"Gendis masih di kamarnya ya, Mbok?"
Mbok Lasmi, asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja di keluarga Raharjo itu pun mengangguk pelan. Bibirnya terasa kelu untuk sekedar menjawab pertanyaan dari majikannya tersebut. Namun, rasanya ia juga tak mungkin terus berdiam diri.
"Anu, Bu. Non Gendis nggak mau makan sejak kemarin," beritahu Mbok Lasmi pelan.
Fatma yang tengah mengambil nasi menghentikan gerakannya. Perempuan itu menoleh dan menatap perempuan tua itu dengan intens seolah mencari kebenaran dari ucapan Mbok Lasmi. Sayangnya, melihat tingkah Mbok Lasmi yang sedikit menundukkan kepalanya membuat Fatma menyimpulkan jika dia tidak berbohong.
Lagipula apa gunanya Mbok Lasmi berbohong padanya?
Oh, bisa saja Gendis sudah bekerjasama dengan Mbok Lasmi untuk menarik simpati darinya.
Namun, semua yang sempat terlintas di benaknya pun harus Fatma pupus saat melihat raut khawatir di wajah renta Mbok Lasmi.
Perempuan itu yang mengasuh Gendis dari kecil dan tentunya membuat hubungan keduanya sangat dekat. Bisa dikatakan kalau Mbok Lasmi sudah menganggap Gendis layaknyai cucunya sendiri.
"Nggak makan?"
Mbok Lasmi mengangguk kecil, "Betul, Bu. Non Gendis nggak mau makan meski saya sudah membujuk dan membuatkan makanan kesukaannya."
Fatma menghela napas panjang. Ia tak habis pikir dengan jalan pikiran Gendis. Ia pun tak menyangka jika anak gadisnya itu lebih memilih menyiksa dirinya sendiri karena masalah ini.
Merasa jika tugasnya sudah selesai, Mbok Lasmi pamit meninggalkan ruang makan. Masih banyak pekerjaan yang harus ia urus. Lagipula tugasnya memberitahu perihal Gendis yang melakukan aksi mogok makan pun sudah ia haturkan.
"Sepi amat ini rumah? Si sari tebu kemana, Ma?"
Suara Januar yang merupakan kakak dari Gendis menarik Fatma kembali pada realita. Anak sulung dari pasangan Setyo Raharjo dan Fatmala itu merasa heran saat tak ada suara riuh dari Gendis–yang sering ia panggil sari tebu.
"Tolong bujuk adikmu buat makan dong, Nu!" titah Fatma.
Janu menaikan sebelah alisnya. "Emangnya Gendis kenapa, Ma?"
"Udah deh, kamu bujuk aja dulu adikmu. Nanti Mama ceritain ke kamu."
Janu menyomot roti yang sudah ia olesi selai kacang lantas berdiri meninggalkan meja makan. Lelaki itu melenggang santai ke arah kamar Gendis di lantai dua. Meski seringnya mereka berlaku tak akur tapi Janu adalah orang pertama yang mementingkan perasaan Gendis dibandingkan dengan keluarga yang lain.
Tok... Tok... Tok
Janu mengetuk pintu kamar Gendis keras. Ia yakin jika adiknya itu pasti mengunci kamarnya saat ini. Kebiasaan yang Gendis lakukan ketika marah atau merajuk.
Gendis yang mendengar pintu kamarnya diketuk kembali merapatkan bantal yang ia gunakan untuk menutup telinganya. Biar, biar saja orang-orang kalang kabut membujuknya keluar kamar atau sekedar untuk makan.
Gendis tak peduli.
Toh, mamanya juga tak peduli pada perasaannya, kan?
Merasa tak ada gerakan dari dalam, Janu berjalan menuju kamarnya yang berada tepat di samping kamar Gendis. Lelaki itu mencoba membuka pintu yang menghubungkan kamar Gendis dengan kamarnya.
"Dasar, dari dulu nggak pernah pinter-pinter," gumam Janu saat berhasil membuka pintu tersebut.
Janu mendengkus pelan saat melihat Gendis masih bergelung dengan selimut tebalnya. Karena sifatnya yang jahil membuat Janu memiliki ide untuk....
Sreettttt....
"Heh, sari tebu."
Gendis terlonjak saat mendengar suara yang begitu nyata berada di kamarnya. Pun dengan selimutnya yang sudah ditarik paksa oleh Janu tergeletak tak berdaya di atas lantai.
"Abang!"
