LOGIN05
"Kakak apain dia?" tanya Haikal.
"Kakak tinju dan tendang. Seperti yang Ayah ajarkan dulu," terang Ghazwa.
"Ehm, membela diri itu bagus. Tapi, jangan sering-sering, ya," tutur Haikal.
"Dia suka narik jilbab Kakak. Bikin kesal."
"Kalau dia berulah lagi, lapor ke guru."
"Sudah, Yah. Tapi memang bego, sih. Diulangi terus."
"Yang mana orangnya, Wa?" tanya Bariq.
"Anak pindahan itu, Bang. Yang badannya tinggi," jelas Ghazwa.
"Kalau dia ganggu lagi, panggil Abang," ungkap Bariq yang menyebabkan Haikal menggaruk-garuk kepalanya.
"Abang mau ngasih dia pelajaran?" sela Haikal.
"Enggak. Cuma mau dijitak aja. Pakai sepatu," jawab Bariq dengan polosnya.
Tawa ketiga perempuan menguar. Barig menyunggingkan senyuman. Sedangkan Haikal hanya bisa mengusap dada, karena tahu jika putra sulungnya pasti berniat menghadiahkan tinjuan buat sang pengganggu.
Setibanya di tempat tujuan, Bariq turun terlebih dahulu. Dia membukakan pintu tengah, supaya Lula bisa keluar sambil menggendong adiknya.
Nana bergegas ke belakang untuk membuka bagasi. Dia mengeluarkan kereta dan memasangnya. Kemudian Lula membaringkan Baadal yang masih terlelap, sebelum memasang sabuk pengaman.
Nana menyelimuti anak asuhnya. Dia menunggu semua orang keluar dari mobil, kemudian mereka jalan beriringan memasuki pintu pusat perbelanjaan.
Haikal sempat berhenti untuk menelepon Hamid. Lalu dia mengajak keluarganya memasuki lift untuk menuju lantai tiga, di mana para sahabatnya telah menunggu.
Bariq dan Ghazwa sangat senang bisa berjumpa kembali dengan para sahabat. Berteman sejak batita, menjadikan mereka akrab dengan semua anak pengawal PBK lapis satu.
"Sudah dengar kabar? Beni mau nikah," cakap Ilyas.
"Alhamdulillah," sahut Darma.
"Kapan acaranya, Yas?" tanya Hamid.
"Desember. Kemungkinan akhir bulan. Supaya teman-temannya dari luar negeri bisa mudik," terang Ilyas.
"Aku lupa, calonnya yang mana," imbuh Herman.
"Nandya. Asistennya Liana," papar Haikal.
"Akhirnya nikah juga itu anak. Kupikir dia mau jadi bujang lapuk," seloroh Hans.
"Cukup Said yang begitu. Adik-adiknya, jangan," timpal Hamid.
"Berapa umur Beni?" desak Fuad.
"Sama dengan Hisyam. 33 tahun," jelas Rusli.
"Di tim lapis tiga, yang paling muda, itu Ari," ungkap Yusri.
"Mukanya juga paling imut," kelakar Ridwan.
"Kayak nggak berubah itu Ari. Dari pertama gabung jadi pengawal, mukanya begitu aja," celetuk Bambang.
"Dia, immortal," canda Haikal.
"Kata Yusuf, Ari itu titisan dracula," papar Hamid.
"Anak satu itu, memang paling suka ngasih gelar aneh ke teman-temannya," lontar Hans.
"Aku bilangnya, Yusuf si cerewet," cetus Ridwan.
"Kecerewetannya membawa berkah. Hingga dia terpilih menjadi direktur marketing PBK," beber Fuad.
"Dari awal angkatan Yusuf ikut diklat, ane sudah feeling, siapa aja yang akan terpilih menjadi petinggi PBK selanjutnya," ungkap Haikal. "Tapi, posisinya sedikit berbeda. Ane pikir, Yusuf akan pegang operasional, dan Aditya pegang marketing. Ternyata ketukar," pungkasnya.
"Kalau aku, mikirnya, Yusuf pegang keuangan, karena dia asisten Zulfi. Ternyata justru Ari yang jadi dirkeu," celoteh Hamid.
"Kalian tahu? Dari sekian banyak calon direktur, tebakanku yang benar cuma Hisyam dan Qadry. Lainnya, salah," keluh Bambang.
