"Cepat nak, bantuin Bapak ya!" pinta Pak Heru saat itu juga. Ia melihat Alvan masih terbengong sendiri. Agak bingung sebenarnya, mengapa Alvan melihat Ellysia sampai seperti itu.
"I, iya Pak," jawab Alvan agak terbata.
Alvan menarik napas cukup dalam. Ia kini berhadapan lagi dengan gadis yang selalu menyusahkan sejak pertama kali bertemu.
Bagaimana bisa takdir bertindak seperti ini. Ia seperti dipermainkan keadaan. Sejauh ia berjalan ke bagian terpencil bumi. Tetap saja sosok gadis ini yang ditemui. Apa tidak ada lagi wanita lain untuk dipertemukan dengan dirinya.
Tidak butuh banyak tenaga untuk menggendong Ellysia. Alvan melakukannya dengan begitu mudah. Tapi tidak dengan hatinya yang seperti menahan beban cukup berat.
Dengan jarak sedekat itu, Alvan bisa melihat tiap garis wajah dari gadis muda tersebut. Mata yang tertutup terlihat cantik dengan bulu mata lentik. Alis tebalnya tampak menawan ditambah ada tahi lalat kecil di salah satu sisinya. Menakjubkan bagi Alvan.
"Nak, hujannya sedikit reda. Kita bawa sekarang ya. Kamu dudukkan saja Nona Ell di bagian tengah sambil bawa payung," ucap Pak Heru menjelaskan.
"Hahhh." Alvan terkesan agak terkejut. Ia spontan membayangkan bagaimana repot dirinya saat harus membawa Ellysia dengan payung di tangan. Belum lagi jika ada angin yang akan membuat payung tersebut semakin berat.
"Kenapa Nak?"
"Enggak papa Pak. Ya udah, pumpung hujan sedikit terang. Kita bawa aja Nona," ucap Alvan tapi belum bisa dilanjutkan karena lupa nama gadis itu. "Nona siapa tadi?"
"Nona Ell." Bibi Tari menyahut tiba-tiba.
"Iya Nona Ell."
**
Seorang dokter pria muda sedang memeriksa kondisi Ellysia. "Dia hanya kelelahan."
"Apa bisa segera baik Dok? Apa perlu kami bawa ke rumah sakit di kota?"
"Tidak perlu. Dia akan segera membaik dengan obat yang saya berikan."
Pak Heru merasa sedikit lega. Ia terlihat begitu panik tadi.
Alvan yang yang terus memperhatikan, tak bisa banyak bertanya. Namun, dalam dirinya ada rasa penasaran yang tinggi akan status sosok gadis yang dipanggil Nona Ell itu.
"Bukannya dia anak orang kaya. Kenapa bisa ada di sini?" tanya Alvan dalam hati. Ia pun mendekati Pak Heru sekali lagi. Mungkin setelah ini, dirinya sedikit berbincang-bincang sebentar. Kemudian pamit pulang.
Suasana di luar, hujan terasa turun kembali deras. Pak Heru memandangi Ellysia. Ingin rasanya membelai gadis itu. Tapi diurungkan.
"Kenapa Pak? Saya lihat tadi Pak Heru ingin meraba keningnya?" Alvan mendekat tiba-tiba.
"Enggak pantes rasanya. Gimana pun dia anak orang kaya. Nggak etis kalau saya yang miskin menyentuh kulit Nona Ell."
Alvan diam sejenak. Lalu kalau gadis ini memang orang kaya. Mengapa sampai tinggal di perkampungan yang lumayan terpencil seperti ini.
**
Hujan yang turun sepertinya sudah tidak sederas tadi. Alvan berusaha memperhatikan tetesan air yang turun.
"Sudah mulai reda." Alvan mengucapkan dalam hatinya.
Pria itu kemudian berniat membangunkan Pak Heru yang tertidur di sofa ruang tamu karena terlalu lama harus menunggu hujan reda.
"Ohh iya. Kelihatannya udah terang. Kita balik aja sekarang!"
Alvan pun mengiyakan. Ia berjalan menuju kamar di mana Ellysia sedang berbaring. Betapa terkejut dirinya mendapati Ellysia sudah sadar dan sedang menatap dirinya dari tempat tidur.
"Ka, kamu lagi?" Ellysia melotot seakan dirinya yang paling terganggu dan terkejut dengan kemunculan Alvan.
