LOGINJam di ponsel Anaya baru menunjukkan pukul 08.55 WIB ketika ia sudah berdiri di depan pintu rumah mewah milik Raka atau lebih tepatnya, rumah Opa Hartono.
“Dasar kadal buntung nggak laku,” gumamnya dalam hati sambil menekan bel. Lima menit berlalu… dan belum juga ada yang keluar. Anaya mendesah, lalu melangkah masuk, memutuskan menunggu di ruang depan yang luas dan dingin. Matanya tertumbuk pada sebuah kotak kaca kecil di sudut ruangan. Di dalamnya ada hewan kecil unik yang langsung menarik perhatiannya: seekor landak albino yang sedang memejamkan mata di tumpukan jerami. Anaya mendekat perlahan, penasaran. “Ah, durinya pasti tajam ya?” gumamnya sambil menyodorkan ujung jarinya ke kotak itu. Saat jarinya nyaris menyentuh duri landak, tiba-tiba pintu samping terbuka! “JARI!” teriak seseorang dari balik pintu, membuat Anaya terkejut dan spontan menarik jarinya. Tak disangka, yang muncul adalah Opa Hartono, yang langsung latah kaget. “Astaga! Kenapa bisa kesakitan? Biar Opa lihat!” katanya sambil meraih tangan Anaya. Namun belum sempat Opa benar-benar memeriksa, terdengar suara berat dari tangga lantai atas. “DASAR AKI-AKI MESUM DOYAN DAUN MUDA!” teriak Raka dengan nada nyeleneh penuh candaan. Anaya terperangah. Raka baru saja turun dari lantai atas, ekspresinya campuran marah dan geli. Opa membeku, tangannya masih menggenggam tangan Anaya, wajah polosnya berubah jadi ‘kambing kesandung’ karena dimarahin cucunya. Anaya cuma bisa menahan tawa, merasa seperti masuk ke sebuah drama keluarga yang penuh warna. Raka mengambil tisu dan cairan antiseptik dari meja kecil. Dengan gerakan cekatan, dia mulai membersihkan luka di jari Anaya. “Eh, kemasan saset,” katanya sambil tetap fokus mengobati, “Kamu tanda tangani kontrak ini, Opa yang jadi saksinya.” Anaya langsung memalingkan muka, matanya menyipit. “Namaku Anaya, bukan saset.” Raka mengangkat alis, nyaris tersenyum. “Kalau kamu bete, nggak usah pedulikan.” Anaya meneguk napas dalam-dalam. Raka sudah menaruh dokumen kontrak di meja. “Baca dulu sebelum tanda tangan,” katanya santai. Dengan hati-hati, Anaya mulai membaca satu per satu isi kontrak itu. Wajahnya berubah dari penasaran jadi terkejut. Kontrak itu tampak sangat menguntungkan Raka. hak dan kewajibannya hampir tanpa batas. Sedangkan Anaya harus tunduk pada banyak aturan, mulai dari penampilan di depan keluarga hingga ‘larangan’ bersikap terlalu mesra kecuali disepakati bersama. Anaya langsung merapatkan bibir., sejurus kemudian dia menunjukkan reaksinya. “Ini nggak adil!” protesnya keras. “Aku tidak mau dipaksa untuk terlihat mesra di depan keluarga atau siapa pun!” Raka menatapnya dengan setengah senyum menyindir. “Huh, kalau kamu mau nikah sama aki-aki tua yang bau minyak angin itu, ya silakan.” Anaya melotot. “Aku mau kita jalanin ini dengan cara masing-masing saja. Aku nggak akan pura-pura sayang kalau hati nggak mau.” Raka tertawa pelan. “Sip. Itu baru gaya kemasan saset sejati.” Anaya langsung garuk kepala kesal. “Jangan panggil aku itu lagi!” Opa Hartono yang dari tadi duduk di sudut ruangan hanya menggeleng, sambil sesekali melempar senyum jahil. Pagi itu, rumah besar milik Opa Hartono mendadak ramai. Suara langkah kaki, denting gelas dari dapur, dan obrolan plus sedikit teriakan, mengisi sudut-sudut rumah yang selama ini terlalu sunyi. Opa Hartono duduk di kursi santainya, menyeruput teh manis sambil menikmati keributan dari ruang tengah. Sudah lama rumah itu tidak seramai ini. Biasanya hanya dia dan Raka. Itupun sibuk sendiri-sendiri. Kadang sehari bisa tak saling sapa. Tapi pagi ini… segalanya berbeda. “Saset! Mana KTP kamu? Aku mau daftarin ke KUA!” teriak Raka dari ruang tengah. Anaya yang sedang duduk membuka bungkusan roti langsung mendongak tajam. “Berani-beraninya…” “Dengar nggak? KTP-nya, Saset. Mau aku ambil sendiri di tas kamu?” Dengan cepat, Anaya berdiri dan menginjak kaki Raka sekuat tenaga. AUH!” Raka melompat kecil. “Aku tidak suka dipanggil saset!” seru Anaya. “Dan aku juga nggak mau ngasih KTP! Kita ini cuma nikah kontrak, buat apa ke KUA segala?!” Raka mencibir. “Karena kalau nggak dicatatkan, Opa bakal terus ngusik. Biar kelihatan sah, kita catat aja.” "Ya cari cara lain! Bukan maksain!” Anaya banyak bicara, Raka mendekat dan langsung membuka ransel Anaya yang diletakkan di sofa. “Hoi! Hei! Itu tas aku!” “Aku cari KTP. Biar cepet beres.” Merasa terancam, Anaya panik. Refleks, ia menggigit tangan Raka yang sedang mengaduk isi tasnya. "AARGHHH!” jerit Raka