Share

Dipecat

last update Huling Na-update: 2025-08-15 23:32:25

Hari ini aku bangun lebih pagi. Tidurku tidak nyenyak karena sekamar dengan orang asing. Pergerakanku jadi terbatas, aku tidak bisa buang angin dengan bebas.

Kubenahi kamar yang berantakan, kasur lipat yang digelar dilantai segera kusimpan lagi. 

Saat tengah berbenah, mataku memicing, melihat dompet tergeletak di bawah kasur. Aku mengambil dompet itu untuk menyimpannya. 

Tidak ada niat kepo dengan isi dompet itu, tapi aku penasaran karena terlanjur melihat foto seorang gadis yang sepertinya tidak asing.

Gadis itu memakai jilbab Navy, wajahnya berminyak dan sedikit kusam. Tangannya tengah memegang boneka tangan, untuk bercerita. Dalam hati aku membatin, kucel amat ini cewek, tapi setelah dilihat lagi ternyata itu wajahku.

Ya ampun, jelek sekali ternyata aku. Eh tapi tunggu, kenapa dia menyimpan fotoku di dompetnya? Jangan-jangan dia sudah mengenalku sejak lama. Jangan-jangan lamaran itu tidak kesasar tapi memang dia sengaja mencariku, buktinya dia tetap melanjutkan pernikahan meski sudah jelas bukan aku orangnya, bahkan ketika aku berusaha berbicara dengannya, dia seolah menghindar.

Aku jadi ingat percakapannya dengan orang suruhannya beberapa hari sebelum akad.

"Bagaimana, Pak. Apa sebaiknya kita batalkan saja pernikahan, Bapak. Biar saya yang bicara dengan mereka," ucap pesuruh yang dipanggil Joni. Dia berbicara dengan serius.

"Tidak usah, saya tetap melanjutkan pernikahan, dan kamu ...." Dia menunjuk pesuruh yang bernama Fathul.

"Gajimu saya naikkan dua kali lipat."

"Beneran, Pak?" tanya Fathul tidak percaya.

"Ya. Kamu juga." Lalu dia menunjuk Joni.

.

"Besok saya kembali ke Jakarta," ucap Abyan saat kami tengah sarapan bersama. 

'Alhamdulillah' batinku bersorak gembira. Berarti aku bakalan bebas dari mahluk tuhan paling sexy, eh ralat, mahkuk tuhan paling menyebalkan. 

"Minta restunya ya, Buk, Pak," ucapnya lagi. Pencitraan! Di depan mereka manis banget kaya permen lollipop. Pantes mereka seneng banget sama dia.

"Insyaallah bapak rida, Nak. Kamu itu sekarang anak bapak jadi kemanapun langkahmu selama itu baik, bapak ridoi."

 Entah sejak kapan Bapak jadi sok bijak, padahal dulu waktu aku mau kuliah, Bapak tidak begitu. Malah seperti berusaha menahan supaya aku tidak jadi berangkat ke Kota. Mendadak aku jadi cemburu dengan perhatian Bapak ke Abi. 

"Nduk?" Mata Bapak beralih menatapku.

"Kamu sekarang udah jadi istri, yang manut sama suami, kemanapun pergi harus ijin dulu sama suami, ingat ya, jangan bandel jangan suka keluyuran tanpa ijin suami ... Dengerin kalo Bapak ngomong!" Aku pura-pura batuk supaya tidak semakin panjang ceramah Bapak.

"Abi, kalo Bila nakal, digetok aja!"

"Iya, Pak. Nanti saya getok, getok sayang," jawabnya sambil melirikku. Aku segera berpaling, supaya tidak terlibat kontak mata dengannya, bukan apa-apa hanya kawatir nanti dia terhipnotis dengan pesonaku.

.

"Sudah siap semuanya?" tanyanya saat aku tengah duduk santai sambil memainkan ponsel. Dia sejak tadi sibuk berurusan dengan koper, sementara aku sibuk dengan kegiatanku sendiri: berbalas pesan dengan sahabatku.

"Situ yang mau pergi, kenapa saya yang ditanyain, dari tadi siap-siap nggak kelar-kelar," ucapku nyinyir.

"Padahal seharusnya kamu yang nyiapin semua ya, kan kamu istri saya!" 

