LOGINRaka melangkah cepat memasuki ruang rawat, jantungnya berdetak kencang seperti sedang mengikuti lomba lari. Matanya langsung mencari sosok Anaya di ranjang rumah sakit.
Begitu melihat istrinya yang tampak lemah namun tetap menawan di selimut putih, dadanya langsung terasa sesak dengan perasaan campur aduk antara lega, bahagia, dan haru.
Ia menelan ludah beberapa kali, berusaha menenangkan napasnya yang tiba-tiba tak karuan.
“Anaya…” panggilnya lembut, tapi suaranya bergetar.
Anaya menoleh perlahan, matanya yang setengah terpejam langsung bersinar melihat Raka.
“Mas…?” suara lemah itu seperti musik yang menenangkan hati Raka.
Tanpa menunggu waktu, Raka melangkah mendekat dan langsung memeluk Anaya erat, hampir menindih tubuh istrinya.
Ia menunduk, menempelkan wajahnya ke pipi Anaya dan mulai menciumnya bertubi-tubi.
“Alhamdulillah, Allah menitipkan amanahnya kepada kita” Raka ham
Sore itu, cahaya matahari yang masuk melalui jendela kamar Anaya terasa hangat, namun suasana hatinya benar-benar berbeda.Ia duduk di tepi ranjang, wajahnya basah oleh air mata yang mengalir tak henti. Raka yang tadi masih di ruang tamu sedang membaca koran tiba-tiba mendengar suara isak tangis dari kamar mereka.“Sayang… kamu kenapa?!”Raka langsung berlari ke kamar, setengah panik, setengah takut. Begitu membuka pintu, pemandangan yang ia lihat langsung membuatnya terhenti sejenak. Anaya duduk dengan tubuh menunduk, tangan gemetar, dan wajah basah oleh air mata.Tanpa sadar, Anaya mulai melepas sebagian pakaiannya, membuka baju dan kemudian bra-nya.Raka hampir terjungkal ke belakang karena panik.“Astaga… kamu… kamu ngajak yang begituan di saat kamu nangis?!” teriaknya setengah panik, suaranya bergetar, napas terengah-engah.Anaya menoleh sebentar, wajahnya memerah, namun matanya tetap
Suasana sore itu tampak tenang di rumah Raka. Matahari mulai meredup, cahaya hangatnya menembus tirai, menciptakan bayangan lembut di ruang tamu.Raka duduk di sofa, menekuri layar ponsel sambil telponan dengan Reyhan, sahabatnya yang selalu bisa menenangkan hati dan memberi nasihat lucu soal rumah tangga.“Bro… kamu yakin mau mulai pilih nama bayi sekarang? Jangan keburu stres ya,” suara Reyhan terdengar dari speaker ponsel.“Hahaha… iya, tapi aku cuma pengen brainstorming aja. Lagian… Anaya kan lagi santai, nggak ribet soal ngidam, jadi aku pengen manfaatin momen ini,” jawab Raka sambil tersenyum, setengah menatap ponsel, setengah memperhatikan Anaya yang sedang duduk di kamar tidurnya.Namun, tiba-tiba, dari kamar terdengar suara jeritan nyaring.Seketika Raka menegang.“Apa itu?!” pikirnya sambil berdiri, ponsel masih di tangan.Suara itu… terdengar seperti Anaya kesakitan.“Sayang!!” Raka berteriak panik, meletakkan ponsel
