"Maaf saya belum siap," ucap Abyan saat aku berjalan mendekatinya. Apa-apaan ini? Bukankah seharusnya aku yang bilang begitu.
Lelaki yang baru berapa jam yang lalu mengucapkan ijab kabul itu duduk dengan gusar di bibir ranjang, seolah takut aku akan menye rangnya. Dikira aku mau nyo sor. Sorry, aja aku nggak doyan. Lagian aneh, kalau belum siap kenapa dia melanjutkan pernikahan. Bukankah dia yang melamar, dia juga yang mengucapkan akad. Dia kemudian mengambil bantal guling sebagai pembatas. Lalu dengan hati-hati merebahkan tubuh. "Tangannya tolong dikondisikan, jangan nyebrang pembatas, saya masih pengen jadi perjaka." What? Sok kegantengan banget! Memangnya dia pikir dia siapa, Rizky Nazar? Yang ada juga Riski nyasar. "Kenapa nggak tidur bawah aja sana, kasurnya sempit!" usirku sembari melempar bantal ke bawah. "Ah iya kamu tidur bawah ya, Please ... Saya nggak biasa tidur di kasur sempit!" ujarnya tanpa rasa berdosa. Enak saja, ini kan kamarku. Daerah kekuasaanku, kan nggak lucu aku tidur di lantai demi manusia menyebalkan sepertinya. Baru berapa menit bersama saja hati dipenuhi jengkol. Ini semua gara-gara Mamak yang maksa aku pulang dan menikah. Saat itu, ketika baru beberapa hari libur, tiba-tiba Mamak menelepon menyuruku pulang. "Pulang, Bil. Pacar kamu kesini ngelamar kamu!" ucap Mamak waktu itu. "Pacar?" Aku garuk-garuk tengkuk. Perasaan si Yudha tidak memberiku kabar apa-apa. Dia juga sama-sama masih kuliah, masa iya tiba-tiba melamar. "Iya, ngelamar kamu dan udah Mamak terima, kamu udah cukup umur, Bil. Teman-temanmu juga udah pada gendong anak, mau nunggu apa lagi, toh dia udah siap nikah," lanjutnya lagi. "Kan Bila masih kuliah, Mak." "Ya nggak apa-apa, kamu tetep kuliah. Dia juga udah setuju kalo kamu tetep kuliah, malah dia bersedia biayai kuliah kamu." "Hah. Masa sih, Mak?" "Iya, makanya kamu cepetan pulang, tanggal pernikahan udah ditentukan!" ucap Mamak lalu telepon dimatikan sepihak. *** "Dia siapa, Mak?" bisikku saat ada tamu datang yang kata Mamak calon menantunya. Kata Mamak pacarku, tapi aku sama sekali tidak kenal dengan dia. "Ya calonmu lah?" jawab Mamak enteng. "Hah?" Aku menganga, hampir saja ada lalat yang masuk, tapi tidak jadi karena takut kutelan hidup-hidup. "Ish, jangan lebar-lebar, bau jigong!" Mamak menepuk mulutku. "Tapi aku nggak kenal dia, Mak." Aku menarik lengan Mamak dan menyeretnya ke dapur untuk berbicara berdua. Seketika pengen nyanyi entah siapa yang salah ... "Nggak usah drama deh, wong dia bilang pacarmu kok, katanya kalian udah pacaran lama, terus dia udah siap nikah, ya Mamak terima lah biar kamu di kota ada yang jaga, jadi Mamak sama Bapak juga bisa tenang, lagian Mamak juga udah keberatan bayar kuliah kamu yang nggak murah" jelasnya. "Tapi sumpah, Mak. Aku nggak kenal sama dia, Mamak kok main terima aja sih, kalo dia orang jahat gimana, terus nanti aku diculik, dibawa kabur jauh atau dijual gimana coba." "Siapa yang mau njual kamu, nggak laku, yang beli juga rugi, kamu sukanya habisin makanan tok." Ah sekata-kata Mamak. Padahal kan begini-begini juga biasa jadi pahlawan. Sang penyelamat makanan supaya tidak mubasir. "Bila ... Bila. Udah segini gede kamu masih aja suka ngeles ya kalo nggak mau sesuatu. Tapi sayang Mamak udah kebal sama dramamu itu, dua puluh tahun loh mamak jagain kamu, udah nggak mempan ya kamu bohongin mamak dengan drama aneh-aneh." "Mak, Bila nggak