"Akai Badai Bagaspati, nama kamu kan?" tegur Sasa berdiri angkuh sambil melipat kedua tangannya di depan dada, menunjukkan superioritasnya sebagai ketua kelas terpilih.
Lelaki yang tengah menelungkupkan wajahnya di meja deretan paling belakang itu tak bereaksi. Sejak kelas di mulai pertama kali dua hari yang lalu, lelaki ini sudah masuk dan menempati kursi yang selalu sama, kursi pojok kanan belakang. "Excuse me, permisi, kulo nuwun, punten, sampurasun, annyeong!!" ulang Sasa mengeraskan lagi suaranya agar lelaki yang masih tenang tak bereaksi ini mendengarnya. Sepi. Sasa tak lagi bersedekap, ia berganti gaya dengan berkacak pinggang, lama-lama lelaki aneh bin ajaib ini benar-benar menguji kesabarannya. "Kamu nggak denger apa yang aku bilang ya?" ulang Sasa sengaja mengambil satu kursi dan duduk di deretan depan sambil menghadap pada lelaki yang ia sebut namanya tadi. "Kenapa?" Badai, sosok tampan yang ditegur oleh Sasa membuka suara, merilis nada bariton itu dari bibir mungil merahnya. Giliran Sasa yang tertegun. Ia belum pernah menghadapi lelaki sedingin dan seangkuh Badai. Bahkan sang ayah yang merupakan mantan Pasukan Pengaman Presiden pun lebih hangat sikapnya ketimbang lelaki di depannya ini. "Tugas kelompok ilmu politik, kita satu grup, nanti selesai kuliah Dasar-Dasar Ilmu Sosial, kita rencana mau ke Perpusda buat cari bahan presentasi. Sama iuran sosial dua ribu," terang Sasa lirih. Badai nampak merogoh sakunya dan mengeluarkan satu lembar uang dua ribuan, ia serahkan langsung pada Sasa tanpa banyak bicara. Kesempatan ini tentu dimanfaatkan oleh Sasa untuk mengamati wajah dan postur tubuh Badai lebih detail. Garis-garis rahang Badai yang tajam dengan sorot mata teduh nan dingin itu menambat tatapan Sasa kali pertama. Putri cantik dari Marsekal TNI, petinggi militer aktif ini kehilangan kata-katanya untuk sepersekian detik. Benar, Badai bukan hanya memiliki aura bad boy yang kental, sikapnya yang terkesan sama sekali tidak menganggap keberadaan Sasa membuat Sasa justru merasa sangat penasaran. "Udah? Gitu aja? Tugas kelompok Ilmu Politik gimana? Kamu langsung dateng ke Perpusda kan?" tanya Sasa kembali menguasai dirinya. Senyum seringai muncul di wajah Badai, lirikannya masih setajam sebelumnya. Bahkan dahinya mengerut sedikit, membuat wajah setampan dewa itu berubah seolah mengancam Sasa. "Nggak semua yang kamu mau dan kamu pengin bisa kamu paksain ke orang laen. Berhenti bikin repot orang-orang di sekitar kamu dan nyusahin mereka. Dewasalah!" ujar Badai sedikit keterlaluan karena ucapannya membuat Sasa merasa diserang. "Aku ketua kelas asal kamu tau! Dan aku ngobrolin soal tugas. Kenapa kamu jadi nyinggung masalah pribadiku? Tau apa kamu soal kehidupanku?" lengking Sasa cukup keras hingga beberapa mahasiswa yang masih tinggal di dalam kelas menolehnya. Semua orang tahu siapa Sakura Kadita Rumi. Gadis yang lahir sebagai cucu cantik mantan presiden terdahulu dan mewarisi kemampuan seni peran dari ibundanya yang adalah mantan artis terkenal. Ia dibesarkan dalam keluarga militer yang kental. Sasa, begitu gadis ini akrab disapa tumbuh sebagaimana mestinya, manja dan penuh keceriaan meski sepanjang hidupnya ia tidak pernah lepas dari penjagaan tim pengamanan. Memilih untuk menjadi seorang guru, Sasa yang baru lulus SMA mendaftar kuliah di sebuah universitas keguruan, di luar yayasan yang ibundanya naungi. "Artis emang nggak bisa diremehin kemampuan dramanya," desis Badai segera berdiri dari kursinya dan berlalu meninggalkan Sasa yang siap mengutuknya. Harus Badai akui, kecantikan Sasa ada pada level yang berbeda. Putri Panglima Tentara Indonesia ini benar-benar memancarkan keindahan bunga, matanya yang bening khas Indonesia, Badai hampir kehilangan akalnya. Ini adalah kali pertama Badai berinteraksi dengan Sasa. Ya, Akai Badai Bagaspati, 26 tahun, mengabdi di Kesatuan Indonesian Special Force, Tentara