Share

Bab 07

Author: Olivia Yoyet
last update Last Updated: 2025-09-20 10:37:55

07

Jalinan waktu terus bergulir. Siang menjelang sore itu, Haikal tiba di ruang pertemuan kantor Janitra. Dia menyalami semua bos PG, PC dan PCD, yang telah berada di sana terlebih dahulu. 

PG adalah singkatan dari Perusahaan Gabungan, yang dibentuk Tio beberapa tahun lalu. Perkumpulan itu beranggotakan 50 orang pengusaha muda Indonesia yang bergerak di berbagai bidang bisnis. 

Setelahnya, Tio membuat PC dan PCD, yang beranggotakan masing-masing 100 orang. Para pengusaha baru yang tergabung di dua grup itu, sebagian besar adalah direktur perusahaan buatan Tio, Alvaro dan Wirya. 

Tio juga tengah membangun PCT alias PC Tiga, dengan Aswin Mahdhar sebagai direkturnya. Tio sengaja menempatkan para pengawal lapis dua sebagai direktur PCD dan PCT. Supaya lebih mudah dikoordinir. 

Haikal tergabung di grup 1 PC, bersama Wirya dan delapan rekanan lainnya. Mereka merupakan orang-orang andalan Tio, yang telah berhasil memajukan perusahaan masing-masing. 

Haikal yang didaulat sebagai direktur utama Baltissen Grup Indonesia, mendedikasikan semua kemampuannya untuk membawa perusahaan itu, hingga tambah maju. 

Kedekatan Haikal dengan keluarga Baltissen, membuatnya tidak sungkan lagi pada Gustavo, Edmundo, Alvaro dan kedua adiknya. Dekat sejak belasan tahun silam, menjadikan Haikal menganggap keluarga bos sebagai kerabatnya. 

Tepat jam dua siang, rapat dipimpin oleh direktur utama Janitra Grup. Ethan Janitra, putra bungsu Rafael Janitra, terlihat sangat tenang dalam memaparkan kemajuan beberapa proyek, yang dikerjakan bersama. 

Setelah Ethan duduk, Chris Mainaka, direktur utama AGATE, anak perusahaan Janitra, berdiri dan berpindah ke depan. Chris menyalakan in fokus yang telah terhubung ke laptopnya. 

Pantulan deretan kalimat muncul di layar besar di dinding. Chris menjelaskan tentang tiga proyek yang ditanganinya sendiri. 

Haikal mencatat beberapa hal penting di buku khusus. Pria berkemeja hijau muda itu serius mengikuti rapat, hingga tidak mengetahui jika ponselnya bergetar sejak tadi. 

Sementara itu di tempat berbeda, sang penelepon akhirnya menghentikan usahanya untuk menghubungi Haikal. Dia menduga jika pria tersebut tengah rapat, hingga tidak sempat mengangkat telepon. 

"Kita pulang, yuk!" ajak Lula sambil merapikan jilbab Ghazwa yang sedikit miring. 

"Pakai apa?" tanya gadis kecil yang matanya bengkak, karena habis menangis. 

"Motor." 

"Kakak nggak bawa helm." 

"Ada di motor." Lula celingukan untuk mencari sosok Bariq. "Abang, ke mana?" tanyanya. 

"Ada ekskul katanya." 

"Ehm, kalau gitu, kita pulang duluan. Abang nanti dijemput ojek." 

"Ma, Kakak pengen es krim, yang di kafe itu." 

"Boleh, tapi dibungkus aja. Biar Dedek bisa ikut makan." 

Lula menggamit lengan kiri keponakannya. Perempuan berjilbab cokelat muda itu mengajak Ghazwa menuju tempat parkir. 

Lula mengingat-ingat apa yang tadi disampaikan guru Ghazwa, yang akan diteruskannya pada Haikal. Lula mengeluh dalam hati, karena biasanya Isnindar yang akan menangani semuanya tanpa melibatkan Haikal. 

Lula tidak bisa melepaskan pengawasan pada ketiga keponakannya. Selain karena dia telah berjanji pada Isnindar untuk membantu merawat mereka, Lula juga sangat menyayangi Bariq, Ghazwa dan Baadal. 

Lula dulu pernah menikah selama 8 tahun. Namun, dia tidak memiliki keturunan, karena masalah reproduksi. Lula bertambah sedih, karena Mohan Anggasta, mantan suaminya, memutuskan mendua dengan Manika Padmasari, justru di saat Lula tengah membutuhkan dukungan. 

