LOGINHari itu, rumah Opa terasa sunyi. Setelah kepulangan Jay, suasana seakan berubah menjadi hening, berbeda dari biasanya yang penuh gelak tawa dan canda keluarga.
Anaya duduk di ruang tamu, menatap jendela dengan mata yang sedikit sayu. Hatinya bergejolak, meski tidak ada yang menyadari pergolakan di dalam dirinya.
Raka, yang biasanya penuh perhatian dan selalu di sisinya, sedang sibuk di ruang kerja Opa, menyiapkan beberapa dokumen penting. Anaya tahu bahwa ia tidak boleh mengganggu Raka, tapi rasa resah terus menghantui pikirannya.
“Kenapa aku merasa nggak enak hati sendiri?” gumam Anaya, menunduk sambil menggenggam tangannya.
“Ini kan cuma kejadian sebentar… tapi kenapa hatiku terasa… begini?”
Opa yang sedang melewati ruang tamu, menghentikan langkahnya. Ia mengerutkan alis sambil mengamati cucunya.
“Anaya… kau kenapa? Wajahmu terlihat muram, padahal biasanya penuh canda.”
Anay
Sopir memacu mobil secepat mungkin, tangannya menggenggam kemudi sambil sesekali melempar pandang ke Anaya di kursi penumpang.Anaya tetap tenang, meski wajahnya memerah dan keringat membasahi dahi akibat kontraksi yang mulai terasa.“Pak… pelan aja, jangan ngebut. Debay jangan kaget,” Anaya berusaha tersenyum, meski mulutnya sedikit meringis.Raka menelan ludah, mencoba menenangkan diri.“Pak , cepetan dikit biar cepet sampai rumah sakit. Debay nggak usah deg-degan, papa juga deg-degan banget.”Bik Onah duduk di kursi belakang sambil menahan tas peralatan dan handuk hangat.“Pak Raka… tenang aja. Fokus ke jalan dulu. Bu Anaya juga butuh kita tenang.”Anaya menepuk lembut tangan Raka.“Mas… jangan pingsan ya… aku butuh kamu.”Raka tersenyum tegang, berusaha terlihat kuat.“Tenang, sayang… papa nggak bakal pingsan. Aku&he
Hari itu suasana rumah terasa tegang tapi juga penuh canda. Anaya sedang mondar-mandir di ruang tamu, berusaha melatih otot-otot tubuhnya menjelang HPL.Ia menatap Raka yang duduk di sofa dengan wajah pucat, tangannya masih memegangi perut.“Mas… serius deh. Kamu yang mules kayak gini, aku jadi panik beneran,” kata Anaya sambil menahan tawa.Raka menghela napas panjang.“Sayang… aku nggak ngerti. Aku ikut mules juga. Rasanya kayak ikut persalinan beneran. Debay… ini kamu bikin papa drama banget nih,” ujarnya sambil meringis.Anaya tertawa, tapi tiba-tiba, tubuhnya mengejang sedikit.“Mas… aduh… perut aku… aku juga mules!” teriaknya, sambil menahan rasa sakit yang tak terduga.Raka yang sedang menatapnya, langsung kaget.“Apa?! Sekarang kamu juga?! Oh, debay… jangan bikin kita berdua mules bareng gini!”Anaya menekuk tubuhnya
Hari itu, suasana rumah Raka–Anaya terasa berbeda dari biasanya. Anaya sudah memasuki HPL, hari-hari terakhir sebelum debay mereka lahir.Tubuhnya masih kuat, langkahnya mantap, dan ia terlihat santai meski perutnya makin membesar. Ia sengaja mondar-mandir di ruang tamu, latihan ringan untuk melatih otot jelang persalinan.“Sayang… kalau papa terus nemenin aku, debay bakal lahir sehat deh,” gumamnya sambil tersenyum, menepuk perut bulatnya.Raka duduk di sofa sebentar, mengamati Anaya dengan mata berbinar. Ia bangga melihat istrinya tetap tangguh.Tapi tiba-tiba ia merasa perutnya seperti ditekan gelombang yang aneh. Mules ringan yang ia rasakan beberapa hari terakhir meningkat drastis.Wajahnya memucat, dan keringat dingin mulai muncul di dahinya. Ia mencoba bangun, tapi langkahnya goyah.Anaya yang sedang mondar-mandir melihat suaminya menatap kosong sambil memegangi perut, panik.“Lho… mas, kok
