Hari ini aku bangun lebih pagi. Tidurku tidak nyenyak karena sekamar dengan orang asing. Pergerakanku jadi terbatas, aku tidak bisa buang angin dengan bebas.
Kubenahi kamar yang berantakan, kasur lipat yang digelar dilantai segera kusimpan lagi. Saat tengah berbenah, mataku memicing, melihat dompet tergeletak di bawah kasur. Aku mengambil dompet itu untuk menyimpannya. Tidak ada niat kepo dengan isi dompet itu, tapi aku penasaran karena terlanjur melihat foto seorang gadis yang sepertinya tidak asing. Gadis itu memakai jilbab Navy, wajahnya berminyak dan sedikit kusam. Tangannya tengah memegang boneka tangan, untuk bercerita. Dalam hati aku membatin, kucel amat ini cewek, tapi setelah dilihat lagi ternyata itu wajahku. Ya ampun, jelek sekali ternyata aku. Eh tapi tunggu, kenapa dia menyimpan fotoku di dompetnya? Jangan-jangan dia sudah mengenalku sejak lama. Jangan-jangan lamaran itu tidak kesasar tapi memang dia sengaja mencariku, buktinya dia tetap melanjutkan pernikahan meski sudah jelas bukan aku orangnya, bahkan ketika aku berusaha berbicara dengannya, dia seolah menghindar. Aku jadi ingat percakapannya dengan orang suruhannya beberapa hari sebelum akad. "Bagaimana, Pak. Apa sebaiknya kita batalkan saja pernikahan, Bapak. Biar saya yang bicara dengan mereka," ucap pesuruh yang dipanggil Joni. Dia berbicara dengan serius. "Tidak usah, saya tetap melanjutkan pernikahan, dan kamu ...." Dia menunjuk pesuruh yang bernama Fathul. "Gajimu saya naikkan dua kali lipat." "Beneran, Pak?" tanya Fathul tidak percaya. "Ya. Kamu juga." Lalu dia menunjuk Joni. . "Besok saya kembali ke Jakarta," ucap Abyan saat kami tengah sarapan bersama. 'Alhamdulillah' batinku bersorak gembira. Berarti aku bakalan bebas dari mahluk tuhan paling sexy, eh ralat, mahkuk tuhan paling menyebalkan. "Minta restunya ya, Buk, Pak," ucapnya lagi. Pencitraan! Di depan mereka manis banget kaya permen lollipop. Pantes mereka seneng banget sama dia. "Insyaallah bapak rida, Nak. Kamu itu sekarang anak bapak jadi kemanapun langkahmu selama itu baik, bapak ridoi." Entah sejak kapan Bapak jadi sok bijak, padahal dulu waktu aku mau kuliah, Bapak tidak begitu. Malah seperti berusaha menahan supaya aku tidak jadi berangkat ke Kota. Mendadak aku jadi cemburu dengan perhatian Bapak ke Abi. "Nduk?" Mata Bapak beralih menatapku. "Kamu sekarang udah jadi istri, yang manut sama suami, kemanapun pergi harus ijin dulu sama suami, ingat ya, jangan bandel jangan suka keluyuran tanpa ijin suami ... Dengerin kalo Bapak ngomong!" Aku pura-pura batuk supaya tidak semakin panjang ceramah Bapak. "Abi, kalo Bila nakal, digetok aja!" "Iya, Pak. Nanti saya getok, getok sayang," jawabnya sambil melirikku. Aku segera berpaling, supaya tidak terlibat kontak mata dengannya, bukan apa-apa hanya kawatir nanti dia terhipnotis dengan pesonaku. . "Sudah siap semuanya?" tanyanya saat aku tengah duduk santai sambil memainkan ponsel. Dia sejak tadi sibuk berurusan dengan koper, sementara aku sibuk dengan kegiatanku sendiri: berbalas pesan dengan sahabatku. "Situ yang mau pergi, kenapa saya yang ditanyain, dari tadi siap-siap nggak kelar-kelar," ucapku nyinyir. "Padahal seharusnya kamu yang nyiapin semua