Anaya berdiri di depan pintu kamar yang ditunjukkan Raka, matanya menyipit curiga.
Kamar itu besar, luas, bersih... tapi tetap saja, ...satu kamar, satu tempat tidur.
Dia harus berbagi dengan kadal buntung paling menyebalkan se-planet ini.
“Ini kamarnya,” ujar Raka santai sambil bersandar di pintu.
“Mulai malam besok, kita resmi jadi suami-istri. Setidaknya di mata Opa.”
Anaya melangkah masuk perlahan, lalu memutar badan sambil menunjuk ke tengah ranjang.
“Besok kita beli tali. Kita pasang di sini. Tengah-tengah. Pembatas. Garis demarkasi. Siapa yang lewat batas, kena sanksi.”
Raka menaikkan alis. “Serius amat. Kita nikah kontrak, bukan perang dunia.”
Anaya melipat tangan di dada. “Laki-laki itu pada dasarnya pencuri ulung. Bisa saja kamu tiba-tiba menerkam aku pas aku tidur.”
Raka terkekek.
“Halah, mana nafsu lihat kemasan saset kayak kamu.”
Matanya mengarah ke tubuh Anaya sekilas. “Itumu aja kecil… nggak selera.”
DEG.
Anaya melotot. “APA?! SIAPA BILANG?!”
Raka menyengir makin lebar. “Ya aku bilang lah. Mau siapa lagi?”
Anaya mendekat, wajahnya memerah. “Biar kecil, montok tahu! Berisi, padat terawat. Kamu aja yang buta!”
Raka tertawa geli. “Masa? Nggak percaya.”
Anaya nyaris meledak.
“Makanya jangan nilai-nilai milik orang lain! Saya merawatnya tahu, pakai body lotion mahal!”
Raka masih asyik menggoda. “Ih, kemasan saset aja bangga.”
“Sampai sini aku sabar!” teriak Anaya, lalu langsung menyerang Raka membabi buta mendorong, memukul pakai bantal, bahkan nyaris menampar.
Raka menahan dengan satu tangan, tapi karena Anaya terlalu semangat, mereka terpeleset dan jatuh ke atas tempat tidur.
Bruk!
Secara tidak sengaja, tangan Raka mendarat… tepat di atas buah pir gantung milik Anaya.
Keduanya membeku.
Sunyi. Hening. Canggung.
Raka masih terbaring, matanya melirik tangan yang secara tragis menangkup sesuatu yang seharusnya tidak disentuh.
“…Iya. Ukurannya ideal,” gumamnya pelan.
“Kadal Buntung Nggak Laku !!!”
Anaya langsung menjerit, wajah merah padam. Ia bangkit, menyingkirkan tangan Raka, lalu berlari keluar kamar dengan napas memburu dan emosi campur malu.
Pintu kamar dibanting.
Raka masih tergeletak di kasur. Tangannya masih mengambang di udara. Mukanya… salah tingkah luar biasa.
“Wah... bisa gawat ini...” bisiknya pelan.
Di luar kamar, Anaya bersumpah dalam hati
"Besok, tali pembatas itu harus langsung dipasang. Bahkan kalau perlu, pagar listrik.
**
Anaya pamit siang itu, langkahnya cepat dan kesal.
“Dasar kadal buntung nggak laku!” gerutunya sambil menghempaskan tas ke bahu.
Raka hanya menatap punggungnya yang menghilang di balik pintu, dan entah kenapa... ruang tamu yang tadi terasa ramai, kini kembali hening.
Hampa.
Baru tiga hari dia mengenal Anaya. dalam tiga hari itu pula, hidupnya yang biasanya tenang, rapi, dan membosankan... jadi berwarna.
Raka menarik napas panjang, lalu turun ke dapur, berniat mengambil air minum. Namun matanya terhenti pada satu benda yang tergeletak di atas sofa.
HP Pink dengan gantungan lucu.
Milik kemasan saset.
"Kenapa sih ini anak bisa seceroboh itu..." gumam Raka, lalu duduk dan mengambil ponsel itu.
Tak disangka, layar HP-nya tidak dikunci. Tanpa sandi. Tanpa fingerprint dan Tanpa Face ID.
"Yah... bukan salah gue kalau kebuka."
Raka membuka galeri. Di dalamnya, foto-foto Anaya memenuhi layar.
Ada Anaya selfie dengan pose duck face. Anaya lagi di kampus. Anaya nyoba pakai toga dan Anaya dengan kucing oranye serta Anaya ketawa lepas bersama teman-teman kampusnya.
Cantik. Natural dan Bahagia.
Entah dorongan dari mana, Raka menyentuh satu foto, Anaya duduk di bawah pohon sakura mini di taman kampusnya dan mengirimnya ke HP-nya sendiri.
Lalu dia menyimpan nomor Anaya di kontak dengan nama
"Istri Tersayang ❤️"
Raka tertawa sendiri, terpingkal-pingkal.