Alvan membuang wajah ke sisi yang lain. Ia berharap dirinya segera cepat pergi dari sini dan menjauh dari gadis bernama Ellyisa itu.
"Nggak usah pura-pura terkejut. Kamu pasti sengaja pingsan tadi. Biar aku bisa nganter kamu ke dokter. Dasar merepotkan," omel Alvan pada Ellysia yang tak tahu apa-apa. "Ayo cepetan turun. Kamu nggak pingin pulang ke rumah?"
Ellysia melihat sebuah tangan yang seperti siap untuk dipeganginya. Namun, ia berpura-pura tak paham. Dibiarkan telapak tangan itu terbuka cukup lama begitu saja.
"Hey, punya telinga kan?"
"Kasar banget sih ngomongnya!"
Ellysia mengerutkan alisnya. Ia tak mau ditolong pria itu. Disingkirkan tangan Alvan yang berusaha membantunya untuk turun dari tempat tidur klinik yang rasanya memang cukup tinggi.
"Dasar, gadis merepotkan," ucap Alvan cukup nyaring dan terdengar oleh Ellysia.
"Kamu nggak sadar. Justru kamu sendiri yang nyebelin, sombong, songong, angkuh, pemarah, nggak peka, sok kaya. Ngeselin lagi."
Ingin rasanya tangan Alvan membungkam mulut gadis itu. Begitu banyak sifat buruk darinya yang bisa diucapkan dengan begitu menggebu dan semangat.
Ellysia menatap kesal. Baginya apa yang diucapkannya tadi adalah kejujuran yang paling benar yang pernah dirinya ucapkan.
"Kenapa melotot, sakit hati ya? Padahal aku belum puas buat menyebutkan semua sifat buruk kamu sejak pertama kali kita bertemu," ucap Ellysia.
"Emang kamu masih ingat kita pertama kali bertemu di mana?" Alvan mengucapkannya dengan semakin mendekatkan jarak tubuhnya dengan Ellysia.
Ellysia perlahan mundur. Membiarkan tubuhnya dikunci oleh kedua lengan Alvan yang menempel di atas kasur tempat tidur.
"Kalau kamu ingat bagaimana kita pertama kali bertemu. Kamu pasti malu. Kalau harus bertemu aku lagi. Sekarang cepat ikut aku pulang. Pak Heru sedang menunggu di depan," perintah Alvan.
Ada sedikit nada mengancam yang bisa didengar oleh Ellysia. Gadis itu seketika menciut. Ia tak punya banyak nyali untuk membalas ucapan Alvan. Tapi, dirinya kini yakin seyakin-yakinnya. Bahwa Alvan memang benar-benar lelaki yang menyebalkan.
**
Pulang dengan satu motor dengan pria yang dianggap musuh. Sesuatu yang sangat mustahil dan kini menjadi nyata.
Pak Heru menyuruh Alvan untuk memboncengnya. Sedang Pak Heru sendiri lebih memilih berjalan kaki karena harus mampir sebentar ke sawah.
"Hati-hati kalau bawa motor. Jangan-jangan kamu nggak bisa lagi. Atau kamu kepikiran buat culik aku ya. Kok dari tadi nggak nyampe rumah sih. Jangan-jangan sengaja ya. Kamu kan kesel sama aku. Heyyyy, ngomong sesuatu. Dasar emang cowok nyebelin." Ellysia berbicara sendiri tanpa jeda saat dibonceng.
"Hey, bisa diam nggak sih. Jalan licin banget. Kalau kamu ngomong terus, fokusku pecah. Mau jatuh dari motor?" Alvan merasa emosi. Ia langsung menghujam Ellysia dengan kata-kata pedas untuk meluapkan kesalnya.
Tak percaya dan tak terima. Begitu galak cowok di depannya itu. Ingin Ellysia menggerakkan tangannya, lalu mencekik dan menarik Alvan ke belakang hingga terjungkal. Kemudian menertawainya hingga puas agar bisa merasa lega.
Namun, itu hanya imajinasi. Tak mungkin Ellysia melakukan hal tersebut. Jika iya, yang berakhir tragis bukan hanya Alvan. Tapi dirinya juga.
Begitu lama Ellysia harus berbonceng dengan Alvan. Waktu rasanya berhenti. Ia tak bisa berbuat banyak. Selain berharap roda motor berputar cepat. Mengantar dirinya agar segera sampai di rumah Pak Heru dengan selamat.
