LOGINSejak kejadian Opa keceplosan tentang pernikahan kontrak, suasana rumah besar itu tidak pernah sama lagi.
Raka lebih sering diam, Anaya sering pura-pura sibuk di dapur padahal cuma ngaduk-ngaduk es batu, dan Opa… ya, Opa tetap saja rusuh dengan gaya khasnya. Yang bikin keadaan makin rumit, Lara tiba-tiba jadi sering mampir. Alasannya sederhana, katanya ingin "silaturahmi" dengan Opa. Tapi Anaya tahu betul, tatapan Lara setiap kali masuk ke rumah itu selalu berlabuh ke satu orang, Raka. Hari itu sore, ruang tamu kembali ramai. Opa duduk di kursi empuk sambil ngemil kue kering. Lara datang dengan senyum anggun, membawa sekeranjang buah. “Ini buat Opa,” katanya ramah. “Ooh, terima kasih, Sayang!” Opa sumringah, menerima keranjang itu dengan hati berbunga. “Lihat tuh, Anaya, Lara ini mantan yang perhatian. Beda sama kamu yang kalau beliin Opa oleh-oleh paling cuma gRumah yang biasanya terasa lengang kini tampak hidup dan berwarna.Sejak pagi, Bik Onah dan beberapa staf rumah tangga sibuk menata bunga, menggantung balon warna pastel bertuliskan Welcome Baby Raya, serta menyiapkan kue kecil berbentuk botol susu.Begitu mobil Raka berhenti di depan gerbang, sorak sorai kecil terdengar dari dalam rumah.“Surpriseeee!” teriak semua orang serentak.Anaya yang masih duduk di kursi penumpang tersenyum haru. Di pangkuannya, bayi mungil yang baru berusia beberapa hari tidur pulas, dibalut kain lembut warna krem.Wajahnya tenang, mirip perpaduan antara Raka dan dirinya hidungnya mancung seperti sang ayah, tapi bibir mungil itu persis Anaya kecil.Raka menatap pemandangan itu dengan dada penuh rasa bangga. Ia turun duluan, membuka pintu untuk istrinya dengan hati-hati, lalu menunduk untuk menggendong Raya.“Pelan-pelan, ya. Princess kecil kita lagi mimpi indah.”
Ruang keluarga di rumah besar keluarga Hartono sore itu terasa lebih hidup dari biasanya.Tirai putih bergoyang lembut diterpa angin, dan aroma minyak telon bercampur wangi bunga melati memenuhi udara.Di tengah ruangan, Raya, bayi mungil yang baru beberapa hari lahir, menjadi pusat perhatian semua orang.Tentu saja, pemandangan paling mencolok adalah Raka yang mondar-mandir gelisah, sementara Opa Hartono duduk dengan ekspresi puas di kursi goyangnya menimang cicit kecilnya yang sudah tertidur pulas di pelukannya.Opa menggumam pelan, suaranya lembut seperti lullaby klasik.“Tidur ya, cicit cantikku… nanti Opi beliin permen banyak… eh, tapi belum boleh makan permen yaaa…”Raka menghela napas panjang, berusaha bersabar.“Opa, boleh gantian nggak? Udah satu jam lebih tuh Opa gendongnya.”Opa menatap tanpa rasa bersalah.“Baru juga sebentar. Nih an
Pagi baru saja merekah di langit Jakarta ketika aroma bunga segar memenuhi ruang rawat Anaya.Perawat baru saja datang mengganti vas mawar putih di meja sisi ranjang. Anaya masih terbaring santai sambil menatap lembut ke arah bayi mungil yang tertidur di pelukannya.Sementara itu, Raka sibuk menyiapkan botol susu kecil, walau wajahnya jelas memperlihatkan kepanikan level ayah baru.“Mas, tenang aja. Ini bayi, bukan bom waktu,” goda Anaya sambil menahan tawa.Raka menoleh panik.“Tapi yang, kamu yakin nggak apa-apa aku pegang? Tangan aku dingin banget nih!”“Mas, dia bayi kita, bukan bos besar,” jawab Anaya geli.“Coba deh, pelan-pelan aja, Mas.”Raka menarik napas dalam, menatap wajah mungil itu, lalu dengan hati-hati menggendong. Bayi kecilnya meringkuk di dada Raka, matanya setengah terbuka, menguap manis.Raka membeku. “Astaga, yang, dia nguap! Lucunya kebangetan!&
