Bara menyugar rambutnya ke arah belakang. Gadis itu sudah terbaring tak berdaya di atas lantai. Bahkan betapa bodoh dirinya saat tak menyadari wajah pucat sang mantan sedari tadi. Tak berapa lama David— sang asisten GM pun sudah berada di ruangan.
“Panggil dokterku sekarang!!” titah Bara.
David mengerjapkan matanya berkali-kali. Memastikan bahwa indera pendengarannya tak bermasalah sedikit pun.
“Dokter Anda?”
“Iya. Cepat!!” Bara sudah berkacak pinggang hampir frustrasi.
‘Ternyata Rena benar-benar penting di hati pria seperti Bara. Apa dia lupa kalau di hotel ini ada bagian tim medis?’ gumam David saat menyadari memang sedari awal perlakuan sang atasan begitu berbeda pada seorang Rena.
&
Sang dokter mengerutkan dahinya sejenak, “Kenapa harus tes DNA, Pak? Dengan pemeriksaan darah saja sudah bisa mendiagnosa kalau pasien memang terserang tifus.” Bara hampir tersedak salivanya sendiri. Hanya karena dokter menjelaskan kata ambigu berupa pernyataan positif, sang GM itu lantas menciptakan alibinya sendiri. Setidaknya dia bisa bernapas lega karena harapan Rena tidak terjadi.“Pasien akan dirawat inap setidaknya sampai hasil pemeriksaan kembali normal,” papar dokter berkaca mata itu.“Lakukan yang terbaik, Dok.” Usai mendengar penjelasan dari dokter, Bara segera menuju ke ruangan Rena. Memastikan kondisinya baik-baik saja melalui perawat khusus yang dibayarnya.“Kabari saya perkembangan kesehatan pasien itu. Jangan kat
“Maksudnya ... Lupakan apa yang saya katakan tadi,” kata David yang segera membalikkan tubuhnya. Sungguh dia ingin menanyakan pendapat Rena tentang sang kekasih, namun dia lagi-lagi meragu.“Tak ada yang tak mungkin di dunia ini,” pekik Rena mengeraskan sedikit suaranya. Sang asisten GM itu berhenti sejenak. Bukan untuk menoleh, melainkan memikirkan ucapan Rena yang sudah terulang sebanyak dua kali. Kedua sudut bibirnya segera membentuk lengkungan. Sementara Rena yang baru saja kembali ke istana mungilnya segera melompat kegirangan di atas ranjang. Dia benar-benar merindukan aroma peppermint yang ada di kamar. Ya, aroma yang sama dengan parfum yang dimiliki oleh sang mantan yang selalu bersarang di hatinya sampai detik ini.***
Wanita yang masih berada di ruangan sang GM menampakkan senyum devil-nya. Bahkan sekarang tubuhnya tak berjarak satu sentimeter pun dari tubuh pria yang merupakan mantan Rena itu. Tangannya bergelayut manja pada sang GM.“Kekacauan apa yang kau lakukan??” bentak Bara pada sang mantan yang sudah berada di hadapannya.“Aku hanya melakukan tugas,” jawab gadis itu tanpa merasa bersalah.“Bohong, dia sengaja mendorongku,” rengek wanita yang masih tak melepas tangannya dari lengan sang GM.Rena hanya berdecih pelan menanggapi aduan yang tak benar tadi. Jelas sekali memang apa yang dikatakan hanya omong kosong belaka. Sementara sang wanita yang melihat belum adanya tindakan dari pria disampingnya, memilih untuk mengambil inisiatif. Lagi tangannya segera mendorong tubuh Rena. Beruntung gadis itu tak sempat terhuyung ke lantai karena mampu
Tubuh Rena seketika mematung saat melihat seorang pria tampan yang sudah dihiasi dengan bercak darah. Gadis itu menatap iba pada perempuan yang tak berdaya di sudut ruangan.“Ren, tolongin dia, hiks hiks,” isak Lidya—salah satu teman malam Rena. Kedua matanya melihat ke arah sosok yang ternyata dia kenali.“Okay, Lid. Dengerin aku ya, mending kamu pura-pura enggak peduli. Hapus air matamu, jangan sampek ketahuan madam Onci,” tukas Rena yang segera diiyakan oleh Lidya.BUGH!! BUGH!! Pukulan bertubi-tubi terus saja menyentuh pria tadi. Rena mendesis pelan membayangkan jika serangan itu mengenai wajah mulusnya. Beruntung dia mendapatkan kaca mata hitam d