Aku mendengkus, apa si maunya? Minta dibantuin tinggal bilang aja, batinku.

"Sini, tak bantuin, kurang apa lagi?" Aku mendekati kopernya, berniat membantunya packing. Anggap saja sebagai hadiah perpisahan.

"Kurang kamu yang belom dipacking," ucapnya sambil berlalu.

Enak saja aku mau dipacking, emangnya mau dijual di sopi.

.

"Jangan sampe ada barang penting yang tertinggal," ucap Mamak. Perhatian sekali sama menantu, sama aku yang anak kandung saja tidak selembut itu.

"Barang yang paling penting itu istri,Buk jangan sampe dia ketinggal."

"Uhukk!" Tiba-tiba aku tersedak ludah sendiri. 

"Udah siapin barang-barangmu?" tanya Mamak.

"Lah emang aku mau kemana?" tanyaku bingung.

"Ke Hongkong! Ya mau balik ke Kota lah, ikut suami." Mamak menngetok kepalaku.

"Tapi kan, Mak--" belum selesai bicara, Mamak sudah menyenggol lenganku sambil melotot kode agar menurut. 

Akhirnya aku berkemas, sambil terus menggerutu. Entah bencana apa yang nanti akan berdatangan.

"Pamit, Buk, Pak." Abyan mencium punggung tangan Bapak cukup lama, lalu mereka berpelukan seperti dua orang yang sudah saling kenal lama. Rasanya aku makin cemburu, melihat Bapak melepas kepergiannya dengan haru. Sedangkan denganku biasa saja.

.

Perjalanan ke Kota kami lalui dengan saling diam. Dia sibuk menyetir sambil menikmati lagu. Sementara aku terus memonyongkan bibir karena mkasih ada bekas cemburu dengan Bapak.

"Apa tidak capek itu mulut monyong terus, sampai satu meter begitu," ucapnya sambil melirikku sekilas. 

"Perhatian banget," jawabku ketus.

"Saya nggak perhatian, cuma sedikit memperhatikan saja."

"Halah sama aja, jujur aja, situ dah naksir kan sama saya, udah nguntit saya sejak lama kan?"

Mobil tiba-tiba berhenti mendadak. Hampir aku berteriak karena kaget dia menginjak rem dengan kasar.

"Ge-er!" jawabnya singkat sambil membuka sabuk pengaman.

"Hey, mau ngapain?" Aku merasa parno, jangan-jangan dia mau menurunkan aku disini, lalu ditinggal pergi begitu saja.

"Salat, sambil istirahat di Masjid!" jawabnya sambil turun dari mobil. Akupun mengikuti gerakannya sambil menggerutu. 

"Udah?" tanyaku setelah dia salat. Dia duduk di serambi Masjid sambil tubuhnya bersandar di tembok.

"Nih!" Dia mengangsurkan uang seratus ribuan. Aku mengernyit. "Buat saya?" 

"Tolong belikan minuman, saya haus!" Huh, seenak jidat nyuruh-nyuruh. Aku meraih uang itu lalu bergegas membeli minuman botoldan memberikan padanya.

.

Perjalanan selesai, kami sudah tiba di Jakarta. Dia membelokkan mobil ke sebuah perumahan sederhana. Rumah-rumah model minimalis berjejer rapi. Banyak pepohonan tumbuh di sekitaran rumah. 

Mobil berhenti di pelataran rumah bercat abu-abu. Beberapa tanaman tumbuh subur di halaman rumahnya.

Dia memasuki rumah, akupun mengekor di belakangnya sambil menyeret ransel yang berisi beberapa pakaian saja karena sebagian banyak yang kutinggal di kosan.

"Barang-barangmu taruh sini saja," ujarnya membukakan pintu kamar. 

"Kamu kalau mau istirahat disitu, saya tidur di luar," ucapnya lagi setelah mengantarku ke kamar. Dia lalu keluar lagi.

Aku duduk di sisi ranjang. Mengamati kamar luas yang cukup rapi meski penghuninya laki-laki. 

Kubuka ransel, bermaksud memindahkan isinya ke lemari, tapi aku bingung karena lemari isinya baju dia semua. Apa iya aku letakkan di sana juga, sepertinya nanti dia tidak akan mengijinkan baju-bajuku disatukan dengan miliknya. 

