Egi dan Afi berjalan bersisian menuju ruang tamu. Keduanya sama-sama diam. Bedanya, Afi menatap lurus ke depan, sedangkan Egi menengok lurus ke samping. Tepatnya, Egi sedang memandang keponakannya. Namun, jenis tatapannya bukan memuja, melainkan tanda tanya.
Sadar dipandangi, Afi pun merasa risi. Meski begitu, dia tidak menampakkan sikap kikuk. Tanpa menoleh dia bertanya tenang, “Kenapa, sih? Saya cantik banget, ya?”
“Biasa aja.” Egi menolak jujur. Namun, dia enggan merotasi kepala dan memindahkan poros pandangannya.
“Terus, kenapa melototin saya terus?”
“Saya enggak melotot. Biasa aja.”
“To the point aja. Kamu mau ngomong apa?” Afi berhenti dan merotasikan tubuh menghadap Egi.
Melakukan hal serupa, Egi menelengkan kepala dan menggumam panjang. “Kalau saya enggak salah ingat, kemarin kamu bilang enggak doyan makanan apa pun, apalagi yang berbahan ikan. Benar enggak?”
Afi mengangguk. “Kamu bingung kenapa saya mau makan pempek?” teba
Suasana di rumah ruang tamu mendadak hening. Afi menjadi pusat perhatian karena menunduk terlalu dalam.“Kenapa diam?” tanyanya. Wanita itu membunuh keheningan dalam keadaan menunduk.Berhubung tidak ada jawaban, Afi berupaya keras menormalkan ekspresi wajahnya. Dia juga tidak lupa memasang senyum terbaik sebelum mendongak.“Lanjutkan aja. Saya enggak apa-apa,” ucapnya seolah baik-baik saja.Egi tidak bodoh. Dia paham betul bahwa Afi berbohong. Binar mata yang menyiratkan luka itu membuatnya dirundung perasaan bersalah.Ingin rasanya Egi berlutut pada detik itu juga. Memohon maaf dan meluruskan maksud yang sebenarnya. Namun, egonya terlalu tinggi. Menistakan harga diri di depan mantan yang pernah menyakiti bukanlah pilihan satu-satunya. Egi memilih untuk melanjutkan misinya mengusir Tiara.“Baju-baju kamu sudah dikemasi. Cek aja. Siapa tau ada yang belum dimasukkan,” ucapnya dingin.Tidak ada lagi n
Hanya mengenakan pakaian dalam, Afi berdiri di bawah guyuran air shower. Dia menikmati aktivitas ini dalam diam. Dia menyukai suara pantulan air yang menghantam tubuh dan lantai.Sayangnya, ketenangan yang dirasakan Afi tidak bertahan lama. Semuanya raib dalam sekejap ketika seseorang membuka pintu tanpa permisi. Afi refleks memekik terkejut dan menutupi badan sebisa mungkin menggunakan tangan.“Ups! Kaget, ya?”Tidak ada ekspresi bersalah. Justru pria yang baru masuk dan mengunci pintu itu melenggang tenang sambil tersenyum.“Ngapain ke sini?” tanya Afi dengan mata melotot. Langkahnya bergerak mundur ke sudut kamar mandi. Dia masih berusaha menutupi badan yang setengah telanjang.“Ngapain lagi? Ya, mandi, lah.” Egi menjawab sambil membuka kancing kemeja.“Hah?”Afi semakin terbelalak. Bola matanya seakan hendak melompat dari kelopak yang sempit itu.“Pakai kamar mandi di bawah, ‘kan, bisa. Kenapa harus di sini? Saya belum se
Masih mengenakan bathrobe dan rambut yang basah, Afi menuruni tangga sebelah kanan. Langkahnya tergesa-gesa. Beberapa kali dia nyaris tergelincir karena kakinya yang basah tidak memakai alas.“Tadi aku dengar suara kayak benda jatuh. Ada apa?” tanya Tiara dari bawah tangga. Sebenarnya dia sudah keluar sejak mendengar suara itu. Dia bahkan yakin bahwa suara itu berasal dari kamar Egi. Dia tidak kembali keluar, menunggu sampai ada seseorang yang keluar dari kamar atas.“Egi kepeleset di kamar mandi,” jawab Afi. Dia masih di pertengahan tangga.“Hah? Kok, bisa?” Tiara ikut panik. “Terus gimana keadaannya?”“Kamu bisa cek sendiri. Saya mau cariin obat dan tukang urut dulu,” kata Afi sambil berlalu menuju dapur. Dia tidak berhenti sedetik pun, barang untuk berbicara dengan Tiara. Sementara itu, Tiara pun bergegas ke lantai atas tanpa bertanya lebih lanjut.“Bu Ani!” Afi memanggil pa
Afi menggendong kardus paket ke kamar. Ketika membuka pintu dia terpegun melihat Egi duduk bersila dengan muka mengeras. Kedua tangannya mengepal di atas paha. Sorot tajam yang menghunus ke arahnya membuat Afi gemetaran.Apa yang membuat mata itu menyiratkan amarah? Apakah Afi berbuat salah?“Masuk!” titahnya dingin.Tersugesti, Afi langsung menutup pintu dan mendatangi pria itu. Dia meletakkan kardus paket di atas nakas, lalu duduk perlahan di bibir ranjang. Sepanjang pergerakannya, mata itu terus mengekorinya dengan ketajaman yang sama.“Masih sa--”“Selain kamu, Bu Ani, dan Bu Yati, saya enggak pernah kasih izin perempuan mana pun masuk kamar ini.” Egi memotong tegas. Sorot matanya belum melembut.Kini Afi menelan ludah. Dia sudah menyadari inti kesalahannya.Sekarang permasalahannya adalah bagaimana cara meminta maaf kepada Egi? Apakah pria itu akan memaafkannya dengan mudah? Melihat sorot kemar
