"Tapi tidurnya sama kamu kan, Mas?"
Ucapan Gendis layaknya godam yang menghantam kepala Gala. Ini salah, batinnya bergejolak.
Tidak seharusnya Gala membawa Gendis ke apartemennya, di mana di apartemen tersebut tak ada orang lain selain... mereka berdua.
Akan jadi apa jika mereka berada dalam satu ruangan yang sama meski yah, mereka sudah termasuk dalam kelompok orang dewasa.
Di luar sana banyak sekali pasangan muda-mudi yang sudah tinggal satu atap tanpa adanya ikatan pernikahan. Terlebih sekarang banyak anak muda yang mengikuti tren negara barat yang membebaskan hal semacam itu.
Ini di Indonesia, akan lebih baik jika kita tetap mengedepankan adab serta norma agama.
"Mas..."
Gala tersentak saat tiba-tiba Gendis menyentuh wajahnya dengan lembut. Rupanya Gala terlalu larut dengan pikirannya.
"Ayo kita tidur," ajak Gendis setengah sadar, _perempuan itu semakin merapatkan tubuhnya dengan Gala. "A
Gendis memijat pelipisnya ketika pening begitu terasa menyiksa kepalanya. Dengan mata yang masih terpejam, perempuan itu tak tahu dimana dirinya berada saat ini.Minuman alkohol yang ia minum semalam mulai menunjukkan efeknya. Dan Gendis benci halal seperti ini.Ia yang memulai. Harusnya Gendis tahu resiko dari perbuatannya. Nyatanya, ia masih nekat menenggak minuman panas tersebut.Lalu jika sudah merasakan hangover seperti ini siapa yang patut disalahkan?"Duh, ini kenapa pusing banget sih?" gumam Gendis pelan, entahlah pada siapa pertanyaan itu ditujukan.Gendis mencoba meraba meja di samping ranjang tuk mencari minyak angin yang tak pernah pindah dari tempatnya. Saat tak kunjung menemukan apa yang ia cari, Gendis mulai membuka matanya perlahan.Lemari besar berwarna hitam menjadi banda pertama yang tertangkap oleh netranya. Saat itulah Gendis mulai sadar dan menemukan kejanggalan di kamar yang ia tempa
"Al, sebenarnya—" Alea langsung menarik Gendis masuk ke dalam apartemennya sesaat setelah ia membuka pintu. Gendis sampai terkejut karena perbuatan Alea yang tiba-tiba dan terkesan darurat tersebut. Padahal Gendis baru saja akan bertanya mengapa Alea menyuruhnya untuk segera ke The Hamilton tower—apartemen Alea yang berada di daerah Jakarta Selatan itu. Wajah Alea terlihat sedikit pucat. Napasnya pun juga terkesan ngos-ngosan. Gendis sempat berpikir apakah Alea baru saja selesai berolahraga. "Akhirnya kamu sampai tepat waktu, Dis," ujar Alea, wajahnya menyiratkan kelegaan. Gendis memutar bola matanya. Ia sedang tak bisa berpikir atau menebak hal apa yang sedang terjadi pada sahabatnya tersebut. "Sebenarnya ada apa sih, Al? Jangan bikin kepalaku pusing, deh!" salak Gendis kesal. Efek alkohol masih sedikit terasa di tubuh Gendis sehingga ia menjadi mudah sensi. Kepala pening dengan hidung yang
Ada pepatah yang mengatakan bahwa akan ada pelangi setelah hujan. Gendis sempat percaya akan hal itu. Ia percaya jika duka yang ia alami akan menghadirkan bahagia di kemudian hari.Sayangnya, Gendis telah mengubah mindsetnya akal hal tersebut. Gendis yang masih berharap akan terbukanya pintu hati sang mama nyatanya harus mengubur asanya begitu saja.Semua tak lain dan tak bukan karena... sebuah perjodohan.Gendis masih tak percaya jika Fatma begitu tega memisahkan dirinya dengan Gala. Bahkan perempuan yang ia hormati tersebut telah menyiapkan 'hati lain' tempat untuknya singgah.Secepat itu?Rasanya tak mungkin jika Gendis bisa berpindah dari hati Gala ke hati laki-laki lain. Ia menjalin hubungan dengan Gala bukanlah hanya dalam hitungan jam.Dan sekarang, di depan Gendis telah ada sesosok laki-laki yang menatapnya dengan penuh minat."Lho, kok cuma diem-diem aja, sih?"Suara Fatma yang
Gendis adalah perempuan yang selalu bersemangat dalam melakukan segala hal. Terlebih lagi jika hal tersebut adalah kegiatan yang sangat ia senangi.Perempuan itu akan selalu menikmati waktu demi waktu dalam menjalani harinya. Bahkan dalam mengerjakan hal tersulit pun ia akan tetap berusaha menikmati setiap prosesnya.Sayangnya, semua itu berbeda di hari ini. Gendis terkesan malas. Ia seolah tak memiliki gairah untuk melanjutkan hidup. Jika bisa memilih, Gendis akan memilih berpusing-pusing ria dengan laporan keuangan Onilicius yang terkadang tidak sinkron."Kamu emang hobi banget bikin kue, ya?"Gendis melirik sekilas pada Jalu yang tangannya bergerak gesit memegang kemudi mobilnya. Berbeda dengan Gendis, lelaki itu malah terkesan sangat menikmati waktunya bersama Gendis saat ini."Hhmm, bisa dibilang begitu." Gendis menjawab dengan malas-malasan. Kepalanya menatap ke arah jalanan lewat kaca pintu di sampingnya.
