Afi mengutuk dirinya sendiri. Sekarang dia sadar, kenapa wanita disarankan agar menikah di usia muda. Mungkin inilah sebabnya. Sekian lama tidak merasakan belaian pria, dia malah seperti wanita murahan. Diam saat disentuh. Patuh saat digiring menuju ranjang.
Sebenarnya Afi sendiri heran, kenapa dia begitu mudah mematuhi ucapan Egi. Bahkan tidak ada protes dan perlawanan sama sekali. Dia seperti korban sugesti. Mungkin lebih mirip hamba sahaya yang dibeli saudagar penuh kharisma.
“Emmm ... kayaknya kita sudah melewati batas,” kata Afi saat Egi merengkuh tubuhnya ke dalam pelukan. Mereka tidak hanya berada di kamar yang sama, tapi ranjang dan selimut yang satu.
Afi merasa sesak dalam dekapan pria itu. Namun, rasa hangat dan nyaman justru membuatnya tak ingin berkutik. Dia malah tertarik melihat jakun Egi yang bergerak saat menelan ludah.
“Kita mungkin berada di garis keturunan yang sama, tapi saya yakin kamu belum mengenal saya dengan baik,” tanggap Egi tanpa melonggarkan lingkaran tangannya di tubuh Afi. Kelopaknya mulai menutup. “Saya suka melewati batas.”
Afi menelan ludah. Kalimat terakhir Egi mengundang otaknya menciptakan banyak makna.
Sialnya, dari sekian banyak makna, entah kenapa makna yang menari-nari di pikiraannya justru terkesan liar dan kotor. Intim, intens, dan bebas.
Kalimat ‘saya suka melewati batas’ dan tindakan posesif yang dilakukan pria ini membuat Afi bertanya-tanya, hubungan macam apa yang kini terbangun antara dirinya dan Egi. Bukankah tidak wajar berbaring berpelukan seperti ini untuk hubungan paman dan keponakan?
Egi benar. Mereka memang terikat hubungan keluarga, tapi tidak dekat dan saling mengenal dengan baik. Egi tidak tahu bagaimana karakter Afi yang sesungguhnya. Begitu pun sebaliknya. Mereka hanya mengetahui karakter yang diperlihatkan oleh masing-masing pihak.
Waktu kecil, mereka memang sepermainan. Sering bercengkerama dan saling menghina. Beranjak remaja, intensitas pertemuan mereka berkurang karena kesibukan sekolah dan munculnya teman-teman baru. Ketika dewasa, hubungan mereka justru kian merenggang. Rutinitas harian yang padat membuat mereka jarang berkumpul, bahkan di hari libur sekalipun. Mereka hanya bertemu sesekali saat ada acara keluarga. Saling menyapa pun hanya seadanya.
“Om!” Afi memanggil lembut. Dia sengaja memakai panggilan itu meskipun sudah diingatkaan Dian tentang sebetapa tidak sukanya Egi dipanggil demikian. Dengan panggilan itu dia ingin menegaskan bahwa hubungan mereka hanya sebatas paman dan keponakan. Tidak seperti yang dipikirkan otaknya saat ini.
Afi mengira bahwa Egi akan marah. Mungkin setidaknya pria itu akan memberikaan teguran keras. Kenyaataannya tidak. Egi justru menjawab panggilannya dengan gumaman.
“By the way, walaupun status saya paman jauh kamu, usia saya lebih muda, loh. Cuma ngingetin. Kali aja kamu lupa.”
Ah, ternyata Afi salah. Egi menegurnya secara halus.
“Justru itu. Enggak seharusnya kita kayak gini. Selain karena kamu paman saya, saya juga lebih tua daripada kamu,” kata Afi.
Sebenarnya dia ingin menambahkan pertanyaan, “Apa kamu enggak merasa kurang ajar dengan peluk-peluk saya kayak gini?” Namun, Afi mengurungkan pertanyaan itu. Selain merasa terlalu kasar, Afi juga takut menyinggung Egi.
Alih-alih menenangkan, Egi justru mengajukan pertanyaan. “Kamu merasa ini pelecehan?”
“Saya enggak bisa jawab.”
