“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….”
Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temannya mengajak bermain permainan konyol “jujur atau berani” yang berujung dengan banyak kekalahan untuknya. Banyak kekalahan berarti banyak minum, terlalu banyak minum, berarti banyak hukuman. Dan hukuman terburuk yang Kayla dapatkan tadi malam adalah … mencium seorang pria asing. ‘Ah! Pria asing!’ Kayla tiba-tiba mengingatnya. Saat menerima satu hukuman itu, Kayla sudah terlalu mabuk untuk berpikir jernih. Yang dia ingat adalah … dia berjalan mendekati seorang pria yang sedang duduk sendirian dengan posisi membelakangi mereka. Kayla melihatnya sedikit menyedihkan, karena duduk sendiri di tengah ingar-bingar dentuman musik yang mengalun keras dan kerlap-kerlip lampu warna-warni yang berputar memenuhi ruangan. Kayla lalu menepuk pundaknya, pria itu berbalik badan, dan tanpa ragu Kayla menciumnya! “Bodoh!” Kayla yang mengingat hal itu lalu memukul kepalanya sambil berdecak kesal, namun tiba-tiba … jantung Kayla berdegup kencang, saat ingatan dalam kepalanya memutar hal yang sangat gila yang dia lakukan semalam! Setelah Kayla mencium pria tersebut, dia berniat menjauhkan diri. Namun, pria itu malah menarik tengkuknya, lalu menciumnya semakin dalam! Ingatan Kayla detik-detik berikutnya terpotong-potong dengan tidak jelas, berputar tumpang tindih di kepalanya. Kayla ingat dia mendesah, menikmati apa yang sedang dia lakukan. Entah kapan mereka berpindah, tapi Kayla merasakan tubuhnya terbanting ke tempat tidur, mengerang saat pria itu menikmati setiap jengkal tubuhnya. Walau hanya sepotong-sepotong, tapi Kayla yakin dirinya sudah memerankan adegan yang sangat liar layaknya film panas dengan pria asing itu! “Mimpi, itu pasti mimpi,” ucap Kayla selagi kembali mencoba untuk menampik ingatan tersebut. Wanita itu pun lalu membuka matanya, dan … dia terkejut. “Apa … apa-apaan ini?” gumam Kayla dengan tubuh bergetar. Langit-langit kamar yang sedang dia lihat … itu bukan langit-langit kamarnya! Kayla langsung mendudukkan diri, lalu melihat sekeliling. ‘Hotel, ini kamar hotel!’ serunya dalam hati saat menyadari tempatnya berada. Pandangan Kayla menyapu perlahan pemandangan sekitar. Pakaiannya berserakan di lantai, ruangan itu juga tampak berantakan menandakan pergulatan panas yang terjadi semalam, sampai akhirnya … Kayla melihat sebuah punggung kokoh yang terbaring di sebelahnya! Wanita itu terkesiap, dia langsung menutup mulutnya, menahan diri untuk tidak berteriak. “Tidak … tidak!” Air mata mulai mengalir menuruni wajah Kayla. Kesucian yang telah dia jaga selama 24 tahun lenyap begitu saja di tangan pria asing ini?! Dengan emosi yang membuncah dalam diri; sedih, kecewa, dan marah, Kayla menatap benci pria yang tengah memunggunginya. Pria yang telah merenggut hal paling berharga dari hidupnya. Baru Kayla mengangkat tangan dengan niatan memukul bajingan itu, pria yang masih tidur tersebut memutar tubuhnya ke arah Kayla. Dan … wajah pria yang tidur bersamanya semalam itu pun terlihat! Alis tebal nan tajam, hidung mancung, bibir tipis menggoda, dan rahang tegas berwibawa. Dilengkapi dengan rambut coklat gelap pekat yang tebal, pria tersebut bisa dikatakan