Gala menerbitkan senyumnya kala ia masuk ke dalam apotek. Senyumnya terkesan biasa. Namun, karena wajahnya yang teduh nan rupawan, senyumnya yang biasa saja mampu membuat perempuan menjerit histeris.Lelaki itu memang ramah terhadap siapapun. Sering mengobral senyum bak tumpukan baju di keranjang diskonan. Gala adalah sosok laki-laki idaman sejuta perempuan.Sebenarnya Gendis beruntung menjadi kekasih Gala. Namun, itu dulu sebelum negara Api bernama restu Fatma merusak tatanan hatinya."Mbak, saya beli vitamin kayak di foto ini dong," kata Gala kepada seorang Apoteker.Perempuan itu masih menatap Gala tanpa berkedip. Gala sampai bingung dibuatnya. Adakah yang salah dengan penampilannya, batinnya dalam hati.Gala melambaikan tangannya ke arah penjaga apotek yang ia ketahui bernama Puri. Ya, Gala tentu saja tahu dari name tag yang tersemat di dada kanan perempuan itu."Halo, apa Mbak baik-baik aja?" tanya Ga
Ada yang hilang dalam diri Gendis. Semangatnya. Sudah sejak pertemuan tak sengaja dengan Gala ia mencoba menghubungi lelaki itu. Namun, tak ada satupun panggilannya diterima oleh Gala. Pun dengan rentetan pesan yang tanda ceklisnya masih berwarna abu-abu. Bukan tanpa alasan Gendis melakukan hal tersebut. Ia hanya ingin menjelaskan pada Gala jika apa yang Gala lihat bukanlah seperti apa yang Gala pikirkan. Gendis hanya ingin mengantisipasi kesalahpahaman meski hal tersebut tetap saja terjadi. Hidup Gendis kacau dalam satu kedipan mata. Padahal ia ingat betul bagaimana kemarin hubungannya dengan Gala masih baik-baik saja. "Cowok tadi siapa sih, Babe?" tanya Jalu penasaran. Lelaki itu menjadi sasaran kemarahan Gendis sebab sejak masuk mobil perempuan itu tak mau membuka suaranya. Jalu bisa melihat raut wajah Gendis yang berubah menjadi sendu nan murung. Ia tak buta akan hal tersebut. Maka
"Kemarin gimana? Gendis nggak bikin ulah, kan, Mas?" Senyum terbit di wajah Jalu ketika Fatma bertanya mengenai 'kencan' dadakan yang mereka lakukan tadi. Jalu kembali mengingat-ingat kejadian yang tak terduga hingga membuat perempuan bernama Gendis itu marah padanya. Sebenarnya Jalu tak mau ambil pusing dengan kemarahan Gendis. Toh, ia sudah mengantongi tiket emas tuk tetap bisa mendekati perempuan itu. Jalu memang berencana menginap di rumah Fatma atas permintaan perempuan itu sendiri. Katanya Fatma tak tega jika harus membiarkan Jalu langsung pulang ke Bandung. Ya, Jalu Satria memang berdomisili di Bandung. Kota yang juga disebut sebagai Paris Van Java itu adalah kota kelahirannya. Meski miliki aliran darah Sunda, namun jika di suruh menggunakan bahasa daerahnya Jalu akan angkat tangan. Aneh memang. Semua itu disebabkan karena sejak berada sekolah dasar hingga menaiki jenjang perkuliahan, Jalu berada di Jakarta. 
Gendis menatap bangunan di depannya dengan gamang. Perasaannya tak menentu. Akan tetapi ia juga tak mungkin terus berdiam diri dan membiarkan kesalahpahaman tetap membahana.Jika tak ia luruskan, Gendis takut jika Gala membenci dirinya. Bahkan ia takut kalau sampai lelaki itu meninggalkan dirinya.Dengan langkah pelan tapi pasti, Gendis mulai masuk ke dalam gedung yang merupakan kantor Gala. Senyumnya terbit ketika berpapasan dengan karyawan.Sudah menjadi rahasia umum jika Gendis adalah kekasih Gala. Tak heran jika banyak yang mengenal perempuan itu."Pagi, Bu."Gendis mengangguk seraya tersenyum tipis. Ia tengah menunggu di depan pintu lift dan beberapa pasang mata menatap ke arahnya secara terang-terangan.Meski demikian Gendis tak mau ambil pusing. Ia selalu bersikap masa bodoh dengan penilaian orang lain. .Pintu lift terbuka dan Gendis memutuskan untuk segera masuk. Perempuan itu menekan tombo