Malam itu, kamar pengantin baru... terasa seperti medan perang.
Di tengah tempat tidur king size, terbentang tali rafia warna merah muda, dipasang rapi dari ujung kepala sampai kaki.
“Inget ya, ini pembatas. Batas wilayah. Kalau kamu lewat ke zona aku, kamu kena sanksi,” tegas Anaya sambil menunjuk tali itu dengan tatapan waspada.
Raka hanya melirik malas.
“Oke, Bu Komandan.”
Anaya menyiapkan selimut dan bantalnya sendiri, bahkan bawa guling tambahan dari rumah orangtuanya.
Saat ia sibuk merapikan sisi ranjangnya, terdengar suara pintu kamar mandi terbuka.
Anaya menoleh... dan langsung syok.
Raka keluar dari kamar mandi hanya pakai celana training tanpa baju, rambut masih basah, dan... dia terlihat sangat santai.
“APA NGGAK PUNYA MALU?!” teriak Anaya refleks, langsung menutup mata dengan tangan.
Raka mengangkat alis. “Lho, ini rumahku. Kamarku. Masa ganti baju harus izin?”
“KAMU ITU COWOK! Aku cewek! Kita baru kenal TIGA HARI! TIGA, Om! Bukan tiga tahun!”
Raka terkekeh sambil mengambil kaus dari lemari dan memakainya pelan, santai banget seolah baru pulang futsal.
“Tenang aja, Saset. Aku bukan predator. Inget jangan panggil aku om, saset”
Anaya masih menutup matanya, ngomel sendiri.
“Dasar kadal buntung... menyebalkan, lagian kalau nggak pake baju jangan seenaknya... bikin aku kelimpungan begini... sana ..jadi was was mau tidur…”
Raka mendengar gerutuan itu dan makin senang menggoda. Ia mendekat ke sisi tali pembatas, lalu pura-pura menyentuhnya.
“Ups, hampir lewat garis batas…”
“COBA AJA! AKU SEMPROT KAMU PAKAI PARFUM BUNGA MELATI!”
Raka tertawa terpingkal-pingkal.
Setelah keributan kecil itu, mereka sama-sama berbaring. Suasana hening. Hanya suara kipas langit-langit yang berputar.
Raka memandangi langit-langit kamar, lalu melirik sedikit ke arah Anaya yang sedang membelakangi dia, berselimut sampai leher.
Ia menarik napas pelan.
“Wajar dia kaget. Baru tiga hari kenal, tiba-tiba harus sekamar. Aku aja pasti stres kalau jadi dia.”
Perbedaan usia mereka hampir sepuluh tahun. Anaya masih muda, idealis, dan penuh batas, sedangkan Raka... sudah kenyang ditodong Opa dengan pertanyaan, “kapan nikah.”
Anehnya, walau ia sudah beberapa kali dekat dengan lawan jenis, baru kali ini ia merasa… tenang.
Ada seseorang di kamar, Ada suara lain dan yang pasti ada... kehidupan.Raka menarik selimutnya sendiri.
“Nggak apa-apa, Aua. Kamu belum bisa nerima. Aku juga nggak maksa. Nikmatin aja pelan-pelan...”*
Lalu dengan nada menggoda, ia bersuara pelan.
“Eh, Saset…”
“Apa lagi?!”
“Besok kita beli guling tambahan lagi ya. Guling kamu keras banget, tanganku sampai kesemutan tadi.”
“ITU GULING AKU, KAMU NGAPAIN MEGANG?!”
“Ups.”
“KADAL BUNTUNG, TIDUR.....!!!”
***
Pagi pertama sebagai “istri kontrak” baru saja dimulai, dan sudah pusing tujuh keliling.
Baru bangun tidur, sudah disambut suara riang Opa Hartono dari ruang makan.
“Cucu Menantu yung cantik jelita! Hari ini masakin buat Opa dan suami yaa! Jangan cuma cantik, harus bisa ngurus Opa dan suami juga looo ”
Anaya hanya bisa meringis.
"Masak? Masakin buat kadal buntung itu? Gila... telur rebus aja kadang bisa meledak di tangan aku...*
Bik Onah ternyata masih cuti dua hari lagi, dan artinya... semua urusan dapur jatuh ke tangannya.
Di Dapur...
Anaya berdiri di depan kompor, berkutat dengan dua butir telur dan wajan panas. Setelah lima menit...
“...kok ini telur ceplok jadi gosong sebelah gini?! Hitam pula...”
Telur ceploknya gosong, putihnya keras, kuningnya lumer, tapi bukan lumer menggoda, malah lumer menghitam. Anaya melotot ke wajan.
“Huft... telor ceplok negro.”
Sementara itu, Raka muncul dengan kaus putih santai dan celana pendek, ngeloyor ke meja makan.