Rupanya Egi tidak bercanda. Dia menyuruh Afi memakai HP-nya dan menelepon seorang wanita bernama Maddam Jane.Jelas, pada awalnya Afi menolak keras. Dia bertanya, “Kenapa bukan kamu aja yang telepon sendiri? Nomornya, ‘kan, udah ada.”Egi pun berkilah kalau jempolnya keseleo sehingga sulit menggulir layar HP. Kemudian Afi mengusulkan akan membantu mencarikan kontak Maddam Jane, tapi harus Egi sendiri yang bicara. Lagi-lagi Egi menolak. Dia malas berbicara.Pada akhirnya Afi luluh. Apalagi saat Egi mengaku sudah tidak tahan lagi. Daripada menjadi korban, Afi merelakan nama baiknya hancur karena berurusan dengan gigolo.“Hai, handsome! How are you? Lama enggak telepon Maddam. Gimana-gimana? Mau booking Maddam atau gadis-gadis Maddam yang kinclong? Maddam punya ‘intan’ baru, loh. Masih ‘ting-ting’. Buat kamu, Maddam kasih diskon 40%. Kebetulan malam ini dia tugas perdana. Mau coba?”A
Bibir tipis dengan rona merah muda itu terkatup rapat. Kerongkongannya bergerak menelan liur yang terasa kasat. Semua kosa kata yang tertabung dalam otaknya raib. Lenyap entah ke mana. “Gini, ya, cantik. Kalau misalkan kamu takut pregnant, coba kenalan sama yang namanya pil atau suntik KB. Dijamin aman. LagipulaEgi itu pemain andal. Dia selalu pakai pengaman. Kalau enggak, dia pasti ngeluarin di luar,” papar Jane. Masih dalam sambungan telepon. Soal KB, Afi tidak perlu berkenalan. Obat semacam itu sudah sering berlalu-lalang di telinganya. Dia tahu betul apa fungsinya. Namun, tidak pernah terlintas di pikirannya untuk menggunakan obat semacam itu. Sekarang Afi paham, momok menakutkan apa yang membuatnya enggan berhubungan badan. Ini bukan soal kehamilan. Apalagi adat-istiadat. Ini perkara kesetiaan. Dia takut ditinggalkan ketika hatinya mulai terikat. “Kamu enggak perlu cemas soal pengetahuan. Egi itu jam terbangnya udah tinggi. Dia pasti bakal
“Maaf, ya, Mbak. Wa Jenggot, tuh, termasuk orang tua yang masih menjunjung tinggi adat istiadat dan norma agama. Laki-laki dan perempuan yang bukan siapa-siapa yang enggak boleh tinggal seatap. Apalagi tidur sekamar. Jadi, saya terpaksa bilang kalian suami-istri supaya dia enggak sewot,” papar Ani ketika Afi mendatangi dapur.Wanita itu baru saja berganti pakaian. Untungnya pakaian kemarin yang sudah dicuci masih tersimpan di ruangan khusus tempat penampungan pakaian bersih yang akan disetrika. Afi jadi tidak perlu kembali ke kamar untuk mengambil pakaian.Sebenarnya Afi sudah melupakan ucapan Ani di kamar. Dia ke dapur hanya untuk mengambil air putih. Haus.“Emmm, sebenarnya tadi saya juga bingung, sih, mau jawab apa.” Afi memindahkan kursi di meja makan ke kitchen island. Dia duduk di sana supaya lebih dekat dengan Ani dan Yati yang sedang berkutat dengan peralatan masak.“Kalau Bu Ani enggak bantu jawab, mungkin saya bakal
Kala itu, langit masih gelap. Lampu di setiap rumah dan jalanan masih menyala. Kendaraan pun masih sepi meskipun ada beberapa yang melibas dalam kecepatan tinggi. Namun, dua orang wanita yang mengenakan kapucong tengah berlari teratur di trotoar.“Kamu kerja di mana?” Wanita yang mengenakan hoodie merah muda bergambar minnie mouse bertanya kepada wanita di belakangnya. Setiap kata yang terucap dari bibirnya berkejaran dengan napasnya.“Rumah sakit. Bagian IT,” jawab wanita ber-hoodie putih polos. Pertukaran napasnya terdengar begitu payah. Bahkan orang yang mendengarnya saja dapat mengetahui, seberapa tipis stok oksigen yang tersisa dalam paru-parunya.Rupanya bukan hanya napasnya yang begitu sumbang, langkah kakinya pun tinggal menunggu waktu untuk tumbang. Kaki itu mengayun lambat. Terlihat berat. Bahkan terkadang doyong ke kiri dan kanan. Nyaris kehilangan keseimbangan.“Jabatannya? Masih staf?” tanya wanita itu lagi