“Karena kamu menikmati?”
Tebakan Egi membuat Afi tidak bisa berkutik. Alih-alih menyangkal, dia malah menyembunyikan wajah ke dada Egi. Malu membenarkan.
“Kamu pasti nganggap saya gampangan, ya.” Dia balas menebak. Wajahnya masih bersembunyi dalam bidangnya dada Egi. Sesekali mencuri aroma maskulin di tubuh Egi. Wanginya tidak menyengat, tapi kuat. Entah kenapa hanya dengan mencium aroma itu Afi merasa terlindungi.
Sementara itu, Egi justru tertawa menanggapi tebakan Afi. Dia tidak ingin repot menampik karena begitulah kenyataannya. Dia memang sempat berpikir bahwa Afi terlalu ‘gampang’. Bagaimanapun juga mereka sudah lama tidak bertemu. Terlalu mudah bagi Afi menerima sentuhan intens dari pria yang bukan siapa-siapanya.
“Anggap aja saya yang berengsek,” kata Egi. Otaknya berhasil menemukan kalimat yang lebih baik untuk mengurangi kadar malu yang dirasakan Afi.
Kalimat itu juga dipertegas dengan kecupan di puncak kepala Afi. Egi sendiri bingung, dorongan apa yang membuat bibirnya mudah menyosor puncak kepala keponakannya. Bahkan pelukannya pun mengerat, seolah tidak ingin kehilangan wanita ini.
Sejak putus dengan Tiara, Egi sering bergonta-ganti pasangan. Tidak ada hubungan yang terjalin lebih dari tiga bulan. Bahkan lebih sering one night stand. Ada pula friends with benefit dengan rekan seprofesi di Kalimantan. Namun, dia tidak pernah merasa ingin memiliki sekuat ini—di luar dari konteks ‘pemuas kebutuhan biologis’. Bahkan sejak tadi Egi tak berniat melakukan tindakan ‘lebih’. Dorongan ke arah ‘sana’ memang ada. Namun, bukan itu tujuannya memeluk posesif seperti ini.
“Besok ... saya pindah,” ucap Afi sedikit ragu. Dia sedikit menjauhkan wajah dari dada itu.
Dalam hitungan detik, kenyamanan yang dirasakan Egi seperti direnggut paksa. Hilang tak berbekas. Terganti oleh keterkejutan dan kegelisahan. Kelopak matanya terbuka dan pupilnya melebar. Pertanda bahwa dia tidak siap mendengar kalimat semacam itu.
Masih memeluk Afi, pria itu berkata, “You are mine, Rosmalina. You can’t go anywhere.”
Pernyataan tegas dan sarat akan kegelisahan itu membuat Afi tak ingin berkata-kata lagi. Diakui sebagai ‘milik’ pria itu tidak membuatnya marah. Dia justru tersenyum dan menganggap dirinya gila. Ya, dia gila karena tertular virus ‘mine’ dalam waktu singkat. Dia juga ingin memiliki pria itu.
Egi dan Afi bukanlah sosok insan yang polos. Mereka cukup cerdas memaknai ucapan dan tindakan satu sama lain.
Memang terlalu cepat mengambil kesimpulan bahwa mereka saling menyukai dan membutuhkan. Pertemuan mereka tidak kurang dari 8 jam. Namun, perasaan nyaman dan saling menginginkan yang saat ini mereka rasakan tidak dapat ditampik dengan mudah. Semuanya berjalan begitu saja, mengalir tanpa bisa dikendalikan.
“Om!” Afi kembali memakai panggilan itu. Untungnya, Egi tetap merespons dengan gumaman. “Kenapa kamu enggak nanya, ‘apa ada yang marah kalau saya peluk kamu kayak gini?’.”
Egi tertawa kecil. Kegelisahannya telah sirna. Meskipun Afi tidak mengatakan bahwa dia tidak akan pergi, Egi yakin ucapannya tadi sudah cukup untuk menahan wanita itu.
Egi melonggarkan pelukan dan menatap Afi. “Pertanyaan basic semacam itu udah kuno. Terlalu mainstream. Lagipula, ada atau enggaknya orang yang marah kalau saya peluk kamu, saya tetap bakalan ngelakuin ini.”
