Nabila kamu!” desis Nadia sambil berjalan mendekatiku.“Ayam kampus aja sok-sok an, emang udah nggak ada om om yang mau jalan sama kamu sampe kamu ngancam Mas Abi juga?”Plak!Nadia menampar pipiku, “jaga mulutmu!”“Nadia!” Mas Abi menarik tangan Nadia dan memelukku.“Berani-beraninya kamu menyakiti istri saya!” desis Mas Abi geram.“Kamu jahat Abyan!” teriak Nadia tidak terima.“Sekarang kamu lebih milih cewek nyasar itu dari pada aku yang udah nemenin kamu lama!”“Menemani apa? Kamu hanya merongrong saja, minta ini itu tanpa batas. Dan sekarang saya sudah tahu semuanya, kamu hanya memanfaatkan saya saja,”“Ayo, Nabila, tidak usah meladeni cewek tidak waras ini!” Mas Abi menarik pergelangan tanganku dan menuntunku turun, tapi Nadia mendorongku sampai aku hampir saja terjatuh, beruntung Mas Abi sigap menarik pinggangku dan aku terjatuh di pelukannya.“Lihat aja, aku nggak akan tinggal diam!” desis Nadia sambil berlari...“Sini lihat pipi kamu, sakit?” tanya Mas Abi setelah kami samp
Aku menatap Abyan yang sedang menjelaskan materi di depan. Kalau sedang mengajar begini, dia begitu berwibawa dengan pakaian formal dan gaya khas-nya yang tegas. Tapi siapa sangka dibalik sosok tegas dan dingin yang balut pakaian formal, ternyata tubuhnya kekar berotot dan ... Hot. Aihss, mikir apa aku ini.“Nabila?”“Ah iya, Pak.” Aku gelagapan saat dia menegurku, sepertinya dia menyadari kalau aku sedang melamun. Atau memang dia selalu memperhatikan apakah aku mengikuti materi atau tidak.“Sudah paham?” tanyanya.“Iya, Pak. Paham.” Aku msngangguk kikuk, padahal aku nggak tahu dia sedang bahas apa...“Lo kenapa si dari tadi nggak fokus gitu di kelas?” tanya Pinkan. Setelah kelas selesai, aku dan duo racun itu bersiap ke perpustakaan untuk mencari bahan-bahan membuat makalah.“Kepikiran semalem pasti, acieee ... Gimana rasanya unboxing? Masih segel kan?” Devi menggodaku, membuat pipiku jadi panas.“Apa sih?” Aku menampar lengannya.“Wihhh seriusan, Lo udah nganu sama Pak Abyan? Ceri
“Aku boleh nanya sesuatu nggak?” tanyaku hati-hati.“Apa?”“Mas Abi belom jelasin soal foto itu.”“Foto apa?.”Aku lalu beranjak. Membuka lemari pakaian dan mengambil foto yang kusimpan di sana. Foto yang waktu itu kutemukan di dompetnya.“Mas Abi belom jelasin, kenapa nyimpen fotoku di dompet Mas.”“Kamu buka-buka dompet saya?” Dia menatapku tajam, membuatku sedikit tegang.“Ng-nggak se-ngaja, s-sumpah! Kan waktu itu jatuh pas aku lagi beres-beres, trus aku ambil ....” Aku mengangkat dua jariku berbentuk huruf V. Kalau begini, dia memang lebih pantas jadi dosen daripada suami.Galaknya mulai diperlihatkan lagi.“Sengaja juga boleh.” Dia tersenyum, melegakanku yang tadinya tegang.“Mungkin kalo suatu saat kamu mau mengecek isi dompet saya.”“Jadi, kenapa Mas Abi nyimpen fotoku? Mas Abi ngintai aku dari lama ya?” tuduhku.“Atau jangan-jangan sengaja nyari aku karena tau aku dulu pacarnya Yudha, terus balas dendam seperti yang Yudha bilang?”“Jadi Kamu percaya sama Yudha?”“Ya ... Engga