adalah pria paling menawan yang pernah Kayla lihat. Namun, satu hal yang menjadi masalah. Kayla mengenali wajah itu. Sangat mengenalinya. “Kak … Kak William?!” Kayla terbelalak selagi menyebut nama pria itu dengan wajah terkejut. Bagaimana tidak? Wajah tampan bak malaikat yang tengah tertidur pulas itu memang benar Kaisar William Drake, yang biasa disapa William, pria yang paling Kayla benci di dunia ini sekaligus … teman baik kakaknya sendiri!Ghafa duduk di bangku kayu di taman kota, tempat yang mereka sepakati sebelumnya. Pakaian santainya tampak sedikit kusut, menandakan bahwa ia sudah berada di sana cukup lama. Ia menatap lurus ke depan, namun kakinya bergerak-gerak tanpa sadar—sebuah kebiasaan yang muncul saat dirinya mulai gelisah.Sesekali, ia melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah lebih dari lima menit berlalu sejak waktu yang mereka sepakati. Ia menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk lututnya, pikirannya mulai dipenuhi keraguan. Apakah Sandra benar-benar akan datang?Lagi-lagi ia melirik jam tangannya. Lima menit berubah menjadi sepuluh, lalu dua puluh. Hatinya mulai terasa aneh. Bukan marah, bukan kesal—lebih kepada sebuah perasaan yang sulit dijelaskan.Ia menggigit bibirnya, lalu menyandarkan tubuhnya ke belakang. Satu tarikan napas panjang lagi. Saat ia mulai mengangkat ponselnya, ragu apakah harus menghubungi Sandra lebih dulu. Namun, dia matikan ponselnya dan memasu
Belum sempat berlama-lama sibuk dengan pikirannya sendiri, wanita itu menyapa Sandra."Hei, bukannya kamu wanita yang ada di pameran tadi?" Dia mendekati Sandra dengan tersenyum ringan.Rambut pirangnya dan wajah bulenya itu membuat Sandra mengernyitkan keningnya."Kamu kenal dengannya, Stella?" Ghafa berkata ramah. Stella, ternyata wanita itu bernama Stella, dan cara Ghafa bicara dengannya sangat berbeda ketika dia bicara dengan Sandra, kesannya terasa sangat hangat dan cukup akrab."Tentu saja! Dia adalah penyelamat Kayla saat di acara itu saat si wanita jahat itu ingin menjatuhkan Kayla!" Stella berkata dengan antusias pada Ghafa. "Kau harus berterima kasih padanya, Kak Ghafa!" Stella lalu menepuk lengan Ghafa dengan lembut, menunjukkan keakraban mereka."Memangnya Kayla kenapa?" tanya Ghafa melihat ke arah Sandra dengan tatapan tajam menuntut jawab.Sandra tersenyum penuh misteri, sengaja dia lakukan dengan sedkit menggoda. "Itu ... ceritanya panjang. Aku akan cerita kalau kamu ma
Setelah acara selesai, Ghafa mengajak Sandra untuk pergi menemaninya ke acara pesta pernikahan temannya. Kebetulan sekali acara Sandra bersamaan dengan acara pernikahan temannya ini, hingga dia yang gengsi untuk hanya sekadar mendatangi pameran Sandra pun, ada alasan lainnya yang dia ucapkan pada wanita itu.Ghafa paham sekali dari bahasa tubuh Sandra bahwa wanita itu sepertinya menyukainya, hanya saja dirinya yang masih belum mau memikirkan masalah percintaan ini karena terlanjut banyak kecewa dengan para mantannya membuatnya membentengi dirinya dengan sangat tinggi."Ke acara pernikahan temanmu?" tanya Sandra dengan wajah sumringah saat itu.Ghafa mengangguk pasti. "Ya Kebetulan sekali acaramu ini bertepatan dengan acara pernikahan temanku, kebetulan aku sudah membeli tiket dari jauh hari, dan acaranya tidak bersamaan, jadi aku bisa datang ke semua acara."Mendengar kalimat yang baru saja terlontar dari mulut Ghafa sekilas Sandra tampak murung. Mungkin dia sudah merasa sangat spesia
