04
Semburat jingga di langit telah menggelap, saat seunit mobil MPV hitam memasuki carport depan rumah bercat gading. Setelah mobil terparkir sempurna, sang sopir mematikan mesin, lalu melepaskan sabuk pengaman.
Tidak lama kemudian Haikal telah memasuki ruang tengah melalui pintu garasi. Dia mengucapkan salam sambil melepaskan sepatu. Lalu menyusunnya di rak.
Sudut bibir Haikal mengukir senyuman ketika Baadal mendatanginya. Lelaki kecil berambut ikal itu menyalami Haikal dengan takzim. Disusul oleh kedua kakaknya.
Aroma harum menguar dari dapur. Haikal berpindah ke ruang makan. Dia seketika tersenyum ketika menyaksikan seorang perempuan berdaster biru, tengah mengemasi meja besar.
"Bu, Ayah mau kopi," ucap Haikal.
Waktu seolah-olah berhenti berputar, sebelum akhirnya Haikal sadar bila dia salah bicara. Pria berkumis tipis itu terkesiap, saat orang tersebut berbalik dan memandanginya saksama.
"Abang duduk dulu. Segera kubuatkan kopinya," sahut Lula, sebelum dia cepat-cepat berpindah ke pantry.
Haikal masih termangu di tempat. Dia memejamkan mata sesaat sembari mengomeli diri, yang telah salah mengira bila Lula adalah Isnindar.
Haikal menggeleng pelan. Dia merasa jika Isnindar masih hidup, dan akan menyambutnya pulang dengan senyuman.
Pria berbadan tinggi besar tersebut bergeser untuk duduk di sofa panjang. Dia mengamati ketiga anaknya yang tengah menonton televisi, sembari menikmati potongan buah dari piring di meja.
Lula mendekat dan meletakkan secangkir kopi ke meja. Dia hendak kembali ke belakang, kala dipanggil Haikal yang memintanya duduk di kursi tunggal.
"Sorry, tadi Abang salah sebut," tutur Haikal dengan suara pelan.
"Enggak apa-apa, Bang. Aku paham," sahut Lula.
"Ehm, kamu pulang cepat dari toko?" tanya Haikal mengalihkan percakapan.
"Iya. Stok barang nggak jadi datang hari ini. Aku banyak bengong. Mending pulang dan nemenin Dedek."
"Rewel nggak dia?"
"Enggak. Cuma, kadang dia masuk ke kamar Abang, terus celingukan. Mungkin nyari Kakak."
Haikal menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Dia mengarahkan tatapan pada putra bungsunya. Haikal sangat mengkhawatirkan kondisi jiwa Baadal, yang belum memahami bila Ibunya telah wafat.
Sekian menit berlalu. Azan magrib berkumandang. Haikal bergegas menuju kamarnya untuk mandi dan berganti pakaian. Kemudian dia menunaikan ibadah tiga rakaat dengan khusyuk.
Setelahnya, Haikal memandangi foto pernikahannya dengan Isnindar yang tergantung di dinding. Dia sangat merindukan perempuan tersebut, hingga dadanya sakit.
"Bu, sudah seminggu lebih kita misah. Tapi, Ayah masih merasa jika Ibu ada di sini," ucap Haikal bermonolog. "Ayah sudah mencoba untuk ikhlas, tapi sulit," lanjutnya dengan suara bergetar.
Haikal menekan-nekan sudut matanya, agar tidak mengeluarkan air. Dia lelah untuk terus menangis dan meratapi nasib, karena Haikal tahu, takdirnya memang seperti itu.
Tidak pernah terbersit dalam benak Haikal, jika rumah tangganya dengan Isnindar hanya bisa dilalui selama 13 tahun. Padahal sebelumnya Haikal mengharapkan pernikahan mereka akan abadi, until jannah.
Kendatipun Haikal sudah diwanti-wanti dokter yang menangani Isnindar, jika istrinya tersebut kemungkinan tidak bisa berumur panjang. Namun, Haikal menepis kabar buruk itu dan mensugesti diri jika istrinya akan sembuh.
Kenyataan berkata lain. Isnindar akhirnya menyerah untuk melawan penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Walaupun berat, Haikal tahu jika itulah yang terbaik buat istrinya. Sebab dia juga tidak tega melihat Isnindar kesakitan, tanpa bisa membantu meringankan bebannya.