"Kamu nggak sendiri, Bam. Aku pun banyak salah. Yang benar cuma Hisyam, Qadry dan Chairil," cetus Yusri.
"Kalau aku nebaknya, Chairil jadi dirops PBK. Jeffrey yang ke PB. Ternyata bule separuh itu menukar posisinya," ujar Rusli.
"Bukan Varo, tapi Wirya," tutur Haikal. "Semuanya dia yang atur, karena Wirya memang paling kenal karakter dan kemampuan semua juniornya. Sampai ke angkatan terbaru pun, dia sudah hafal," tambahnya.
Sementara di meja lain yang ditempati para istri, Lula mendengarkan percakapan rekan-rekannya tentang bisnis terbaru yang tengah direncanakan para anggota GPCI. Yakni perkumpulan pengusaha cantik Indonesia, yang beranggotakan para istri dan saudara perempuan semua bos PG, PC, dan PCD.
Kendatipun tidak tergabung dalam grup itu, tetapi Lula juga sering mendapatkan rezeki dari sana. Bila ada bos ataupun pengawal yang akan melangsungkan pernikahan, maka Lula akan menjadi penyedia bunga-bunga segar, yang akan digunakan untuk dekorasi.
"La, bulan depan, Adik sepupuku mau nikah. Seperti biasa, kami butuh bunga-bunga," cakap Wiwi, istri Hamid.
"Pakai WO mana, Kak?" tanya Lula.
"Enggak pakai WO. Kami tangani sendiri, karena dananya terbatas. Acaranya juga di gedung kecil," papar Wiwi.
"Mau sekalian didekor? Aku bisa."
"Boleh. Nanti kukerahkan pasukan buat membantumu."
"Jangan undang pasukan badut, Wi," timpal Kinanti, istri Ilyas.
"Ho oh. Harusnya tiga jam ngedekor itu bisa selesai. Akhirnya molor jadi enam jam," kelakar Yunita, istri Hans.
"Mereka nggak bisa dicegah, Ladies. Pasti pada datang, meskipun nggak diundang," sela Ayudya, istri Idris.
"Tapi, mereka diundang walimahan, kan?" desak Laras, istri Fuad.
"Iya, diundang. Acaranya dari jam 11 sampai jam 3," beber Wiwi.
"Diumumkan dari sekarang di grup istri pengawal. Supaya masing-masing anggota bisa menyampaikan itu ke suami mereka," usul Tita, istri Ridwan.
"Sebetulnya cukup diomongin ke Mayuree dan Utari. Mereka yang menggerakkan para istri lapisan dua dan selanjutnya," celetuk Nuria, istri Herman.
"Betul itu. Kalau di grup utama, aku mikirnya, nggak semua pengawal muda diundang. Mungkin cuma para bos," cetus Tantri, istri Darma.
"Oke, nanti aku hubungi Mayuree dan Utari," balas Wiwi. Dia tertegun sesaat, lalu melanjutkan ucapan. "Biasanya, Iis yang bagian nyampein ke istri para bos PG dan PC. Sekarang, siapa, ya?"
"Mayuree aja. Dia bisa gerak di dua grup itu," jawab Ambar, istri Hasan.
"Aku jadi kangen Iis. Kadang, dia suka bikin heboh grup kita," rengek Elma, istri Rusli.
"Ya, sekarang grup jadi agak sepi," beber Yunita.
Semuanya terdiam. Mereka sama-sama mengingat sosok Isnindar yang paling kalem serta bijaksana. Selain dekat dengan semua istri pengawal lapis satu, almarhumah Isnindar juga menjadi panutan para istri juniornya.
Lula memandangi semua orang di meja itu. Dia terharu, karena sahabat-sahabat Isnindar ternyata masih mengingat sosok sepupunya tersebut.
Rengekan Baadal mengagetkan Lula. Dia mengusap-usap paha sang keponakan. Namun, karena Baadal tetap merengek, akhirnya Lula melepaskan sabuk pengaman dan mengangkat lelaki kecil itu dari kereta.
Wiwi dan rekan-rekannya memerhatikan saat Lula berdiri untuk mengayun Baadal dengan luwes, sedangkan Nana segera menyiapkan susu dalam botol anak asuhnya.
Wiwi melirik Kinanti. Keduanya berbisik-bisik, sebelum serentak mengangguk. Selanjutnya mereka mengetikkan pesan dan mengirimkannya ke grup khusus para istri pengawal lapis satu.