“Sarapan udah siap? Aku laper banget.”
Anaya ngedumel, “Makan sendiri gih, kadal buntung.”
“Heh, kamu yang masak, kamu yang nyuruh makan sendiri? Aneh.”
Anaya mendelik, lalu menoleh ke telur gosongnya yang menyeramkan.
Akhirnya, ia menghela napas dan terpaksa meminta bantuan.
“Kadal buntung… tolongin dong ini kenapa telurnya bisa jadi item begini.”
Raka duduk santai, memainkan sendok.
“Hm? Tadi kamu manggil aku apa?”
Anaya menggigit bibir bawah. Malu.
“Kadal buntung…”
“Nggak denger” jawab Raka dengan ekspresi polos.
Anaya menarik napas, lalu dengan suara pelan, setengah malu
“...Mas Raka… bantuin dong. Aku beneran nggak bisa.”
DEG.
Desiran aneh muncul di dada Raka. Panggilan itu... berbeda. Suara lembut Anaya, nada minta tolong, dan kata “Mas” di depan namanya membuat langkahnya refleks mendekat.
“Nah, gitu dong. Istriku manis banget kalo ngomong sopan,” godanya sambil berdiri di belakang Anaya, membantu mengambil alih wajan.
“Pertama, kecilin apinya dulu. Kamu ini kayak ngelawan naga, semua disetel maksimum.”
“Ya... siapa juga yang biasa masak?! Aku kuliah di jurusan hukum, bukan perhotelan!”
Raka cekikikan sambil memperbaiki ceplokan terakhir.
“Santai, Chef Saset. Hari ini kita belajar masak telur. Besok mungkin kamu bisa bikin rendang... atau bubur bayi.”
“BUBUR BAYI? MAKSUDNYA APA ITU?!”
Raka menahan tawa.
Rumah ini baru sehari ramai, tapi hatinya sudah tak ingin kembali ke sepi.
***
Malam minggu seharusnya jadi malam biasa, tapi tidak untuk Anaya, istri kontrak yang kini malah ikut suaminya nonton film romantis di bioskop.Awalnya, dia senang. Suaminya ngajak nonton? Itu kemajuan besar!“Mas, kita nonton film horor ya, biar kalau aku takut bisa pegangan,” kata Anaya sambil bercanda.Raka melirik, senyum miring.“Pegangan ke pundak aku?”“Enggak, Ke botol minum aja.”Mereka tertawa berdua, namun, begitu sampai di dalam bioskop, baru terjadi tragedi kecil yang tak terduga…“Mas... kursi kita di mana?”“E12 dan E13,” jawab Raka santai sambil melihat tiket elektronik di HP-nya.Saat sampai di deretan kursi... Anaya mengerutkan dahi. Hanya ada satu kursi kosong.Kursi di sebelahnya? Sudah diduduki pasangan yang sibuk main HP.“Mas... ini kenapa cuma satu?”“Tunggu bentar, aku tanya petugas...”Beberapa menit kemudian, Raka kembali. Wajahnya datar tapi sebal.“Kesalahan sistem. Mereka ngasih dua tiket tapi cuma ada satu kursi kosong. Harusnya kursi satunya nggak dijual
Setelah kembali dari Turki, hidup kembali ke rutinitas.Anaya kembali menjadi mahasiswi tingkat akhir yang sedang masuk fase penyusunan skripsi. Liburannya habis, realita menyambut dengan laptop, referensi jurnal, dan… begadang tak berkesudahan.Tengah MalamKamar mereka seperti kapal pecah. Kertas berserakan. Laptop terbuka. Kopi tumpah sedikit di sisi meja. Anaya tertidur sambil duduk. Masih memakai kacamata dan hoodie. Skrip skripsinya terhenti di paragraf ke-14.Raka pulang kerja, membuka pintu kamar, dan langsung... tertawa pelan.“Istriku ini bisa banget ngacak-ngacak kamar kayak abis syuting film perang.”Bukan kekacauan yang membuat Raka menatap lebih lama, tapi wajah Anaya yang lelah tapi tenang.Ia mendekat, pelan-pelan melepas kacamata dari wajah Anaya, memindahkannya ke tempat tidur.Lalu… ia membaca skripsi yang ditulis Anaya.“Hm... struktur ini bisa diperkuat. Narasinya bagus, tapi masih berantakan. Ini bisa diperbaiki.”Dibukanya laptop, dibacanya satu-satu, dan...Raka
