Share

Engagement

Pada mulanya memang, Cassie ingin membatalkan semuanya. Tetapi ketika ia bangun keesokan paginya, melihat seisi rumah sudah tertata rapi dengan hiasan di sana sini, Cassie kembali didera kegamangan.

Mimpi apa ia semalam, sampai-sampai tujuannya untuk menghentikan rencana orang tuanya, malah justru jadi bumerang. Bisma sudah mengatakan kalau pihak orang tua ingin pertunangan dimajukan. Namun, ini lebih cepat dari yang Cassie bayangkan.

“Ini buat apa, Ma? Kok ada hiasan-hiasan gini?” tanya Cassie, hanya sekadar memastikan. Ia berharap bukan seperti apa yang ia pikirkan.

“Lho, gimana, sih? Bisma gak bilang sama kamu kalau acara pertunangannya malam ini?” Mama menghentikan langkahnya, menatap Cassie dengan alis berkerut. “Apa kamu yang gak ngeuh pas Bisma ngasih tahu?”

Demi apa pun, Cassie ingin sekali pura-pura pingsan atau sekalian pura-pura gila karena ini. Namun, jelas itu ide yang konyol. Satu hal yang harus ia lakukan hanya menerima, dan bersiap.

Menerima perjodohan yang mana Bisma sendiri tidak menginginkannya, tetapi tak ingin membatalkannya, entah dengan alasan apa. Selanjutnya menjalani kehidupan pernikahan yang akan menyiksa batin, kemudian bersiap karena dalam dua tahun, lelaki itu akan menceraikannya.

“Ehm ... mas Bisma sudah bilang, sih, kalau pertunangannya dimajukan, tapi aku gak nyangka dalam minggu ini. Bahkan malam ini. Ini gak terlalu tergesa ya, Ma?” Cassie masih berusaha bernegosiasi, siapa tahu berhasil. Karena yang ia dengar, acaranya juga tidak mewah, yang penting khidmat, kata sang mama.

Monika kemudian menghampiri sang putri yang tampak bingung.

Ia maklum kalau Cassie masih tegang dan cemas akan bagaimana pernikahan itu nantinya. Selama ini, ia tahu sendiri kalau putrinya itu belum pernah berpacaran.

“Cas ... kenapa sih, kok kayaknya kamu gak setuju sama perjodohan ini? Padahal kamu tahu sendiri, mama sama papa sudah milihkan jodoh yang baik buat kamu. Secara fisik, Bisma ganteng, meski duda dan usia terpaut sepuluh tahun dengan kamu, tapi dia masih kelihatan muda. Belum lagi secara materi, dia sudah mapan dan sukses.”

Memang benar apa yang dikatakan sang mama, tetapi bagaimana dengan karakter? Bisma bisa jadi seorang pemain wanita yang suka bergonta-ganti perempuan dan yang kemarin dilihat oleh Cassie mungkin saja bukan kekasihnya, tetapi hanya teman tidur.

Ah, membayangkan itu kepala Cassie berdenyut nyeri.

Ia tak mungkin membatalkannya kalau sudah berjalan seheboh ini. Tak mungkin menyakiti kedua orang tuanya.

“Kamu gak pengen ngomong sama mama alasan kamu gak bersemangat sama ini semua? Apa kamu cemas gimana nantinya menjalani kehidupan yang baru?”

Iya, itu memang benar. Namun, apakah ada untungnya kalau Cassie bicara dengan Monika mengenai apa yang dia rasakan saat ini? Apakah akan memberi solusi seperti yang dia harapkan?

“Ma ... gimana kalau mas Bisma ternyata gak sebaik yang kita kira?” Gadis itu pada akhirnya memberanikan diri untuk buka suara. Meski tak yakin akan membawa efek pada sang mama yang terlanjur menyukai calon menantunya, setidaknya Cassie sudah berusaha.

“Mama yakin dia baik. Kalau ternyata dia gak baik, gak mungkin mama sama papa milih dia, Cas.”

Nah, kan ... Cassie sudah menduga itu yang akan dikatakan oleh sang ibu. Mereka sepertinya sudah telanjur kesengsem pada lelaki berperawakan atletis itu.

“Sekarang kamu istirahat dulu, nanti sore langsung siap-siap, karena jam tujuh malam nanti acaranya dimulai.”

Sempurna!

***

Seperti apa yang dikatakan oleh Monika, bahwa resepsi pertunangannya memang dimulai pukul tujuh malam dan berjalan dengan lancar, seperti apa yang diharapkan oleh kedua belah pihak. Termasuk Bisma, tentunya.

Namun, tidak dengan Cassie.