bohong,Mak sumpah Bila nggak kenal siapa dia!" Plak! Mamak malah menam par lenganku. "Nggak boleh bilang begitu, saru! ternyata bener ya kata Abyan, kamu itu selalu berkelit kalau diajak nikah, selalu ada aja alasannya, makanya dia datang diam-diam dan langsung minta sama Mamak-Bapak. Tapi memang lelaki yang baik itu seperti itu, nggak cuma sayang-sayangan aja, tapi langsung ke pelaminan, kamu tenang aja, dia bilang dia mau nunggu sampai kamu siap, tapi dia tetap mau akad dulu biar terikat," ucapnya lagi. "Tapi Mak--" "Udah udah, Mamak banyak kerjaan, kamu temenin Abyan sana." Aku mengacak rambutku yang terbungkus jilbab berwarna ungu. . "Apa? Ngelamar kamu? Aku belum siap, Bil. Udah segitu ngebetnya kamu pengen kawin?" ucapnya saat aku menelfon. Dasar anak Mami, pasti apa-apa sambutannya marah-marah, ngambek ujung-ujungnya minta putus, tuman. Tapi anehnya kenapa aku masih betah juga sama dia. "Bukan gitu, Yud. Tapi Mamak Bapakku udah kadung nerima lamaran orang, gimana dong?" "Oh gitu? Kamu udah nerima orang lain, nggak sabar nunggu aku selesain kuliah dulu, oke kawin sana!" Bukannya membela, dia malah marah-marah. Boro-boro datang kesini supaya Mamak percaya kalau aku punya pacar dan sudah serius, malah hati tambah gondok jadinya. Aku memutuskan telepon saat dia masih mengomel. Punya pacar anak Mami memang resiko tinggi. Bukannya dimanja diperhatikan, malah aku yang harus banyak bersabar. "Kamu jahat, Bi. Kenapa kamu malah ngelamar tetangga aku?" Saat tengah menyiram bunga, aku samar-samar mendengar percakapan dua orang. Penasaran, akupun mengintip rupanya tetangga sebelah yang sedang berdebat. "Bukankah kamu memang belum siap menikah?" "Tapi kenapa harus tetangga aku?" Dia Nadia, dengan seorang pria berperawakan tinggi. Rasa penasaran membuatku mendekat dan bersembunyi di balik pohon Jaka nantang yang rimbun. Aku berjongkok, sepertinya tidak asing dengan suara lelaki itu. Dari perdebatan mereka sudah bisa ditebak kalau dia itu pacar Nadia. Tapi kenapa mereka bertengkar? Dan, yaa dia bilang melamar tetangga, bukannya tetangga aku, memang bukan hanya aku, tapi yang paling dekat aku. Aku semakin penasaran, lalu kembali mengintip dari celah-celah pohon, tapi mereka sudah tidak terlihat lagi. Mungkin sudah masuk rumah, atau ... "Sedang apa kamu?" Demi tuhan, jantung rasanya mau koprol saat suara bariton menegurku dari samping. Aku ketahuan mengintip. Rupanya lelaki yang tadi berdebat dengan Nadia adalah Abyan. Jadi ... Yang seharusnya dia lamar itu Nadia bukan aku. Terlalu kaget dengan sapaan dan fakta di depan mata, aku sampai mengarahkan selang ke wajahnya. . Aku melirik lelaki yang sedang tidur memunggungiku. Niat hati mau bicara baik-baik, tentang kesalahpahaman yang berujung pernikahan ini. Tapi malah berujung kekesalan karena dia menyebalkan. Sejak awal bertemu, kami memang tidak saling bicara. Dia lebih suka berbicara dengan Mamak dan Bapak. Entah kenapa, selalu ada saja kendala saat aku mau bicara berdua saja. Aku cuma mau meluruskan, kalau memang sasaran lamaran adalah tetangga sebelah, biar kubantu jelaskan pada keluarga, supaya tidak terjadi pernikahan yang tidak diinginkan begini. Aku memejamkan mata, bersiap menjemput mimpi. Tapi baru saja terpejam, mataku terbuka karena tepukan di lengan berkali-kali. Aku mengerjap, Abyan sudah berdiri di sisi ranjang, tepat di sampingku. "Apaan sih?" Aku menggeliat lalu