ya, kan kamu istri saya!" Aku mendengkus, apa si maunya? Minta dibantuin tinggal bilang aja, batinku. "Sini, tak bantuin, kurang apa lagi?" Aku mendekati kopernya, berniat membantunya packing. Anggap saja sebagai hadiah perpisahan. "Kurang kamu yang belom dipacking," ucapnya sambil berlalu. Enak saja aku mau dipacking, emangnya mau dijual di sopi. . "Jangan sampe ada barang penting yang tertinggal," ucap Mamak. Perhatian sekali sama menantu, sama aku yang anak kandung saja tidak selembut itu. "Barang yang paling penting itu istri,Buk jangan sampe dia ketinggal." "Uhukk!" Tiba-tiba aku tersedak ludah sendiri. "Udah siapin barang-barangmu?" tanya Mamak. "Lah emang aku mau kemana?" tanyaku bingung. "Ke Hongkong! Ya mau balik ke Kota lah, ikut suami." Mamak menngetok kepalaku. "Tapi kan, Mak--" belum selesai bicara, Mamak sudah menyenggol lenganku sambil melotot kode agar menurut. Akhirnya aku berkemas, sambil terus menggerutu. Entah bencana apa yang nanti akan berdatangan. "Pamit, Buk, Pak." Abyan mencium punggung tangan Bapak cukup lama, lalu mereka berpelukan seperti dua orang yang sudah saling kenal lama. Rasanya aku makin cemburu, melihat Bapak melepas kepergiannya dengan haru. Sedangkan denganku biasa saja. . Perjalanan ke Kota kami lalui dengan saling diam. Dia sibuk menyetir sambil menikmati lagu. Sementara aku terus memonyongkan bibir karena mkasih ada bekas cemburu dengan Bapak. "Apa tidak capek itu mulut monyong terus, sampai satu meter begitu," ucapnya sambil melirikku sekilas. "Perhatian banget," jawabku ketus. "Saya nggak perhatian, cuma sedikit memperhatikan saja." "Halah sama aja, jujur aja, situ dah naksir kan sama saya, udah nguntit saya sejak lama kan?" Mobil tiba-tiba berhenti mendadak. Hampir aku berteriak karena kaget dia menginjak rem dengan kasar. "Ge-er!" jawabnya singkat sambil membuka sabuk pengaman. "Hey, mau ngapain?" Aku merasa parno, jangan-jangan dia mau menurunkan aku disini, lalu ditinggal pergi begitu saja. "Salat, sambil istirahat di Masjid!" jawabnya sambil turun dari mobil. Akupun mengikuti gerakannya sambil menggerutu. "Udah?" tanyaku setelah dia salat. Dia duduk di serambi Masjid sambil tubuhnya bersandar di tembok. "Nih!" Dia mengangsurkan uang seratus ribuan. Aku mengernyit. "Buat saya?" "Tolong belikan minuman, saya haus!" Huh, seenak jidat nyuruh-nyuruh. Aku meraih uang itu lalu bergegas membeli minuman botoldan memberikan padanya. . Perjalanan selesai, kami sudah tiba di Jakarta. Dia membelokkan mobil ke sebuah perumahan sederhana. Rumah-rumah model minimalis berjejer rapi. Banyak pepohonan tumbuh di sekitaran rumah. Mobil berhenti di pelataran rumah bercat abu-abu. Beberapa tanaman tumbuh subur di halaman rumahnya. Dia memasuki rumah, akupun mengekor di belakangnya sambil menyeret ransel yang berisi beberapa pakaian saja karena sebagian banyak yang kutinggal di kosan. "Barang-barangmu taruh sini saja," ujarnya membukakan pintu kamar. "Kamu kalau mau istirahat disitu, saya tidur di luar," ucapnya lagi setelah mengantarku ke kamar. Dia lalu keluar lagi. Aku duduk di sisi ranjang. Mengamati kamar luas yang cukup rapi meski penghuninya laki-laki. Kubuka ransel, bermaksud memindahkan isinya ke