"Ayo cepat dong. Lama banget sih!" keluh Ellysia.
"Dasar nggak tahu untung," sahut Alvan seenaknya sendiri.
"Apa!"
"Diam cerewet!"
Rasanya sudah seperti perang dingin. Antara Alvan dan Bima. Selama ini tidak hanya hubungan sebagai teman kerja saja di antara, mereka berdua. Tapi, juga sebagai sahabat karib, yang kemanapun bisa dibilang selalu bersama.Ya, tapi meski begitu, Alvan sadar. Ia bukan anak laki-laki yang baru menginjak remaja. Hati pria dewasa memang rumit. Jika ada yang bisa menjelaskan pun belum tentu orang yang mendapat penjelasan itu akan paham. Dicoba oleh Alvan untuk membuang sikap egois yang mungkin muncul dan tanpa sadar juga dirasakan juga oleh Bima."Bima!" panggil Alvan seperti biasa di ruangan kerjanya."Iya!" Bima mendekat. Ia tersenyum ceria seperti biasa. Mungkin karena merasa sudah menang satu kosong pagi ini dalam mencari perhatian dari Ellysia. Makanya ia bisa bersikap
Malam ini rasanya sulit sekali untuk tidur. Ellysia menatap langit-langit kamarnya yang kosong dan terlihat berlubang. Atapnya berwarna hitam karena adabekas air yang menetes dan agak berlumut. Dulu hal itu terlihat seram. Tapi, untuk saat ini, Ellysa seperti sudah terbiasa.“Besok Papa datang. Mungkin nggak sih kalau papa bakal bawa aku balik ke kota,” gumam Ellysia sendiri. Ia bertanya pada hatinya.Rasanya ingin sekali memejamkan sepasang matanya. Berharap ia bisa segera masuk ke alam mimpi dan bertemu dengan sang papa. Namun, saat dirinya memejamkan mata. Yang muncul bukannya sang papa. Tapi, justru malah pria sok yang akhir-akhir ini terlihat baik.“Alvan!” Ellysia membuka matanya dengan
Ellysia bergegas meninggalkan Alvan dan Pak Heru.. Ia sudah tidak berselera lagi untuk berbasa-basi dengan Alvan.Pak Heru menjadi tidak nyaman. Ia menatap pada Alvan karena merasa bersalah. “Maaf ya Nak. Nak Alvan jdi lihat pemandangan kayak tadi,” ucap Pak Heru.“Nggak papa Paman. Ell emang kayak gitu kan!” Alvan seolah mengerti dengan sifat Ellysia. Dari tempatnya berada, ia bisa melihat Ellysia yang akan masuk ke dalam rumah.Sebelum Ellysia benar-benar masuk. Ia berhenti sejenak pada bibi Tari. Diserahkan amplop yang diterimanya tadi dari Alvan. Amplop yang berisi uang dari hasil kerjanya seharian ini.‘Amplop itu diberikan pada Bibi Tari. Yang bener aja.’ A
Ellysia bisa merasakan peluhnya. Panas siang ini, benar-benar terasa menyengat. Beruntung, ia mampu melewati semua itu. Saat ini ia memutuskan untuk beristirahat. Menunggu waktu yang lima menit lagi adalah waktu untuk pulang kerja.Gadis itu memutuskan untuk berada di salah satu sudut. Di mana sudut itu bisa membuat dirinya mampu untuk melihat senja yang ada di ujung persawahan.Dia mengagumi pemandangan itu. Pemandangan matahari terbenam yang berdiri sendiri dan begitu menyilaukan bagi setiap pasang mata yang melihatnya. Hilang begitu saja, tapi kemunculannya sangat ditunggu-tunggu. Apalagi jika bisa melihatnya di tempat yang nyaman dan tenang, seperti pantai mungkin. Tapi itu, hanya imajinasi dari keinginan terdalam seorang Ellysia.Tak lama setelah itu, seorang pria terli
Alvan kembali ke ruangan miliknya. Diletakkan kembali minuman yang diibawanya tadi di atas meja. Lalu duduk bersandar di kursi. Kedua matanya menerawang ke atap kantor. Hanya kosong yang dilihat. "Perasaan apa ini? Gimana bisa aku jadi kesel banget sama Bima gara-gara lihat dia beri minuman ke Ellysia." Bingung merajai perasaan Alvan. Ia tak paham apa yang menimpa hatinya. Tak pernah seperti ini sebelumnya. Sementara itu, Ellysia yang merasa diperhatikan oleh seseorang tiba-tiba mengawasi sekeliling. Ia mencermati yang ada, tapi dilihat lebih detail. Ternyata tidak ada siapa-siapa yang tampak mencurigakan. Namun, rasanya seperti ada sepasang mata yang melihat ke arahnya. "Ell, kamu kenapa? Kok kayak bingung gitu?" tanya Bima. Ia lalu meneguk minumannya.