menarik selimut yang sempat tersingkap. "Bangun!" ucapnya datar. Mau apa sih dia, aduh jangan-jangan ... Aku segera beranjak. Baju, celana, semua aman. Aku menunduk mengecek kancing piama, masih rapet semua. "Kamu mau menodaiku ya, tadi sok kegantengan bilang masih mau jadi perjaka, nyatanya tergoda juga kan sama aku!" "Saya nggak akan tergoda sama wanita yang tidurnya kaya kebo!" Apa? Aku mendelik, lalu membenahi posisi tidurku yang sudah melintang. Kasur yang minim ini sudah kukuasai semua. "Apa setiap malam kamu cosplay jadi Rock Lee dengan Konoha Senpu--nya?" Konoha senpu? Jangan-jangan dia terkena jurus tenda ngan ma utku, sampai jatuh ke lantai dan kejedot meja. Buktinya dia mengusap-usap dahinya. "Sepertinya saya harus punya guru khusus biar bisa menangkis tend angan kamu tiap malam"Jadi sekarang kerjaan kamu jadi pengitai?" tanya Abyan sedikit mengejek. Setelah ketahuan menguntit, aku dipaksa pulang bersamanya, padahal masih mau jalan sama Genk Cilok."Enggak.""Nggak salah kan?" "Saya tuh nggak bermaksud ngikutin Bapak, tapi mereka yang ngajakin." Aku berusaha membela diri, kan memang benar aku hanya ikut-ikutan."Ya ya, besok masih mau ngikutin lagi?" "Nggak lah! Ngapain.""Sebaiknya memang diikutin, supaya tidak diambil orang," ucapnya lagi, aku hanya meliriknya malas. Diambil siapa? Kan memang dia milik Nadia, aku hanya numpang iklan.Aku melangkah menuju kamar, bersiap merebahkan tubuh yang lelah, tapi kamar sudah berubah. Barang-barangku tidak ada."Saya butuh ruangan yang lebih besar untuk ruang kerja dan meletakkan buku-buku, dan ... sepertinya kamu juga butuh tempat untuk belajar jadi kamar ini saya jadikan ruang kerja, sekaligus ruang belajar untukmu, nanti kalau ada tugas yang kamu nggak ngerti bisa tanya saya." Seperti mengerti isi kepalaku, dia
"Butik dah mau tutup, kamu nggak mau siap-siap pulang, apa mau nginep disini jadi penjaga Butik?"tanya Mbak Lia yang sedang merekap penjualan."Kalo boleh si mau tidur sini aja, Mbak," jawabku sambil merapikan baju-baju."Kenapa ini, kaya anak yang lagi ngambek sama orang tuanya aja." Mbak Lia terkekeh.Bukan ngambek sama orang tua, tapi malas tinggal dengan orang asing. Apalagi sejak kemarin melihat dia nempel sama Nadia, aku jadi semakin merasa tidak diinginkan. Bukannya aku cemburu, tapi ... merasa tidak berharga, jadi bukankah sebaiknya aku pergi.Pokoknya hari ini juga aku mau cari kos-kosan baru, tekatku sudah bulat. Kalau memang belum dapat, aku mau tidur saja di rumah Emping atau Devi."Mbak, saya mau ketemu perempuan yang tadi mengirim pesanan ke tempat Nadia." Terdengar suara seorang lelaki di depan butik. Aku segera ke depan, pasti yang dimaksud itu aku. Jangan-jangan aku punya kesalahan."Nah, itu dia orangnya!" Dia menunjukku yang baru keluar,sementara aku terpaku karena
"Dari mana?" Suara dingin menyapa saat aku sedang mengendap-endap masuk ke dalam rumah. Aku sampai terlonjak karena kaget. Kayaknya dia termasuk jenis mahluk setengah gaib deh, tiba-tiba berada di depanku, apa jangan-jangan dia punya teleportasi ya. Padahal tadi waktu aku tengak-tengok sepi, kaya nggak ada kehidupan. "Eee ... Dari ...." Aku menggaruk kepala yang terbungkus scarf motif. Kenapa mendadak gatal ya, ini pasti karena jadi duta shampo lain."Dari tadi saya udah pulang, tapi pintu dikunci, sudah nunggu lama, Bapak nggak pulang-pulang, jadi saya pergi lagi lah," lanjutku mendapat alasan dadakan."Kenapa nggak nelepon?" "Nelpon siapa? Satpol PP atau petugas Damkar? Saya kan nggak punya nomor Bapak." "Berarti kamu tadi nggak catat nomor saya ya."Lah memangnya dia kapan kasih nomor telepon"Kamu tahu ini jam berapa?" tanyanya menginterogasi. "Tau! jam sembilan lebih dua puluh menit," jawabku santai sambil menengok jam di dinding. "Jam sembilan lebih, kamu baru pulang? Apa