Matahari mulai meninggi, menyinari rumah Raka dengan cahaya hangat.Suasana pagi itu terasa tenang, hanya terdengar bunyi burung dan sesekali tawa Opa yang lagi bercanda di ruang tamu.Raka duduk di sofa, menatap layar ponselnya dengan ekspresi setengah heran, setengah khawatir. Setelah beberapa hari memperhatikan Anaya yang tetap tenang tanpa ngidam apa-apa, rasa penasaran dan kekhawatirannya semakin memuncak.Akhirnya, dengan tangan gemetar tapi mantap, Raka menekan tombol panggilan.“Reyhan… aku butuh penjelasan serius nih,” gumamnya sendiri sebelum tersambung.Beberapa nada dering kemudian, suara sahabatnya yang ceria terdengar.“Halo Bro! Apa kabar? Lagi sibuk kerja, kan?”Raka menghela napas panjang, menegakkan badan di sofa.“Reyhan… serius nih… aku butuh jawaban. Anaya… istriku… kok trimester awal ini nggak ada ngidam sama sekali. Biasanya kan bumil itu&he
Suasana pagi itu di rumah Raka terasa hangat seperti biasa. Matahari menyusup lembut melalui jendela, menyorotkan cahaya hangat ke ruang tamu yang rapi dan penuh dengan aroma kopi segar.Anaya duduk di sofa dengan wajah datar, tangannya memegang cangkir teh hangat, matanya menatap kosong ke arah taman mini di halaman rumah.Raka masuk dari dapur sambil menghirup aroma teh dan kue pagi yang baru dipanggang. Wajahnya penuh ekspresi penasaran, tapi tetap terlihat segar dan penuh semangat.“Sayang… aku heran nih,” katanya sambil menaruh piring berisi kue di meja.“Kok kamu nggak ada ngidam sama sekali, sayang? Biasanya kan suka minta yang aneh-aneh… es krim sama asin, atau permen dengan saus sambal, gitu.”Anaya menoleh perlahan, wajahnya tetap datar tanpa perubahan ekspresi.“Nggak ada mas, biasa aja,” jawabnya singkat, lalu menyeruput teh dengan tenang.Raka mengerutkan alisnya. Ia duduk
Raka melangkah cepat memasuki ruang rawat, jantungnya berdetak kencang seperti sedang mengikuti lomba lari. Matanya langsung mencari sosok Anaya di ranjang rumah sakit.Begitu melihat istrinya yang tampak lemah namun tetap menawan di selimut putih, dadanya langsung terasa sesak dengan perasaan campur aduk antara lega, bahagia, dan haru.Ia menelan ludah beberapa kali, berusaha menenangkan napasnya yang tiba-tiba tak karuan.“Anaya…” panggilnya lembut, tapi suaranya bergetar.Anaya menoleh perlahan, matanya yang setengah terpejam langsung bersinar melihat Raka.“Mas…?” suara lemah itu seperti musik yang menenangkan hati Raka.Tanpa menunggu waktu, Raka melangkah mendekat dan langsung memeluk Anaya erat, hampir menindih tubuh istrinya.Ia menunduk, menempelkan wajahnya ke pipi Anaya dan mulai menciumnya bertubi-tubi.“Alhamdulillah, Allah menitipkan amanahnya kepada kita” Raka ham
Raka berdiri di sisi ranjang perawatan, matanya menatap Anaya yang masih duduk dengan lemah tapi tersenyum hangat.Tangannya menggenggam erat tangan Anaya, jantungnya berdebar tak karuan. Setelah dokter menyampaikan kabar bahagia itu Anaya hamil muda.Raka seketika mengalami gelombang emosi yang begitu luar biasa, campuran antara syok, tak percaya, bahagia, dan haru.Ia menundukkan kepala sebentar, menatap tangan Anaya yang kini terasa begitu berharga.“Sayang… benar-benar… kita… punya… bayi…” bisiknya dengan suara serak.Kata-kata itu nyaris tak mampu keluar dengan lancar, karena rasa bahagia yang terlalu besar seakan menekan dadanya.Anaya tersenyum tipis, menatap Raka, matanya bercahaya.“Iya… Mas… aku juga nggak nyangka… tapi aku senang… kita bakal jadi orang tua…”Raka mengangkat wajahnya, matanya berkaca-kaca, senyumnya merekah tak bisa dibendung. Ia bahkan tertawa pelan, terkejut sekaligus gembira.“Sayang…