Aku keluar kamar, mencari sosok Abyan. Rupanya dia sedang merebahkan diri di sofa. Rasanya tidak tega membiarkan dia tidur di sana, sementara aku di kamarnya.

"Emm ...." Bingung mau panggil dia apa, Kakak atau Mas, atau apa ya yang tepat.

"Kalau lapar, di meja makan sudah ada nasi Padang, saya sudah pesan dua bungkus, yang satu buat kamu," ucapnya masih dengan mata terpejam. Apa dia sedang mengigau? 

"Emmm, saya cuma ... Mau ... Em sebaiknya kamu tidur di kamar aja, aku yang disitu." Dia masih bergeming.

"Atau ... Kita tidurnya di kamar aja," saranku hati-hati.

"Saya takut kamu khilaf," jawabnya masih dengan mata terpejam.

Enak saja khilaf, aku kalau mau khilaf juga mikir-mikir.

"Nggak akan, tenang aja."

"Saya juga belum punya jurus untuk menangkis Konoha senpu bajakanmu." Kali ini dia melek, lalu melirikku sekilas. Bibirnya tersenyum, tapi senyuman mengejek.

Akupun kembali ke kamar, niat ingin bersimpati tapi malah sambutannya begitu. Menyebalkan!

Sepanjang malam, aku tidak bisa memejamkan mata. Mungkin karena masih asing dengan tempat baru, yang lebih luas dan rapi, tidak seperti kamar kos dan kamarku di kampung. Atau karena rasa bersalah karena Abyan tidur di sofa sedangkan aku di kamarnya. Ah bukannya itu maunya, kenapa aku mesti memikirkan dia.

.

Pagi hari aku gelagapan, karena bangun kesiangan. Entah jam berapa aku terpejam, karena seingatku jam 3 aku masih terjaga. Sekarang pukul 07.30 aku baru bangun, untung tamu bulanan sedang berkunjung.

Aku berlari sana-sini, saking terburu-buru, sampai tidak mandi. Beberapa kali bertabrakan dengan Abyan, tapi kuabaikan. Semalam Tika bilang, hari ini pemilik Loundry akan datang, jadi semua karyawan harus berangkat, agar dapat penilaian baik. 

"Ya ampun, kamu berantakan banget, itu bedak belepotan gitu, benerin sana! biasanya gak bedakan sok-sok an pake bedak, mentang-mentang Pak bos mau dateng," ucap Mbak Riva saat aku baru sampai Laundry. 

Aku segera melesat ke kamar mandi. Membenahi penampilan yang berantakan. Beruntung si Bos belum datang, jadi tidak dapat nilai minus karena datang terlambat. Padahal biasanya memang datangnya tidak harus pagi karena sistem kerja borongan, hitungan bukan perhari tapi berapa kilo cucian dan setrikaan yang kukerjakan.

Aku menata nafas yang ngos-ngosan karena berlari. Motor kesayangan masih di tempat kos, jadi harus setia menunggu angkutan yang datang.

"Sstt ... Pak Bos dateng, kita kasih sambutan tapi biasa aja nggak usah lebay, dia nggak suka yang berlebihan," ucap Mbak Riva memberi aba-aba.

Kami lalu berdiri di dekat pintu untuk menyambut kedatangannya. 

"Selamat pagi, Pak," ucap kami serempak.

"Pagi ... Loh kamu? Kamu kerja disini?" Dia menunjuk wajahku membuatku berkedip berkali-kali. Kenapa dia yang harus jadi Bosku. 

"I-iya, Pak," jawabku sambil menunduk. Dunia memang tak selebar daun kelor. Abyan Saputra. lelaki yang baru berapa hari melafazkan akad di depan Bapakku, ternyata dia bosku.

Ini kalau dijadikan cerita kira-kira judulnya apa ya. "Bosku suamiku" atau "Suamiku ternyata pemilik Laundry tempatku bekerja" aduh!

"Mulai sekarang, kamu nggak usah kerja disini," ucapnya lagi membuatku dan semua karyawan membelalakkan mata.

"Maksudnya?"

"Kamu saya pecat!"

