Share

Bab 2

Author: Ana Merwin
Lintang menjual vila dengan harga ratusan juta lebih rendah dari harga pasar, sehingga dengan cepat menarik banyak orang yang berniat membeli rumah untuk mengiriminya pesan pribadi.

Hari sudah larut malam setelah Lintang selesai membalas semua pesan itu.

Lintang yang belum mengantuk membuka aplikasi yang baru-baru ini sedang populer di kalangan wanita.

Begitu membuka aplikasi, sebuah postingan yang direkomendasikan langsung menarik perhatian Lintang.

[Pacarku akan menikah dua bulan lagi. Hari ini, aku berhubungan seks dengannya sambil mengenakan gaun pengantin tunangannya di toko gaun pengantin! Rasanya begitu indah dan menggairahkan.]

Komentar-komentar di bawah postingan itu penuh dengan cacian terhadap si pembuat postingan. Bahkan, ada beberapa orang yang berharap algoritma big data segera mengarahkan postingan itu ke pemilik aslinya.

Tangan Lintang gemetar saat mengeklik profil si pembuat postingan.

Lintang cepat-cepat menggulir ke bawah, sampai ke postingan pertama dari orang tersebut. Tidak ada teks di sana, hanya sebuah gambar.

Di dalam gambar itu, kedua tangan saling menggenggam erat.

Sekilas saja, Lintang langsung melihat tahi lalat kecil di jari telunjuk pria itu serta cincin di jari manisnya.

Waktu postingan itu dibuat adalah setengah tahun yang lalu. Hanya terpaut satu minggu dari hari ketika Bagas melamarnya.

Lintang terpaku memegang ponsel sambil menatap kosong cincin di jari manisnya yang serasi dengan yang ada di foto. Hatinya dipenuhi rasa mual.

Detik berikutnya, Lintang melepas cincin itu dan membuangnya ke dalam toilet, lalu menyiramnya.

Barang yang sudah kotor, tidak ada gunanya untuk disimpan.

Pembuat postingan itu segera memperbarui postingannya.

Tulisan di postingannya tidak lagi seperti sebelumnya yang penuh rasa bangga, melainkan mengandung nada memohon.

[Kalian jangan marah lagi. Aku dan dia sudah sepakat. Sebulan lagi, aku akan mengembalikan dia utuh kepada tunangannya.]

Foto yang menyertainya adalah punggung seorang pria yang sedang berbaring di tempat tidur.

Punggung itu begitu familier hingga membuat Lintang merasa gelisah.

Mengembalikannya utuh kepadanya?

Hehehe…

Dalam sekejap, Lintang benar-benar bisa mengerti mengapa seseorang bisa tertawa ketika tidak bisa berkata apa-apa.

Bagas tidak pulang sepanjang malam itu. Pagi harinya, Bagas menelepon Lintang tanpa memberikan penjelasan apa pun. Dia hanya mengabari untuk bertemu di toko gaun pengantin.

Di toko gaun pengantin.

Lintang tiba beberapa menit lebih awal dari Bagas.

Gaun pengantinnya tergantung di ruang VIP lantai tiga, anggun dan suci, seolah belum pernah tersentuh.

"Bu Lintang, Pak Bagas sedang dalam perjalanan ke sini. Bagaimana kalau kami bantu Anda mengenakan gaun pengantin terlebih dulu? Jadi saat Pak Bagas masuk, dia bisa langsung melihat betapa memukaunya Anda mengenakan gaun itu?"

Staf itu bersikap sopan dan penuh hormat, meski di matanya tampak samar-samar rasa simpati.

Ekspresi Lintang tetap dingin dan datar saat dia menolaknya, "Nggak perlu."

Lintang merasa mual.

Begitu kata-kata tersebut terucap, tiba-tiba sebuah tangan besar memeluk pinggang Lintang dari belakang dan menariknya ke dalam pelukannya. Aroma yang familier, bercampur dengan wangi sabun mandi, menyapu hidung Lintang.

"Kenapa nggak? Lintang, tahukah kamu sudah berapa lama aku menantikan hari ini? Bisakah kamu memakainya untukku?"

Lintang melirik ke samping, menatap pria di sebelahnya yang tampak rapi dan segar, sama sekali tidak terlihat seperti seseorang yang baru saja lembur semalaman. Lintang pun mencibir di dalam hati.