“Gila. Baru juga tiga hari, rasanya kayak udah tiga musim…”
Di Rumah Orang Tua Anaya…
Anaya langsung masuk ke kamarnya dan membanting pintu. Ia mengempaskan tubuh ke kasur sambil menggerutu.
“Baru tiga hari kenal, udah ngajak nikah. Giliran ditolak, main gertak. Emang dasar kadal buntung nggak laku!”
Anaya mendengus kesal.
Besok, ia akan pindah ke rumah itu. Sekamar. Seranjang dengan "si nyebelin itu".
“Pokoknya aku taruh semprotan merica di bawah bantal! Harus siap siaga!”
***
Keesokan Harinya, di kantor KUA
Sesuai janji, mereka berdua datang ke KUA tepat waktu. Anaya dengan gamis putih polos dan ekspresi dingin. Raka dengan batik dan gaya setengah ogah.
Semua berjalan lancar. Tanda tangan, Ijab kabul dan…buku nikah sudah di tangan.
Orang tua Anaya menangis bahagia, Opa Hartono senyum sampai giginya nggak kelihatan.
“Akhirnya cucuku nikah juga... hidupku lengkap…”
Tapi Anaya hanya menunduk, hatinya… tidak benar-benar rela. Ini bukan pernikahan yang ia impikan.
“Katanya kontrak …” bisik Anaya dalam hati. “Tapi beneran dicatat di KUA… Nanti setelah tiga tahun, statusku jadi janda muda dong… di usia 25…”
Ia melamun, menatap buku nikah di tangannya, hingga suara Raka memecah lamunannya.
“Eh, Saset. Ngapain melamun? Ntar kesambet lho…”
Anaya mendelik. “Kamu yang kesambet!”
“Baru juga kenal 3 hari, udah ngajak nikah segala. Aku sebel tahu nggak!”
Raka terkekeh, lalu mendekat pelan.
“Kalau sebel, kenapa nggak kabur aja kemarin?”
Anaya menoleh, tatapannya tajam tapi tak menjawab. Karena jawaban jujurnya… ia sendiri tak tahu.
***
Malam minggu seharusnya jadi malam biasa, tapi tidak untuk Anaya, istri kontrak yang kini malah ikut suaminya nonton film romantis di bioskop.Awalnya, dia senang. Suaminya ngajak nonton? Itu kemajuan besar!“Mas, kita nonton film horor ya, biar kalau aku takut bisa pegangan,” kata Anaya sambil bercanda.Raka melirik, senyum miring.“Pegangan ke pundak aku?”“Enggak, Ke botol minum aja.”Mereka tertawa berdua, namun, begitu sampai di dalam bioskop, baru terjadi tragedi kecil yang tak terduga…“Mas... kursi kita di mana?”“E12 dan E13,” jawab Raka santai sambil melihat tiket elektronik di HP-nya.Saat sampai di deretan kursi... Anaya mengerutkan dahi. Hanya ada satu kursi kosong.Kursi di sebelahnya? Sudah diduduki pasangan yang sibuk main HP.“Mas... ini kenapa cuma satu?”“Tunggu bentar, aku tanya petugas...”Beberapa menit kemudian, Raka kembali. Wajahnya datar tapi sebal.“Kesalahan sistem. Mereka ngasih dua tiket tapi cuma ada satu kursi kosong. Harusnya kursi satunya nggak dijual
Setelah kembali dari Turki, hidup kembali ke rutinitas.Anaya kembali menjadi mahasiswi tingkat akhir yang sedang masuk fase penyusunan skripsi. Liburannya habis, realita menyambut dengan laptop, referensi jurnal, dan… begadang tak berkesudahan.Tengah MalamKamar mereka seperti kapal pecah. Kertas berserakan. Laptop terbuka. Kopi tumpah sedikit di sisi meja. Anaya tertidur sambil duduk. Masih memakai kacamata dan hoodie. Skrip skripsinya terhenti di paragraf ke-14.Raka pulang kerja, membuka pintu kamar, dan langsung... tertawa pelan.“Istriku ini bisa banget ngacak-ngacak kamar kayak abis syuting film perang.”Bukan kekacauan yang membuat Raka menatap lebih lama, tapi wajah Anaya yang lelah tapi tenang.Ia mendekat, pelan-pelan melepas kacamata dari wajah Anaya, memindahkannya ke tempat tidur.Lalu… ia membaca skripsi yang ditulis Anaya.“Hm... struktur ini bisa diperkuat. Narasinya bagus, tapi masih berantakan. Ini bisa diperbaiki.”Dibukanya laptop, dibacanya satu-satu, dan...Raka
