Sejak kejadian Opa keceplosan tentang pernikahan kontrak, suasana rumah besar itu tidak pernah sama lagi.
Raka lebih sering diam, Anaya sering pura-pura sibuk di dapur padahal cuma ngaduk-ngaduk es batu, dan Opa… ya, Opa tetap saja rusuh dengan gaya khasnya. Yang bikin keadaan makin rumit, Lara tiba-tiba jadi sering mampir. Alasannya sederhana, katanya ingin "silaturahmi" dengan Opa. Tapi Anaya tahu betul, tatapan Lara setiap kali masuk ke rumah itu selalu berlabuh ke satu orang, Raka. Hari itu sore, ruang tamu kembali ramai. Opa duduk di kursi empuk sambil ngemil kue kering. Lara datang dengan senyum anggun, membawa sekeranjang buah. “Ini buat Opa,” katanya ramah. “Ooh, terima kasih, Sayang!” Opa sumringah, menerima keranjang itu dengan hati berbunga. “Lihat tuh, Anaya, Lara ini mantan yang perhatian. Beda sama kamu yang kalau beliin Opa oleh-oleh paling cuma gKlinik kecantikan itu wangi banget, kayak campuran mawar, jeruk nipis, sama entah apa lagi.Anaya duduk manis di kursi pasien, sementara Raka di sampingnya kelihatan lebih mirip bodyguard daripada suami kontrak.“Gimana dok, kulit saya sehat kan, nggak masalah sama kulit gosong saya?” Anaya tersenyum, matanya berbinar penuh harapan.Dokter yang elegan dengan jas putihnya memeriksa wajah Anaya sebentar, lalu mengangguk.“Sehat kok, Mbak. Bagus malah. Cuma kalau mau glowing maksimal bisa coba laser.”Anaya melirik Raka dengan wajah penuh kemenangan,“Tuh kan, kulit aku sehat. Kamu suka nyindir aku pake skincare kebanyakan.”Raka nyengir sambil menyilangkan tangan.“Ya kan aku khawatir, jangan-jangan yang kamu olesin itu bahan kimia berbahaya. Ternyata sehat, syukurlah. Eh tapi laser tuh ngapain sih dok? Jangan-jangan istri saya ntar jadi lampu neon?”Dokternya sampai ketawa,
Matahari baru naik setengah lingkaran di langit timur. Rumah besar Opa Hartono mulai ramai dengan suara burung di halaman depan dan aroma kopi yang mengepul dari dapur. Suasana kamar Raka dan Anaya masih tenang, hanya terdengar suara lembut kipas angin yang berputar. Anaya masih di kamar, sibuk bercermin dengan wajah cemberut. “Aduh gosongnya masih ada. Mas Raka ini gimana sih, katanya aku cantik eksotis. Eksotis dari mana coba…” gumamnya sambil mendekat ke kaca. Sementara itu, di luar kamar, Raka baru saja turun dari lantai dua, masih dengan rambut sedikit acak karena habis mandi. Ia mengenakan kemeja biru muda, dan Jas biru dongker, terlihat lebih segar dibanding biasanya. Kopi hitam sudah di tangannya, tapi belum sempat ia seruput, Opa Hartono langsung mendekat dengan wajah penuh penasaran. “Rakaaa…” suara Opa menggoda, seperti wartawan yang mencium bau gosip. Raka yang masih setengah sadar langsung berhenti melangkah. “Ada apa Opa, aneg aja melihat ekspresinya