Ternyata Bagas tidak datang sendirian. Tidak jauh di belakangnya, ada seorang gadis yang mengikutinya.

Gadis itu mengenakan celana jin biru muda, dipadukan dengan kemeja putih polos. Wajahnya dihiasi senyum manis, tampak polos dan memesona.

Lintang mengalihkan pandangannya melewati Bagas, lalu menatap lekat-lekat gadis itu, dengan sorot mata sedingin es.

Apakah ini lagi-lagi bagian dari rencana yang mereka buat demi mencari sensasi?

Bagas menyadari arah pandangan Lintang. Pelukan tangannya di pinggang Lintang mengencang, tetapi ekspresinya tetap santai, seakan tidak terjadi apa-apa.

"Dia ini putri dari mitra kita. Kepribadiannya agak mirip denganmu beberapa tahun lalu. Kupikir kamu mungkin akan menyukainya. Jadi, kubawa dia ke sini untuk mengenalkan kalian."

Bagas mengangkat tangannya, lalu melambaikannya ke arah gadis itu. Gadis itu langsung berlari kecil dengan semangat, kemudian mengulurkan tangannya pada Lintang.

"Halo Kak Lintang, aku Jeny Chandra. J-E-N-Y, Jeny. Senang bertemu denganmu."

Lintang tidak menjabat tangan gadis itu. Dia mengalihkan pandangannya dan tidak lagi melihat ke arahnya. Suara Lintang terdengar dingin.

"Nama yang indah."

"Jeny, belakangan ini aku menyadari memang jarang ada pria yang bisa benar-benar bisa menarik diri setelah sebuah pertemuan singkat yang terasa seperti mimpi, 'kan?"

Menangkap nada sindiran dalam ucapan Lintang, ekspresi gadis itu tampak sedikit kesal.

"Kak Lintang sedang menyindir kalau aku pandai menggoda pria, ya?"

Tangan yang memeluk pinggang Lintang tiba-tiba mengencang. Lintang melirik ke arah Bagas yang berada di sampingnya dengan tatapan tidak senang. Barulah cengkeraman Bagas sedikit mengendur. Kemudian, Bagas membungkuk dan berkata lembut di telinga Lintang.

"Kalau kamu marah, setelah pulang nanti, terserah mau memukul atau memakiku, aku terima. Tapi, gadis itu masih muda dan sensitif. Jangan permalukan dia di depan umum."

"Sekarang, kita coba dulu gaun pengantinnya."

Staf toko yang sempat terkejut, buru-buru kembali tersadar dan segera mengambilkan gaun pengantin. Kemudian, dia mempersilakan Lintang untuk mencobanya.

Lintang menoleh ke arah Jeny. Dia melihat tatapan gadis itu tertuju pada gaun pengantin di tangan staf toko, dengan mata yang berbinar.

Sebersit hawa dingin melintas di mata Lintang saat dia berbicara.

"Kamu suka?"

Tanpa pikir panjang, Jeny langsung menjawab dengan lugas.

"Suka."

Setelah menjawab seperti itu, Jeny melirik Bagas dengan hati-hati. Melihat ada sedikit hawa dingin di mata pria itu, Jeny pun menambahkan dengan nada takut-takut, tetapi penuh rasa iri.

"Meski aku suka, nggak semua wanita seberuntung Kak Lintang, yang bisa mengenakan gaun pengantin yang disukainya dan menikah dengan orang yang dicintainya."

Saat berbicara, Jeny menundukkan pandangannya. Jelas terlihat rasa kecewa dan sedih di wajahnya.

Lintang melirik sekilas Bagas yang berada di sampingnya, yang raut wajahnya sulit untuk diterka. Kemudian, Lintang berkata kepada staf toko itu dengan suara datar, "Hari ini aku kurang enak badan, nggak ingin terlalu banyak bergerak. Barusan kulihat postur tubuhnya mirip denganku. Biar dia saja yang mencobanya untukku."

Gaun pengantin yang sudah mereka kotori bersama, bahkan menyentuhnya saja, Lintang takut bisa tertular penyakit.

Staf toko itu tidak berani bertindak sembarangan. Dia melirik ke arah Bagas dengan hati-hati.

Bagas menundukkan kepala. Dia menatap Lintang dengan ekspresi tegang dan wajah muram.

