Share

Bab 04

Author: Olivia Yoyet
last update Last Updated: 2025-08-26 09:43:26

04

Semburat jingga di langit telah menggelap, saat seunit mobil MPV hitam memasuki carport depan rumah bercat gading. Setelah mobil terparkir sempurna, sang sopir mematikan mesin, lalu melepaskan sabuk pengaman. 

Tidak lama kemudian Haikal telah memasuki ruang tengah melalui pintu garasi. Dia mengucapkan salam sambil melepaskan sepatu. Lalu menyusunnya di rak. 

Sudut bibir Haikal mengukir senyuman ketika Baadal mendatanginya. Lelaki kecil berambut ikal itu menyalami Haikal dengan takzim. Disusul oleh kedua kakaknya. 

Aroma harum menguar dari dapur. Haikal berpindah ke ruang makan. Dia seketika tersenyum ketika menyaksikan seorang perempuan berdaster biru, tengah mengemasi meja besar. 

"Bu, Ayah mau kopi," ucap Haikal. 

Waktu seolah-olah berhenti berputar, sebelum akhirnya Haikal sadar bila dia salah bicara. Pria berkumis tipis itu terkesiap, saat orang tersebut berbalik dan memandanginya saksama. 

"Abang duduk dulu. Segera kubuatkan kopinya," sahut Lula, sebelum dia cepat-cepat berpindah ke pantry. 

Haikal masih termangu di tempat. Dia memejamkan mata sesaat sembari mengomeli diri, yang telah salah mengira bila Lula adalah Isnindar. 

Haikal menggeleng pelan. Dia merasa jika Isnindar masih hidup, dan akan menyambutnya pulang dengan senyuman. 

Pria berbadan tinggi besar tersebut bergeser untuk duduk di sofa panjang. Dia mengamati ketiga anaknya yang tengah menonton televisi, sembari menikmati potongan buah dari piring di meja. 

Lula mendekat dan meletakkan secangkir kopi ke meja. Dia hendak kembali ke belakang, kala dipanggil Haikal yang memintanya duduk di kursi tunggal. 

"Sorry, tadi Abang salah sebut," tutur Haikal dengan suara pelan. 

"Enggak apa-apa, Bang. Aku paham," sahut Lula. 

"Ehm, kamu pulang cepat dari toko?" tanya Haikal mengalihkan percakapan. 

"Iya. Stok barang nggak jadi datang hari ini. Aku banyak bengong. Mending pulang dan nemenin Dedek." 

"Rewel nggak dia?" 

"Enggak. Cuma, kadang dia masuk ke kamar Abang, terus celingukan. Mungkin nyari Kakak." 

Haikal menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Dia mengarahkan tatapan pada putra bungsunya. Haikal sangat mengkhawatirkan kondisi jiwa Baadal, yang belum memahami bila Ibunya telah wafat. 

Sekian menit berlalu. Azan magrib berkumandang. Haikal bergegas menuju kamarnya untuk mandi dan berganti pakaian. Kemudian dia menunaikan ibadah tiga rakaat dengan khusyuk. 

Setelahnya, Haikal memandangi foto pernikahannya dengan Isnindar yang tergantung di dinding. Dia sangat merindukan perempuan tersebut, hingga dadanya sakit. 

"Bu, sudah seminggu lebih kita misah. Tapi, Ayah masih merasa jika Ibu ada di sini," ucap Haikal bermonolog. "Ayah sudah mencoba untuk ikhlas, tapi sulit," lanjutnya dengan suara bergetar. 

Haikal menekan-nekan sudut matanya, agar tidak mengeluarkan air. Dia lelah untuk terus menangis dan meratapi nasib, karena Haikal tahu, takdirnya memang seperti itu. 

Tidak pernah terbersit dalam benak Haikal, jika rumah tangganya dengan Isnindar hanya bisa dilalui selama 13 tahun. Padahal sebelumnya Haikal mengharapkan pernikahan mereka akan abadi, until jannah. 

Kendatipun Haikal sudah diwanti-wanti dokter yang menangani Isnindar, jika istrinya tersebut kemungkinan tidak bisa berumur panjang. Namun, Haikal menepis kabar buruk itu dan mensugesti diri jika istrinya akan sembuh. 

Kenyataan berkata lain. Isnindar akhirnya menyerah untuk melawan penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Walaupun berat, Haikal tahu jika itulah yang terbaik buat istrinya. Sebab dia juga tidak tega melihat Isnindar kesakitan, tanpa bisa membantu meringankan bebannya. 