sambil menarik tangannya. “Gila! Kamu manusia apa hamster?!” “Dasar kadal buntung nggak laku!” semprot Anaya sambil merapikan ranselnya. Opa Hartono yang sedari tadi mengintip dari balik dinding akhirnya muncul, menahan tawa. Wajah terkejutnya hanya bertahan sebentar sebelum akhirnya ia tertawa lepas. Tawa itu begitu keras… bebas… dan bahagia. Anaya dan Raka sama-sama terdiam, menoleh ke arah Opa. Tawa sang kakek menggema di ruangan yang selama ini terlalu hening. “Sudah lama… sudah lama sekali Opa nggak tertawa seperti ini,” katanya pelan sambil mengusap mata. Raka terdiam. Ada sesuatu dalam dirinya yang mendadak hangat. Ia tak pernah menyangka, rumah yang biasanya dingin itu… kini terasa hidup kembali. Semua itu karena seorang gadis keras kepala, yang suka menggigit, menginjak, dan memanggilnya kadal buntung. Urusan pagi itu, belum juga selesai, Raka sudah membuka suara dengan nada serius. “Besok ketemu di KUA. Nggak usah bawa apa-apa. Semua berkas aku yang urus. Kamu tinggal datang, tepat waktu. Awas kalau terlambat, kamu tau akibatnya.” Nada perintahnya bikin telinga panas. Anaya langsung meradang. “Nggak usah ngancam! Kalau begitu caranya, ya nikah saja sendiri!” Ia berdiri dengan wajah cemberut, mengambil tasnya dan hendak beranjak pulang, belum sempat melangkah, tangan Raka menahan lengannya. “Saset.” Anaya mendengus. “Jangan panggil...” “Kamar kita di atas.” JLEPP! Anaya terdiam di tempat. Matanya membelalak pelan. “K-kamar... kita?” ulangnya nyaris tak terdengar. “Maksudnya... satu kamar?” Raka mengangguk, wajahnya datar. “Iya, satu kamar. Emangnya kamu kira nikah itu tidur di dua tempat beda?” Anaya menelan ludah. Panas dingin. “Nggak... nggak! Aku tetap tinggal di rumah orangtuaku!” Raka mendekat setengah langkah. Nada suaranya mulai meninggi. “Kau ini gimana sih? Namanya orang nikah, ya pasti satu kamar. Masa pisah ranjang kayak pasangan gagal!” Anaya masih gelagapan. “Tapi... kita ini cuma nikah kontrak! Kontrak! Nikah bohongan! Harusnya ya tinggal di rumah masing-masing juga dong… ih, kamu tuh lupa ya?!” Raka mendesah panjang, seolah sedang bersabar menghadapi murid remedial. “Oke, dengar ya, Saset...” “Anaya!” “Dengar ya, Anaya...” Raka akhirnya menyebut namanya benar. “Kalau kita tinggal terpisah, nanti keluarga curiga. Opa curiga. Satu rumah itu wajib. Satu kamar itu... ya bonus.” Anaya melotot. “Bonus apaan?!” Raka nyengir santai. “Tenang aja. Aku nggak suka menyentuh barang yang belum kubeli secara penuh.” “Apa maksudmu?!” “Tenang. Kamu aman. Aku punya batas, oke?” Anaya merasa pusing. Bukan karena Raka menyebalkan, tapi karena... ia sadar ia benar-benar akan menikah dengan pria ini besok. Bahkan sebelum akad nikah dimulai, hidupnya sudah terasa seperti sinetron episode 758. ***Halaman rumah keluarga besar Raka dipenuhi aroma bunga kamboja dan kopi hangat. Opa duduk santai di teras, membaca koran sambil sesekali tertawa kecil melihat headline berita yang tidak penting sama sekali.Di sisi lain, Anaya sedang menyiram tanaman, sementara Jay dengan santainya berdiri di sampingnya, untuk melindungi Anaya dari sinar matahari.Pemandangan itu seolah biasa saja kecuali bagi seseorang yang berdiri diam di dekat pagar, memperhatikan dari kejauhan.Lara.Wajahnya yang biasanya penuh percaya diri kini tampak menegang. Matanya tajam, tapi kali ini bukan karena amarah melainkan rasa yang bahkan ia sendiri sulit mengartikan.Ada perasaan aneh yang mengaduk dadanya melihat Jay, tersenyum selembut itu pada Anaya.“Jay, kamu nggak pernah sehangat itu sama aku,” gumamnya lirih.Lara datang dengan alasan klasik, mengantar dokumen ke
Rumah besar itu kini seperti medan perang dingin tanpa suara.Bukan karena Opa marah, bukan juga karena ada masalah besar di perusahaan, semuanya berawal dari satu hal kecil yang makin hari makin mengusik Raka adalah cara Jay memandang Anaya.Jay, dengan pesona khasnya yang flamboyan, seolah tak kenal batas. Tatapannya yang dulu diarahkan pada Lara, kini entah kenapa lebih sering singgah pada sosok polos yang selalu membuat seisi rumah tertawa. Anaya, tanpa sadar, jadi pusat gravitasi baru di rumah itu.Pagi itu, Anaya sibuk menata bunga di ruang tamu. Rambutnya dikuncir asal, kaus oversize milik Raka menggantung longgar di bahunya, pemandangan yang bagi Raka seharusnya eksklusif hanya untuk dirinya.Entah dari mana Jay muncul dengan secangkir kopi di tangan, menyandarkan bahunya di pintu sambil tersenyum.“Wah, pagi-pagi udah kayak bunga matahari aja. Cerah banget,” godanya.