Lula yang kecewa dan patah hati, memutuskan untuk bercerai dengan Mohan 3 tahun silam. Lula kembali menetap di rumah peninggalan orang tuanya, yang hanya berbeda blok dengan rumah Haikal. 

Demi membiayai kehidupannya, Lula membuka toko bunga kecil di dekat kantor WO milik Mutiara dan Edelweiss. Isnindar menjadi penyambung sepupunya tersebut, agar bisa bekerjasama dengan WO itu. 

Perlahan tetapi pasti, usaha Lula bisa berkembang pesat. Hingga dia bisa membeli satu rumah toko, dan memperbesar usahanya. 

Tidak berselang lama, Lula dan Ghazwa telah berada di kafe depan kompleks tempat mereka tinggal. Niat Lula untuk membungkus, akhirnya dibatalkan. Dia menelepon Nana dan meminta sang pengasuh datang bersama Baadal, dengan menggunakan ojek.

"Kakak besok nggak mau sekolah," rajuk Ghazwa. 

"Kenapa?" tanya Lula. 

"Males ketemu Dinosaurus itu." 

Lula mengulum senyuman. "Kalau Ayah ngizinin, Kakak boleh libur sehari. Tapi, nggak boleh main keluar. Temani Dedek di rumah." 

"Hu um." Ghazwa menatap perempuan bermata besar yang disayanginya. "Ma, Sabtu nanti, Kakak mau berenang," pintanya. 

"Ehm, Mama ada kerjaan. Minta temani Ayah, ya." 

"Enggak mau. Ayah nggak sabaran. Baru juga satu jam, sudah ngajak pulang." 

Lula tersenyum. "Nanti Mama omongin ke Bunda Namira. Biar dia yang nemenin Kakak." 

Ghazwa mengangguk paham. Dia mengalihkan pandangan pada pelayan kafe, yang tengah mendekat untuk menyajikan pesanan. 

Sekian menit terlewati, Nana datang bersama Baadal. Keduanya menyambangi meja yang ditempati Lula dan Ghazwa. Kemudian mereka ikut bersantap. 

Dering ponselnya mengejutkan Lula. Dia membuka tas hitam untuk mengambil benda yang masih berdering. Lula segera menjawab panggilan itu dan menyapa sang penelepon dengan salam. 

"Ada apa, La?" tanya Haikal seusai menyahut sapaan salam Adik iparnya. 

"Tadi aku ditelepon guru Ghazwa. Dia nangis, karena berantem dengan Dino," terang Lula. 

Haikal tertegun sesaat, lalu dia bertanya, "Kakak terluka?" 

"Enggak. Justru Dino yang telinganya berdarah, karena dipukul Kakak pakai sapu." 

"Masalahnya apa?" 

"Dino narik jilbab Kakak sampai nyaris lepas. Tadi dia juga dinasihatin wali kelasnya, agar bisa menghormati temannya."

Haikal meringis. "Ehm terus, gimana?" 

"Sudah didamaikan sama guru, tapi kayaknya mamanya Dino masih marah. Aku ngajak salaman, dia melengos." 

"Abaikan. Dia yang nggak bisa mengajarkan sopan santun ke anaknya. Giliran dihajar, malah marah." 

"Ehm, ya." 

"Ghazwa lagi ngapain?" 

"Makan es krim. Sama Dedek. Di kafe depan kompleks." 

"Mantap!" 

"Abang mau? Nanti dibungkus." 

"Enggak usah." 

"Ehm." 

"La, makasih sudah mengurus anak-anak." 

"Ya, Bang." 

Haikal terdiam sejenak kemudian dia melanjutkan ucapan. "Kapan-kapan Abang traktir kamu." 

Lula spontan tersenyum. "Sip. Kutunggu." 

*** 

Pekikan Baadal menyambut kedatangan Haikal sore itu. Seusai memarkirkan mobilnya, pria berambut tebal tersebut mematikan mesin. Haikal melepaskan sabuk pengaman, lalu menyambar tas kerja dan tas belanja dari kursi samping kiri. 

Setelah keluar dan menutup pintu kendaraan, Haikal memberikan tas belanja pada Bariq yang menyambanginya bersama Baadal. Kedua bocah tersebut berseru megirangan seusai melihat isi tas. 