*** 

Detik terjalin menjadi menit. Jam berputar mengubah hari menjadi minggu. Sudah lewat sebulan kepergian Isnindar, tetapi anggota keluarganya masih berduka. 

Bariq berubah menjadi pendiam. Remaja tanggung itu nyaris tidak pernah bermain bersama teman-temannya, dan lebih sering berada di rumah. 

Ghazwa pun berubah menjadi lebih perhatian, terutama pada Baadal. Gadis kecil bermata besar itu, tidak sungkan untuk mengajak adiknya bermain di luar rumah. Supaya Baadal tidak kesepian. 

Haikal juga tidak pernah lembur. Dia selalu pulang tepat waktu, dan tidak pernah lagi kongkow dengan teman-temannya, dengan alasan tidak mau meninggalkan anak-anak. 

Pada penghujung minggu, Haikal akan mengajak ketiga anaknya berziarah ke makam sang istri. Haikal membiarkan Bariq dan Ghazwa mengoceh menceritakan dunia mereka, sambil menghadap makam yang ditumbuhi bunga mawar merah muda, yang menjadi kembang kesukaan Isnindar. 

Sabtu pagi itu, keluarga kecil tersebut kembali mendatangi pemakaman. Selain mereka, kedua orang tua Isnindar dan kedua adiknya, serta Lula, juga ikut berziarah. 

Mereka mengembangkan banyak payung untuk melindungi diri dari sengatan matahari. Mereka duduk bersila di tikar lipat yang dibentangkan di samping kanan makam. 

Lula menanam beberapa pohon mawar kecil di atas makam, untuk menggantikan bunga-bunga lama yang sebagian besar telah layu. 

"Ibu," panggil Baadal sambil menunjuk ke pohon Kamboja, yang berada di tengah-tengah antara beberapa makam di sekitar pusara Isnindar. "Ibu," ulangnya. 

Semua orang di sekeliling mengamati pohon yang ditunjuk Baadal. Mereka terenyuh saat bocah tersebut melambaikan tangan pada sosok tak kasatmata, yang menyerupai ibunya. 

Haikal membatin, jika itu kemungkinan adanya qorin-nya Isnindar. Meskipun jin itu tidak mengganggu, tetapi Haikal khawatir bila Baadal benar-benar menyangka jika itu adalah ibunya. 

"Ayo, kita pergi," ajak Haikal sambil berdiri. 

"Kapan kita ke sini lagi, Yah?" tanya Bariq. 

"Minggu depan. Besok, Ayah ada urusan sama Kakek bersama," terang Haikal. 

"Main golf?" 

"Iya." 

"Abang ikut." 

"Aku juga," sela Ghazwa. 

"Dedek mau," timpal Baadal. 

Haikal mengangguk mengiakan. "Tapi, janji. Nggak boleh ngeluh harus jalan jauh. Jangan naik mobil mini golf terus." 

Ketiga bocah serentak mengangguk. Haikal memegangi Ghazwa dan Baadal di sisi kiri serta kanan. Sedangkan Bariq memegangi tangan kanan Baadal, lalu mereka jalan beriringan. 

Sesampainya di tempat parkir, Haikal sempat berbincang dengan pengurus makam. Dia meminta agar pria tersebut menyirami kembang di makam istrinya. 

Pria berkemeja marun itu terlihat semringah, saat Haikal menyelipkan amplop ke tangannya. Sang pengurus pemakaman memandangi keluarga tersebut, yang bergerak menaiki dua mobil MPV. 

"Aku mau sama Mama," rengek Baadal, saat Lula hendak menutup pintu mobil ayahnya. Diasuh sejak bayi menjadikannya menyematkan panggilan Mama buat Lula. 

"Mama mau ke toko, Dek," tolak Lula. "Dedek, kan, mau jalan-jalan sama Ayah," sambungnya. 

Baadal mencebik. Dia bergeser mendekati Lula yang masih berdiri di dekat pintu. "Aku ikut Mama." 

"Ehm ... nanti Dedek bosan. Mending ikut Ayah." 

"Naik, La. Kamu ikut kami aja," sela Haikal yang menyaksikan hal itu sejak tadi. 

Lula hendak menolak, tetapi saat melihat sorot mata Baadal yang terlihat sedih, akhirnya Lula mengalah. Dia menaiki mobil, lalu menutup pintunya. 