“Oh, ya?”
Egi mengangkat alis sebagai pengganti anggukan.
“Enggak takut dicap negatif?”
“Saya suka bikin perempuan jadi positif.”
Afi terbelalak. Tentu saja dia terkejut mendengar jawaban semacam itu. Namun, ekspresi yang dibuat oleh alam bawah sadarnya itu justru membuat Egi merasa gemas. Dia tidak mampu menahan tawa dan keinginan untuk mencubit pipi Afi.
Sayangnya, tawa dan cubitan di pipinya tidak membuat Afi terhibur. Masih dalam mode keterkejutan, dia bertanya dengan kalimat yang mengambang. “Kamu sering ...?”
Egi bukan pria yang polos. Dia mampu menebak kata apa yang sengaja ditenggelamkan Afi.
Normalnya dan seharusnya Egi menampik tuduhan itu agar nama baiknya tetap terjaga. Apalagi di hadapan wanita yang diinginkannya. Namun, Egi justru mengangguk dan berkata, “Sudah saya bilang, ‘kan, saya ini berengsek. Saya sering ‘menyemai benih’ di mana-mana. Saya juga pernah bikin seorang perempuan ‘positif’.”
Pengakuan Egi yang terlihat tidak ada beban membuat Afi shock. Dia bahkan sempat membisu dengan mulut menganga. Namun, beberapa saat kemudian dia bertanya dengan nada ragu.
“Terus ... kamu tanggung jawab?”
Egi menggeleng tanpa keraguan. “Saya enggak mau.”
“Kenapa?” Volume suara Afi semakin tenggelam di akhir huruf.
“Saya memang ‘nanam bibit’ di perempuan itu. Tapi, dia punya suami.”
Afi menarik napas kaget dan membekap mulut. Dia mimpi apa kemarin? Tidak hanya rumah yang kebakaran, tapi hatinya juga.
“Sebenarnya kamu seberengsek apa, sih?”
Dalam perjalanan pulang, keheningan melanda keduanya. Afi ingin sekali berterima kasih karena Egi begitu peka dengan keadaan alerginya. Kalau saja pria itu tidak langsung membawanya ke klinik, mungkin obat pun tidak akan mempan. Dia pasti tidak akan bisa beraktifitas dengan tenang karena pengaruh rasa gatal.Sayangnya, niat mengucapkan terima kasih itu urung dilafalkan. Selain karena ekspresi Egi tidak enak dilihat--terlalu flat dan kaku, pria itu juga bungkam sejak di klinik. Afi curiga bahwa pria itu menyimpan kekesalan kepadanya.Sesampainya di rumah, keduanya diserbu Ani dan Yati yang ternyata belum pulang, padahal sekarang sudah jam 7 malam. Mereka disambangi tepat setelah melangkahi pintu masuk.“Kok, baru pulang, sih, Mas-Mbak? Kalian enggak apa-apa, ‘kan?” tanya Ani sambil memindai Egi dan Afi dari atas ke bawah.Afi tersenyum tipis dan menganggukkan kepala. "Kita enggak kenapa-kenapa, ko
“Jangan lama-lama. Kalau udah selesai, cepat pulang. Nanti kalau sakit kamu sendiri yang susah.” Begitulah pesan Egi sebelum meninggalkan warung tenda. Dia telah menandaskan sepiring nasi, ayam penyet dan lalapan, serta teh hangat. Ah, jangan lupakan setengah mangkuk ronde milik Afi. Dia meminta Afi pulang bersamanya. “Soal pembalut, kalau enggak urgent belinya besok aja. Titip ke Bu Ani. Mini marketnya masih jauh, ‘kan? Kamu bisa kebasahan kalau nekat ke sana jalan kaki.” Afi menggeleng, menolak ajakan dan bujuan Egi. “Saya mau ke apotek bentar. Cari obat alergi,” ungkapnya jujur. “Kamu alergi apa?” Pria itu kelihatan cemas dan panik. Memindai Afi dari kepala sampai ujung kaki. Afi menggeleng. “Sekarang belum. Enggak tau nanti.” Jawaban yang diberikan sambil mengunyah itu membuat Egi mengerutkan kening. “Maksudnya?” Tanpa menatap Egi, Afi pun menjawab. “Saya alergi dingin.” Mendengar informasi itu, kerutan di kenin