Lidahku mulai bergerilya, mengitari mulut siapa tahu ada sisa makanan yang terselip di sela-sela gigi. Kawatir nanti kalau tertawa ada cabe atau sayur ijo yang nempel di gigi, kan malu. Setelah kejadian nasi nangkring di bibir, masa ditambah cabe nyempil di gigi."Gayanya sok cuek, waktu Gue inpoh bakal kedatengn dosen ganteng, nyatanya paling terseponah sampe nggak kedip gitu matanya," ucap Pinkan saat kami tengah beristirahat di kantin.Aku hanya diam saja, sambil mengaduk es jeruk. Nggak ada gairah buat ladeni si emping. Kalau dia tahu istrinya Pak Abyan itu aku ... Kira-kira gimana ya tanggapannya. Apa dia mau menajuhiku atau ...."Btw istrinya Pak Abyan secakep apa yak?" gumamnya sambil mengetukkan jarinya ke dagu. Tu kan? Baru saja diomongin."Beruntung banget deh dia, punya suami dosen ganteng," lanjutnya lagi."Biasa ajah." Devi berkomentar sambil mulutnya sibuk mengunyah tahu bakso hingga ludahnya sedikit muncrat."Elo mah nggak pernah nyambung kalo diajak bahas cogan, gue ja
Tega sekali Abyan main pecat-pecat saja. Padahal kerja baru berapa bulan, dan disini lumayan buat tambahan uang jajan. Ternyata begitu tabiatnya. Dia pasti tipe bos sombong yang semena-mena dengan karyawan. Huh!Aku melangkah lemas menuju kos-kosan. Satu poin penting selain upah lumayan, di sini juga dekat dengan kosan, jadi irit bensin, atau bisa jalan kaki saja kalau sedang mode pelit."Eeh ... Nabila udah balik ya." Sampai di kosan, Bu Santi--si Ibu kos menyanbutku. Ini aneh, biasanya rada jutek karena masih punya tunggakan. Tapi ini ...."Sini-sini!" Dia menarik lenganku, mengajakku masuk ke dalam rumahnya. Di sana ada sebuah tas besar teronggok di samping meja. "Itukan tasku," batinku heran."Nabila, Ibu minta maaf ya, kamarmu udah ada yang nempatin, bukan maksud ibu mau ngusir, tapi kamu kan masih ada tunggakan dua bulan, sedangkan Ibu sedang butuh sekali uang, jadi ... Ya ... Tapi Ibu bebasin kok uang kosan kamu yang dua bulan, nggak apa-apa udah ibu iklasin," tuturnya sambil
Hari ini aku bangun lebih pagi. Tidurku tidak nyenyak karena sekamar dengan orang asing. Pergerakanku jadi terbatas, aku tidak bisa buang angin dengan bebas.Kubenahi kamar yang berantakan, kasur lipat yang digelar dilantai segera kusimpan lagi. Saat tengah berbenah, mataku memicing, melihat dompet tergeletak di bawah kasur. Aku mengambil dompet itu untuk menyimpannya. Tidak ada niat kepo dengan isi dompet itu, tapi aku penasaran karena terlanjur melihat foto seorang gadis yang sepertinya tidak asing.Gadis itu memakai jilbab Navy, wajahnya berminyak dan sedikit kusam. Tangannya tengah memegang boneka tangan, untuk bercerita. Dalam hati aku membatin, kucel amat ini cewek, tapi setelah dilihat lagi ternyata itu wajahku.Ya ampun, jelek sekali ternyata aku. Eh tapi tunggu, kenapa dia menyimpan fotoku di dompetnya? Jangan-jangan dia sudah mengenalku sejak lama. Jangan-jangan lamaran itu tidak kesasar tapi memang dia sengaja mencariku, buktinya dia tetap melanjutkan pernikahan meski sud