lemari, tapi aku bingung karena lemari isinya baju dia semua. Apa iya aku letakkan di sana juga, sepertinya nanti dia tidak akan mengijinkan baju-bajuku disatukan dengan miliknya. Aku keluar kamar, mencari sosok Abyan. Rupanya dia sedang merebahkan diri di sofa. Rasanya tidak tega membiarkan dia tidur di sana, sementara aku di kamarnya. "Emm ...." Bingung mau panggil dia apa, Kakak atau Mas, atau apa ya yang tepat. "Kalau lapar, di meja makan sudah ada nasi Padang, saya sudah pesan dua bungkus, yang satu buat kamu," ucapnya masih dengan mata terpejam. Apa dia sedang mengigau? "Emmm, saya cuma ... Mau ... Em sebaiknya kamu tidur di kamar aja, aku yang disitu." Dia masih bergeming. "Atau ... Kita tidurnya di kamar aja," saranku hati-hati. "Saya takut kamu khilaf," jawabnya masih dengan mata terpejam. Enak saja khilaf, aku kalau mau khilaf juga mikir-mikir. "Nggak akan, tenang aja." "Saya juga belum punya jurus untuk menangkis Konoha senpu bajakanmu." Kali ini dia melek, lalu melirikku sekilas. Bibirnya tersenyum, tapi senyuman mengejek. Akupun kembali ke kamar, niat ingin bersimpati tapi malah sambutannya begitu. Menyebalkan! Sepanjang malam, aku tidak bisa memejamkan mata. Mungkin karena masih asing dengan tempat baru, yang lebih luas dan rapi, tidak seperti kamar kos dan kamarku di kampung. Atau karena rasa bersalah karena Abyan tidur di sofa sedangkan aku di kamarnya. Ah bukannya itu maunya, kenapa aku mesti memikirkan dia. . Pagi hari aku gelagapan, karena bangun kesiangan. Entah jam berapa aku terpejam, karena seingatku jam 3 aku masih terjaga. Sekarang pukul 07.30 aku baru bangun, untung tamu bulanan sedang berkunjung. Aku berlari sana-sini, saking terburu-buru, sampai tidak mandi. Beberapa kali bertabrakan dengan Abyan, tapi kuabaikan. Semalam Tika bilang, hari ini pemilik Loundry akan datang, jadi semua karyawan harus berangkat, agar dapat penilaian baik. "Ya ampun, kamu berantakan banget, itu bedak belepotan gitu, benerin sana! biasanya gak bedakan sok-sok an pake bedak, mentang-mentang Pak bos mau dateng," ucap Mbak Riva saat aku baru sampai Laundry. Aku segera melesat ke kamar mandi. Membenahi penampilan yang berantakan. Beruntung si Bos belum datang, jadi tidak dapat nilai minus karena datang terlambat. Padahal biasanya memang datangnya tidak harus pagi karena sistem kerja borongan, hitungan bukan perhari tapi berapa kilo cucian dan setrikaan yang kukerjakan. Aku menata nafas yang ngos-ngosan karena berlari. Motor kesayangan masih di tempat kos, jadi harus setia menunggu angkutan yang datang. "Sstt ... Pak Bos dateng, kita kasih sambutan tapi biasa aja nggak usah lebay, dia nggak suka yang berlebihan," ucap Mbak Riva memberi aba-aba. Kami lalu berdiri di dekat pintu untuk menyambut kedatangannya. "Selamat pagi, Pak," ucap kami serempak. "Pagi ... Loh kamu? Kamu kerja disini?" Dia menunjuk wajahku membuatku berkedip berkali-kali. Kenapa dia yang harus jadi Bosku. "I-iya, Pak," jawabku sambil menunduk. Dunia memang tak selebar daun kelor. Abyan Saputra. lelaki yang baru berapa hari melafazkan akad di depan Bapakku, ternyata dia bosku. Ini kalau dijadikan cerita kira-kira judulnya apa ya. "Bosku suamiku" atau "Suamiku ternyata