Pagi itu, sinar matahari menembus lembut jendela ruang rawat Anaya. Tirai putih bergoyang pelan tertiup angin pendingin ruangan.Suasana di kamar terasa damai aroma sabun bayi, suara langkah lembut perawat, dan dengkuran kecil dari bayi mungil di sisi ranjang.Raka duduk di kursi dekat tempat tidur, wajahnya masih tampak lelah tapi matanya memancarkan kebahagiaan yang sulit disembunyikan.Sejak semalam, ia belum berhenti menatap bayi kecil itu. Setiap kali si kecil menggeliat atau sekadar mengerjap mata, Raka tersenyum seperti baru melihat keajaiban dunia.Anaya membuka mata perlahan. Ia melihat Raka yang masih menatap penuh kasih, lalu tersenyum tipis.“Mas, udah dari tadi di situ?” tanyanya dengan suara serak.Raka menoleh, cepat-cepat berdiri.“Iya, Sayang. Aku nggak bisa tidur. Aku masih nggak percaya… kita udah punya bayi, Nay.”Anaya terkekeh pelan.“Percaya aja, Mas. Nih buktin
Tangisan nyaring memecah keheningan ruang bersalin. Suara itu melengking, murni, dan mengguncang seluruh dada Raka.Ia berdiri terpaku di sisi tempat tidur, wajahnya tegang, tangan bergetar, dan mata mulai berkaca. Saat suara tangis itu makin jelas, bibirnya bergetar pelan.“Anak kita, Sayang…” suaranya hampir tak terdengar.Anaya yang masih terbaring lemah hanya bisa tersenyum samar. Napasnya tersengal, tapi mata itu, mata seorang ibu baru bersinar lembut menatap arah suara.Ketika perawat mengangkat sosok kecil berselimut putih itu, air mata Anaya pun jatuh tanpa bisa ditahan.Raka menatap bayi mungil yang baru lahir dengan tatapan penuh takjub.Wajahnya seolah membeku di antara bahagia dan terharu. Begitu perawat menyerahkan bayi itu ke pangkuan Anaya, seakan seluruh dunia berhenti berputar.Bayi itu mungil sekali. Pipi bulatnya merah, bibirnya kecil seperti Anaya, dan alisnya tipis seperti milik Raka.Tan
Suasana di rumah sakit pagi itu terasa menegangkan sekaligus lucu. Anaya dibawa masuk ke ruang bersalin dengan tenang, wajahnya sedikit tegang tapi masih bisa tersenyum.Di sisi lain, Raka justru tampak lebih panik daripada calon ibu yang akan melahirkan.“Mas, aku nggak apa-apa kok. Napas aja dulu. Nih, minum dulu biar nggak pucat kayak kain jemuran,” ujar Anaya di atas ranjang dorong sambil menepuk pelan pipi suaminya.Raka menelan ludah, tangannya gemetar saat membantu perawat mendorong tempat tidur.“Sayang, aku tuh nggak pucat, cuma… cuma refleks. Lihat kamu di ranjang itu rasanya kayak mau kehilangan separuh napas.”Perawat di samping mereka menahan tawa.“Tenang, Pak, yang mau melahirkan istrinya, bukan Bapaknya. Nanti kalau Bapaknya pingsan lagi, kami panggil dokter umum ya.”Raka hanya bisa nyengir lemah, tapi tetap menggenggam tangan Anaya erat.Saat pintu ruang bersalin terb