Haikal memasuki rumah sambil mengucapkan salam. Dia duduk di sofa tuang tamu, lalu melepaskan dasi hijau tua motif bintik-bintik, dan meletakkan benda itu ke kursi.

Ghazwa muncul dari dalam sambil membawakan minuman buat ayahnya. Lula menyusul sembari memegangi piring, berisikan kue-kue yang tadi dibelinya.

Saat hendak meletakkan piring ke meja, kaki Lula tersandung mobil-mobilan milik Baadal. Dia memekik sambil berusaha menyeimbangkan diri. 

Haikal spontan berdiri dan memegangi kedua lengan Lula yang nyaris terjatuh. Setelah perempuan tersebut berdiri tegak, keduanya saling menatap selama beberapa saat. 

Lula yang tersadar lebih dulu, memutus pandangan dengan menunduk. Haikal melepaskan pegangan dan kembali duduk. Dia tertegun ketika Lula segera berlalu setelah meletakkan piring. Padahal biasanya perempuan tersebut akan ikut duduk dan berbincang dengannya. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jodoh Wasiat Istri    Bab 19

    19 Waktu bergulir dengan kecepatan maksimal. Mendekati hari pernikahan, Haikal makin gelisah. Hatinya mendua, antara ingin tetap setia pada Isnindar, atau mencoba membuka hati buat Lula. Haikal lebih banyak melamun, dan itu diketahui rekan-rekannya di PBK ataupun kantor Baltissen. Haikal ingin mencurahkan hatinya pada Hamid dan Tio, tetapi kedua orang tersebut tengah berada di Palembang untuk urusan bisnis. Pria bertubuh tinggi besar tersebut, menimbang-nimbang sesaat. Sebelum Haikal memutuskan untuk mendatangi bos utama. Kehadiran mantan ajudan kesayangan, menjadikan Sultan dan Winarti tampak semringah. Berita kedatangan Haikal segera menyebar di seputar kediaman keluarga Pramudya.Marley Yudhana Pramudya, putra ketiga Sultan, menyambangi sang tamu. Dia menyalami Haikal dengan takzim. Kemudian Marley mendekap pria yang dianggapnya Abang itu, lalu mundur sedikit untuk mengamati Haikal. "Abang kurusan," tutur Marley. "Ya, berat ane turun 6 kilo," terang Haikal. "Gedein lagi, Ban

  • Jodoh Wasiat Istri    Bab 18

    18Jalinan waktu terus berjalan. Haikal masih menunggu informasi terkini, tentang otak pelaku penculikan Lula. Haikal yakin, jika perempuan tersebut bukan korban pilihan acak. Sebab proses penculikannya tersusun rapi. Pada awalnya, kecurigaan semua pihak mengarah pada Mohan. Namun, pria tersebut berhasil membuktikan jika dirinya sama sekali tidak terlibat. Saat kejadian itu, Mohan tengah menjalani simposium farmasi di Bali. Selain itu, keempat orang yang ditangkap polisi di tempat kejadian perkara, juga tidak mengenali Mohan. Haikal mengingat-ingst siapa saja yang bersinggungan dengan Lula. Namun, pikirannya mentok dan tidak bisa menebak siapa pun. Sebab Lula adalah pribadi yang ramah, dan kemungkinan kecil mempunyai musuh. Atas saran Benigno, Lula diajak Haikal menemui psikiater yang merupakan teman Benigno. Lula telah 4 kali menjalani terapi, dan kondisinya kian stabil. Demi menjaga keselamatan Lula, dia dipindahkan ke rumah Fahar. Selain itu, Alvaro juga menugaskan seorang pen

  • Jodoh Wasiat Istri    Bab 17

    17Haikal, Wirya dan Zulfi, tiba sore itu di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta. Mereka dijemput Nanang dan Jeffrey, atas perintah Alvaro. Nanang mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Dia turut mendengarkan percakapan antara Jeffrey dan ketiga seniornya. "Abang jangan marahin Diaz. Dia nggak ngasih tahu dari semalam itu, karena dilarang Bang Varo," tukas Jeffrey. Haikal mendengkus pelan. "Walaupun kesal, karena dia nggak ngubungin ane, tapi ane ngerti jika dia harus menjalankan perintah si bule." "Sudah ada info baru dari Mas Elkaar, Jeff?" tanya Wirya. "Tadi, beliau bilang, jika tim IT polisi sudah menemukan lokasi ponselnya Lula. Mungkin mereka sudah bergerak menuju ke sana," terang Jeffrey. "Masih seputar Jakarta?" "Bukan, tapi sekitar Bogor." Jeffrey menunduk untuk mengecek layar ponselnya yang tengah berbunyi. "Bang Yoga nelepon," ujarnya, sebelum menerima panggilan itu dan mengucapkan salam. "Waalaikumsalam. Posisi di mana, Jeff?" tanya Yoga dari seberang