Semua orang di meja itu membaca pesan-pesan yang dikirimkan Wiwi dan Kinanti. Lalu, mereka bergantian membalas dengan berbagai komentar.
Matahari sudah bergeser menjelang sore, saat rombongan itu membubarkan diri. Mereka berpencar menuju beberapa lantai tempat mereka memarkirkan kendaraan.
Satu per satu mobil keluar dari area parkir. Haikal melajukan kendaraan dengan kecepatan sedang. Dia menyetir sambil mengingat-ingat percakapan seriusnya dengan Hamid tadi.
"Awas!" seru Lula, ketika seunit motor matic memotong dari kanan, dan menabrak motor di depan mobil.
Haikal mengerem kendaraan, kemudian dia menepi. Lelaki berkumis tipis itu memasang rem tangan, sebelum melepaskan sabuk pengaman dan keluar.
Haikal menyambangi keempat penumpang motor yang masih tergeletak di jalan. Dia dan beberapa pengguna jalan lainnya, menggotong keempat orang itu dan memindahkan mereka ke trotoar.
Haikal memelototi penabrak yang ternyata merupakan pelajar SMP. Dia nyaris mengomeli remaja tanggung itu, tetapi didahului seorang perempuan yang baru turun dari mobil sedan merah.
90Waktu terus berjalan. Kehidupan rumah tangga Haikal dan Lula kian harmonis. Meskipun sama-sama sibuk, tetapi mereka selalu menyisihkan waktu berdua saja pada saat-saat tertentu.Pagi itu, Haikal dan Lula berpamitan pada Bariq serta Ghazwa. Mereka akan berangkat ke Bali untuk menghadiri acara resepsi salah satu klien kantor, yang dilakukan di Pulau Dewata. Baadal dan Zefa diajak serta. Begitu pula dengan kedua ajudan, dan Nana. Sedangkan Bariq dan Ghazwa akan menyusul esok sore, bersama Titin dan Darian, Adik bungsu Dimas, yang merupakan anggota tim lapis 17. Haikal dan keluarganya berangkat bersama tim Pramudya dan Baltissen, menggunakan pesawat milik Sultan. Sedangkan para bos lainnya menumpang di pesawat milik keluarga Adhitama. Haikal menggeleng pelan ketika melihat perdebatan Yanuar versus Marley, yang sama-sama ingin menguasai Zefa. Perdebatan itu kian sengit, karena Alvaro, Prabu, dan Panglima, berlakon sebagai tim kompor. "Papi, diam!" desis Malanaya, sebelum menyeret sua
89Hari berganti hari. Haikal menunaikan janjinya pada Felix. Sore itu Haikal mendatangi mantan musuhnya itu bersama Lula, Zefa, Rita, Daisaq, Tio, Sultan, Alvaro, dan Gustavo. Serta Yazan, Restu, Emryn, Righa, Gunandar, dan Ghea.Kehadiran mereka disambut hangat Anita dan kedua keponakannya. Mereka berebutan untuk menggendong Zefa, hingga bayi itu tertidur dalam gendongan Anita. Felix yang sudah bisa berbicara lebih lancar, sangat senang bisa bertemu dengan Gustavo dan Sultan. Felix menyampaikan permohonan maaf dirinya dan mendiang Sandro, yang disambut antusias Sultan serta Gustavo. "Kamu kuliah jurusan apa?" tanya Tio sembari memandangi Stefan dengan saksama. "Bahasa Jerman, Om," terang Stefan."Itu bahasa yang sulit, dan masih jarang dikuasai orang kita." "Ya. Aku dari dulu kepengen kuliah di sana. Tapi, karena nggak bisa, akhirnya aku belajar bahasanya aja. Siapa tahu, suatu saat aku bisa kerja sambil kuliah S2 di sana." "Betul. Itu rencana yang bagus." Tio mengalihkan panda