Pagi itu, suasana rumah Opa Hartono kembali ramai dengan suara semangat yang nggak kira-kira.“Kalian mau bulan madu ke Turki! Tiket udah Opa siapin, hotel udah dipesan, koper tinggal angkut. Gimana? Senang nggak?”Opa Hartono menyeringai lebar sambil mengangkat dua lembar tiket pesawat. Anaya melongo, Raka mendesah.“Opa... kita nikahnya nikah kontrak lho, bukan ikut kuis jalan-jalan gratis.”“Ssst! Jangan rusak suasana!” Opa pura-pura nggak dengar.Di Kamar, setelah Semua RibutAnaya duduk di ranjang sambil menatap tiket yang sekarang sudah resmi di tangan mereka.“Mas…” katanya pelan.Raka menoleh. “Hm?”“Gimana kalau... tiket ini kita jual aja?”Raka nyaris keselek udara. “Apa?!”“Iya, kita bisa dapat duit lumayan! Terus tinggal pura-pura upload foto di Turki pakai AI, kan banyak sekarang…”Raka menggeleng pelan, lalu tertawa.“Kamu ini ya... yang paling semangat teriak ‘nikah kontrak’, tapi malah paling niat akalin semuanya.”“Lho, ini kan buat logistik rumah tangga. Kita realist
Malam itu, kamar pengantin baru... terasa seperti medan perang.Di tengah tempat tidur king size, terbentang tali rafia warna merah muda, dipasang rapi dari ujung kepala sampai kaki.“Inget ya, ini pembatas. Batas wilayah. Kalau kamu lewat ke zona aku, kamu kena sanksi,” tegas Anaya sambil menunjuk tali itu dengan tatapan waspada.Raka hanya melirik malas.“Oke, Bu Komandan.”Anaya menyiapkan selimut dan bantalnya sendiri, bahkan bawa guling tambahan dari rumah orangtuanya.Saat ia sibuk merapikan sisi ranjangnya, terdengar suara pintu kamar mandi terbuka.Anaya menoleh... dan langsung syok.Raka keluar dari kamar mandi hanya pakai celana training tanpa baju, rambut masih basah, dan... dia terlihat sangat santai.“APA NGGAK PUNYA MALU?!” teriak Anaya refleks, langsung menutup mata dengan tangan.Raka mengangkat alis. “Lho, ini rumahku. Kamarku. Masa ganti baju harus izin?”“KAMU ITU COWOK! Aku cewek! Kita baru kenal TIGA HARI! TIGA, Om! Bukan tiga tahun!”Raka terkekeh sambil mengambi
Anaya berdiri di depan pintu kamar yang ditunjukkan Raka, matanya menyipit curiga.Kamar itu besar, luas, bersih... tapi tetap saja, ...satu kamar, satu tempat tidur.Dia harus berbagi dengan kadal buntung paling menyebalkan se-planet ini.“Ini kamarnya,” ujar Raka santai sambil bersandar di pintu.“Mulai malam besok, kita resmi jadi suami-istri. Setidaknya di mata Opa.”Anaya melangkah masuk perlahan, lalu memutar badan sambil menunjuk ke tengah ranjang.“Besok kita beli tali. Kita pasang di sini. Tengah-tengah. Pembatas. Garis demarkasi. Siapa yang lewat batas, kena sanksi.”Raka menaikkan alis. “Serius amat. Kita nikah kontrak, bukan perang dunia.”Anaya melipat tangan di dada. “Laki-laki itu pada dasarnya pencuri ulung. Bisa saja kamu tiba-tiba menerkam aku pas aku tidur.”Raka terkekek.“Halah, mana nafsu lihat kemasan saset kayak kamu.”Matanya mengarah ke tubuh Anaya sekilas. “Itumu aja kecil… nggak selera.”DEG.Anaya melotot. “APA?! SIAPA BILANG?!”Raka menyengir makin lebar.
Jam di ponsel Anaya baru menunjukkan pukul 08.55 ketika ia sudah berdiri di depan pintu rumah mewah milik Raka atau yang lebih tepat, rumah Opa Hartono.“Dasar kadal buntung nggak laku,” gumamnya dalam hati sambil menekan bel.Tapi lima menit berlalu… dan belum juga ada yang keluar.Anaya mendesah, lalu melangkah masuk, memutuskan menunggu di ruang tamu yang luas dan dingin.Matanya tertumbuk pada sebuah kotak kaca kecil di sudut ruangan.Di dalamnya ada hewan kecil unik yang langsung menarik perhatiannya: seekor landak albino yang sedang memejamkan mata di tumpukan jerami.Anaya mendekat perlahan, penasaran.“Ah, durinya pasti tajam ya?” gumamnya sambil menyodorkan ujung jarinya ke kotak itu.Saat jarinya nyaris menyentuh duri landak, tiba-tiba pintu samping terbuka!“JARI!” teriak seseorang dari balik pintu, membuat Anaya terkejut dan spontan menarik jarinya.Tak disangka, yang muncul adalah Opa Hartono, yang langsung latah kaget.“Astaga! Kenapa bisa kesakitan? Biar Opa lihat!” kat