Haikal menyalakan mesin, lalu memutar mobil. Dia mengarahkan kendaraan ke jalan raya, kemudian membelokkan setir ke kanan. 

Sepanjang perjalanan menuju pusat perbelanjaan, Baadal tidur sambil berbaring di pangkuan Lula. Perempuan berjilbab ungu, membelai rambut keponakannya, sembari berbincang dengan Ghazwa dan Nana, sang pengasuh. 

Haikal menyetir sambil ikut mendengarkan obrolan ketiga perempuan di kursi tengah. Dia meringis, kala Ghazwa menceritakan bila kemarin siang dia berkelahi dengan teman lelaki sekelasnya, yang sering menggoda Ghazwa. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mispri Yani
wah Ghazwa mantuls banget jangan mau di usilin temem cowo
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Jodoh Wasiat Istri    Bab 91

    91 *Grup DHAK*Zulfi : Assalamualaikum. Selamat datang buat semua komisaris tambahan BHARUDHAK. Perkenalkan, abdi, Zulfi Hamizhan. Komisaris 1, sekaligus direktur utama. Rustam : Halo. Perkenankan aku untuk memperkenalkan diri. Namaku, Rustam Darmaji. Tim lapis 14. Jabatanku, manajer umum.Razak Hanifian : Selamat siang, Semuanya. Perkenalkan, aku Razak Hanifian. Manajer keuangan. Aku juga berasal dari tim lapis 14.Gunandar Ishadi : Aduh! Banyak bos beken. Aku jadi insinyur. Righa Sadewandra : Kamu lulusan komunikasi, @Gunandar. Gimana bisa jadi insinyur? Wirya : Mungkin Gunandar ngarep jadi arsitektur. Yoga : Dia lebih cocok jadi petani anggur.Haryono : Penjual rujak cingur.Andri : Pedagang kue cucur.Hendri : Mamang bajigur. Yanuar : Tengkulak kencur. Zein : Tukang cukur.Marley : Pedagang sayur. Baskara : Petani jamur. Prabu : Tukang gali sumur. Dante : Penjual kasur. Zafran : Pembuat air mancur.Tio : Penjaga Candi Borobudur.Farzan : Ahli akupuntur. Heru : Hobi mai

  • Jodoh Wasiat Istri    Bab 90

    90Waktu terus berjalan. Kehidupan rumah tangga Haikal dan Lula kian harmonis. Meskipun sama-sama sibuk, tetapi mereka selalu menyisihkan waktu berdua saja pada saat-saat tertentu.Pagi itu, Haikal dan Lula berpamitan pada Bariq serta Ghazwa. Mereka akan berangkat ke Bali untuk menghadiri acara resepsi salah satu klien kantor, yang dilakukan di Pulau Dewata. Baadal dan Zefa diajak serta. Begitu pula dengan kedua ajudan, dan Nana. Sedangkan Bariq dan Ghazwa akan menyusul esok sore, bersama Titin dan Darian, Adik bungsu Dimas, yang merupakan anggota tim lapis 17. Haikal dan keluarganya berangkat bersama tim Pramudya dan Baltissen, menggunakan pesawat milik Sultan. Sedangkan para bos lainnya menumpang di pesawat milik keluarga Adhitama. Haikal menggeleng pelan ketika melihat perdebatan Yanuar versus Marley, yang sama-sama ingin menguasai Zefa. Perdebatan itu kian sengit, karena Alvaro, Prabu, dan Panglima, berlakon sebagai tim kompor. "Papi, diam!" desis Malanaya, sebelum menyeret sua

  • Jodoh Wasiat Istri    Bab 89

    89Hari berganti hari. Haikal menunaikan janjinya pada Felix. Sore itu Haikal mendatangi mantan musuhnya itu bersama Lula, Zefa, Rita, Daisaq, Tio, Sultan, Alvaro, dan Gustavo. Serta Yazan, Restu, Emryn, Righa, Gunandar, dan Ghea.Kehadiran mereka disambut hangat Anita dan kedua keponakannya. Mereka berebutan untuk menggendong Zefa, hingga bayi itu tertidur dalam gendongan Anita. Felix yang sudah bisa berbicara lebih lancar, sangat senang bisa bertemu dengan Gustavo dan Sultan. Felix menyampaikan permohonan maaf dirinya dan mendiang Sandro, yang disambut antusias Sultan serta Gustavo. "Kamu kuliah jurusan apa?" tanya Tio sembari memandangi Stefan dengan saksama. "Bahasa Jerman, Om," terang Stefan."Itu bahasa yang sulit, dan masih jarang dikuasai orang kita." "Ya. Aku dari dulu kepengen kuliah di sana. Tapi, karena nggak bisa, akhirnya aku belajar bahasanya aja. Siapa tahu, suatu saat aku bisa kerja sambil kuliah S2 di sana." "Betul. Itu rencana yang bagus." Tio mengalihkan panda