"Tapi salah saya apa, Pak?"

"Karena kamu istri saya, masa istri jadi karyawan sendiri." Begitu jawaban yang sedang aku bayangkan.

Dia diam sejenak, matanya awas memperhatikan isi ruangan. Lalu mendekat ke arahku.

"Karena kamu nggak mandi!

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Jodoh Kesasar   Ending

    Allah punya cara sendiri dalam menjodohkan ummatnya. Ada banyak cara unik Allah dalam menemukan jodoh, seperti halnya aku dan Mas Abi, yang berjodoh dengan cara nyasar.Kalau dipikir-pikir memang tidak nalar. Tapi beginilah jalannya. Dan meski begitu, pada akhirnya kami bisa saling mencintai dan saling melengkapi.***“Papa ....” Bocah kecil itu tertatih menghampiri Mas Abi yang baru pulang kerja.“Hay Putri.” Mas Abi menyambutnya dengan membuka kedua tangannya dan Faza langsung meraih tubuhnya dengan langkah tertatih karena belum lancar berjalan.“Sini sama mama dulu, Papa baru pulang, masih capek.” Aku bermaksud memindahkan Faza ke gendonganku tapi dia menggeleng cepat malah bersembunyi di leher Mas Abi.“Udah nggak apa-apa, bikinin teh aja ya,” pinta Mas Abi. Dia lalu mengangkat tubuh Faza tinggi-tinggi membuatnya tertawa.Aku segera membuatkan teh dan menyiapkan air untuk Mas Abi. Setelah air siap, aku membawakan secangkir teh ke ruang tengah, tapi di sana tidak ada. Kuletakkan sa

  • Jodoh Kesasar   Obat Hati

    Sudah tiga hari aku kembali ke rumah, selama itu pula aku tidak pernah menyentuh Faza kecuali saat memberinya ASI, itupun karena Mas Abi yang meminta, memerah ASI-pun karena bengkak dan sakit sehingga terpaksa aku melakukan pumping...“Kamu kenapa?” Mas Abi merebahkan diri di belakangku, tangan besarnya melingkar di perutku.“Nabila,” panggilnya lagi karena aku masih bergeming.Dia lalu mengangkat tubuhku membuatku duduk dan berhadapan dengannya.“Sini cerita sama saya,” ucapnya sambil menatapku dalam. Bahkan saking dalamnya, aku sampai takut tenggelam.“Hey!” Dia mengangkat daguku karena tetunduk.“Aku ... Aku ... Huwaaa ....” Bukannya berbicara, aku malah gegerungan persis anak kecil minta mainan. Entah kenapa perasaanku begitu aneh. Seperti ada sesuatu yang menghimpit di dada.Dia menarikku ke dalam pelukannya, membuatku merasa nyaman dan semakin menumpahkan tangis di sana.“Sudah bisa cerita?” tanyanya setelah aku puas menangis. Dia merenggangkan pelukan dan mengusap air mataku

  • Jodoh Kesasar   Baby Blues Syndrome

    Aku membuka mata perlahan, memandang ruangan yang di dominasi warna putih.“Nabila, kamu sudah sadar?” Mas Abi yang berada di sampingku mendekatkan wajahnya.“Memangnya aku pingsan?” tanyaku balik dengan lirih. Entah kenapa tenagaku seperti habis terkuras.“Alhamdulillah,” lirihnya. Dia lalu menghujaniku dengan ciuman.“Terimakasih sudah berjuang,” ucapnya lagi sambil mengecup jemariku.Berjuang? Apa aku habis perang melawan penjajah?“Sebentar saya panggilkan dokter.” Dia lalu keluar dan kembali lagi dengan seorang dokter laki-laki.“Alhamdulillah, sudah bisa pindah ke ruang perawatan,” kata dokter muda itu setelah memeriksaku.“Alhamdulillah,” ucap Mas Abi masih tetap menggenggam erat jemariku.Aku lalu pindah ruangan. Brankar di dorong oleh beberapa petugas. Selama perjalanan, Mas Abi tidak melepas genggamannya. “Nabila ... Alhamdulillah, Nduk.” Mamak tergopoh-gopoh memasuki ruanganku. Dia memelukku penuh haru. Begitupun Bapak, yang tak henti mengusap kepalaku.“Laper, Mak,” renge