pemilik Laundry tempatku bekerja" aduh! "Mulai sekarang, kamu nggak usah kerja disini," ucapnya lagi membuatku dan semua karyawan membelalakkan mata. "Maksudnya?" "Kamu saya pecat!" "Tapi salah saya apa, Pak?" "Karena kamu istri saya, masa istri jadi karyawan sendiri." Begitu jawaban yang sedang aku bayangkan. Dia diam sejenak, matanya awas memperhatikan isi ruangan. Lalu mendekat ke arahku. "Karena kamu nggak mandi!"Jadi sekarang kerjaan kamu jadi pengitai?" tanya Abyan sedikit mengejek. Setelah ketahuan menguntit, aku dipaksa pulang bersamanya, padahal masih mau jalan sama Genk Cilok."Enggak.""Nggak salah kan?" "Saya tuh nggak bermaksud ngikutin Bapak, tapi mereka yang ngajakin." Aku berusaha membela diri, kan memang benar aku hanya ikut-ikutan."Ya ya, besok masih mau ngikutin lagi?" "Nggak lah! Ngapain.""Sebaiknya memang diikutin, supaya tidak diambil orang," ucapnya lagi, aku hanya meliriknya malas. Diambil siapa? Kan memang dia milik Nadia, aku hanya numpang iklan.Aku melangkah menuju kamar, bersiap merebahkan tubuh yang lelah, tapi kamar sudah berubah. Barang-barangku tidak ada."Saya butuh ruangan yang lebih besar untuk ruang kerja dan meletakkan buku-buku, dan ... sepertinya kamu juga butuh tempat untuk belajar jadi kamar ini saya jadikan ruang kerja, sekaligus ruang belajar untukmu, nanti kalau ada tugas yang kamu nggak ngerti bisa tanya saya." Seperti mengerti isi kepalaku, dia
"Butik dah mau tutup, kamu nggak mau siap-siap pulang, apa mau nginep disini jadi penjaga Butik?"tanya Mbak Lia yang sedang merekap penjualan."Kalo boleh si mau tidur sini aja, Mbak," jawabku sambil merapikan baju-baju."Kenapa ini, kaya anak yang lagi ngambek sama orang tuanya aja." Mbak Lia terkekeh.Bukan ngambek sama orang tua, tapi malas tinggal dengan orang asing. Apalagi sejak kemarin melihat dia nempel sama Nadia, aku jadi semakin merasa tidak diinginkan. Bukannya aku cemburu, tapi ... merasa tidak berharga, jadi bukankah sebaiknya aku pergi.Pokoknya hari ini juga aku mau cari kos-kosan baru, tekatku sudah bulat. Kalau memang belum dapat, aku mau tidur saja di rumah Emping atau Devi."Mbak, saya mau ketemu perempuan yang tadi mengirim pesanan ke tempat Nadia." Terdengar suara seorang lelaki di depan butik. Aku segera ke depan, pasti yang dimaksud itu aku. Jangan-jangan aku punya kesalahan."Nah, itu dia orangnya!" Dia menunjukku yang baru keluar,sementara aku terpaku karena
"Dari mana?" Suara dingin menyapa saat aku sedang mengendap-endap masuk ke dalam rumah. Aku sampai terlonjak karena kaget. Kayaknya dia termasuk jenis mahluk setengah gaib deh, tiba-tiba berada di depanku, apa jangan-jangan dia punya teleportasi ya. Padahal tadi waktu aku tengak-tengok sepi, kaya nggak ada kehidupan. "Eee ... Dari ...." Aku menggaruk kepala yang terbungkus scarf motif. Kenapa mendadak gatal ya, ini pasti karena jadi duta shampo lain."Dari tadi saya udah pulang, tapi pintu dikunci, sudah nunggu lama, Bapak nggak pulang-pulang, jadi saya pergi lagi lah," lanjutku mendapat alasan dadakan."Kenapa nggak nelepon?" "Nelpon siapa? Satpol PP atau petugas Damkar? Saya kan nggak punya nomor Bapak." "Berarti kamu tadi nggak catat nomor saya ya."Lah memangnya dia kapan kasih nomor telepon"Kamu tahu ini jam berapa?" tanyanya menginterogasi. "Tau! jam sembilan lebih dua puluh menit," jawabku santai sambil menengok jam di dinding. "Jam sembilan lebih, kamu baru pulang? Apa
