Share

PEMBALASAN HARUS KETERLALUAN

Detik demi detik berlalu, tapi Egi tak kunjung memperlihatkan reaksi. Tidak ada senyum tipis seperti sebelumnya. Lensanya masih menyorot ke satu titik, yakni mata Afi.

Sorot tajam dan dalam itu membuat sisa-sisa nyali Afi lenyap. Detik itu juga Afi ingin sekali memuai seperti es, lenyap dari dekapan lelaki itu.

“Okay!”

Satu kata yang keluar dari mulut Egi berhasil menormalkan seluruh sistem operasi tubuh dan saraf Afi. Napas yang semula mengendap di dada akhirnya dapat berembus lega. Tubuh yang semula sekaku besi baja akhirnya melunak bagaikan dilebur dengan bara. Afi nyaris merosot saking leganya. Untung saja dekapan itu begitu kokoh hingga mampu menopang tubuhnya yang meleyot.

Rupanya Egi sengaja. Melihat dan merasakan ketegangan Afi merupakan hiburan tersendiri untuknya. Dia nyaris tidak bisa meredam tawa ketika menahan tubuh Afi yang nyaris tumbang dalam dekapannya.

Untuk menyamarkan senyum yang terus dikulum, Egi berpindah menatap wanita di depan sana—wanita yang sejak tadi menonton keintiman mereka dengan hati yang terluka.

“Boleh katanya,” ucap Egi seolah wanita itu belum mendengar ucapan Afi. “So, you can stay here,” tambahnya santai sambil menggedikkan bahu dan mematahkan kepala.

Alih-alih senang, wanita itu malah mengepalkan tangan. Sorot kekesalan dan kekecewaan tersirat jelas dari matanya. Harga dirinya terluka. Bukankah sebelumnya sudah sangat jelas dia berkata ingin membatalkan niat menginap di rumah ini? Lantas, kenapa Egi bersikap seolah dirinyalah yang memaksa dan memohon tinggal di sini? Apalagi dia sampai meminta izin kepada Afi. Pria itu seolah ingin menunjukkan bahwa keputusannya bergantung pada keputusan ‘mine’-nya.

Wanita itu masih menimbang keputusan. Apakah niat yang sudah dibatalkan akan kembali dibangkitkan setelah mendapat izin Egi dan ‘mine’-nya? Apakah dia lebih baik menyelamatkan harga diri daripada menjalankan misi?

Wanita itu belum selesai dengan kegamangannya. Namun, Egi kembali mengoyak hatinya dengan berkata, “Kamu bisa tinggal di kamar bawah supaya enggak repot mengangkut koper ke atas. Have a good rest. Kalau lapar, kamu bisa langsung ke dapur.”

Setelah mengatakan itu, Egi menggiring Afi dan kopernya ke sebuah kamar. Dia tidak memedulikan sang tamu yang nyaris menitikkan air mata.

“Keterlaluan banget kamu, Gi,” desis wanita itu sambil meremas kedua sisi rok lipitnya.

Tepat ketika Egi menutup pintu kamar, wanita itu berbalik menuruni tangga. Langkahnya terlampau cepat sampai kakinya sedikit tergelincir dan nyaris terjatuh. Untung saja tangannya refleks berpegangan di pagar adegan berguling-guling seperti dalam sinetron tidak terjadi kepadanya.

Sayangnya, momen nyaris terjatuh itu membuat si wanita tak sanggup meredam tangisnya. Air matanya mengucur deras. Isakannya lolos dengan mudah meskipun mulutnya telah dibekap. Sungguh, siapa pun yang melihatnya pasti akan prihatin.

“Apa aku udah nyakitin kamu banget, Gi? Kenapa kamu tega banget mempermalukan aku di hadapan perempuan itu? Apa aku udah seenggak berharga itu di mata kamu?” racaunya sambil terisak pilu.

Berbanding terbalik dengan keadaan si tamu, di kamar, Afi mengembuskan napas lega sampai mengurut dada. Egi tak lagi mendekapnya mesra. Dia berdiri di tengah kamar, berusaha menormalkan siklus pernapasan.

Sementara itu pada jarak satu meter ke depan, Egi justru memerhatikan Afi dengan kedua tangan menyatu di bawah dada. Senyum tipis masih melekat di bibirnya. Wanita itu masih menjadi objek hiburan tersendiri untuknya.

Sadar diperhatikan, Afi buru-buru mengendalikan diri. Dia berdeham dan menegakkan punggung. “Maaf. Saya enggak terbiasa akting,” jelasnya.

“Akting?” Egi membeo sambil memiringkan kepala ke kiri. Kedua alisnya yang tebal sempat terangkat rendah. Dia terdiam dalam ekspresi itu sampai beberapa detik sebelum akhirnya mengagguk-angguk mengerti.

Egi mengurai lipatan tangannya, lalu menyimpannya ke saku celana. Dia melangkah santai mendatangi Afi.

Sementara itu, Afi justru melangkah mundur beberapa kali. Pasalnya, pria itu terus melangkah tanpa jarak. Afi baru berhenti mundur saat salah satu tangan kekar itu merengkuh belakang pinggangnya, menarik tubuhnya hingga dadanya menabrak dada si pelaku.