Bagaimana pun, sulit berpikir positif setelah menyaksikan bagaimana sang calon suami bermesraan dengan perempuan lain. Itu mungkin sebabnya Bisma membuat pasal mengenai kebebasan menjalin hubungan dengan orang lain, terlebih sudah memastikan tidak akan menyentuh Cassie, karena lelaki itu punya tempat untuk menyalurkan hasratnya nanti.

Sakit. Itu jelas. Namun, apa yang bisa ia perbuat?

Bahkan ketika Cassie sudah memberi sedikit sinyal, sang ibu tidak menyadari sama sekali malah berucap sesumbar kalau Bisma tidak mungkin akan berbuat yang tidak-tidak.

“Sedang apa di sini? Dicariin tamu-tamu, tuh.” Cassie tak ingin berbalik karena tahu siapa yang datang. Bos sekaligus calon suaminya.

Kini sudah resmi, bukan lagi rencana.

Dan menurut orang tua kedua belah pihak, pernikahan mereka akan dilangsungkan tak lama lagi. Setidaknya tiga bulan dari sekarang.

Waktu yang cukup singkat untuk menumbuhkan rasa cinta di hati mereka. Tampaknya itu yang sekarang harus Cassie pikirkan, cara untuk membuat Bisma jatuh cinta padanya. Atau jika tidak, opsi kedua akan lebih baik. Bagaimana caranya agar ia bisa segera hamil.

Memangnya bisa? Bukankah Bisma menegaskan sendiri kalau dia tidak akan menyentuh Cassie?

“Sumpek di dalem. Mending juga di sini, bisa lihat pemandangan,” jawab Cassie, dingin. Dia pun sama, mungkin tidak akan berharap disentuh oleh lelaki itu. Ia masih terbayang-bayang bagaimana bibir merah Bisma mengecup seorang perempuan.

Jelas Cassie tidak mau menikmati bekas perempuan lain.

“Besok kamu boleh libur. Saya akan kabari Lina buat urus pengajuan cuti kamu.” Bisma melangkah makin dekat dan kini duduk di samping Cassie.

“Gak usah. Aku tetap masuk aja. Lagi pula ini cuma pertunangan yang gak diharapkan,” ujar Cassie, datar tanpa ekspresi. Ia sama sekali tak menoleh pada Bisma. Namun, ia melihat dengan ekor matanya, kalau lelaki itu tengah memerhatikannya.

“Mama nyuruh kita untuk belanja keperluan pernikahan.” Bisma menambahkan.

“Harus buru-buru, ya? Kan masih tiga bulan.” Kali ini Cassie menoleh ke arah lelaki itu.

“Tiga bulan itu sebentar, lho! Dan aku maunya semua tersusun sesuai rencana. Kalau bisa bahkan bulan ini sudah siap semuanya.”

Cassie mendengkus mendengar perkataan Bisma, seolah lelaki itu bersemangat dengan pernikahan ini, padahal Cassie juga tidak tahu alasannya. Namun, sesungguhnya ini hanya formalitas.

“Mama juga tanya, kenapa kamu gak mau mindahin barang ke rumah baru.”

Cassie memutar bola matanya. Itu lagi yang dibahas, padahal Cassie sudah mengatakan apa alasannya, tetapi tetap saja jadi pertanyaan.

“Aku punya alasan yang percuma aku katakan ke kamu. Jadi bilang aja sama mama, aku sedang memilih mana aja barang yang mau dibawa. Selesai urusan.”

Bisma tampak hendak menjawab kembali, tetapi urung karena telepon genggamnya tiba-tiba berdering. Buru-buru ia menjauh dari Cassie saat telah memastikan siapa yang menghubunginya selarut ini.

Cassie menajamkan indra pendengarannya, Bisma bisa berkata sehalus itu pada perempuan yang menghubunginya. Ia bahkan berjanji akan segera menemui perempuan itu jika acara sudah selesai.

Yang benar saja?!

Sekarang saja sudah pukul delapan lebih dan masih ada acara ramah-tamah, lantas jam berapa Bisma akan mendatangi perempuan itu? Apa mereka akan ....

“Ehem, sampai mana kita tadi?” tanya lelaki itu, kembali merebahkan pantatnya di atas bangku, sedikit serong menghadap pada Cassie.

“Gak tahu. Tapi aku mau ngomong sesuatu.”

Bisma mengangguk, memberi isyarat agar Cassie mengungkapkan unek-uneknya.

“Karena ini pernikahan kita berdua, aku juga mau membuat syarat, apa boleh?”

“Kamu sudah tanda tangani, jadi gak akan ada syarat tambahan, dan aku gak akan membolehkan itu!” tegasnya, lalu bangkit dan meninggalkan Cassie seorang diri dengan kegalauan yang mengimpit dadanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status