Melihat raut kesal Gendis seketika menghadirkan kekehan pelan dari Janu. Adik satu-satunya itu terlihat menggemaskan dengan hidungnya yang kembang-kempis.
"Kamu tuh ditunggu di meja makan dari tadi tau."
"Aku nggak mau makan!" Gendis kembali merebahkan tubuhnya dengan posisi menyamping.
"Nggak usah belagak deh, Dis," ujar Janu yang membuat Gendis mengeram kesal. "Kalau kamu sakit siapa yang repot coba? Semua orang, Dis."
"Masa bodo!" sentak Gendis galak, "Udah deh, Abang kalau mau makan, makan aja sana. Nggak usah pikirin Gendis."
Tak menyerah meski sudah diusir si empunya kamar, Janu ikut merebahkan tubuhnya di samping Gendis yang membelakanginya. Lelaki itu paling tak suka jika Gendis bersedih.
Gendis yang merasa ada pergerakan di belakangnya pun menoleh dan melotot tajam saat melihat kakaknya berada di atas kasurnya.
"Iih, Abang! Kok malah ikut tiduran sih?" salak Gendis sambil mendorong Janu agar beranjak dari ranjangnya, "Gendis lagi nggak mau diganggu, Bang. Abang keluar sana deh!"
Apakah Janu akan menurut?
Tentu saja tidak.
Lelaki itu tetap memaku di atas tempat tidur Gendis. Matanya menatap langit-langit kamar yang didominasi dengan warna biru itu.
"Abang nggak tahu apa yang terjadi sama kamu. Tapi kamu juga nggak seharusnya nyiksa diri sendiri kayak gini, Dis." Janu berkata dengan lembut, "kalau kamu nggak makan, emangnya kamu bakal kuat ngadepin masalahmu?
"Bahkan pura-pura bahagia aja juga butuh tenaga, kan?"
Gendis yang awalnya sedikit tersentuh dengan ucapan kakaknya seketika mendengkus saat mendengar kalimat terakhir Janu.
"Abang ke sini mau bujuk Gendis atau mau stand up comedy sih?"
"Kalau bisa dua-duanya kenapa harus milih salah satu?" balas Janu membuat Gendis memutar bola matanya malas.
Janu bangkit dari tidurnya dan duduk menghadap ke arah Gendis yang masih berbaring.
"Lagian kamu kenapa sih sampai pake acara mogok makan kayak gini? Childish tau nggak?" olok Janu.
Gendis mengerucutkan bibirnya sesaat setelah Janu mengatainya. Rasanya ia ingin marah, namun jika dipikir-pikir lagi ucapan Janu juga ada benarnya juga.
"Rasanya Gendis mau mati aja deh—ADUUHH, Abang! Kok Gendis disentil, sih?"
Gendis mengusap keningnya yang baru saja disentil oleh Janu dengan keras. Mungkin bisa saja akan meninggalkan bekas kemerahan nantinya.
"Itu hukuman buat kamu biar nggak ngomong sembarangan lagi, Sari Tebu."
"Tapi Gendis hidup pun juga nggak bakal bahagia, Bang." Mata Gendis mulai berkaca-kaca, "Mama nggak setuju kalau aku nikah sama Mas Gala dan Abang pasti tahu bahagiaku itu sama siapa, kan?"
Janu menghela napas pelan. Ia menangkup pipi Gendis dan menghapus air matanya yang sempat turun.
"Abang tahu hal ini pasti berat buat kamu. Tapi nggak seharusnya kamu kayak gini, Dis."
Gendis menggeleng pelan. Rasanya sudah tak ada lagi alasannya untuk tetap hidup. Ya, Gendis telah kehilangan arah dalam hidupnya. Ia tak tahu jalan mana yang harus ia lalui agar sampai di tempat tujuan yang bernama bahagia.
"Nggak semudah itu, Bang. Abang ngomong kayak gitu karena nggak pernah ngerasain ini," protes Gendis lagi, "Gendis punya mimpi untuk bersama Mas Gala tapi kalau mimpi itu dipatahkan untuk apa aku ada di sini?"
"Lebih baik Gendis nggak ada lagi di dunia ini kan, Bang?"
Pikiran Gendis baru saja dibutakan oleh cinta. Hingga akhirnya Gendis tercenung setelah mendengar jawaban dari Janu yang terasa begitu mencekam.
Janu mengangguk pelan, "Iya kamu bener. Tapi apa kamu rela kalau nanti Gala dapet pengganti kamu? Yang pasti juga jauh lebih segala-galanya dibanding kamu?"