Jantung yang semula beroperasi normal kini berpacu cepat lagi. Afi mengumpat dalam hati. Bagaimana mungkin dalam kurun waktu kurang dari 24 jam dia harus beberapa kali mengalami kegugupan hebat seperti ini? Dosa apa yang sudah diperbuat jantungnya hingga harus mendapat kesialan beruntun seperti saat ini?

Rupanya bukan hanya jantung yang mengalami kesialan, paru-parunya juga. Napasnya tertahan di rongga dada saat wajah pria itu mendekat ke telinganya dan membisikkan kata, “Thanks.”

Nada sensual dan deru napas yang menembus ke sela helaian rambutnya membuat darah Afi memanas. Tidak hanya itu, bulu halusnya pun merasa terganggu. Apalagi saat tangan di belakang pinggangnya berputar lembut. Tubuhnya kembali tegang.

Afi merasa bahwa pamannya sudah keterlaluan. Melampaui batas. Sentuhan fisik ini sudah masuk ke ranah pelecehan.

Sayangnya, ketika Afi berpikir ulang, muncul satu pertanyaan yang membuatnya ragu. Benarkah ini termasuk kategori pelecehan? Sejak awal, dia merasa nyaman meskipun gugup. Dia tidak melawan. Juga tidak memberontak. Dia justru menikmati.

Afi menyadari bahwa otak dan tubuhnya tidak selaras. Kewarasannya mengatakan bahwa hal ini tidak benar, harus dihentikan, harus dihindari. Namun, tubuhnya malah diam, menikmati semua tindakan Egi.

Jika Afi nekat dan bersikeras mengatakan hal ini adalah sebuah pelecehan, bukankah dia akan mempermalukan diri sendiri? Dia hanya akan terlihat seperti wanita bodoh yang suka menyalahkan pria. Dia bukan seorang yang menganut paham ‘wanita selalu benar’.

Afi berdeham dan menelan ludah sebagai upaya mengendalikan diri. “Saya ... boleh tanya sesuatu?”

Egi mengangguk-angguk. “Of course.”

“Perempuan tadi ... mantan, ‘kan?”

Egi mengangguk tanpa keraguan.

“Apa kamu ... enggak merasa keterlaluan?”

Egi mengembuskan napas seolah pertanyaan itu sulit dijawab. Namun, dia tidak menunjukkan kekesalan, kemarahan, atau ketidaknyamanan. Dia malah begitu berani membelai rambut dan memainkan poni Afi.

“Pembalasan memang sudah seharusnya keterlaluan, ‘kan?” tanyanya retoris. “Kalau enggak gitu, efek jeranya enggak ada.”

Tiga tahun yang lalu, Afi mengingat Tiara—wanita tadi—sebagai kekasih yang dikenalkan Egi kepada kakek dan neneknya. Afi masih ingat, momen itu terjadi saat tahun baru. Namun, setahun kemudian—tepatnya sebelum kepergian Egi ke Kalimantan—Afi mendengar kabar bahwa hubungan mereka kandas. Tidak ada yang tahu apa penyebabnya.

Afi tidak pernah peduli dengan asmara orang lain. Namun, melihat kejadian hari ini dia merasa sedikit terganggu.

Umumnya, jika hubungan antara pria dan wanita kandas, maka pihak wanitalah yang berubah menjadi pembenci. Hal itu terjadi karena mereka merasa menjadi satu-satunya orang yang tersakiti. Namun—dalam kasus Egi—Afi justru melihat kebalikannya. Egilah yang berubah menjadi sosok sarkastis. Meski tidak frontal, setiap kata dan nada yang terlontar dari mulutnya menyiratkan kebencian. Afi jadi penasaran, masalah apa yang sudah menghancurkan hubungan mereka dan membuat Egi merasa menjadi sosok yang perlu membalas dendam.

“Saya boleh tanya satu hal lagi?” Afi merasa perlu meminta izin. Apalagi topik yang ingin diangkat teramat sensitif.

Tidak seperti sebelumnya, kali ini Egi menggeleng tanpa pikir panjang. “Feeling saya enggak enak. Pertanyaan kamu kayaknya bisa ngancurin mood saya.”

Bibir Afi langsung terkatup. Penolakan Egi tidak hanya membuatnya malu, tapi juga merasa bersalah. Dia merasa sudah terlalu lancang memasuki privacy orang.

“Saya baru pulang dari perjalanan jauh. Kamu juga pasti capek, ‘kan? So, lebih baik kita tidur sebentar sebelum dinner.”

Jika Egi menutup ucapannya dengan senyuman tipis, Afi justru melebarkan mata. “Kita?” beonya seolah kata itu benar-benar asing dan kurang pantas.

Detik berikutnya, Afi mendesiskan umpatan saat teringat ucapan abangnya. Beberapa jam yang lalu, mereka berkeliling melihat-lihat rumah ini. Ketika itu, Dian berkata, “Rumah ini emang gede, tapi kamarnya sedikit.”

Ucapan Dian bukan bualan belaka. Rumah sebesar Istana Disney ini nyatanya memang hanya memiliki dua kamar; satu di lantai bawah, dan sisanya di lantai dua.

Jika kamar bawah sudah ditempati Tiara, Afi tidur di mana?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status