ‘mine’. Namun, bukankah ‘mine’ saja tidak cukup untuk memperbolehkannya bertanya kasar seperti tadi?
“Maaf.” Afi berucap lirih. Segenap rasa sesal menyesakkan dadanya.
Dalam hal ini, tampaknya Egi tidak satu frekuensi dengan Afi. Alih-alih maraah, tersinggung, atau pun kesal, Egi justru terlihat baik-baik saja. Dia bahkan tertawa kecil, terhibur melihat Afi berkubang dalam rasa sesal.
“It’s okay.” Dia mengacak-acak rambut Afi. “Saya memang berengsek, kok—Lebih berengsek dari definisi laki-laki berengsek.”
Egi berhenti sebentar dan merapikan poni Afi. Dia mengamati garis wajah dan sorot tatap wanita itu. Dia ingin memastikan bahwa rasa sesal yang sebelumnya membebani Afi berhasil menyusut karena ucapannya barusan.
Egi sedikit lega karena sorot mata sendu itu kini menyiratkan antuasisme. Sepertinya wanita itu sedang menunggu kelanjutan ucapannya. Mungkin dia penasaran dan menginginkan Egi membuka diri.
“Jangan kaget kalau nanti kamu ketemu sama perempuan-perempuan yang bersikap negatif ke saya. Stampel ‘berengsek’ itu udah nempel di sini.” Egi menunjuk dahinya sendiri. “Ke mana pun saya pergi dan apa pun yang saya lakukan—sekalipun itu perbuatan baik—stampel ini enggak bakal hilang.”
Afi menyimak dengan saksama. Saking fokusnya, terkadang dia lupa sudah terlalu lama menahan napas.
“Tapi, perlu kamu tau.” Egi meraih tangan kanan Afi dan mengecup bagian dalam telapaknya. “Saya cuma merusak perempuan-perempuan yang sama berengseknya dengan saya.”
Kernyitan tipis menyembul di kening Afi. Dia tampak kesulitan memahami kalimat terakhir. “Maksudnya lebih berengsek dari kamu ...?”
“Ya,” Egi menggedikkan bahu sambil mengembuskan napas, “pokoknya lebih berengsek dari saya. Kalau kamu mau contohnya, ya, kayak perempuan yang hamil tadi. Dia sudah bersuami, tapi masih berani ‘nakal’ di luaran. Ya, sudah. Biar ada efek jera dan karma, saya bikin dia hamil.”
“Kamu enggak takut?”
“Takut apa?”
“Yaaa, dilaporin ke polisi misalnya.”
Egi tertawa seolah pertanyaan itu hanyalah lelucon tak berarti. “Melaporkan saya malah nambah masalah dia,” tanggapnya sambil menggiring tangan Afi untuk mengusap-usap pipinya. Dia memejamkan mata, menikmati kelembutan telapak tangan itu.
Sekarang Afi mengerti. Kalau dia memakai kacamata seorang wanita, dari sisi mana pun, apa yang dilakukan Egi tak dapat dibenarkan. Bejat. Berengsek. Tidak beradab. Namun, jika dia memasang kacamata Egi, memahami sudut pandang pria itu, maka dia akan mendapati satu misi yang lebih tepat disebut pembalasan dendam.
Sebagai pria, Egi memahami perasaan pria lain. Gender ini kerap mendapat predikat negatif. Playboy, buaya darat, penjahat kelamin, predator anak, peselingkuh, dan lain-lain.
Tidak ada yang bisa menepis predikat ini. Media pemberitaan di TV menjadi fakta konkret yang menjelaskan bahwa pelaku kriminal—terutama kasus yang berbau seksual—memang didominasi pria. Namun, pemberitaan media kerap kali hanya menceritakan satu sisi saja. Perselingkuhan misalnya. Hal yang terekspos hanyalah bagian penderitaan si wanita. Tidak ada yang mau mengorek fakta bahwa banyak pria yang juga menderita karena keberengsekan wanita.
Wanita yang hamil tadi misalnya. Dia berengsek karena mengkhianati suami dan kepercayaan keluarga. Dia juga mengotori kesakralan pernikahan. Jika ingin dibanding-bandingkan, wanita itu jelas lebih berengsek daripada Egi.
Sayangnya, meskipun hamil, wanita itu tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tidak bisa menuntut pertanggungjawaban karena dia sendiri memiliki suami. Melaporkan Egi ke polisi juga tidak mungkin—kecuali jika dia memutarbalikkan fakta. Memfitnah Egi memerkosa misalnya. Namun, Afi yakin bahwa menjebak Egi tidak akan semudah itu. Pengacara itu pasti punya seribu satu cara untuk membuat si wanita kelimpungan menghadapinya.