“Apaan sih!” Aku segera bangun.“Dasar m e s u m!”“Mau saya ajakin, m e s u m yang sebenarnya?” ucapnya santai sambil melepas pelampung yang kupakai lalu mengembalikannya.“Minum dulu.” Dia mengangsurkan botol air mineral padaku dan langsung kusambar lalu menenggaknya dengan rakus. Kepanikan ternyata menguras banyak cairan tubuh.“Kalo aku m a t i gimana?” tanyaku ketus setelah menghabiskan air mineral.“Saya ikut,” jawabnya sambil merengkuh bahuku lalu mengecup pipiku.“Iihhh, Mas Abi liat-liat tempat dong, ini di tempat umum, tempat terbuka lagi.” Aku menutup wajahku malu.“Maaf, kalau begitu kita butuh tempat yang tertutup.”“Maksudnya?”“Ya ... Ke hotel misalnya.” Aku membulatkan mata, dia malah tersenyum nakal.“Mau?”“Mas Abi ... Kok nakal si?” Aku memukul dadanya, dia malah tertawa.“Kamu lucu,” ucapnya, aku mengerucutkan bibir.“Kalo manyun begitu biasanya sinyal minta cium.”“Mas Abi ...,” desisiku mencubit perutnya. Dia menarikku ke dadanya “terimakasih, Nabila, kamu sudah
“Terserah deh,” jawabku pasrah.“Iya, Pak. Nabila disini, jemput aja.”Mataku melotot mendengar percakapannya dengan Abyan.“Nggak bener kamu, Dev!”“Ya justru yang bener tu kaya gini. Dah Lo sini aja, biar Pak Abyan jemput Lo disini, nanti kalo mau gelud kek mau ribut kek terserah.”“Aku pergi aja!”“Jangan gitu dong! Lo mesti selesein sama suami Lo, kalo malah pergi nggak bakal ketemu penyelesaiannya, Bil. Bila! Nabila!” Tak kupedulikan teriakan Devi. Aku tetap melajukan motor pergi tanpa tujuan...Aku berdiri diatas jempatan. Menatap aliran air sungai yang deras. Tanaman liar yang tumbuh di sekitaran sungai bergoyang terkena aliran air yang mengalir, seolah mengajakku turut bersamanya.“Lo dimana, Bil?” Pinkan melakukan video call di grup ‘genk cilok’.“Lakik Lo tadi kesini, Bil. Dia kawatir banget sama Lo.” Devi turut nimbrung.“Wait wait wait, Lo kok kaya di atas jembatan, mo ngapain Lo?” Pinkan terlihat tegang.“Lo jangan lompat ke sana, Bil, plis ... Lo masih punya utang sama
Setengah berlari aku meninggalkan ruangan Abyan, sampai beberapa kali menabrak karyawan yang sedang bekerja. Aku meninggalkan Loundry dengan perasaan kacau.Dasar aku ini Bo doh, naif. Sudah berkali-kali memeringati diri supaya tidak pernah baper sama Abyan, tapi malah ngelunjak. Setelah tadi merasa baper dan Ge-eR, sekarang malah jadi sakit karena melihat Abyan dipeluk Nadia.Dasar hati nggak tahu diri, sok-sok an jatuh cinta tapi jadi begini. Ini juga mata ngapain ngeluarin air mata terus sih, bikin penglihatan jadi susah. Sudah berkali-kali diusap masih merembes terus. Rasanya pingin kubuang saja ini mata.Motor kukendarai dengan ngawur, beberapa kali mendengar orang-orang mengumpat tapi tidak kupedulikan. Aku tetap mengendarai dengan ugal-ugalan, sampai seorang bocah perempuan menjerit karena hampir saja kutabrak. Aku menghentikan motor mendadak, membuat pengendara lainpun turut berhenti.“Yang bener dong kalo naik motor!” omel salah seorang pejalan kaki yang sepertinya keluarga a