Indonesia dengan kemampuan di atas rata-rata. Bergabungnya ia di kelas Sasa sebagai seorang mahasiswa tak lain adalah karena ia mengemban dua tugas berat di pundaknya. Ia menjaga sang putri Panglima Tentara sebagai calon suami, juga melindungi negaranya dari ancaman teror yang mulai meracuni para mahasiswa dan menggunakan kekuatan anak muda untuk mencapai tujuan makar mereka. *** Akhirnya, mau tidak mau, Badai terpaksa menjalani agenda perkuliahan yang mengharuskannya menjaga Sasa. Ia tidak bisa menolak perintah dan mengabaikan kewajibannya begitu saja. "Apa nih?" gumam Sasa bingung saat tiba-tiba Badai melempar jaket padanya di pintu keluar perpustakaan daerah. "Mau ujan, kamu cuma pake baju tipis, anginnya kenceng, pake jaketku. Balik bareng aku aja, di sini susah nyari taksi online. Lagian, sok-sokan nggak dikawal dan dijemput sopir segala," ujar Badai berusaha tampak tidak peduli tapi sikapnya bertolak belakang dengan mulutnya. Sasa terhenyak tapi tak menolak, ia terima jaket pemberian Badai. Meski wajahnya tak ramah, meski Badai tak memiliki urat senyum di wajahnya, tapi hati Badai masih tergerak untuk memuliakan perempuan sepertinya. "Aku ngambek sama Ayah, makanya aku kabur dari pengawalan," keluh Sasa jujur. "Kamu duluan aja, aku bisa pulang sendiri," tolaknya. "Nggak bisa! Kamu keliat terakhir keluar dari sini sama aku, kalau ada apa-apa, aku yang jadi tersangka utama. Ikut!" paksa Badai meraih pergelangan tangan Sasa agar ikut naik ke motornya. "Ke kost-ku aja dulu yang deket sini, sambil nunggu ujan deresnya lewat," putusnya. Kalimat tak acuh dan tegas Badai yang bertolak belakang dengan sikap penuh perhatiannya justru menambat hati Sasa sangat kuat. Dirinya tertawan begitu saja, jatuh cinta pada pandangan pertama. ###Interaksi mesra keduanya, juga candaan Badai yang kini seringkali menghangatkan suasana membuat Sasa tak hanya menikmati bulan madu mereka, tapi juga menyembuhkan semua rasa sakit yang bertubi diterimanya. Badai membuat Sasa tidak pernah menyesali satupun keputusan yang diambil setelah mereka saling mengenal dan berbagi rasa, termasuk kekecewaan saat tahu bahwa Badai pernah dinikmati perempuan lain. Kini, Sasa sudah berlapang dada menerimanya. Ia juga tak mau ambil pusing dengan apapun yang Arleta perbuat untuk meretakkan hubungannya dengan Badai. Semakin lama, ia akan kebal dengan sendirinya."Cari makan di pinggiran danau aja ya Yang?" tawar Badai setelah ia dan Sasa siap untuk menikmati sore hari Luzern yang menawan."Emang ada yang buang Mas?" tanya Sasa polos sekali."Yang buang?" alis Badai bertaut."Lha katanya mau nyari," gumam Sasa."Apa sih Nduk," Badai terbahak. "Maksudku beli, bukan nyari dalam arti yang sebenernya," terangnya."Iya, aku juga cuma bercanda, bukan karena ak
Adalah Luzern, kota kecil dengan pemandangan indah nan romantis di malam hari ini yang akhirnya ditetapkan Sasa dan Badai untuk menghabiskan sisa waktu 8 hari mereka setelah dua hari tinggal di Frankfurt, Jerman. Badai tahu, Luzern adalah kota sempurna bagi ia dan Sasa untuk menumbuhkan cinta, merajut kembali asa pernikahan mereka yang sempat koyak karena perpisahan dan rasa sakit yang sempat melanda. Suasana kota yang tenang, aroma angin yang manis, juga pemandangan alamnya yang menakjubkan langsung membuat Sasa jatuh cinta. "Kota ini adalah pilihan yang tepat banget buat bulan madu," bisik Sasa sambil sesekali menggigiti telinga suaminya sensual. Badai tersenyum simpul, tangannya sudah menangkup kedua dada Sasa yang tanpa balutan. Musim dingin baru saja berlalu, cuaca menghangat, matahari bersinar cerah. Baru siang tadi mereka tiba di hotel dan berniat untuk berjalan-jalan sore harinya. Alih-alih beristirahat, sang pengendali naga tak tahan untuk melakukan aksinya."Aku goyang Mas