***
Detik terjalin menjadi menit. Jam berputar mengubah hari menjadi minggu. Sudah lewat sebulan kepergian Isnindar, tetapi anggota keluarganya masih berduka.
Bariq berubah menjadi pendiam. Remaja tanggung itu nyaris tidak pernah bermain bersama teman-temannya, dan lebih sering berada di rumah.
Ghazwa pun berubah menjadi lebih perhatian, terutama pada Baadal. Gadis kecil bermata besar itu, tidak sungkan untuk mengajak adiknya bermain di luar rumah. Supaya Baadal tidak kesepian.
Haikal juga tidak pernah lembur. Dia selalu pulang tepat waktu, dan tidak pernah lagi kongkow dengan teman-temannya, dengan alasan tidak mau meninggalkan anak-anak.
Pada penghujung minggu, Haikal akan mengajak ketiga anaknya berziarah ke makam sang istri. Haikal membiarkan Bariq dan Ghazwa mengoceh menceritakan dunia mereka, sambil menghadap makam yang ditumbuhi bunga mawar merah muda, yang menjadi kembang kesukaan Isnindar.
Sabtu pagi itu, keluarga kecil tersebut kembali mendatangi pemakaman. Selain mereka, kedua orang tua Isnindar dan kedua adiknya, serta Lula, juga ikut berziarah.
Mereka mengembangkan banyak payung untuk melindungi diri dari sengatan matahari. Mereka duduk bersila di tikar lipat yang dibentangkan di samping kanan makam.
Lula menanam beberapa pohon mawar kecil di atas makam, untuk menggantikan bunga-bunga lama yang sebagian besar telah layu.
"Ibu," panggil Baadal sambil menunjuk ke pohon Kamboja, yang berada di tengah-tengah antara beberapa makam di sekitar pusara Isnindar. "Ibu," ulangnya.
Semua orang di sekeliling mengamati pohon yang ditunjuk Baadal. Mereka terenyuh saat bocah tersebut melambaikan tangan pada sosok tak kasatmata, yang menyerupai ibunya.
Haikal membatin, jika itu kemungkinan adanya qorin-nya Isnindar. Meskipun jin itu tidak mengganggu, tetapi Haikal khawatir bila Baadal benar-benar menyangka jika itu adalah ibunya.
"Ayo, kita pergi," ajak Haikal sambil berdiri.
"Kapan kita ke sini lagi, Yah?" tanya Bariq.
"Minggu depan. Besok, Ayah ada urusan sama Kakek bersama," terang Haikal.
"Main golf?"
"Iya."
"Abang ikut."
"Aku juga," sela Ghazwa.
"Dedek mau," timpal Baadal.
Haikal mengangguk mengiakan. "Tapi, janji. Nggak boleh ngeluh harus jalan jauh. Jangan naik mobil mini golf terus."
Ketiga bocah serentak mengangguk. Haikal memegangi Ghazwa dan Baadal di sisi kiri serta kanan. Sedangkan Bariq memegangi tangan kanan Baadal, lalu mereka jalan beriringan.
Sesampainya di tempat parkir, Haikal sempat berbincang dengan pengurus makam. Dia meminta agar pria tersebut menyirami kembang di makam istrinya.
Pria berkemeja marun itu terlihat semringah, saat Haikal menyelipkan amplop ke tangannya. Sang pengurus pemakaman memandangi keluarga tersebut, yang bergerak menaiki dua mobil MPV.
"Aku mau sama Mama," rengek Baadal, saat Lula hendak menutup pintu mobil ayahnya. Diasuh sejak bayi menjadikannya menyematkan panggilan Mama buat Lula.
"Mama mau ke toko, Dek," tolak Lula. "Dedek, kan, mau jalan-jalan sama Ayah," sambungnya.
Baadal mencebik. Dia bergeser mendekati Lula yang masih berdiri di dekat pintu. "Aku ikut Mama."
"Ehm ... nanti Dedek bosan. Mending ikut Ayah."
"Naik, La. Kamu ikut kami aja," sela Haikal yang menyaksikan hal itu sejak tadi.