Sandra menatap layar ponselnya dengan perasaan yang semakin tak menentu. Pesan yang ia kirimkan ke Ghafa sudah berstatus "terbaca", tetapi seolah hanya berbisik ke dalam kehampaan tanpa balasan yang diperolehnya. Apa pria itu benar-benar berpikir kalau hubungan mereka hanya putus sampai malam itu saja?Wanita itu terlihat mendesah panjang, jari-jarinya menggenggam erat ponsel, menahan desakan perasaan yang semakin kuat mencengkeram dadanya. Ia menggigit bibir, mencoba menghalau gelombang kekecewaan yang mulai menghantamnya. Hatinya berdegup tak menentu, seperti menanti sesuatu yang mungkin takkan pernah datang. "Kenapa aku masih berharap?" bisiknya, nyaris tanpa suara."Apa aku terlalu berharap?" gumamnya pelan, menatap langit-langit kamar hotelnya di Los Angeles. Ia menarik napas panjang, mencoba mengusir semua keraguan yang berkecamuk di dalam pikirannya. Besok adalah hari penting itu, tapi sampai detik ini, Ghafa tidak ada memberi kabar sedikit pun.Sejak bertemu dengan Ghafa saat
Sandra menatap Ghafa dengan mata yang masih sembab, mengerucutkan bibirnya.Hal ini tentu saja membuat Ghafa melihat ada ekspresi manja yang mirip dengan Kayla.Sementara Sandra yang melihat Ghafa tidak memiliki respons padanya, membuatnya menarik napas panjang sebelum akhirnya berbicara dengan suara yang sedikit bergetar."Aku baru saja ribut besar dengan orang tuaku," ucapnya pelan. "Ayahku ingin aku mengurus bisnis keluarga, tapi aku nggak bisa ... aku nggak mau."Ghafa menatapnya dengan sedikit rasa ingin tahu, tetapi tetap diam."Bahkan waktu itu, dia mencoba mengenalkanku dengan seseorang yang katanya cocok jadi pasangan hidupku." Kembali Sandra berkata dengan nada berat.Sandra menarik napas panjang, lalu melanjutkan, "Aku sebenarnya kagum dengan pria itu, tapi aku harus tau diri juga."Mata Ghafa sedikit menyipit, tetapi ia tetap mendengarkan."Aku nggak tahu apa-apa waktu itu," lanjut Sandra dengan suara lebih pelan. "Saat aku bertengkar dengan Kayla di kantor William, aku ba
Ghafa menarik Sandra keluar dari kafe dengan langkah cepat, meninggalkan pegawai dan pelanggan yang sibuk berbisik-bisik, mencoba menebak apa yang sebenarnya terjadi. Begitu mereka sampai di luar, Sandra mencoba melepaskan tangannya, tetapi Ghafa menggenggamnya lebih erat."Heh, sakit! Lepasin tanganku!" protes Sandra sambil mencoba menarik tangannya.Ghafa berhenti dan menatapnya dengan tatapan tajam. "Kamu sadar nggak apa yang baru saja kamu lakukan di dalam? Kamu bikin aku terlihat seperti—""Seorang ayah yang kabur dari tanggung jawab?" potong Sandra dengan nada datar. Wajah Ghafa langsung berubah tegang."Hei Nona," katanya dengan suara rendah, nyaris seperti sebuah ancaman, "kalau kamu sedang bosan dan ingin bermain-main, ayo, jangan tanggung. Aku tahu bagaimana caranya bisa membuat anak dengan--""Maaf-maaf, aku tidak ada bermaksud seperti itu aku hanya ...." Sandra memperlihatkan wajah frustrasinya. "Tuan, bisa bawa aku ke tempat yang lebih tenang?" pintanya dengan suara rendah