Share

SHE IS MINE

“Egi!”

Sebuah panggilan memusatkan atensi Egi dan Afi ke lantai satu. Tepatnya ke ambang pintu yang salah satu sisinya terbuka.

Sesosok wanita bertubuh semampai berdiri di sana. Rambutnya panjang sepunggung dan bergelombong. Gradasi warna asli dengan lavender cerah membuat sosok itu terlihat mencolok.

Berpijak di lantai yang berbeda dan jarak yang jauh tidak membuat Egi kesulitan mengenali sosok itu. Suara, postur tubuh, dan wajah itu sangat dikenalnya. Namun, tidak ada ekspresi antuasias, terkejut, atau pun bahagia. Justru seringai tipis yang tercetak di wajahnya.

Berbeda dengan Egi, bola mata Afi justru melebar. Reaksi keterkejutan tergambar jelas di wajahnya. Bahkan beberapa saat kemudian dia tampak gelagapan, bingung harus berbuat apa dan bagaimana. Beberapa kali kakinya seperti hendak melangkah pergi, tapi tidak jadi. Dia juga melirik-lirik Egi seolah penasaran dengan reaksi yang akan ditunjukkan.

“Bisa turun sebentar?” tanya wanita itu. Nyaris berteriak. Maklum, jarak antara dirinya dan pemilik rumah cukup jauh hingga memaksanya memasang volume keras agar terdengar jelas.

“Come here! Kamu yang butuh, kamu juga yang harus datang.” Begitulah jawaban Egi. Enggan menuruti permintaan tamunya.

Sosok itu menelan ludah. Wajahnya terlihat tegang dan ragu. Meski terdiam selama beberapa detik, kaki itu akhirnya mulai mengayun. Suara ketukan hak dari heels-nya dan gesekan roda koper yang beradu dengan lantai seolah menjadi backsound penghantar langkahnya. 

Sementara wanita itu berjalan, Egi dan Afi bersitatap. Lensa mata mereka saling membidik tanpa kata. Begitu saja sampai si tamu mulai menapakkan kaki menaiki tangga. Kopernya ditinggalkan di bawah sana.

“Will you help me?” tanya Egi dengan sebelah alis terangkat tipis. Bibirnya pun mengukir senyum dengan ketipisan serupa.

Afi tidak menjawab lewat kata. Juga tidak mengangguk atau pun menggeleng.

Bagi orang lain, diamnya Afi bisa diartikan sebagai penolakan. Namun, Egi justru menangkap dua arti; keraguan dan kepercayaan.

Menurutnya, Afi diam karena tidak tahu bagaimana harus merespons. Dia ragu mengangguk meskipun ingin membantu. Lebih tepatnya, wanita itu takut jikalau permintaannya terlalu sulit dikabulkan.

“Ini enggak gratis. Special dinner dan apa pun permintaan kamu, I’ll make it happen,” janjinya.

Ini bukanlah negosiasi. Egi hanya mencoba meyakinkan bahwa Afi tidak akan rugi jika bersedia menolongnya.

Lagi-lagi tidak ada jawaban pasti. Egi hanya mendengar helaan napas pasrah. Namun, itu saja sudah cukup untuk menerbitkan senyum di bibirnya.

“Okay, sorry,” ucap Egi seraya tersenyum.

Seiring dengan datangnya permintaan maaf, sebelah tangan kekar dan keras meraih pinggang Afi tanpa permisi. Dengan tarikan pelan, tubuh Afi merapat dalam gerakan halus. Hampir tidak terlihat bahwa pergeseran tubuhnya gara-gara ‘paksaan’. Mata lain yang menyaksikan tingkah mereka akan mengira bahwa Afi sendirilah yang merapat ke dekat Egi.

Afi kebingungan menentukan sikap. Otaknya menyuruh berontak. Dia bukan wanita gampangan yang bisa disentuh atas alasan ‘menolong’. Apalagi sentuhan ini tergolong tidak normal. Pinggangnya. Salah satu bagian sensitif tubuhnya sedang dipeluk seorang pria yang lebih muda darinya. Sayangnya, hati kecil Afi justru menyuruh bertahan. Dia tidak bisa memungkiri bahwa kehangatan yang menjalar dari telapak tangan di pinggangnya memberikan efek nyaman. Terlampau nyaman hingga dia enggan mengusir tangan itu.

Berulang kali Afi memberikan sugesti agar tubuhnya rileks. Kegugupannya tidak boleh terbaca oleh wanita yang baru saja menginjakkan kaki di lantai dua. Dia harus bersikap sesantai mungkin untuk ‘menolong’ pamannya.

Afi bukan wanita bodoh. Tanpa dijelaskan pun dia sudah mengerti, jenis pertolongan seperti apa yang harus diberikan. Dia harus berakting sebagai wanita yang memiliki kedekatan relationship dengan Egi. Entah itu hanya sebatas TTM, pacar, atau mungkin tunangan. Tingkat status itu tergantung pada mulut Egi nantinya. Untuk itu, Afi harus bersikap sesantai dan sewajar mungkin sebagai wanita yang pinggangnya dirangkul.

Sementara itu, Egi bukannya tidak menyadari ketegangan Afi. Tangan dan tubuhnya terlampau peka. Dia bisa merasakan kekakuan wanita itu. Namun, alih-alih kasihan, Egi justru menikmati kegugupan anak kakak sepupunya itu. Dia bahkan sengaja mengeratkan rangkulan di pinggang Afi.