"Gendis kok lama nggak main ke sini ya, Gal? Kalian lagi marahan ya?"Gala yang tengah memindah channel TV dengan asal mendongak dan seketika melihat Dea—mamanya berjalan ke arahnya. Perempuan itu membawa piring berisikan buah yang sudah ia potong kecil-kecil tuk kemudian bergabung dengan anak laki-lakinya.Usia Gala memang sudah dikatakan dewasa. Namun, jika sudah berdua dengan mamanya lelaki itu akan bersikap manja. Seperti saat ini, baru saja Dea mendudukkan tubuhnya Gala sudah merubah posisinya dan berbaring dengan paha sang mama yang ia jadikan bantal."Kami nggak lagi marahan kok, Ma." Gala memejamkan matanya saat Dea mengusap rambuh hitamnya dengan lembut. Kasih sayang seorang ibu yang begitu tulus sampai membuat Gala dulu memiliki cita-cita untuk mempunyai istri seperti mamanya.Selama mulai merasakan hubungan percintaan barulah dengan Gendis Gala bisa menemukan sosok yang ia cari. Perempuan mandiri, tidak banyak menuntut,
"Itu muka apa jemuran baru diangkat sih? Kusut amat," olok Angga yang baru saja masuk ke dalam ruangan Gala dan melihat raut sahabat sekaligus bosnya itu tampak muram.Jika sudah berbicara seperti ini, Angga sudah menanggalkan statusnya yang merupakan asisten Gala. Untuk kali ini lelaki berambut ikal itu menempatkan dirinya sebagai sabahat Gala.Dan sebagai sahabat yang baik tentu saja ia harus bisa menjadi tumpahan segala keluh kesah sahabat kita bukan?"Aku putus sama Gendis?"Uhuukk.. Uhuukk...Angga tersedak teh yang baru saja ia minum. Beruntung saja ia tak menyemburkan minuman itu ke wajah Gala. Bisa digantung di pohon tomat kalau hal itu sampai terjadi."Jorok banget sih, Ngga," omel Gala tak suka."Sorry, sorry, aku nggak sengaja."Angga menarik selembar tisu tuk kemudian ia usap di sekitar mulutnya. Namun, matanya tetap menelisik wajah Gala tuk mencari kebohongan yang mungkin saja di
"Kata Bang Janu kamu nggak mau makan. Emangnya kamu nggak sayang sama dirimu sendiri?" Dengan sabar, Gala menyuapi Gendis makanan kesukaannya—ayam fetucini. Lelaki itu membelinya di restoran langganan yang sering mereka kunjungi. Itupun tanpa Gendis yang meminta. Gala yang berinisiatif melakukan hal tersebut. Yah, Gala memang sepengertian itu orangnya. Gala selalu punya cara untuk menyenangkan hati Gendis. Meski perhatian sekecil membelikan makanan kesukaannya. "Aku sayang kok sama diriku sendiri," balas Gendis setelah menelan makanan di mulutnya. Seperti biasa, Gendis akan bersikap manja jika sudah bersama Gala. Terlebih lagi, keduanya sudah dia hari tanpa saling bertemu bahkan bertukar kabar secara intens. Sambil mengaduk nasi yang akan diberikan pada Gendis, Gala berkata, "Terus kenapa kamu nggak mau makan?" "Aku kepikiran kamu terus, Mas." Gendis menjawab tanpa ragu, perempuan itu seolah ingin
Gendis Ayu: Temenin aku minum yuk!Beberapa saat setelah pesannya terkirim, ponsel Gendis berdering dengan nyaring. Ia melirik ke arah layar yang menyala dan segera mengangkat panggilan telepon yang tak lain adalah dari Alea, sahabatnya."Kamu mau kan temenin aku minum? Aku yang traktir deh," cerocos Gendis tanpa mengucapkan salam terlebih dulu.Hal tersebut tentu saja membuat Alea diseberang sana kebingungan. Pasalnya, Gendis bukan tipe perempuan yang mau diajak ke tempat seperti itu. Kalaupun Gendis ke bar sekalipun itu pasti ada Gala yang akan menjaganya."Kamu lagi kenapa sih, Dis? Tumben banget ngajak minum?" tanya Alea menyuarakan rasa penasarannya."Udah, nanti aku ceritain deh. Aku yang bayar pokoknya, jadi kamu tenang aja—""Ini bukan soal kamu yang bayar atau nggak Dis." Alea menghela napas pelan, "kamu lagi ada masalah ya? Dan, emang harus banget sampai minum kayak gitu?"Gendis memutar bola ma