“Yaaaah ....” Kedua bahu Afi merosot lesu ketika membuka pintu. “Hujan ternyata.” Wajahnya berubah cemberut.Afi tidak tahu, material apa yang digunakan untuk membangun rumah megah ini sampai bunyi hujan deras pun tidak terdengar di lantai dua.“Duh, mana lagi lapar banget ini,” keluhnya sambil melangkah ke ujung teras. Memeriksa lebih dekat, seberapa besar intensitas air yang berguguran di bumi.Puas dengan tidur tambahan sampai jam 5 sore, perut Afi pun terasa amat sangat kosong. Dia heran, seberapa keras kerja metabolisme tubuhnya saat tidur sampai bangun-bangun sudah lapar lagi.Sebenarnya wajar, sih, kalau dia lapar. Dia, ‘kan, melewatkan makan siang.Sayangnya, ketika bangun tadi, baik teh ataupun kudapan ringan di meja sudah tidak ada. Mungkin dibereskan oleh Ani.Afi ingin makan nasi, tapi khawatir lauk pauknya belum tersedia. Ini, ‘kan, belum jam makan malam. Dia menebak kalau Ani dan
“Jadinya nonton apa, nih, Mbak?” tanya Ani yang menyuguhkan sepiring pastel panas, potongan buah melon, dan teh panas ke meja.“Korea, Bu,” jawab Afi yang kini mengatur channel TV melalui remote di HP-nya.“Waduuuh. Enggak India aja, Mbak? Biar bisa nyanyi sama joget-joget.”Afi tertawa. “Emangnya Ibu punya rekomendasi film India apa?”“Chori-chori aja, Mbak. Rame, tuh. Cerita suami setia, tapi disuruh ‘asoy-geboy’ sama perempuan nakal.”Afi semakin tergelak. Sedikit tidak menyangka kalau wanita paruh baya yang lebih suka pakai daster itu mengetahui berbagai macam istilah yang menjurus ke arah seks bebas.“Oh, iya, Mbak. Mas Egi udah pulang, tuh.”Tawa Afi langsung berhenti. “Enggak nyariin saya, ‘kan?”“Nyariin, lah. Saya bilang aja lagi di sini.”Afi menghela napas, lalu meningkatkan volume TV. Mendengar na
Sepertinya Egi benar-benar kesal. Saat bangun tidur, dia tidak menyapa ataupun melirik Afi. Meloyor begitu saja ke kamar mandi.Seolah belum cukup, Egi pun enggan sarapan bersama, padahal Afi sudah menunggunya di kitchen island. Egi hanya menyeruput kopi sambil berdiri, menjumput sandwich, lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa.“Lagi berantem, ya, Mbak?” tanya Ani yang menyaksikan dinginnya hubungan Afi dan Egi.Afi hanya merespons dengan senyum seadanya. Menurutnya, pertanyaan itu tidak perlu dijawab. Ani bisa mengambil kesimpulan sendiri.“Bu Ani hari ini ke pasar enggak?” tanyanya, mengalihkan topik.Rencananya, jika Ani ke pasar, Afi ingin ikut. Refreshing. Dia malas nonton ke bioskop sendirian.“Kayaknya enggak, deh. Bahan di dapur masih lengkap,” jawab Ani sembari mengambil cangkir kopi bekas Egi. “Ini saya minum aja, ya, Mbak. Sayang kalau dibuang. Mubazir,” ucapnya sambil memperlihatkan i