“Hai!” sapa si tamu. Dia berhenti pada jarak satu meter dari Egi dan Afi.

Egi membalas sapaannya dengan sopan. Sementara itu, Afi hanya mengangguk rendah sambil tersenyum tipis.

“Enggak dikenalin ke aku?” tanya wanita itu pada Egi. Namun, telapak tangannya mengarah ke Afi.

“She is mine. Fidyana Rosmalina,” jawab Egi enteng. Dia tidak menyadari betapa keras usaha Afi untuk menyamarkan ekspresi keterkejutan di wajah. Bibirnya sampai berkedut untuk mempertahankan senyum yang nyaris menghilang, efek dari reaksi shock.

‘Mine’. Menurut Afi, kata itu bermakna sangat intim. Bahkan ‘wife’ pun tidak dapat menandingi kekuatan status ‘mine’. Sebelumnya, dia mengira Egi akan memperkenalkannya sebagai ‘friend’ atau ‘girlfriend’ saja. Menurutnya, status itu terdengar lebih normal dan wajar.

Afi bersyukur karena dia dapat mengendalikan diri dan ekspresi. Tidak seperti wanita di hadapannya yang menunjukkan keterkejutan secara frontal. Tidak hanya melontarkan kata ‘what?’ secara keras, pupil matanya pun ikut membesar. Pertanda bahwa dia benar-benar tidak menyangka jawaban Egi.

Detik berikutnya, Afi semakin sulit mengendalikan raut wajah, reaksi tubuh, deru napas, dan degupan jantung. Egi bergerak aktif. Pria itu berpindah ke belakangnya.

Jika sebelumnya hanya ada satu tangan yang mengait pinggangnya, sekarang ada dua tangan yang mengunci perutnya. Tidak hanya itu, Egi juga menopangkan dagu di puncak kepalanya. Egi seolah ingin menunjukkan sisi posesifnya.

“By the way, dalam rangka apa kamu silaturahmi ke sini?” tanya Egi pada wanita itu. “Tumben,” tambahnya dengan nada mencibir.

Egi tidak berniat memperkenalkan wanita itu kepada Afi. Toh, keponakannya itu sudah tahu.

Sementara itu, Afi mengumpat dalam hati. Dia menyesal menolong Egi. Menurutnya, pria itu sudah keterlaluan. Tidak hanya menganggu normalitas tubuhnya, setiap sentuhan Egi juga menghambat kerja otaknya. Apalagi saat dagu itu berpindah ke pundaknya. Afi merasa gila karena napas hangat itu membuatnya merinding. Sialnya lagi, dadanya membusung aneh ketika menerima sapuan bibir Egi di lehernya. Untung saja sentuhan di titik sensitif itu terhalang rambutnya yang tebal.

Sementara itu, sang tamu terpaksa menundukkan mata. Dia merasa sangat tidak nyaman melihat keintiman Egi dan Afi.

“Tadinya ... aku mau menginap.” Wanita itu menggigit kedua lapisan bibir. Tangannya meremas rok lipit selutut yang dikenakan. Dia kelihatan ragu mengemukakan alasan.

“Aku baru pulang dari Medan. Belum dapat apartemen yang cocok. Mau nginap di hotel, uangnya sayang. Makanya aku kepikiran mau nginap di sini beberapa hari. Apalagi kudengar kamu juga pulang dari Kalimantan,” paparnya. Matanya masih menunduk.

“Tapi ... sekarang aku berubah pikiran.” Wanita itu tersenyum pilu. “Kayaknya lebih baik aku nginap di hotel,” tambahnya sambil tertawa hambar.

Egi mengangguk-angguk tanpa mengubah posisi. Dia menggumam panjang sambil memiringkan kepala untuk melihat wajah Afi. Entah kenapa dia lebih tertarik melihat perubahan rona wajah Afi ketimbang raut luka yang ditunjukkan wanita itu.

“Gimana menurutmu?”

Pertanyaan Egi membuat Afi tersentak. Dia tergagap tanpa kata yang jelas. Lebih tepatnya, dia tidak tahu harus berkata apa. Konsentrasinya terbelah. Dia tidak terlalu fokus mendengarkan ucapan wanita itu. Sebagian atensinya justru terpusat pada reaksi tubuhnya yang memanas akibat usapan lembut di perutnya.

Afi berusaha keras memberikan sugesti pada diri sendiri. Kenormalannya harus pulih sekarang juga. Dia tidak boleh terlihat seperti wanita yang haus belaian pria.

“No problem.” Akhirnya Afi berhasil mengeluarkan jawaban normal. Dia menoleh dan membalas tatapan Egi. Senyumnya terpasang indah. “Malah bagus, ‘kan, kalau dia tinggal di sini? Saya jadi punya teman.”

Afi sangat khawatir kalau jawabannya tidak sesuai kehendak Egi. Dia takut kalau Egi sebenarnya tidak menginginkan kehadiran wanita itu.

Sayangnya, kata tak dapat ditarik. Tidak mungkin pula direvisi. Maka dari itu, Afi hanya bisa merapalkan doa dalam hati agar langkah yang sudah telanjur diambil tidak ditentang atau pun menyulut kemarahan Egi. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status