Share

Bab 3

Author: Ana Merwin
"Belum."

Hanya satu tamparan saja, mana mungkin bisa meredakan amarah?

Bagas mengangkat tangan Lintang yang tadi menamparnya, meletakkannya di bibirnya, lalu menciumnya dengan lembut.

"Barusan pasti sakit, ya? Nanti setelah pulang aku akan ambilkan es untuk mengompresnya. Setelah itu, aku akan berikan penjelasan yang masuk akal, oke? Jangan marah cuma karena orang yang nggak penting."

Lintang menundukkan kelopak matanya. Dalam sorot matanya terselip kesedihan yang mendalam.

Inilah mungkin yang disebut sifat buruk bawaan laki-laki. Kecuali tertangkap basah di atas ranjang, mereka tidak akan pernah mau mengakui kesalahan mereka.

"Orang yang nggak penting?"

"Maksudmu Bu Jeny?"

Lintang memiringkan kepalanya sedikit untuk menatap wajah Jeny.

Wajah Jeny pucat pasi. Dia terpaku di tempat seperti gantungan baju yang tidak bernyawa. Ekspresi menantang yang ditunjukkannya saat pertama kali memasuki toko benar-benar hilang tak berbekas.

"Ya."

Suara Bagas menggema, tanpa keraguan sedikit pun.

Wajah Jeny makin memucat.

Keluar dari toko gaun pengantin, Lintang berjalan menuju mobilnya.

Bagas tiba-tiba menarik tangan Lintang, lalu menariknya dengan paksa ke sisinya.

"Naik ke mobilku. Aku antar kamu pulang."

Lintang sempat berusaha melepaskan diri. Namun, dia mendapati pria itu mengerahkan seluruh tenaganya, sehingga Lintang tidak bisa melepaskan diri cengkeramannya. Akhirnya, Lintang terpaksa membiarkan dirinya ditarik ke arah mobil pria itu.

Bagas membuka pintu kursi penumpang depan. Di atas jok dengan interior berwarna abu-abu gelap itu, tergeletak sebuah jepit rambut berwarna merah muda dan putih.

Dengan tenang dan tanpa terburu-buru, Bagas mengambil jepit itu dan memindahkannya. Bagas tampak begitu tenang dan santai.

Lintang pun mencibir.

"Mau periksa lagi nggak? Siapa tahu masih ada barang-barang pribadi lain. Kalau nanti aku nggak sengaja lihat pakaian dalam atau celana dalam wanita, aku takut kena bintitan."

Pria yang tadinya masih tampak tenang itu, mendadak menjadi marah seperti kucing yang diinjak ekornya, saat mendengar kata-kata Lintang.

"Lintang, apa harus sejorok itu jalan pikiranmu?"

"Aku mencintaimu. Tapi, itu bukan berarti aku akan terus memanjakanmu. Hal seperti ini baru terjadi pertama kalinya. Aku harap, ini juga jadi yang terakhir kalinya. Saat ini, Lintama sedang berada di titik krusial untuk naik ke level yang lebih tinggi. Mustahil di sekelilingku nggak ada rekan kerja wanita."

"Hari ini kamu mempermalukan Jeny. Aku masih bisa memaklumi karena dia cuma karyawan biasa. Tapi, kalau nanti yang kamu curigai adalah wanita dengan jabatan tinggi dan kamu masih bersikap semaunya seperti ini, bagaimana mungkin Lintama bisa berkembang lebih jauh?"

Lintang menatap Bagas dengan tenang. Sepasang matanya yang bening dan indah, kini tampak sedingin es.

Baru sekarang Lintang menyadari, jika ternyata teknik manipulasi emosional Bagas begitu lihai.

Lintang tidak berdebat dengan Bagas, juga tidak naik ke mobil Bagas. Lintang hanya berbalik, kembali ke mobilnya sendiri, menyalakan mesin dan pergi.

Di luar toko gaun pengantin, banyak orang yang berlalu-lalang. Bagas juga tidak mencoba menahan Lintang. Dia hanya menunjukkan wajah dingin saat membuka pintu mobilnya. Saat Bagas hendak membungkuk untuk masuk ke dalam mobil, dia melihat Jeny keluar dari toko dengan wajah pucat.

Bagas terdiam sejenak, lalu melambaikan tangannya.

"Naiklah."

Di sisi lain.

Lintang menatap kesal ke arah bagian belakang mobil mewah berwarna hitam di depannya, yang kini penyok. Pelat nomor mobil itu terdiri dari sederet angka "8".

Barusan, karena sempat kehilangan konsentrasi untuk sesaat, mobil Lintang menabrak mobil di depannya.