Namun, Jeny sama sekali tidak terlihat canggung. Dia langsung maju dengan senyum manis khasnya, yang tetap terpancar di wajahnya.

"Tentu, bisa mencoba gaun pengantin untuk Kak Lintang, adalah sebuah keberuntungan bagiku."

Sambil berbicara, Jeny langsung mengulurkan tangan untuk mengambil gaun pengantin itu.

Staf toko itu tidak mampu berkata-kata.

Mereka tidak tahu harus berbuat apa. Mereka hanya bisa melirik ke arah Bagas, berharap Bagas memberikan petunjuk.

Di dalam sorot mata hitam nan dalam milik Bagas, terpancar hawa dingin. Ekspresinya kelam. Di dasar matanya, samar-samar tersembunyi peringatan.

Jeny menggigit bibirnya. Matanya menunjukkan rasa bingung.

Lintang menyingkirkan tangan yang memeluk pinggang rampingnya. Kemudian, dia duduk di sofa di samping dan berkata dengan nada mendesak.

"Cepat pergi."

Barulah Jeny kembali tersenyum. Dia mengambil gaun pengantin dari tangan staf tersebut, lalu masuk ke ruang ganti.

Bagas berjalan mendekat dengan dahi berkerut dan duduk di samping Lintang. Dia hendak mengutarakan rasa tidak puasnya. Namun, sebelum sempat bicara, Lintang sudah menatapnya sambil tersenyum tipis dan berkata.

"Kamu nggak mau masuk bantu dia?"

Begitu kata-kata itu keluar dari mulut Lintang, semua orang di ruangan itu langsung tertegun.

Para staf yang kemarin melayani Bagas dan Jeny, diam-diam ingin berteriak kegirangan dalam hati.

Untung hari ini mereka tidak mengambil cuti. Jika tidak, mereka pasti akan melewatkan drama seru ini di baris terdepan.

Bagas mengerutkan kening. Bibir tipisnya mengatup rapat membentuk garis lurus. Wajahnya menunjukkan kewaspadaan saat berkata, "Lintang, apa maksudmu?"

"Nggak apa-apa. Aku kira kamu akan senang membantu." Lintang tersenyum tipis. Kemudian, dia berbalik untuk meminta secangkir kopi kepada staf toko.

Tirai besar ruang ganti tersingkap. Jeny yang sudah mengenakan gaun pengantin berdiri di tengah ruangan dengan ekspresi malu-malu dan anggun. Senyumnya begitu manis.

Gaun pengantin yang katanya dirancang untuk Lintang ini, justru terlihat seperti dibuat khusus untuk Jeny.

Lintang melirik wajah Bagas. Dia tersenyum dingin saat bertanya pada Bagas.

"Cantik, 'kan?"

Wajah Bagas tampak muram. Matanya enggan melirik ke arah Jeny. Suaranya tetap tenang, tetapi terdengar dingin dan penuh tekanan.

"Lintang, sebenarnya kamu ini sedang cari masalah apa sih?"

Lintang tidak menjawab. Dia hanya mengangkat cangkir kopinya dan perlahan berjalan menghampiri Jeny.

Begitu Lintang mendekat, Jeny buru-buru menutupi wajahnya dengan tangan, mengira Lintang akan menyiramkan kopi panas ke wajahnya.

Namun, rasa panas yang dibayangkan Jeny tak kunjung datang. Yang terdengar lebih dahulu justru adalah suara teriakan kaget dari orang-orang di sekitar.

Jeny menurunkan tangannya. Saat menunduk, barulah dia melihat jika gaun pengantin mahal yang dikenakannya sudah ternoda oleh bercak cokelat kehitaman.

Para staf toko bergegas mengambil tisu untuk mencoba membersihkannya, tetapi noda itu tidak bisa hilang.

Lintang menatapnya tanpa ekspresi, lalu mencibir.

"Bagaimana kamu bisa mengembalikan sesuatu kepadaku dalam keadaan utuh kalau nodanya sudah begitu parah sampai nggak bisa dibersihkan?"

Wajah Jeny langsung menjadi pucat pasi. Dia berdiri di tempat, tidak tahu harus berbuat apa.

Bagas mengerutkan kening. Wajahnya tampak muram saat dia mendekat. Kemudian, Bagas meraih pergelangan tangan Lintang dan mulai menariknya pergi.

Namun, Lintang justru mengangkat tangannya dan menampar wajah Bagas dengan keras.