[“Apa?? Percobaan pembunuhan katamu?”][“Iya, Pak.”][“Tunggu aku di ruangan beberapa saat lagi.”]Tuut ...Tuut ... Percakapan via udara itu berhenti seketika. Bella yang baru saja membersihkan tubuhnya langsung menatap nyalang ke arah Bara. Tentu saja dengan tatapan kebencian karena ucapan tak sengaja yang masih membekas di hati wanita itu.“Bel, aku ...”“Keep your tongue! Aku enggak butuh semua omong kosongmu. Aku terlalu bodoh karena mengharapkan hatimu. Berharaplah lukaku sembuh setelah ini. Karena kalau aku masih menyimpan dendam, jangan harap kau akan menemukan kebahagiaan.”“Where are you going?”“It’s none of your business, Adibara Erlangga.” Se
Anggukan kepala dari Lidya membuat Rena segera menghela napasnya. Sejenak kedua perempuan itu tertawa lepas secara bersamaan.“Ini lucu loh, Ren. Tahu nggak sih?” kekeh Lidya yang segera menutup mulutnya yang sudah menganga.Rena mengulas senyum tipisnya. Kedua bola mata gadis itu mulai berotasi seolah sedang memikirkan sesuatu. Perlahan senyum di wajahnya memudar saat melihat raut wajah keraguan dari sang teman.“Aku tahu apa yang kamu pikirin. Kami sempat bahas ini di taman malam itu.”“Jadi gimana? Enggak mungkin ‘kan Ren buat kami bersama?” kata Lidya yang terdengar menyerah bahkan sebelum berusaha.“Lid, kamu enggak sendirian. Aku akan cari cara untuk ini,” sambar Rena yang segera menyunggingkan senyumnya.TING!! Pandangan Rena segera beralih pada ponselnya. Ada pesan masuk yang sedari tadi ditunggu oleh gadis itu.“Aku balik dulu, Lid. Tetap blokir kontak si doi sebelum semuanya kelar ya,” bisiknya sembari menepuk pelan bahu Lidya.
[“Apa maksudmu??”] David menghela napas pelan. Pria itu menyugar rambutnya ke belakang. Tak ada pilihan lain selain memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi.[“Halo, apa kau mendengarkanku?”][“Aku tak peduli apapun yang terjadi dengannya.”][“Baiklah kalau memang begitu.”]Tuut ...Tuut... Pembicaraan itu terputus secara sepihak oleh David. Senyum tipisnya terbit usai menyudahi panggilan tadi.“Kita lihat kawan, seberapa besar cinta dan rasa bencimu,” gumam David bermonolog ria. Di waktu yang bersamaan Rena dan ketiga pria itu sudah tiba di tempat tujuan. Gedung tinggi berlantai empat dengan nuansa gelap sudah berada di hadapan mereka.Rena membasahi bibirnya sembari menetralisir rasa gugupnya sendiri. Setelah mendapatkan isyarat dari salah satu pria tadi, dia melangkah dengan anggun menuju pintu utama.“Apa kau yakin? Bagaimana jika dia menginginkan tubuhmu?”“Jen, kalaupun iya milik kotornya itu takkan mampu menembus selaput daraku,”
“Thanks ya, Fin. Untung ada kamu yang bisa bantuin aku,” kata Rena usai meneguk minumannya.“Udah ah. Kayak sama siapa aja sih kamu. Kakakku bilang ruam di kulit temanmu itu bakalan hilang paling enggak dua bulanan loh. Apa enggak masalah?”Rena menggeleng pelan, “Bagus kalau gitu. Mereka bakalan jijik sama Lidya dan enggak mau make dia lagi di Laura Club.”“Hati-hati ya, Ren. Habis ini jangan terlibat jauh sama geng mafia itu. Meskipun ada Jeno, tetapi aku enggak begitu yakin,” ucap Fina menunjukkan raut wajah khawatirnya pada sang sahabat.“Udah, tenang aja. Ibu hamil kayak kamu enggak usah overthinking,” timpal Rena. Tak lama setelah obrolan singkat tadi Rena segera pamit undur diri. Sudah satu bulan lebih gadis itu harus bolak-balik ke rumah sakit demi melihat keadaan Lidya. Setidaknya teman Rena