Lidahku mulai bergerilya, mengitari mulut siapa tahu ada sisa makanan yang terselip di sela-sela gigi. Kawatir nanti kalau tertawa ada cabe atau sayur ijo yang nempel di gigi, kan malu. Setelah kejadian nasi nangkring di bibir, masa ditambah cabe nyempil di gigi."Gayanya sok cuek, waktu Gue inpoh bakal kedatengn dosen ganteng, nyatanya paling terseponah sampe nggak kedip gitu matanya," ucap Pinkan saat kami tengah beristirahat di kantin.Aku hanya diam saja, sambil mengaduk es jeruk. Nggak ada gairah buat ladeni si emping. Kalau dia tahu istrinya Pak Abyan itu aku ... Kira-kira gimana ya tanggapannya. Apa dia mau menajuhiku atau ...."Btw istrinya Pak Abyan secakep apa yak?" gumamnya sambil mengetukkan jarinya ke dagu. Tu kan? Baru saja diomongin."Beruntung banget deh dia, punya suami dosen ganteng," lanjutnya lagi."Biasa ajah." Devi berkomentar sambil mulutnya sibuk mengunyah tahu bakso hingga ludahnya sedikit muncrat."Elo mah nggak pernah nyambung kalo diajak bahas cogan, gue ja
Tega sekali Abyan main pecat-pecat saja. Padahal kerja baru berapa bulan, dan disini lumayan buat tambahan uang jajan. Ternyata begitu tabiatnya. Dia pasti tipe bos sombong yang semena-mena dengan karyawan. Huh!Aku melangkah lemas menuju kos-kosan. Satu poin penting selain upah lumayan, di sini juga dekat dengan kosan, jadi irit bensin, atau bisa jalan kaki saja kalau sedang mode pelit."Eeh ... Nabila udah balik ya." Sampai di kosan, Bu Santi--si Ibu kos menyanbutku. Ini aneh, biasanya rada jutek karena masih punya tunggakan. Tapi ini ...."Sini-sini!" Dia menarik lenganku, mengajakku masuk ke dalam rumahnya. Di sana ada sebuah tas besar teronggok di samping meja. "Itukan tasku," batinku heran."Nabila, Ibu minta maaf ya, kamarmu udah ada yang nempatin, bukan maksud ibu mau ngusir, tapi kamu kan masih ada tunggakan dua bulan, sedangkan Ibu sedang butuh sekali uang, jadi ... Ya ... Tapi Ibu bebasin kok uang kosan kamu yang dua bulan, nggak apa-apa udah ibu iklasin," tuturnya sambil
Hari ini aku bangun lebih pagi. Tidurku tidak nyenyak karena sekamar dengan orang asing. Pergerakanku jadi terbatas, aku tidak bisa buang angin dengan bebas.Kubenahi kamar yang berantakan, kasur lipat yang digelar dilantai segera kusimpan lagi. Saat tengah berbenah, mataku memicing, melihat dompet tergeletak di bawah kasur. Aku mengambil dompet itu untuk menyimpannya. Tidak ada niat kepo dengan isi dompet itu, tapi aku penasaran karena terlanjur melihat foto seorang gadis yang sepertinya tidak asing.Gadis itu memakai jilbab Navy, wajahnya berminyak dan sedikit kusam. Tangannya tengah memegang boneka tangan, untuk bercerita. Dalam hati aku membatin, kucel amat ini cewek, tapi setelah dilihat lagi ternyata itu wajahku.Ya ampun, jelek sekali ternyata aku. Eh tapi tunggu, kenapa dia menyimpan fotoku di dompetnya? Jangan-jangan dia sudah mengenalku sejak lama. Jangan-jangan lamaran itu tidak kesasar tapi memang dia sengaja mencariku, buktinya dia tetap melanjutkan pernikahan meski sud