Di waktu malam yang begitu dingin, semilir angin sejuk mengalir dari sawah yang ada di sekeliling tempat tinggal Ellysia. Ia menikmati dingin itu, meski terasa tajam menyentuh pada kulit halusnya. Tapi, dibiarkan saja.Tersenyum menatap langit yang banyak bintang, Ellysia sedikit demi sedikit bisa merasa bahagia di tengah keterbatasan yang ada. Tinggal di desa yang sebagian besar dipenuhi persawahan. Baginya ini yang pertama dan paling mengesankan.Sulit sebenarnya menerima apa yang telah terjadi. Namun, seiring waktu ada kesadaran dari hati seorang Ellysia. Ia sadar bahwa dirinya harus berjuang. Mungkin sudah hampir terlambat, tapi ia tetap akan berusaha.Apalagi, mengingat sore ini. Saat dirinya baru pulang bekerja dari tempat Alvan. Ia dengan gaji harian
Siapa sangka, matahari ternyata akan mendung. Cuaca yang tadinya cerah, sudah berubah dengan sangat cepat. Hari yang sudah hampir sore. Jam pulang kerja kan segera tiba. Tapi, yang terjadi justru terasa ada gerimis.Ellysia sudah hampir selesai. Ia mendapatkan tugas untuk membereskan segala perlengkapan yang tadi digunakan untuk menyortir ikan kering. Beberapa kotak baskom yang terbuat dari plastik harus segera dikembalikan ke tempat sanitasi. Sudah ada karyawan yang menunggu untuk membersihkan di sana."Aduhhh …., banyak juga yang perlu dibersihkan. Apa jamku cukup ya?" gumam Ellysia.Ia membawa setumpuk kotak baskom di tangannya. Hampir saja karena buru-buru ia kembali akan terjatuh. Tapi, Alvan berhasil menolongnya."Hati-hati, jangan sampai keteledoran s
Pagi ini matahari bersinar cukup cerah tidak seperti hari-hari sebelumnya. Dimana mendung lebih sering menghiasi langit. Kali ini mentari tersenyum. Menunjukkan kekuasaan sinarnya yang begitu luar biasa.Alvan sudah bersiap di tempat pengepulan. Ia sudah bekerja cukup giat pagi ini. Beberapa karyawan yang juga telah datang ikut menunjukkan loyalitasnya termasuk Ellysia.Gadis itu tampak cukup cekatan enteng membantu beberapa pekerjaan yang dulu sempat membuatnya terkesan sulit untuk melakukan. Namun akhir-akhir ini gadis itu tampak begitu bersemangat.Masih ingat dalam bayangan Alvan, kejadian beberapa hari yang lalu. Saat ia mengetahui Ellysia terisak di dalam kamar mandi. Ia sebenarnya ingin mencari tahu mengapa gadis itu melakukannya. Tapi, dia langsung mengur
Senja terlukis di langit yang begitu luas. Hamparan air di persawahan yang bergelombang menari diterpa angin menghasilkan pemandangan yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata. membuat tenang setiap mata memandang. Apalagi ada angin sejuk yang menyentuh kulit memberi kenyamanan tak terhingga. Senang rasanya bisa berada di persawahan seperti ini.“Ell, cepet bereskan ikan-ikan ini. masukkan ke dalam keranjang!” pinta Bima yang sejak tadi menemani Ellysia bekerja di sawah.Ellysia menoleh. Ia yang sejak tadi memandang hamparan air sawah yang hijau bergegas menghampiri Bima. “Ikan yang mana?” tanya Ellysia.“Yang ini!” jawab Bima sambil menunjuk sebuah keranjang besar. “Itu yang loncat-loncat kamu masukkan lagi ke tempatnya sesuai ukur