“By the way, biar nantinya kamu enggak kaget, mending saya ceritain aja semua keberengsekan saya.”
Afi menunggu penuh antuasias dan antisipasi. Dia menyiapkan diri dan hati untuk kemungkinan terburuk, misalnya kecewa, sakit hati, dan menangis.
“Di Kalimantan, saya kerja di satu lawfirm yang cukup terkenal. Saya punya rekan perempuan yang juga jadi rekan saya di ranjang.”
Afi tidak bisa menyembunyikan kekagetannya. Pupil matanya melebar, tidak menyangka bahwa cerita seperti itu benar-benar ada.
Selama ini, Afi hanya mengetahui cerita semacam itu dari novel fiksi. Sepanjang 32 tahun usianya, dia tidak pernah mendengar hubungan semacam itu di dunia nyata.
“Maksudnyaa ... friends with benefits?” tanyanya untuk memastikan.
Egi mengangguk. “Ya, semacam itu. Kami begitu sejak setahun belakangan. Maklum, lah, ya. Kami sama-sama ‘butuh’.”
Afi memalingkan wajah sambil menutupi dahi. Dia ingin menyembunyikan rasa shock yang terpampang di wajah.
“Sebelum pulang ke sini, saya juga sempat making sex with her.”
Tambahan informasi itu entah kenapa membuat leher Afi merasa tidak nyaman. Tangannya refleks mengusap-usap tengkuk leher. Rasanya sangat pegal.
“Ah, satu lagi. Saya juga suka menghabiskan malam di night club. Having fun sama perempuan-perempuan di sana. Kadang juga sampai kebablasan, sih. Maklum, saya pria normal.”
Afi buru-buru bangun dan menuruni ranjang. Tindakannya yang begitu tiba-tiba membuat Egi terkejut dan ikut bangun, meski hanya duduk di ranjang. Dia memerhatikan Afi yang mondar-mandir sambil memegang dahi dan mengacang pinggang. Wanita itu kelihatan bingung dan panik.
“Why? You can’t accept my past?”
Tersirat kekhawatiran dari pertanyaan Egi. Dia takut kalau wanita itu akan pergi terbirit-birit dan meninggalkannya. Dia sadar memang tidak mudah bagi seorang wanita menerima keburukan masa lalu pria. Apalagi menyangkut seks bebas.
Alih-alih menanggapi, Afi memilih menggigit kuku telunjuk. Dia masih mondar-mandir. Belum berminat berhenti karena pikirannya masih kalut.
Egi tidak tahan didiamkan. Dia turun dan menghampiri Afi. Dia memegang erat kedua sisi lengan Afi untuk menghentikan kegiatan sia-sia yang dilakukan. Dia menatap lekat dan berkata, “Tell me, apa yang bikin kamu terganggu? Masa lalu saya?”
Afi menggeleng dan menggigit bibir. “Saya enggak ngerti, apa tujuan kamu nyeritain itu semua. Apa kamu ... juga mau ngelakuin hal yang sama ke saya? Dari tadi kamu nyebut saya sebagai ‘mine’ tujuannya buat bikin saya jadi pelayan ‘kebutuhan’ kamu?”
Alih-alih langsung menanggapi, Egi justru balik bertanya. “Cuma itu yang bikin kamu terganggu?”
Afi menggeleng. “Ada lagi. Saya enggak tau, apa ‘kemarin’ itu masih bisa disebut masa lalu? Coba jelaskan ke saya, apa definisi masa lalu versi kamu.”
Afi tidak bisa menyembunyikan nada emosional di setiap kalimatnya. Menggebu-gebu. Terengah-engah. Merasa lelah, padahal tidak melakukan aktivitas fisik yang menguras tenaga.
“Saya enggak ngerti, sekarang ini kita lagi ngapain? Kita baru ketemu. Enggak sampai 8 jam, tapi kamu sudah mendeklarasikan saya sebagai milik kamu. Setelah itu, kamu menceritakan soal sisi lain kehidupan kamu ke saya seolah enggak ada beban. Saya berusaha memahami dari sudut pandang kamu. Awalnya bisa. Tapi, makin ke sini, saya makin enggak ngerti. Saya bingung, Om. Saya bingung kita ini kenapa, gimana, dan lagi apa? Kita ini apa?”