Setelah racauan Afi berakhir, suasana kamar sempat disinggahi keheningan. Egi yang masih berbaring menatap wanita itu sambil mengerjap. Cukip lama pria itu terpaku hingga beberapa saat kemudian, tawanya meledak sampai terpingkal-pingkal.Melihat Egi tertawa begitu lepas, Afi pun mengernyit. Bingung. Otaknya berpikir keras. Menebak satu per satu kata yang sebelumnya dia ucapkan. Di mana letak kelucuannya?Sebelum Afi sempat bertanya, pria itu bangun dan duduk menghadap dirinya. Setelah tawanya reda, Egi pun bertanya, “Jadi, kamu mau menikah sama saya?”Kerutan di kening Afi semakin bertambah. Kali ini bukan karena bingung, melainkan tersinggung.Jadi, pria itu hanya bercanda dalam menyematkan gelar ‘calon istri saya’ saat bicara dengan Tiara di telepon tadi? Jadi, pria itu hanya ingin membuat Tiara cermburu? Pria itu ingin mempermainkannya?Rasanya Afi ingin meledak saat itu juga. Dia ingin meminta klarifikasi dengan cara yan
Jam digital di nakas sudah menunjukkan pukul 01:15. Seharusnya, pemilik ruangan sudah melayang ke negeri mimpi. Kenyataannya, sepasang penghuninya malah sibuk bersitatap. Berbaring miring di ranjang, saling berhadapan.“Kenapa harus pegangan tangan, sih?” tanya si wanita. Matanya tak mengerjap sedetik pun, terus menelisik lensa pekat di depannya.“Kamu mau yang lebih?” goda si pria sambil mengerling jail.“Enggak!” tegas si wanita sambil melotot ringan. Membuat si pria tertawa pelan.Saat ini, jemari keduanya saling bertaut di atas guling yang menjadi pembatas wilayah masing-masing. Guling itu tadinya diletakkan karena si pria terus saja menyerang wanitanya dengan ciuman menggebu. Kata si wanita, si pria tidak boleh melewati batas jika ingin dirinya menetap di kamar itu.“Besok mau ke mana?”“Tadinya, sih, mau nonton bioskop. Mumpung kamu enggak ada.”Si pria mengerutkan keni
“Egi, please ....”Afi berupaya keras menarik kepala dan mendorong dada Egi. Gila! Dia nyaris kehilangan napas. Egi benar-benar menghukumnya!Sekitar jam setengah sepuluh malam, Egi tiba di rumah. Sempat menengok Afi ke kamar tamu, pria itu keluar lagi untuk menepati janji pada Tiara.Entah apa yang mereka bicarakan, tapi durasinya tidaklah lama. Mungkin tidak sampai sejam, Egi sudah kembali ke kamar tamu, menjemput Afi.Ya, menjemput! Pria itu menggendong Afi ke kamar atas, lalu mencium bibirnya secara brutal. Katanya, itu adalah hukuman karena membuatnya khawatir selama di Riau.“Kamu tau, gara-gara kamu, saya enggak keruan selama di bandara. HP saya sampai kececer,” ucap Egi dengan napas terengah sebelumkembali membubuhkan kecupan menggebu.Sebenarya bukan hanya Afi yang mengalami defisit oksigen dalam paru-paru, Egi pun sama. Namun, gejolak rindu yang begitu kuat membuatnya enggan melepaskan bibir itu barang
Afi merapatkan punggung ke sandaran. Napasnya dihela dengan pelan dan cukup dalam. Rasanya, ada satu beban besar yang menyesakkan dadanya. Entah apa.“Pertama, saya mau tanya dulu sama kamu. Boleh?”Tiara mengangguk. Kemudian mengambil piring puding. Bicara panjang lebar ternyata tidak hanya membuat kerongkongannya kering, tapi isi perutnya juga ikut terkuras.“Apa selama pacaran, kalian pernah berhubungan badan?”Pertanyaan Afi membuat puding yang ditelan Tiara keluar dari saluran pencernaan. Bahkan sepertinya tersesat ke saluran pernapasan. Wanita itu tersedak cukup parah sampai harus memukul-mukul dadanya.Anehnya, Afi tidak panik sedikit pun melihat reaksi tubuh Tiara. Dia diam saja melihat wanita itu terbatuk-batuk. Bahkan dia sudah bisa menarik satu kesimpulan dari reaksi itu.“Okay, enggak usah dijawab,” kata Afi setelah Tiara minum. “Saya udah dapat jawabannya.”Tiara menelan lud