"Bentar," Badai menepuk pundak istrinya sebentar dan berjalan mendekati seorang petugas avsec di dekat pintu keberangkatan bandara.Melihat keanehan suaminya dan bagaimana Badai dan dirinya dikawal oleh petugas itu menuju check in counter tentu saja membuat Sasa bingung. Namun, ia tidak banyak bertanya, ia ikuti saja langkah Badai yang melepas genggaman tangannya untuk mengurus dokumen keberangkatan bulan madunya."Kenapa sih Mas? Ada masalah sama dokumen kita?" tanya Sasa sambil melempar senyum dan melambaikan tangan pada beberapa orang wartawan."Enggak, aman aja," jawab Badai."Terus tadi ngapain?" gumam Sasa penasaran."Badai kudu dipisahin sama pacarnya kan kalau lagi naek pesawat?""Hem?" dahi Sasa berkerut, bingung dengan maksud sang suami. "Aku? Kita nggak bisa duduk deketan di pesawat?" tanyanya sedikit panik."Nggak gitu," Badai menahan tawa. Dibawanya Sasa duduk setelah tiba di executive lounge. "Ini kan penerbangan sipil, handgun-ku musti didaftarin dulu dan dititipin, ala
Arleta tercekat, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa selain lanjut berjalan dan turun dari pelaminan. Hatinya tak menyangka, Badai akan sekejam itu padanya dan keluarga."Siapa Ibuk?" tanya Sasa heran."Mamanya," desis Badai. "Aku biasa manggil Ibuk ke beliau," tambahnya.Sasa mengulum bibir merah meronanya, hatinya tergerak, "Mungkin kita nggak boleh terlalu kejam Mas. Sekedar jenguk pun aku nggak akan keberatan," ujarnya."Aku udah nitip salam, itu udah cukup Nduk," kata Badai mantap. "Aku harus jaga perasaan banyak orang, sedangkan dia justru berusaha menyakiti dirinya sendiri dan mamanya dengan memelihara harapan. Aku sekarang adalah suami orang. Banyak pelajaran yang kuambil setelah kita sama-sama dipisahkan. Jadi, biarin kujaga kamu dan keluargaku sebaik mungkin!" ikrarnya.Sasa tak lagi membantah. Jika ini memang keputusan yang sudah menjadi keyakinan sang suami, ia tinggal mengikuti. Sebenarnya Sasa juga bahagia karena Badai menjadikannya prioritas utama dengan tak lagi memedulik
Akhirnya, apa yang Sasa impi-impikan sebagai pernikahan khayalan masa kecil putri cantik Damar, terlaksana. Berbalut kebaya modern nan elegan, Sasa menuntaskan langkahnya di samping Badai dalam prosesi pedang pora nan sakral. Sebagai tanda jasa karena pengorbanan luar biasa Badai dalam menyelesaikan perlawanan Organisasi Kriminal Bersenjata bersama tim, ia dianugerahi kenaikan pangkat. Kini, Sasa adalah istri seorang Kapten Akai Badai Bagaspati. "Kamu sengaja ngebiarin banyak wartawan yang ngeliput acara kita?" gumam Badai berbisik pada sang istri saat keduanya menyelesaikan prosesi pedang pora dan duduk di pelaminan. Sasa mengangguk, "Iya, biar aku nggak diserang sama rumor jahat lagi. Jadi, nanti kalau aku hamil, aku bisa menikmati kehamilanku dengan bahagia dan tanpa beban. Jujur, aku ngerasa bersalah banget karena selama kehamilanku dulu, aku nggak jaga Gala dengan baik Mas," ungkapnya. "Bukan salah kamu Nduk, semua udah jadi kehendak Allah, gitu kan kata kamu?" "Iya Mas, tapi
Melajukan mobil kesayangan Badai itu meninggalkan halaman rumah, Sasa menemukan jalanan sudah mulai lengang oleh orang-orang yang berangkat menuju tempat kerja. Meski ramai lancar, Badai tetap saja khawatir dan merasa was-was saat sopirnya adalah Sasa, si labil manja nan imut itu."Apa aku perlu nemuin Arleta ya Mas?" tanya Sasa memecah keheningan, setidaknya ia membuat Badai lupa pada ketegangannya."Buat apa?" gumam Badai bingung."Kita nikah udah lama, udah banyak yang terlalui berdua kan ya? Kok dia kayak masih nggak rela ngelepasin Mas Badai gitu.""Terus kamu mau ngomong apa kalau udah ketemu sama dia?" tantang Badai.Sasa mengedikkan bahunya, "Ngobrol sebagai selayaknya perempuan yang udah pernah menikmati Mas Badai," katanya santai sekali."Nduk!" Badai mendesis."Emang bener gitu kan? Setelah dulu nggak berhasil nyerang kepercayaanku ke Mas Badai, sekarang dia nyoba nyerang aku secara mental lewat media sosial," desis Sasa terdengar kesal tapi tak tahu harus bagaimana melampi