  • Jodoh Wasiat Istri    Bab 88

    88 Berita teraktual mengenai Felix Saptaji, mengejutkan Haikal. Dia dan Alvaro beserta beberapa orang lainnya, segera mendatangi RS Polri untuk menjenguk Felix.Haikal dan rekan-rekannya mesti menunggu belasan menit di lorong dekat ruang perawatan Felix, sebelum diizinkan masuk oleh petugas jaga. Sepasang anak muda yang berada di ruangan itu, serentak berdiri dari sofa, saat melihat sekelompok pria berseragam safari hitam yang tengah memasuki ruangan. Seorang perempuan paruh baya yang duduk di kursi dekat ranjang, berdiri dan menyalami semua tamu. Dia menyentuh lengan kanan Felix dan membangunkan pria itu dengan lembut. "Silakan duduk," ujar Anita, sembari mengarahkan tangan kanannya ke set sofa, dan beberapa kursi di sekitar ruangan. "Boleh saya tahu, kalian dari mana?" tanyanya. "Kami dari Baltissen Grup," jawab Alvaro. "Saya, Alvaro Gustav Baltissen, komisaris 5. Yang ini, Bang Haikal Jabbar, direktur utama, sekaligus komisaris 10," lanjutnya. "Sebelah sana, Wirya, komisaris

  • Jodoh Wasiat Istri    Bab 87

    87Kekisruhan yang terjadi di grup PCT, menjadikan para mentor mereka ikut pusing. Terutama, karena kasus itu akhirnya berkembang menjadi tidak terkendali, dan berimbas ke berbagai proyek bersama. Haikal yang baru beberapa hari lalu pulang dinas dari Eropa, terpaksa menerima permintaan Wirya dan Aswin, untuk ikut menenangkan situasi. Sebab jika masalah intern itu tidak bisa diselesaikan, maka Tio akan mengambil tindakan tegas pada orang-orang yang bersangkutan. Sore itu, Haikal mendatangi kediaman Wirya. Dia ikut menumpang mandi, lalu berbincang dengan ketiga bocah, sembari menunggu Daisaq yang tengah membersihkan diri di toilet kamar tamu. Haikal terkekeh mendengar cerita Marwa tentang teman-teman di sekolahnya, yang pada heboh saat Vanetta datang menjemputnya beberapa hari lalu.Hal serupa juga diceritakan Bayazid. Bahkan, jika Vanetta hendak jalan-jalan, maka Bayazid langsung bersiaga untuk menjadi pengawal perempuan tersebut. "Bang, ikut bentar ke ruang kerja. Aku mau ngomong s

  • Jodoh Wasiat Istri    Bab 86

    86Waktu terus berjalan. Siang itu, Haikal mendatangi lapas bersama Alvaro, Zulfi, Righa, Ghea, dan beberapa ajudan muda. Mereka hendak menjemput Gunandar yang telah selesai masa hukumannya. Isakan Ghea terdengar ketika memeluk kakaknya. Gunandar turut menitikkan air mata bahagia, karena bisa bebas dari penjara.Seusai berbincang singkat, kelompok itu segera menaiki 2 mobil MPV mewah. Daisaq dan Righa, mengemudikan mobil bos masing-masing menuju kediaman Sultan Pramudya. Setibanya di sana, Gunandar kaget, karena banyak orang telah berada di tempat itu. Termasuk Paman dan bibinya, yang khusus datang dari kampung untuk menyambutnya.Isak tangis mewarnai pertemuan keluarga kecil itu. Gunandar sangat terharu, karena Kakak dan Adik dari almarhumah ibunya, rela jauh-jauh datang hanya untuk menemuinya. Sultan mengajak semua orang memasuki ruang tengah, yang lebih besar dari ruang tamu. Sultan memberikan pidato singkat untuk menyambut kebebasan Gunandar. Kemudian dia meminta Haikal untuk me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status