Dua pasang mata itu saling pandang. Sorot si pria terlalu sulit dimaknai, sedangkan si wanita tampak berkaca-kaca. Ada luka yang tersirat dari genangan air di dalam sana. Namun, ada harapan yang juga terpancar di sana.Sunyi. Tidak ada suara yang mengganggu mereka selain embusan napas pribadi. Bahkan tidak ada yang bergerak selain organ dalam tubuh yang tetap beroperasi. Dari luar, penampakan keduanya mirip dengan maneken pria dan wanita yang saling bersitatap.“Saya jelaskan semuanya satu per satu.” Suara Egi menelan kesunyian. “Tapi, enggak berdiri kayak gini.” Tangan kanannya mengayundan membelai rambut Afi. “Kamu yang pilih; balik lagi kayak tadi—rebahan di ranjang—atau isi perut? Saya lapar.”Afi tidak yakin Egi benar-benar lapar. Ekspresi saat mengatakan itu tidak seperti orang yang perutnya keroncongan. Terlalu flat.“Maaf.” Afi menangkap tangan yang mengelus pipinya. “Saya eng
Egi menurunkan Afi dari meja wastafel. Tanpa melepaskan pinggang wanitanya, Egi bertanya, “Mau mandi sekarang?”Afi menggeleng pelan. Sebenarnya dia sedikit takut mendengar pertanyaan semacam itu. Entah kenapa pikirannya menjurus ke hal-hal negatif. Dia takut Egi akan mengajaknya mandi bersama hingga melakukan perbuatan yang ujungnya sudah terduga.Setelah mengetahui sekelumit sisi keberengsekan pamannya, insting kewaspadaan Afi sedikit meningkat. Dia tidak hanya waspada pada Egi, tapi juga dirinya sendiri.Afi seorang wanita dewasa dan normal. Hormon yang berhubungan dengan seksualitasnya sudah menumpuk dan terkadang meraung-raung minta dilepaskan. Dia takut kalau hormon ini sewaktu-waktu akan meledak dan tak dapat dikendalikan gara-gara pancingan Egi.Sebenarnya, tidak hanya Egi yang memiliki sisi hitam yang berhubungan dengan seksualitas. Afi pun sama. Namun, Afi tidak seberani Egi. Dia takut mengungkapkan aib itu. Juga malu dan gengsi. Menurutnya, jika ai
Afi tidak habis pikir, kenapa Tuhan menjungkirbalikkan hidupnya semudah ini? Dalam kurun waktu kurang dari 12 jam, kehidupannya berubah drastis. Berawal dari kebakaran, sekarang hidupnya diatur oleh seorang pelobi gila. Sialnya lagi, Afi tidak pernah bisa membantah pria ini.Jika dahulu Afi akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk memilih pakaian, sekarang tidak sampai 20 menit dia sudah keluar dari satu gerai dan membawa 10 setel pakaian. Bukan dia yang berbelanja, melainkan si pelobi gila. Dia hanya bermodalkan anggukan ketika pria itu memilihkan satu jenis pakaian. Setelah itu, semuanya berakhir di kasir.Berpindah ke gerai pakaian dalam, barulah Afi bebas memilih sendiri. Pria itu hanya menunggu di depan gerai sambil menjaga tas belanjaan. Bukan Afi yang melarangnya ikut, tapi dia sendiri yang tidak mau masuk.“Sorry! Haram buat saya masuk ke toko pakaian dalam perempuan.”Begitu katanya ketika menghentikan langkahnya sendiri. Afi hanya me
Kemarin Afi gagal memahami maksud ucapan Egi. Apalagi pria itu juga enggan menjelaskan, sengaja ingin membuat Afi penasaran. Semua teka-teki itu terang benderang pagi ini.“Loh? Kamu mau ke mana? Mau jenguk orang?”Afi heran melihat Egi memarkir mobil di halaman rumah sakit. Bahkan tepat di sebelah mobilnya. Dari rumah, mereka berangkat beriringan. Namun, Afi tidak menyangka bahwa Egi akan mengikutinya sampai ke sini.Ya, Afi memang sempat salah paham. Dia mengira bahwa Egi nekat membuntutinya bekerja agar tidak menyeleweng. Maklum, kemarin pria itu benar-benar menegaskan bahwa Afi adalah miliknya. Bahkan Egi tak sungkan melarang Afi dekat-dekat dengan pria lain.Afi merasa beruntung karena prasangka tadi hanya tersimpan dalam hati. Seandainya tadi mulutnya frontal menuduh Egi membuntuti karena over possesive, maka Afi yakin tidak dapat menanggung malu.“Kantor saya di sana.” Egi menunjuk ruko tiga lantai di sebelah rumah sa