Pagi itu, suasana rumah Opa Hartono kembali ramai dengan suara semangat yang nggak kira-kira.“Kalian mau bulan madu ke Turki! Tiket udah Opa siapin, hotel udah dipesan, koper tinggal angkut. Gimana? Senang nggak?”Opa Hartono menyeringai lebar sambil mengangkat dua lembar tiket pesawat. Anaya melongo, Raka mendesah.“Opa... kita nikahnya nikah kontrak lho, bukan ikut kuis jalan-jalan gratis.”“Ssst! Jangan rusak suasana!” Opa pura-pura nggak dengar.Di Kamar, setelah Semua RibutAnaya duduk di ranjang sambil menatap tiket yang sekarang sudah resmi di tangan mereka.“Mas…” katanya pelan.Raka menoleh. “Hm?”“Gimana kalau... tiket ini kita jual aja?”Raka nyaris keselek udara. “Apa?!”“Iya, kita bisa dapat duit lumayan! Terus tinggal pura-pura upload foto di Turki pakai AI, kan banyak sekarang…”Raka menggeleng pelan, lalu tertawa.“Kamu ini ya... yang paling semangat teriak ‘nikah kontrak’, tapi malah paling niat akalin semuanya.”“Lho, ini kan buat logistik rumah tangga. Kita realist
Malam itu, kamar pengantin baru... terasa seperti medan perang.Di tengah tempat tidur king size, terbentang tali rafia warna merah muda, dipasang rapi dari ujung kepala sampai kaki.“Inget ya, ini pembatas. Batas wilayah. Kalau kamu lewat ke zona aku, kamu kena sanksi,” tegas Anaya sambil menunjuk tali itu dengan tatapan waspada.Raka hanya melirik malas.“Oke, Bu Komandan.”Anaya menyiapkan selimut dan bantalnya sendiri, bahkan bawa guling tambahan dari rumah orangtuanya.Saat ia sibuk merapikan sisi ranjangnya, terdengar suara pintu kamar mandi terbuka.Anaya menoleh... dan langsung syok.Raka keluar dari kamar mandi hanya pakai celana training tanpa baju, rambut masih basah, dan... dia terlihat sangat santai.“APA NGGAK PUNYA MALU?!” teriak Anaya refleks, langsung menutup mata dengan tangan.Raka mengangkat alis. “Lho, ini rumahku. Kamarku. Masa ganti baju harus izin?”“KAMU ITU COWOK! Aku cewek! Kita baru kenal TIGA HARI! TIGA, Om! Bukan tiga tahun!”Raka terkekeh sambil mengambi
Anaya berdiri di depan pintu kamar yang ditunjukkan Raka, matanya menyipit curiga.Kamar itu besar, luas, bersih... tapi tetap saja, ...satu kamar, satu tempat tidur.Dia harus berbagi dengan kadal buntung paling menyebalkan se-planet ini.“Ini kamarnya,” ujar Raka santai sambil bersandar di pintu.“Mulai malam besok, kita resmi jadi suami-istri. Setidaknya di mata Opa.”Anaya melangkah masuk perlahan, lalu memutar badan sambil menunjuk ke tengah ranjang.“Besok kita beli tali. Kita pasang di sini. Tengah-tengah. Pembatas. Garis demarkasi. Siapa yang lewat batas, kena sanksi.”Raka menaikkan alis. “Serius amat. Kita nikah kontrak, bukan perang dunia.”Anaya melipat tangan di dada. “Laki-laki itu pada dasarnya pencuri ulung. Bisa saja kamu tiba-tiba menerkam aku pas aku tidur.”Raka terkekek.“Halah, mana nafsu lihat kemasan saset kayak kamu.”Matanya mengarah ke tubuh Anaya sekilas. “Itumu aja kecil… nggak selera.”DEG.Anaya melotot. “APA?! SIAPA BILANG?!”Raka menyengir makin lebar.
Jam di ponsel Anaya baru menunjukkan pukul 08.55 ketika ia sudah berdiri di depan pintu rumah mewah milik Raka atau yang lebih tepat, rumah Opa Hartono.“Dasar kadal buntung nggak laku,” gumamnya dalam hati sambil menekan bel.Tapi lima menit berlalu… dan belum juga ada yang keluar.Anaya mendesah, lalu melangkah masuk, memutuskan menunggu di ruang tamu yang luas dan dingin.Matanya tertumbuk pada sebuah kotak kaca kecil di sudut ruangan.Di dalamnya ada hewan kecil unik yang langsung menarik perhatiannya: seekor landak albino yang sedang memejamkan mata di tumpukan jerami.Anaya mendekat perlahan, penasaran.“Ah, durinya pasti tajam ya?” gumamnya sambil menyodorkan ujung jarinya ke kotak itu.Saat jarinya nyaris menyentuh duri landak, tiba-tiba pintu samping terbuka!“JARI!” teriak seseorang dari balik pintu, membuat Anaya terkejut dan spontan menarik jarinya.Tak disangka, yang muncul adalah Opa Hartono, yang langsung latah kaget.“Astaga! Kenapa bisa kesakitan? Biar Opa lihat!” kat