Minggu itu suasana di rumah Raka–Anaya terasa berbeda.Anaya memasuki minggu-minggu terakhir sebelum HPL, tubuhnya mulai lelah, tapi tetap terlihat menawan.Perutnya yang membesar sudah mulai membuatnya lamban berjalan, tapi ia tetap semangat mengurus rumah kecil mereka.Raka yang biasanya selalu energik, tiba-tiba menjadi sosok yang tak biasa: ia sendiri yang kelihatan menderita.Seminggu terakhir, Raka merasakan mules yang luar biasa.Awalnya ia pikir cuma capek kerja atau salah makan, tapi sakit perutnya terus berulang dan semakin kuat.Setiap kali ia duduk di mejanya di kantor, wajahnya berubah pucat, menahan sakit. Ia mencoba tersenyum pada rekan-rekannya, tapi setiap kali memegang perut, ekspresinya jelas menunjukkan ketidaknyamanan.“Bro… kamu oke nggak?” tanya Reyhan, sahabat sekaligus rekan kerja Raka, sambil menatap Raka yang meringis di kursinya.Raka cuma menghela napas panjang, memegangi pe
Minggu itu, suasana rumah Raka dan Anaya terasa lebih hidup daripada biasanya. Perut Anaya yang semakin membulat membuat setiap langkahnya tampak lebih anggun sekaligus menggemaskan di mata Raka.Sore itu, mereka duduk berdua di sofa ruang keluarga, sementara sinar matahari lembut menembus tirai tipis, menciptakan atmosfer hangat yang pas untuk bercanda dan bersantai.Raka tak berhenti menatap perut istrinya dengan penuh kekaguman. Tangannya secara refleks meraih dan mengelus-elus perut itu, sambil menundukkan wajahnya dan berbisik pelan,Debay, jangan bikin mama capek ya. Biar papa aja yang capek.”Anaya mengerutkan alisnya sambil menahan tawa.“Capeknya apa, Mas? Emang papa ngapain tiap malam?”Raka pura-pura polos, menoleh sambil mengangkat bahu, lalu menjawab dengan suara rendah tapi penuh godaan,“Ya… ngitung detak jantung debay… kan penting buat papa tau kamu sehat.”Anaya menah
Malam itu suasana di rumah keluarga terasa hangat dan penuh tawa. Lampu ruang keluarga redup, hanya temaram dari lampu gantung klasik dan beberapa lilin aroma terapi yang menebar wangi lembut.Di sofa, Raka duduk menyamping, sambil menatap perut Anaya yang mulai menonjol. Anaya sendiri duduk bersandar, pipinya memerah karena baru saja digoda Raka tanpa ampun.Opa, yang duduk di kursi goyang dekat mereka, mengamati semua dengan senyum lebar. Ia sudah terbiasa melihat cucu dan menantunya mesra setiap malam, tapi malam ini rasanya lebih lucu daripada biasanya.“Kapan nih kasih Opa cicit banyak?” celoteh Opa sambil mengedip nakal.“Kamu berdua ini kok mesranya kayak abis nikah seminggu. Padahal sudah lama menikah, lho. Jangan bikin Opa nunggu tua, dong!”Raka yang duduk tegak, tersenyum lebar sambil menatap Anaya. Ia menepuk-nepuk perut istrinya pelan, kemudian menjawab dengan gaya santai tapi penuh percaya diri.“D