Lula hendak menolak, tetapi saat melihat sorot mata Baadal yang terlihat sedih, akhirnya Lula mengalah. Dia menaiki mobil, lalu menutup pintunya.
Haikal menyalakan mesin, lalu memutar mobil. Dia mengarahkan kendaraan ke jalan raya, kemudian membelokkan setir ke kanan.
Sepanjang perjalanan menuju pusat perbelanjaan, Baadal tidur sambil berbaring di pangkuan Lula. Perempuan berjilbab ungu, membelai rambut keponakannya, sembari berbincang dengan Ghazwa dan Nana, sang pengasuh.
Haikal menyetir sambil ikut mendengarkan obrolan ketiga perempuan di kursi tengah. Dia meringis, kala Ghazwa menceritakan bila kemarin siang dia berkelahi dengan teman lelaki sekelasnya, yang sering menggoda Ghazwa.
06"Dari tadi kamu ugal-ugalan. Akhirnya nabrak orang!" desis perempuan berambut panjang, sambil memelototi sang penabrak. "Nia, kamu, kok, bisa ada di sini?" tanya Haikal sembari memandangi perempuan tersebut. Yusnia Widuri Gariwa, menoleh ke kiri. "Ehh, Bang Hai rupanya," balasnya. "Bocah ini, sudah meliuk-liukkan motornya dari perempatan sana. Mobilku tergores, dan dia langsung kabur," jelasnya. "Aku kejar. Ternyata dia nabrak yang lain. Benar-benar bawa musibah buat orang lain!" geram Yusnia sembari mendorong lengan kiri remaja itu yang terlihat ketakutan."Tahan, Nia." Haikal menarik tangan Yusnia dan menggeser perempuan tersebut ke belakangnya, untuk menjauhi sang pelaku. "Panggil orang tuamu!" bentak Yusnia, yang menyebabkan pemuda tanggung itu terisak-isak. "Malah nangis!" cibirnya sambil bercekak pinggang. "Nanti saja urusan itu. Kita harus mengobati luka-lukanya dan ketiga korban lainnya," timpal Haikal, sebelum dia berdiri dan jalan ke mobil. Yusnia tertegun. Dia menga
05"Kakak apain dia?" tanya Haikal. "Kakak tinju dan tendang. Seperti yang Ayah ajarkan dulu," terang Ghazwa. "Ehm, membela diri itu bagus. Tapi, jangan sering-sering, ya," tutur Haikal. "Dia suka narik jilbab Kakak. Bikin kesal." "Kalau dia berulah lagi, lapor ke guru." "Sudah, Yah. Tapi memang bego, sih. Diulangi terus." "Yang mana orangnya, Wa?" tanya Bariq. "Anak pindahan itu, Bang. Yang badannya tinggi," jelas Ghazwa. "Kalau dia ganggu lagi, panggil Abang," ungkap Bariq yang menyebabkan Haikal menggaruk-garuk kepalanya. "Abang mau ngasih dia pelajaran?" sela Haikal. "Enggak. Cuma mau dijitak aja. Pakai sepatu," jawab Bariq dengan polosnya. Tawa ketiga perempuan menguar. Barig menyunggingkan senyuman. Sedangkan Haikal hanya bisa mengusap dada, karena tahu jika putra sulungnya pasti berniat menghadiahkan tinjuan buat sang pengganggu. Setibanya di tempat tujuan, Bariq turun terlebih dahulu. Dia membukakan pintu tengah, supaya Lula bisa keluar sambil menggendong adiknya.
