“Mas Abi ngapain, si, pake kesini segala, mau nginep lagi!” Sekarang aku dan Abyan ada di kamar.Dari pada terus-terusan diinterogasi Mamak, lebih baik kusembunyikan saja dia disini. Dengan begitu aman dari pertanyaan macam-macam dari Mamak. Selain itu, kalau disini aku bebas ngomel-ngomel.“Kamu keberatan saya susul kesini?” tanyanya sendu. Membuatku jadi merasa bersalah karena sudah ngomel.“y-ya ... Maksud saya ....”“Saya cuma mau menjelaskan kesalahpahaman kemarin.”“Saya nggak mau dengar apa-apa!” Aku langsung menyerobot.Bukan tidak mau mendengar. Tapi aku hanya belum siap menerima kenyataan, kalau sebenarnya dia memang niat balas dendam. Atau kenyataan lainnya bahwa memang lamarannya nyasar. Entahlah aku belum siap dengan semuanya.“Jadi kamu lebih percaya dengan Yudha?” Dia menunduk, demi mensejajarkan tubuh kami.“Saya tidak menyalahkan kalau memang kamu lebih memilih dia, karena dia yang lebih dulu kamu kenal, dan mungkin memang kamu masih mencintainya—““Kok malah Mas Abi
“M-Mas Abi?” Sumpah demi apa, rasanya pengen menenggelamkan diri dalam lautan uang. Dia benar-benar Abyan. Oh Tuhan, kenapa aku selalu dipermalukan di depan dia.“Kok disini?” Aku bertanya dengan canggung. Sambil melepas headset dan mematikan musik di ponsel.“Mau nyusul istri,” jawabnya ringan sambil menahan senyum. Apa-apaan coba. Nyebelin. Aku segera masuk lagi ke dalam setelah meletakkan sapu di sembarang tempat, aku berlari ke dalam kamar.Kututup wajahku dengan bantal, sambil menangis karena malu. Kenapa jadi begini. Seharusnya aku lagi marah dan sedih gara-gara dia, tapi malah ketahuan sedang jingkrak-jingkrak. Oh Tuhan.“Bila, buka!” Suara Mamak memanggil diiringi gedoran pintu.Aku segera menghapus air mata dan membukakan pintu. Wajah galak Mamakpun nampang di depan kamar.“Kalian lagi marahan?”“Enggak, kok!”“Terus ngapain kamu, suami datang malah ditinggal ke kamar, dikunciin segala?”“Kan lagi ganti baju, Mak.”“Mana ganti baju, dari tadi masih pake itu juga!”“ish kan ma
Pikiranku malah melayang ke tempat Abyan. Dia sedang apa kira-kira. Apa dia juga tidak bisa tidur sepertiku. Ah tapi tidak mungkin. Nyatanya dia tidak peduli denganku. Tidak menghubungiku sama sekali. Dia kan memang jahat. Tega membohongiku, mengelabuhi ku dengan pura-pura baik."Mas Abi ...!" Aku memukuli bantal sebagai pelampiasan. Kenapa aku begini. Seharusnya aku biasa saja, toh aku tidak punya perasaan apa-apa dengan dia. Aku juga selama ini mempersiapkan diri jika suatu saat kita bercerai karena dia akan menikah dengan Nadia. Tapi kenapa sekarang rasanya sakit sekali saat mendengar pernyataan dari Yudha. "Mas Abi ... Salahku apa sama kamu?" Aku menutup wajah dengan bantal. Air mata terus menetes setiap mengingat dia. Kalau memang niatnya untuk membalas Yudha, lalu apa maksud kebaikannya selama ini. Dengan orang tuaku juga dia rutin memberi uang.Arrgghh ....Kepalaku rasanya mau pecah. Aku lalu beranjak dan pergi ke kamar mandi. Ambil air wudhu lalu meminta petunjuk pada sang p
Di dalam taksi, tangisku tumpah. Ucapan Yudha terus terngiang di kepala. Pantas saja waktu itu aku menemukan fotoku di dompetnya. Padahal sebelumnya aku sama sekali tidak kenal dengannya. Dia tiba-tiba datang melamar dan langsung diterima oleh Mamak.Entah bualan apa yang diucapkan orang-orang suruhannya, sehingga Mamak dengan begitu mantap menerima. Dia juga bilang, kalau sudah pacaran lama denganku. Dia bahkan bicara seolah-olah memang aku selalu berkelit jika diajak menikah. Jadi Mamak begitu yakin dan percaya padanya. Lalu Nadia ...Sekarang terjawab sudah alasan, kenapa mereka masih terus berhubungan. Dia memang tidak ada rasa untukku. Karena cintanya untuk Nadia. Tapi apa maksud kebaikannya selama ini? Kenapa dia begitu perhatian denganku. Dia memberiku nafkah sebagai mana mestinya. Dia bahkan juga membiayai kuliahku. Melindungiku. Membuatku merasa aman dan nyaman. Lalu disaat aku mulai mencintainya ...Hey mencintai? Tunggu-tunggu. Maksudku bukan begitu. Aku cuma merasa ... Me
“Na.” Yudha sudah berdiri di hadapanku. Dia sedikit menunduk demi menatap mataku. Demi apa, tatapan itu masih sama. Lembut dan tulus. Kuakui Yudha itu sosok yang mengesalkan. Manja dan ngambekan. Tapi untuk perasaan. Aku bisa merasakan ketulusannya. Dia tidak memandang dari mana asalku. Tidak pernah protes dengan penampilanku yang seadanya. Dulu ... Dia yang membantuku menyelesaikan tugas ospek yang menyulitkan: meminta tanda tangan kakak senior yang terkenal songong.Namanya Fernando. Dia aktornya kampus saat itu. Ganteng, banyak yang suka dan ... Sedikit Sombong. Idola cewek-cewek kampus banget. Aku bersusah payah menemuinya untuk meminta tanda tangan. Beberapa kali mencarinya di kelas, tapi tidak ketemu. Akupun sempat dikerjai kakak senior lain saat menanyakan Cowok yang bernama Fernando, karena memang belum mengenalinya sama sekali.Sampai muter-muter kampus, akhirnya kutemukan dia sedang makan di kantin sebrang kampus. Akupun mendekatinya. Dengan bekal fotonya dari panitia osp
"Ada apa ini?” Mamanya Abyan terlihat bingung. Dia menatap Abyan dan Yudha dengan wajah angkuh khas wanita sosialita kelas atas. Akupun bingung juga. Ada hubungan apa antara Yudha dan Abyan. “Ini, Ma. Perempuan yang dikenalin dia ke Mama ini pacarku, Ma. Dia yang pernah aku ceritain ke Mama, yang seharusnya Mama lamar buat aku tapi ternyata sudah diserobot sama cowok brengsek itu!” Yudha menjelaskan pada mamanya sambil menunjuk wajah Abyan dengan angkuh. Wajah sombong mereka sangat mirip. Cocok sekali kalo jadi anak dan Ibu. “Jadi ... Perempuan ini pacarmu, terus direbut sama anak sialan itu?” jawab Mamanya sambil menoleh ke arahku. Yudha mengangguk. Mamanya Abyan mendekat, dia menatap Abyan penuh kebencian.“Kenapa kamu suka sekali merebut kebahagiaan anakku?” Dia mendekati Abyan dan mendesis.“Setelah ibumu merebut suamiku, kini kamu merebut kekasih anakku juga?” desisnya di depan wajah Abyan. Dia hanya memundurkan wajahnya “saya tidak pernah merebutnya dari siapapun, Nabila belu