  • Jodoh Wasiat Istri    Bab 16

    16Hari berganti hari. Kehidupan berjalan lancar di kediaman Haikal. Setiap sore, Bariq akan melancarkan belajar motor, dengan didampingi Diaz. Sejak beberapa bulan lalu, Bariq sudah diizinkan belajar mengendarai motor oleh Haikal. Namun, tidak boleh sendirian dan harus ditemani. Bila Diaz tengah dinas, maka Shakil, yang akan menemani Bariq. Selain tidak boleh sendirian, Bariq hanya diizinkan belajar mengendarai motor di seputar kompleks, dan tidak boleh melewati gerbang utama yang menuju jalan raya.Shakil merupakan tetangga yang rumahnya nomor tiga sebelah kanan. Shakil bekerja sebagai staf EXB, perusahaan pimpinan Sebastian Anargya, salah satu sahabat Haikal di PC. Shakil dan Nurhayati, istrinya, baru pindah ke kompleks itu 5 bulan silam. Mereka memiliki seorang anak perempuan bernama Sakira, yang berusia 1 tahun. Sore itu, Lula tengah duduk di kursi teras sembari membaca novel online favoritnya di Goodnovel, yang berjudul Kau Curi Istriku, Kunikahi Mantanmu. Sekali-sekali dia

  • Jodoh Wasiat Istri    Bab 15

    15"Sekali saja ente menjatuhkan tangan ke Lula, ane pastikan ente mendekam di sel penjara minimal setahun!" ancam Haikal sambil memelototi Manika. "Lepaskan aku!" desis Manika. Haikal melepas cekalannya, lalu dia bergeser ke depan perempuan bermake-up tebal itu. "Ente memang nggak tahu sopan santun. Datang ke tempat orang. Marah-marah. Lalu mau nampar. Boh sia le!" Manika terkejut. Dia tidak memahami ucapan Haikal. Namun, dia tidak berani membantah pria bertubuh tinggi besar itu, dan memutuskan untuk segera pergi. Diaz yang masih berada di mobil bosnya, memotret plat nomor mobil sedan hitam milik Manika. Kemudian Diaz membuka pintu dan menutupnya dengan pelan. Lalu dia menyambangi kedua orang yang tengah berbincang di teras. "Kapan Abang mau berangkat?" tanya Lula. "Nanti malam," sahut Haikal. "Sekarang, Abang mau pulang dan beres-beres. Habis itu, langsung berangkat ke bandara," lanjutnya. "Aku ikut pulang juga, deh. Jadi nggak mood di sini." "Motormu, gimana?" "Biar aku ya

  • Jodoh Wasiat Istri    Bab 14

    14"Bang, apa calonnya Lula itu, yang namanya Beni?" tanya Mohan. Haikal terdiam sejenak. Dia memandangi lelaki berparas manis di kursi seberang, yang kentara sekali tengah gelisah. "Kenapa ente bisa berpikiran begitu?" balasnya. "Lula pernah bilang, jika dia akan menikah maksimal 6 bulan lagi. Dia ngomongnya 2 bulan lalu. Berarti waktunya sisa 4 bulan," terang Mohan. "Terus?" "Tadi, Beni bilang, dia bentar lagi mau nikah. Waktunya hampir sama dengan ucapan Lula. Jadi aku mikir, Beni adalah calon suami Lula." Haikal berusaha mempertahankan ekspresi wajahnya, agar tidak tersenyum. Dia merasa lucu dengan perkataan Mohan, yang memang hanya dugaan semata. "Ane nggak punya kapasitas buat menjawabnya. Ente harus tanya langsung ke Lula," tukas Haikal. "Dia tetap nggak mau bocorin identitas orang itu," keluh Mohan. "Ente jangan memaksanya untuk bicara. Ingat, status ente hanya mantan suami, dan Lula bebas menentukan pendampingnya yang baru." Mohan meremas-remas rambutnya. "Aku benera

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status