04Semburat jingga di langit telah menggelap, saat seunit mobil MPV hitam memasuki carport depan rumah bercat gading. Setelah mobil terparkir sempurna, sang sopir mematikan mesin, lalu melepaskan sabuk pengaman. Tidak lama kemudian Haikal telah memasuki ruang tengah melalui pintu garasi. Dia mengucapkan salam sambil melepaskan sepatu. Lalu menyusunnya di rak. Sudut bibir Haikal mengukir senyuman ketika Baadal mendatanginya. Lelaki kecil berambut ikal itu menyalami Haikal dengan takzim. Disusul oleh kedua kakaknya. Aroma harum menguar dari dapur. Haikal berpindah ke ruang makan. Dia seketika tersenyum ketika menyaksikan seorang perempuan berdaster biru, tengah mengemasi meja besar. "Bu, Ayah mau kopi," ucap Haikal. Waktu seolah-olah berhenti berputar, sebelum akhirnya Haikal sadar bila dia salah bicara. Pria berkumis tipis itu terkesiap, saat orang tersebut berbalik dan memandanginya saksama. "Abang duduk dulu. Segera kubuatkan kopinya," sahut Lula, sebelum dia cepat-cepat berpin
03"Sudah balik ane ente. Artinya sudah membaik hatinya," cetus Yanuar Kaisar, komisaris 5 PBK. Haikal mengerutkan hidungnya. "Ane capek ngomong sopan. Mending balik nyablak lagi," balasnya. "Bagus itu, Bang. Lanjutkan," imbuh Zulfi Hamizhan, komisaris 7 PBK. "Aku suka kalau Bang Hai sudah kembali santai," ujar Andri Kaushal, sang komisaris 9 PBK sekaligus direktur PCD."Setelah ini, kalau Abang mau jadi singa lagi, kami nggak akan protes," seloroh Yoga Pratama, komisaris 8 PBK. "Aku siap disuruh lari keliling lapangan 10 kali," papar Haryono Abhisatya, komisaris 10 PBK. "Beneran, ya, Yon? Jangan ngeluh capek," ledek Aswin Mahdhar, direktur PCT, yang juga tergabung dalam tim pengawal lapis dua. "Sekali aja dia ngeluh, tak banting," cibir Galang Ahmadi, direktur YDL, sahabat Alvaro sejak belasan tahun silam. Galang juga merupakan salah satu pengawal lapis dua. Haikal memandangi semua sahabatnya yang tengah mengeroyok Haryono. Haikal mengulum senyuman. Dia tahu, jika para pengawa
02"Bu, Ayah nggak bisa tidur kemaren," tutur Haikal sembari memandangi makam Isnindar. "Kangen, Bu," bisiknya. Haikal terdiam sejenak untuk menenangkan dirinya yang masih syok. Pria berambut cepak itu mengerjap-ngerjapkan matanya dengan cepat, supaya tidak mengeluarkan butiran air. "Dedek juga merengek terus. Dia belum paham kalau Ibu sudah nggak ada," cakap Haikal. "Abang dan Kakak juga masih sering nangis, sambil meluk daster Ibu," lanjutnya. Isakan dari belakang menyebabkan Haikal menoleh. Dia tertegun melihat Lula dan Namira, Adik Isnindar, tengah menangis sembari berpelukan. Seperti halnya Haikal dan anak-anaknya, kedua perempuan tersebut juga terpukul atas kepergian Isnindae. Kendatipun mereka tahu jika itulah takdir yang harus dijalani Isnindar, tetap saja Lula dan Namira sangat kehilangan Kakak tertua mereka. Kedua perempuan itu tinggal berdekatan dengan kediaman Haikal. Mereka turut mengasuh ketiga anak Haikal dan Isnindar, saat sang kakak tertua tengah menjalani persw
01"Bang, ayo, kita pulang," ajak Alvaro Gustav Baltissen, sembari memegangi lengan kiri seniornya. Haikal Jabbar bergeming. Direktur utama Baltissen Grup tersebut masih termangu, sambil memandangi gundukan tanah yang dipenuhi banyak bunga di hadapannya.Tatapan nanar Haikal menjadikan rekan-rekannya saling melirik. Mereka memahami jika salah satu pengawal PBK lapis satu tersebut, masih berat untuk meninggalkan makam istrinya, Isnindar Herawati. Alvaro menghela napas berat dan mengembuskannya perlahan. Dia beradu pandang dengan Hamid Awaluddin, direktur utama PG, yang berada di sebelah kanan Haikal. Keduanya seolah-olah tengah berbincang dengan menggunakan bahasa batin, kemudian mereka sama-sama mengangguk. Alvaro mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dia memberi kode pada asistennya, untuk memanggilkan orang-orang yang sangat disegani Haikal. Tidak berselang lama, beberapa pria menyambangi kelompok tersebut. Alvaro dan teman-temannya bergeser untuk memberikan tempat pada mereka.