“Ya sudah, ntar mas anterin besok ya.” Suara Raka terdengar lembut. "Tapi...Mas nganterinnta nggak bisa pagi atau siang, mas banyak janji temu sama klien besok. Sore aja ya, sekalian pulangnya kita makan malam di luar.”Anaya yang tadinya menatap langit-langit kamar langsung menoleh. Mata bulatnya berbinar seperti anak kecil diberi permen.“Okeey… mas yang janji ya. Aku tungguin. Awas kalau mas lupa, aku ngambeg.”Raka mengangguk kecil.“Iya, janji. Sekalian kita makan enak besok. Kamu maunya ke mana?”“Terserah aja, yang penting seafood. yang bakarnya nggak pake gosong, nggak suka pait, cukup kulit aku aja yang gosong.”Raka tertawa pelan.“Dasar. Seafood aja sampe dikaitin ke kulit. dendem amat”“Ya kan trauma mas…”Anaya mengerucutkan bibirnya sambil memainkan ujung selimut.Suasana kembali hening. Hanya terdengar suara kipas angin berputar.Raka mulai hendak memejamkan m
Anaya masih saja duduk di tepi ranjang dengan wajah manyun. Sementara itu, Raka sudah rebahan, pura-pura memejamkan mata dengan napas yang dibuat-buat teratur. Anaya menatapnya curiga, bibirnya mengerucut kesal. “Mas…,” panggil Anaya pelan sambil menepuk pundaknya. Raka tetap diam. “Mas… jangan pura-pura tidur, ya. Aku tahu banget itu napas kamu napas pura-pura.” Raka masih menahan diri, nyaris tertawa. Anaya makin gemas, kini ia menepuk lebih keras. “Mas Raka! Jangan pura-pura bego deh. Nih, aku ngomong serius. Jangan pura-pura tidur, aku tahu kamu lagi acting!” Akhirnya Raka tak bisa menahan tawa kecilnya. “Hmmm, ada apa sih, Saset?” sahutnya dengan suara malas, seolah baru dibangunkan dari tidur nyenyak. Anaya langsung manyun, “Mas… nanti temenin aku ke dokter kulit, ya. Aku mau beli skincare buat ngilangin flek.” “Hmmm,” jawab Raka lagi. Anaya makin kesal. “Mas! Itu jawaban ‘hmmm’ artinya iya apa enggak, sih?” Raka membuka matanya, menoleh sebentar. “Bukannya ke do
Begitu mobil berhenti di halaman rumah Opa Hartono, Anaya langsung turun sambil mengibas-ngibaskan rambutnya yang masih ada sisa pasir.“Aduh, bau laut banget,” gumamnya.Raka terkekeh sambil menenteng tas kecil.“Ya iyalah, kita seharian di pantai. Kamu pikir bakal wangi bunga mawar?”Anaya manyun. “Pokoknya aku mau mandi dulu. Badanku lengket semua.”“Silakan, Saset. Nanti aku nyusul ”“Nyusul apaan! Jangan coba-coba masuk ke kamar mandi, Mas!”Anaya sudah mengacungkan jari telunjuknya dengan ekspresi mengancam.Raka hanya nyengir.“Ya kali aku mau ngajak mandi bareng.”“MAS!!!” Anaya melotot sebelum buru-buru lari masuk ke kamar.Raka hanya bisa tertawa keras melihat tingkahnya. “Astaga, bocah satu itu. Baru juga nyebut mandi, reaksinya udah kayak mau perang dunia ketiga.”Di dalam kamar mandi, Anaya be
Pantai sore itu seolah jadi saksi kegilaan pasangan kontrak paling aneh sejagat raya.Ombak datang silih berganti, angin laut meniup rambut Anaya yang makin berantakan, justru itulah yang membuatnya terlihat natural. Raka menatapnya lama, lalu tersenyum lebar.“Kenapa liat-liat begitu?” Anaya memicingkan mata.“Lagi ngecek, jangan-jangan Sasetku nyamar jadi duyung.” Raka menyeringai, nadanya penuh usil.Anaya mendengus.“Duyung dari mana? Jangan halu.”“Serius. Dari tadi kamu kelihatan beda. Lebih… cantik. Jangan-jangan kalau aku tengok ke belakang, ada ekor ikan nongol.” Raka menunjuk pasir di belakang Anaya.Anaya langsung menoleh refleks.“Mana?!”Begitu ia sadar dibohongi, ia menoleh cepat dengan wajah merah.“Massss Rakaaa!”Raka langsung ngakak sampai menepuk-nepuk paha.“Astaga, beneran kamu nengok. Ya A