  • Jodoh Kesasar   Lelah

    Pak Santoso, adalah driver taksi yang sudah disiapkan Mas Abi untuk keadaan darurat. Akhir-akhir ini Mas Abi sering tugas di luar kampus, jadi dia mem-booking Pak Santoso agar siap siaga kapanpun dibutuhkan..."Baru pemukaan tiga, sabar dulu ya, Mbak. Nanti setengah jam lagi kita cek lagi. Tidurnya miring ke kiri," ucap seorang bidan yang menanganiku."Masih lama nggak?""Nanti tunggu pembukaan sepuluh, sabar ya."Haduh. Pembukaan sepuluh, sedangkan ini baru pembukaan tiga saja sudah sesakit ini. Bagaimana kalau sampai sepuluh, apa aku akan kuat."Mak, panggilin Mas Abi. Aku mau Mas Abi sekarang!""Iya-iya." Mamak mengambil ponsel dan menelepon Mas Abi."Maakk ...." Setengah menjerit aku memanggil Mamak karena perut rasanya seperti ditekan."Sabar, Bila. Banyakin berdoa biar bayi kamu keluar dengan selamat dan kamu juga selamat--""Argggh ...." Aku mengerang, saat ini aku tidak butuh nasehat, aku cuma butuh Mas Abi di sampingku."Jangan ngeden dulu ya, Mbak, ini sudah pembukaan tuju

  • Jodoh Kesasar   Welcom Baby

    "Kamu kenapa cengar-cengir gitu, Bil?" Mamak menatapku khawatir menyadariku bertingkah tidak biasa. Sejak pagi, aku merasa perutku mengencang, rasanya mau buang air besar, tapi saat ke kamar mandi rasa mulas hilang."Nggak apa-apa, Mak. Perut Bila cuma agak kenceng aja," jawabku. Aku tidak mau membuat Mamak khawatir, apalagi sekarang Mas Abi sedang mengisi seminar, jadi aku tidak bisa bermanja-manja.Tetap kupaksakan diri ke laundry, meski perut sebentar kencang sebentar tidak. Aku tetap mau pergi agar tidak terlalu merasakan sakit. Tapi sepertinya Mamak bisa menangkap gelagatku yang sering menahan sakit."Kami tetap mau ke Loundry, Bil? Rumah aja lah, Mamak kuwatir kamu lairan di sana.""Ya kalo kerasa nanti kan tinggal berangkat ke rumah sakit, Mak," elakku."Nggak-nggak! Kamu tetep rumah aja, udah siapin keperluan yang mau dibawa buat lahiran?" tanya Mamak seolah-olah aku sudah mau lahiran."Udah si, Mak.""Baju ganti kamu, terus perlengkapan bayi udah belom?""Udah." Aku ingat nas

  • Jodoh Kesasar   Love sekebon

    "Ya sama kampungku, Mas, emang sama siapa?" "Bukan sama seseorang yang ada di kampung?""Mas apaan, sih posesif gitu." Aku merengut. Padahal kan aku benar-benar rindu dengan suasana kampung...Sesuai perkiraan Mas Abi, hari ini Mamak dan Bapak sampai. Jam lima sore, mereka sudah sampai di rumah. Aku menyambutnya dengan pelukan hangat. Rindu sekali dengan Mamak yang bawel, dan Bapak yang apa adanya."Nabila, kamu tuh udah hamil segede itu malah jingkrak-jingkrak, nyeri Bapak lihat perutmu mentul-mentul," ucap Bapak. "Ho'oh, weteng wes gede ngono, egen pecicilan wae, Bil Bil." Mamak turut menimpali. "Kangen banget, Mak. Kan Bila seneng, akhirnya Mamak nemenin Bila disini, besok Bila ajakin jalan-jalan ke Mall, Mak." Aku memeluk Mamak lagi. Bapak melihatku sambil geleng-geleng kepala.Aku lalu mengajak mereka ke kamar yang sudah di persiapkan. Ruangan kosong yang sebelumnya dijadikan gudang, disulap jadi ruang kerja, sedangkan ruang kerja yang awalnya memang kamar tamu, dijadikan ka

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status