Terdengar suara tamparan.

Suasana langsung menjadi hening.

Lintang hampir mengerahkan seluruh tenaganya untuk tamparan itu, hingga telapak tangannya terasa mati rasa.

Bagas menatap Lintang dengan wajah muram. Sorot matanya sedingin es. Begitu dinginnya, hingga sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Para staf di toko hampir tidak berani menatap wajah Bagas. Bahkan, Jeny sendiri tidak berani untuk bernapas.

Sejak "Lintama" berhasil menancapkan kaki di Kota Yora, Bagas belum pernah dipermalukan di depan umum, apalagi sampai ditampar oleh seorang wanita.

Jantung Lintang berdebar kencang saat membalas tatapan dingin dan tajam pria itu. Perbedaan kekuatan antara pria dan wanita terlalu besar. Jika Bagas melawan, dia tidak akan mampu mengalahkannya.

Bagas menundukkan pandangannya, menyapu bulu mata Lintang yang gemetar. Kemudian, dia menghela napas pelan dan memeluk pinggang Lintang.

"Sudah cukup marahnya?"
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jodoh dari Masa Lalu   Bab 100

    Lintang membalas:[Apakah aku puas atau nggak, itu nggak penting. Yang penting adalah apakah Pak Indra puas.]Orang itu tidak membalas.Pak Indra kemungkinan tidak puas. Bagaimanapun, putri tunggalnya sudah sangat menderita oleh kejadian ini selama tiga tahun terakhir.Gilang kemungkinan besar tidak akan bisa menghadiri pernikahan Bagas besok.Bagaimana kelanjutan malam ini, Lintang tidak ingin mengurusi, karena besok dia masih harus menghadapi pertarungan lain yang lebih berat.Setelah selesai mandi, Lintang berbaring di tempat tidur. Pikirannya kacau, tetapi kesadarannya sangat jernih.Hingga malam di luar jendela perlahan berubah menjadi abu-abu samar dan sampai penata rias datang mengetuk pintunya, Lintang sama sekali tidak merasa mengantuk.Bagas semalam mabuk. Pak Ardi mengaturnya untuk menginap di kamar lantai bawah.Bagas juga sudah dibangunkan oleh penata rias pagi-pagi sekali. Hal pertama yang dilakukan Bagas setelah terbangun adalah menelepon Lintang. Bagas menyadari jika ke

  • Jodoh dari Masa Lalu   Bab 99

    Lintang mengakui jika memilih Bagas dan baru melihat sifat aslinya setelah tujuh tahun, adalah keputusan yang bodoh."Meski bodoh, itu tetap kebodohan yang berani! Lebih baik dari pada beberapa orang yang merangkak di sudut gelap, nggak berani menghadapi hati mereka sendiri, nggak berani mencintai wanita yang mereka cintai."Faris menatap Lintang dengan wajah serius. Suasana langsung menjadi dingin mencekam.Lintang tahu, dia sudah menyentuh titik kelemahan Faris.Lintang bahkan berilusi jika pria ini akan bergegas mencekiknya.Ketika dua orang saling menatap, salah satu dari mereka pasti akan kalah.Sejujurnya, Lintang merasa sangat rapuh sekarang.Namun, Lintang tidak ingin kalah.Akhirnya, Faris-lah yang pertama mengalihkan pandangannya. Dia berbalik dan berjalan menuju ujung lorong.Lintang mengerucutkan bibirnya. Dia menatap sosok Faris yang tampak sedikit kesepian. Dalam hati Lintang tidak ada sedikit pun rasa menang.Lintang diam-diam berdiri di tempat. Ekspresinya agak merasa b

  • Jodoh dari Masa Lalu   Bab 98

    "Pak Faris, Anda tinggal di lantai berapa? Aku bantu tekan tombol lift-nya."Faris tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya mengangkat tangannya dan menekan tombol lantai 32, lalu menarik kembali tangannya.Meskipun diam, kehadiran Faris sangat terasa.Lintang terdiam. Lintang pun mengangkat tangannya dan hendak menekan nomor lantainya, tetapi lampu di lantainya sudah menyala.Lintang tertegun untuk sesaat."Pak Faris, kamu juga tinggal di lantai 32?"Faris tetap diam."Kebetulan sekali." Suara Lintang terdengar agak canggung.Pria itu tidak menjawab. Lintang juga kehilangan minat.Dalam hati, Lintang diam-diam mengagumi para pelaku perang dingin itu. Bagaimana mereka bisa menahan diri untuk tidak berbicara dengan orang lain?Butuh waktu cukup lama bagi lift untuk mencapai lantai 32. Ruangan sempit itu hanya berisi mereka berdua. Suasana begitu hening hingga Lintang merasa suara napasnya sendiri bisa terdengar begitu jelas.Mereka tidak bisa terus terjebak dalam ketegangan seperti ini.Enta