“Pagi!” Afi masuk ke markas IT sambil menyapa anak buahnya seperti biasa.“Loh? Udah masuk, Bu?” Salah satu anak magang yang tadinya bermain game mempertanyakan kemunculan Afi.“Iya. Kok, udah masuk?” Pria berkacamata yang berdiri memegang mug beruap ikut bertanya. “Padahal rencananya, nanti sore kita semua mau ke rumah Ibu,” tambahnya. Kemudian melangkah menuju meja yang berada tepat di samping ruangan Afi.“Saya udah enggak punya rumah. Jadi, sekarang udah waktunya ngumpulin pundi-pundi buat beli rumah baru,” jawab Afi sambil berjalan menuju ruangannya. Namun, begitu melewati meja pria berkacamata tadi, Afi mendadak berhenti. Dia menoleh, menatap anak magang yang duduk di samping dispenser. Anak itu kembali fokus bermain game.“Itu namanya siapa? Saya lupa,” tanya Afi pada pria berkacamata sambil menunjuk si anak magang.“Tito,” jawab si pria.Kemudian Afi
Afi memejamkan mata. Menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Kegiatan itu diulangi sebanyak tiga kali, barulah pikirannya terasa tenang.Meski tidak benar-benar merasa plong, setidaknya Afi mendapatkan jalan keluar. Dia bangkit dengan tenang, lalu mengambil tas dan meninggalkan ruangan.“Jer!” panggilnya saat berhenti di depan meja pria berkacamata. “Hari ini saya enggak jadi masuk. Tolong handle kerjaan yang berhubungan sama saya, ya. Saya harus pulang. Mama saya datang ke tempat tinggal yang baru. Enggak enak kalau saya biarin beliau sendirian,” terangnya tenang tanpa ada yang ditutupi.Afi telah berhasil mengurangi kadar kepanikan yang sempat menguasai dirinya. Dia tidak ‘gerasa-gerusu’ seperti saat mendengar berita rumahnya terbakar. Dia menyadari bahwa tingkat urgensi situasi kali ini tidak semendesak kemarin. Mamanya hanya berkunjung ke rumah. Bukankah tidak ada yang salah dengan niat baik itu?Awalnya, hal yang membuat Afi panik adala
Afi mencium tangan seorang wanita paruh baya yang baru saja menuruni taksi online. Wanita itu adalah Kikan, mamanya.Meskipun sebagian besar rambutnya sudah memutih, keriput di wajah Kikan tidak terlalu kentara. Tubuhnya tidak gemuk dan tidak kurus. Tidak ada lemak di perut dan lengan atas yang menggelambir. Bisa dibilang masih terlihat kencang. Punggungnya masih tegak dan caranya berjalan tidak menunjukkan masalah persendian di lutut. Bahkan dia masih mengenakan heels lima senti. Dia terlihat sangat bugar untuk ukuran wanita berusia 52 tahun.“Enggak sama Papa?” tanya Afi setelah mengintip kursi belakang taksi yang tidak lagi berpenghuni.“Enggak. Papamu lagi sibuk banget.”Sebenarnya, Afi tidak hanya memeriksa keikutsertaan papanya. Dia was-was menunggu, apakah sopir akan keluar dan mengeluarkan koper dari bagasi atau tidak.Diam-diam, Afi mengembuskan napas lega karena sopir melajukan mobil tanpa mengeluarkan apa pun dari bagasi. Sementara itu, m
Afi dan Egi was-was menunggu keputusan Kikan. Jika Afi memilih pasrah pada apa pun perintah mamanya nanti, Egi justru mempersiapkan diri untuk menentangnya. Tekatnya sudah bulat. Mantap. Dia tidak akan melepaskan Afi, sesulit apa pun keadaannya.Egi belum pernah seingin ini memiliki wanita. Dia tidak tahu, dorongan apa yang membuatnya enggan melepaskan Afi. Padahal Afi bukanlah orang yang baru dikenalnya. Mereka terikat keluarga dan cukup sering berjumpa. Namun, kebersamaan kemarin membawa dampak besar pada kehidupannya. Dia seolah terbelenggu oleh rantai yang tidak kasat mata. Belenggu itu mengikatnya dengan sang keponakan.“Kamu bisa menjaga kepercayaan Mbak?” tanya Kikan pada Egi.Alih-alih menganggukkan kepala agar segalanya lebih mudah, Egi malah menggeleng. “Enggak, Mbak. Saya enggak mau menjaga kepercayaan orang lain. Nyusahin.”Afi berdeham amat pelan karena kerongkongannya kesulitan menelan ludah. Rasanya sudah seperti menelan benda kasat. Haus.