88 Berita teraktual mengenai Felix Saptaji, mengejutkan Haikal. Dia dan Alvaro beserta beberapa orang lainnya, segera mendatangi RS Polri untuk menjenguk Felix.Haikal dan rekan-rekannya mesti menunggu belasan menit di lorong dekat ruang perawatan Felix, sebelum diizinkan masuk oleh petugas jaga. Sepasang anak muda yang berada di ruangan itu, serentak berdiri dari sofa, saat melihat sekelompok pria berseragam safari hitam yang tengah memasuki ruangan. Seorang perempuan paruh baya yang duduk di kursi dekat ranjang, berdiri dan menyalami semua tamu. Dia menyentuh lengan kanan Felix dan membangunkan pria itu dengan lembut. "Silakan duduk," ujar Anita, sembari mengarahkan tangan kanannya ke set sofa, dan beberapa kursi di sekitar ruangan. "Boleh saya tahu, kalian dari mana?" tanyanya. "Kami dari Baltissen Grup," jawab Alvaro. "Saya, Alvaro Gustav Baltissen, komisaris 5. Yang ini, Bang Haikal Jabbar, direktur utama, sekaligus komisaris 10," lanjutnya. "Sebelah sana, Wirya, komisaris
87Kekisruhan yang terjadi di grup PCT, menjadikan para mentor mereka ikut pusing. Terutama, karena kasus itu akhirnya berkembang menjadi tidak terkendali, dan berimbas ke berbagai proyek bersama. Haikal yang baru beberapa hari lalu pulang dinas dari Eropa, terpaksa menerima permintaan Wirya dan Aswin, untuk ikut menenangkan situasi. Sebab jika masalah intern itu tidak bisa diselesaikan, maka Tio akan mengambil tindakan tegas pada orang-orang yang bersangkutan. Sore itu, Haikal mendatangi kediaman Wirya. Dia ikut menumpang mandi, lalu berbincang dengan ketiga bocah, sembari menunggu Daisaq yang tengah membersihkan diri di toilet kamar tamu. Haikal terkekeh mendengar cerita Marwa tentang teman-teman di sekolahnya, yang pada heboh saat Vanetta datang menjemputnya beberapa hari lalu.Hal serupa juga diceritakan Bayazid. Bahkan, jika Vanetta hendak jalan-jalan, maka Bayazid langsung bersiaga untuk menjadi pengawal perempuan tersebut. "Bang, ikut bentar ke ruang kerja. Aku mau ngomong s
86Waktu terus berjalan. Siang itu, Haikal mendatangi lapas bersama Alvaro, Zulfi, Righa, Ghea, dan beberapa ajudan muda. Mereka hendak menjemput Gunandar yang telah selesai masa hukumannya. Isakan Ghea terdengar ketika memeluk kakaknya. Gunandar turut menitikkan air mata bahagia, karena bisa bebas dari penjara.Seusai berbincang singkat, kelompok itu segera menaiki 2 mobil MPV mewah. Daisaq dan Righa, mengemudikan mobil bos masing-masing menuju kediaman Sultan Pramudya. Setibanya di sana, Gunandar kaget, karena banyak orang telah berada di tempat itu. Termasuk Paman dan bibinya, yang khusus datang dari kampung untuk menyambutnya.Isak tangis mewarnai pertemuan keluarga kecil itu. Gunandar sangat terharu, karena Kakak dan Adik dari almarhumah ibunya, rela jauh-jauh datang hanya untuk menemuinya. Sultan mengajak semua orang memasuki ruang tengah, yang lebih besar dari ruang tamu. Sultan memberikan pidato singkat untuk menyambut kebebasan Gunandar. Kemudian dia meminta Haikal untuk me
85Seorang pria berkemeja putih, duduk di tepi makam bertuliskan nama Isnindar di batu nisannya. Pria itu berbincang satu arah dengan suara pelan. Sekali-sekali dia akan berhenti, untuk menghela napas berat dan mengembuskannya sekali waktu. Daisaq yang duduk di dekat makam area depan, memerhatikan sang bos yang sedang membersihkan makam Isnindar, sembari terus mengoceh sendiri.Hati Daisaq mencelos. Dia akhirnya memahami ucapan Diaz dan Alvaro, jika hanya tampilan fisik Haikal saja yang gagah. Namun, hati pria paruh baya itu sangat lembut.Daisaq memang tidak dekat dengan almarhumah Isnindar, karena saat dia bergabung menjadi pengawal PBK, Isnindar sudah wafat. Namun, Daisaq bisa mengetahui jika istri pertama Haikal itu adalah sosok yang baik, cerdas, tegas, dan rendah hati. Daisaq ingat kala Diaz menceritakan kedekatannya dengan Isnindar. Daisaq tercenung, karena saat mendongeng itu Diaz terisak-isak, sebab sangat kehilangan sosok pengganti ibunya di tempat kerja. Lamunan Daisaq t