  • Jodoh dari Masa Lalu   Bab 97

    Sopir memarkir mobil di depan Hotel Mahira. Lintang tidak menunggu pria itu keluar untuk membukakan pintu, melainkan membukanya sendiri dan keluar dari mobil."Terima kasih, Pak Faris. Maaf merepotkan."Meskipun mereka berdua tidak bertukar kata selama perjalanan, Lintang tetap merasa perlu menunjukkan sopan santun.Pria yang duduk di dalam mobil itu tidak mengatakan sepatah kata pun.Lintang sedikit mengerucutkan bibirnya. Dia dengan sadar menahan diri untuk tidak melanjutkan percakapan. Lintang pun menutup pintu mobil dengan lembut.Namun, saat pintu hampir tertutup, orang di dalam mobil itu mendorongnya hingga terbuka.Lintang terkejut untuk sesaat. Faris sendiri membungkuk dan keluar dari mobil.Faris berjalan melewati Lintang tanpa ekspresi. Mata hitamnya yang dalam terlihat dingin dan penuh rasa tidak peduli, seakan menyiratkan, "Jangan dekat-dekat!".Lintang melihat Faris masuk ke hotel. Lintang tampak terkejut untuk sesaat. Kemudian, Lintang buru-buru mengikutinya dan bertanya.

  • Jodoh dari Masa Lalu   Bab 96

    Lintang tercekat mendengar kata-kata Faris. Dia merasa ada udara kotor yang terhimpit di tenggorokannya."Pak Faris, coba ke depannya kurangi menjilat bibirmu."Faris melirik Lintang dengan bingung.Lintang tetap tersenyum, tetapi menggertakkan giginya. "Aku takut kamu akan meracuni diri sendiri dengan menjilat bibirmu."Faris sangat tahu bagaimana situasi Bagas, tetapi masih saja "mengucapkan selamat" padanya!Lintang menarik napas dalam-dalam. Jika dia tidak mengetahui perselingkuhan Bagas dan Jeny pada beberapa saat sebelum pernikahan, setiap "ucapan selamat" dari orang-orang yang mengetahuinya, kemungkinan besar akan dianggap Lintang sebagai ejekan atas kebodohannya.Jika Lintang baru menyadari semuanya setelah pernikahan, ucapan "selamat" itu akan berubah menjadi pedang yang menusuk jantungnya.Untungnya, Lintang sudah mengetahui semuanya, sehingga tidak memberi kesempatan bagi orang-orang itu untuk menusuknya.Pria yang duduk di samping Lintang tertawa pelan. Cahaya lampu dari lu

  • Jodoh dari Masa Lalu   Bab 95

    Lintang mengerucutkan bibirnya dengan putus asa. Matanya sekilas menunjukkan rasa canggung dan emosi yang agak rumit. Kemudian, Lintang cepat-cepat menepuk pipinya, berusaha untuk menyadarkan diri dan melangkah pergi.Saat berjalan, Lintang baru menyadari jika tiang tempat dia bersandar juga dipenuhi dengan banyak ukiran manusia kecil yang sedang berhubungan intim.Wajah Lintang langsung memerah dan dia buru-buru berjalan meninggalkan tempat itu.Lintang sama sekali tidak bisa mengapresiasi seni perilaku manusia primitif di dinding ini!Saat Lintang keluar dari hotel dengan wajah memerah, sopir Faris sudah memarkir mobil di pintu masuk.Melihat Lintang keluar, sopir itu melangkah ke samping mobil, tersenyum pada Lintang dan memberi isyarat "silakan."Faris sudah berada di dalam mobil.Cahaya lampu jalan di luar jendela masuk ke mobil, menyinari profil Faris yang tegas dan membuat sebagian besar wajah Faris tertutup bayangan.Tampan dan misterius.Dua kancing di kerah kemeja yang sempat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status