"Stop minumnya, Dis! Aku nggak mau jadi sasaran kemarahan mama sama kakak kamu kalau mabuk parah."Alea menahan tangan Gendis yang kembali mengangkat gelas minumannya. Entahlah, sudah berapa gelas minuman 'panas' itu masuk ke dalam tubuh Gendis. Alea sampai tak bisa menghitungnya.Namun, bukan berarti Alea hanya diam saja membiarkan sabahatnya menenggak minuman beralkohol itu. Ia sudah berusaha mencegah upaya Gendis yang selalu saja tak didengarkan oleh perempuan itu."Kamu tahu kan, Al, kalau aku itu cintaaaa banget sama Mas Gala," ujar Gendis melantur. Perempuan itu terkikik tuk kemudian menangis kecil, "Tapi hanya karena mama nggak kasih restu, Mas Gala langsung mundur begitu aja."Gendis merebahkan kepalanya pada meja di depannya. Kepalanya terasa pening akibat terlalu banyak minum. Meski ia termasuk orang yang memiliki toleransi besar terhadap minuman beralkohol. Tetapi malam ini Gendis akui jika ia sudah overload menyesap minuman 'panas'
"Tapi tidurnya sama kamu kan, Mas?"Ucapan Gendis layaknya godam yang menghantam kepala Gala. Ini salah, batinnya bergejolak.Tidak seharusnya Gala membawa Gendis ke apartemennya, di mana di apartemen tersebut tak ada orang lain selain... mereka berdua.Akan jadi apa jika mereka berada dalam satu ruangan yang sama meski yah, mereka sudah termasuk dalam kelompok orang dewasa.Di luar sana banyak sekali pasangan muda-mudi yang sudah tinggal satu atap tanpa adanya ikatan pernikahan. Terlebih sekarang banyak anak muda yang mengikuti tren negara barat yang membebaskan hal semacam itu.Ini di Indonesia, akan lebih baik jika kita tetap mengedepankan adab serta norma agama."Mas..."Gala tersentak saat tiba-tiba Gendis menyentuh wajahnya dengan lembut. Rupanya Gala terlalu larut dengan pikirannya."Ayo kita tidur," ajak Gendis setengah sadar, _perempuan itu semakin merapatkan tubuhnya dengan Gala. "A
Gendis memijat pelipisnya ketika pening begitu terasa menyiksa kepalanya. Dengan mata yang masih terpejam, perempuan itu tak tahu dimana dirinya berada saat ini.Minuman alkohol yang ia minum semalam mulai menunjukkan efeknya. Dan Gendis benci halal seperti ini.Ia yang memulai. Harusnya Gendis tahu resiko dari perbuatannya. Nyatanya, ia masih nekat menenggak minuman panas tersebut.Lalu jika sudah merasakan hangover seperti ini siapa yang patut disalahkan?"Duh, ini kenapa pusing banget sih?" gumam Gendis pelan, entahlah pada siapa pertanyaan itu ditujukan.Gendis mencoba meraba meja di samping ranjang tuk mencari minyak angin yang tak pernah pindah dari tempatnya. Saat tak kunjung menemukan apa yang ia cari, Gendis mulai membuka matanya perlahan.Lemari besar berwarna hitam menjadi banda pertama yang tertangkap oleh netranya. Saat itulah Gendis mulai sadar dan menemukan kejanggalan di kamar yang ia tempa
"Al, sebenarnya—" Alea langsung menarik Gendis masuk ke dalam apartemennya sesaat setelah ia membuka pintu. Gendis sampai terkejut karena perbuatan Alea yang tiba-tiba dan terkesan darurat tersebut. Padahal Gendis baru saja akan bertanya mengapa Alea menyuruhnya untuk segera ke The Hamilton tower—apartemen Alea yang berada di daerah Jakarta Selatan itu. Wajah Alea terlihat sedikit pucat. Napasnya pun juga terkesan ngos-ngosan. Gendis sempat berpikir apakah Alea baru saja selesai berolahraga. "Akhirnya kamu sampai tepat waktu, Dis," ujar Alea, wajahnya menyiratkan kelegaan. Gendis memutar bola matanya. Ia sedang tak bisa berpikir atau menebak hal apa yang sedang terjadi pada sahabatnya tersebut. "Sebenarnya ada apa sih, Al? Jangan bikin kepalaku pusing, deh!" salak Gendis kesal. Efek alkohol masih sedikit terasa di tubuh Gendis sehingga ia menjadi mudah sensi. Kepala pening dengan hidung yang