Sejak kejadian beberapa hari terakhir, Raka berubah menjadi suami versi “bodyguard profesional.”Setiap kali Anaya ke dapur, Raka ikut.Setiap kali Anaya mau belanja ke minimarket dekat rumah, Raka bilang, “Aku anter.”Setiap kali ponsel Anaya berdering, Raka refleks menoleh seperti sedang dalam misi rahasia.Awalnya, Anaya merasa lucu, lama-lama menyebalkan juga.Pagi itu, di meja makan, Anaya sedang menulis daftar belanja mingguan.“Aku mau ke supermarket siang ini, ya Mas. Sekalian beli bahan buat masak malam nanti.”Raka, yang sedang menyeruput kopi, langsung menaruh cangkirnya pelan. “Mas ikut.”Anaya mendesah. “Aku cuma ke supermarket, Mas. Lima belas menit aja.”“Ya Mas temenin. Lima belas menit kan nggak lama.”“Mas kan ada m
Pagi itu, aroma kopi hitam dan roti panggang memenuhi ruang makan besar keluarga Hartono. Sinar matahari menembus jendela lebar, menyoroti meja kayu panjang tempat semua orang biasa sarapan bersama. Raka baru turun dari tangga, masih mengenakan kemeja kasual biru muda, sementara Anaya sudah duduk lebih dulu, sedang menyusun roti isi kesukaannya. Jay, seperti biasa, datang paling belakangan. kali ini, begitu matanya jatuh pada Anaya yang sedang mengoleskan selai, ia berhenti sesaat di ambang pintu. Ada senyum kecil yang terbit di bibirnya, senyum yang seharusnya tidak muncul untuk istri orang lain. “Pagi, semuanya,” sapa Jay santai. “Pagi, Jay,” jawab Anaya ramah tanpa sadar bahwa sejak ia mengangkat wajahnya, pandangan Jay tidak berpaling. Opa Hartono yang duduk di kursi ujung meja menurunkan korannya perlahan. Ia menatap Jay sejen
Sore itu, langit mulai berwarna jingga. Dari balkon rumah besar keluarga Raka, semilir angin berhembus lembut membawa aroma teh melati yang baru saja diseduh Anaya.Di halaman bawah, suara tawa Lara terdengar begitu renyah, sesuatu yang bahkan Opa Hartono sampai menoleh dan mengerutkan kening.“Sejak kapan si Lara itu bisa tertawa selepas itu?” gumam Opa, separuh heran, separuh waspada.Raka yang duduk di sebelahnya hanya menatap sekilas. Di bawah sana, Lara tampak tertawa bersama Jay, sepupunya sendiri yang belakangan ini terlalu menikmati peran ‘penjaga rumah sementara’.Jay, dengan gaya khasnya yang flamboyan, sedang menceritakan kisah lucu sambil memainkan ekspresi dramatis. Lara menepuk bahu Jay sambil menahan tawa, matanya berbinar.Raka menghela napas pendek. “Sepertinya strategi Opa berhasil.”Opa tersenyum samar.
Pagi di rumah keluarga Hartono selalu ramai. Burung-burung di taman bersahut-sahutan, aroma roti panggang memenuhi udara, dan suara Opa dari ruang tengah sudah terdengar sejak jam enam. Tapi pagi ini, Anaya terlihat sedikit... gelisah.Ia duduk di meja makan sambil memainkan sendok, wajahnya murung. Biasanya ia lah yang paling cerewet, tapi kali ini cuma diam.Raka yang duduk di seberang memperhatikan diam-diam.“Kenapa, Sayang? Roti gosong, ya?”Anaya menatap suaminya, lalu menggeleng.“Nggak...”“Terus? Kamu lagi mikirin skripsi lagi? Padahal udah lulus loh, Bu Sarjana,”Raka menggoda sambil tersenyum tipis.Anaya menghela napas. “Bukan skripsi... Jay.”Raka berhenti mengunyah.“Jay?” ulangnya pelan, alis naik sedikit.