Dalam kasus tabrakan dari belakang, tentu saja kesalahan sepenuhnya ada pada diri Lintang. Lintang harus menanggung akibat dari kelalaiannya.

Lintang pun membuka pintu mobilnya, keluar dari mobil dan segera meminta maaf kepada orang yang turun dari mobil mewah tersebut.

"Maaf, aku…"

Sopir dari mobil itu hanya menatap Lintang sekilas, tanpa mengatakan apa-apa. Sebaliknya, dengan sikap hormat, sopir itu membuka pintu kursi belakang.

Begitu pintu terbuka, seorang pria dengan postur tegap turun dari mobil. Kancing kemejanya terpasang rapi hingga ke bagian paling atas. Wajahnya yang tegas terbingkai garis rahang yang tajam, yang memancarkan aura dingin dan angkuh.

Begitu melihat pria itu, sekelebat ingatan melintas di benak Lintang. Lintang mengenal pria ini. Dia adalah Faris…

Sebelum Lintang bisa berkata-kata, pria itu sudah berjalan menjauh. Pria itu bersandar santai di pagar pinggir jalan, memegang ponsel dengan tangan kirinya dan menelepon. Sesekali, angin berembus menerbangkan beberapa helai rambut di dahi pria itu, yang memperlihatkan keningnya yang lebar dan tegas.

"Bu, setelah mobilnya selesai diperbaiki, hubungi aku saja. Aku akan kirim orang untuk mengambilnya."

Sopir itu menyerahkan sebuah kartu nama kepada Lintang.

Lintang sempat melirik ke arah pria tadi. Tampaknya panggilan teleponnya belum juga selesai dan mungkin tidak berjalan lancar. Kening pria itu sedikit berkerut. Namun, sesekali pria itu masih sempat mengulurkan tangan untuk menggoda seekor burung yang sedang bertengger di pagar.

Sepuluh menit kemudian, sebuah mobil MPV datang menjemput. Pria itu naik dengan cepat, sementara sopirnya tetap tinggal untuk menyelesaikan urusan di tempat kejadian. Sebelum naik ke mobil, pria itu sempat melirik ke arah mereka, sehingga membuat Lintang refleks mengalihkan pandangannya. Lintang merasa sedikit bersalah.

Setelah semua urusan selesai dan data-data tercatat, Lintang pun pulang ke rumah. Hari sudah larut malam, saat Lintang tiba di rumah.

Selama waktu itu, Bagas sempat mengirimkan pesan lagi pada Lintang, tetapi Lintang tetap tidak membalasnya.

Lintang terlalu lelah. Setelah mandi, Lintang langsung berbaring di tempat tidur dan tertidur pulas.

Keesokan harinya, Lintang menjadwalkan janji temu dengan seorang calon pembeli lewat platform penjualan properti untuk melihat-lihat rumah, sekalian mulai membereskan sebagian barang-barangnya dan membuang beberapa di antaranya.

Sebagian besar adalah pernak-pernik kecil yang dulu diberikan Bagas saat mereka masih sekolah.

Sebelumnya, Lintang begitu menghargai barang-barang itu. Namun, setelah pesona Bagas runtuh di matanya, barulah Lintang menyadari jika semua barang itu murahan, sama seperti orang yang memberikannya.

Tiga hari kemudian.

Saat Bagas pulang, Lintang sedang berada di halaman, merawat mawar yang baru saja mekar.

Bagas masuk lewat pintu, memeluk pinggang Lintang dari belakang, lalu mendekapnya dengan penuh kasih sayang.

"Sayang, kangen aku nggak?"

Lintang tersenyum dingin. "Di sisimu sudah ada wanita cantik yang menemani, apa masih perlu aku untuk merindukanmu? Jangan-jangan kamu malah berharap aku nggak mengingatmu, supaya nggak mengganggu kencanmu dengan si cantik itu, 'kan?"

Lintang menanggapinya dengan acuh tak acuh, lalu memanfaatkan momen saat Bagas lengah untuk melepaskan diri dari pelukannya.

Dari tubuh pria itu tercium samar aroma parfum wanita yang menyengat dan membuat mual.

Bagas bereaksi cepat. Dia mengangkat tangannya, meraih pinggang Lintang dan kembali menariknya masuk ke dalam pelukannya.

Otot-otot Bagas yang kuat terasa panas meski tertutupi oleh kemeja.

Lintang meronta. Namun, Bagas malah makin erat memeluk pinggang Lintang, hingga Lintang sama sekali tidak bisa bergerak.

"Aku cuma mencintaimu, jangan marah lagi ya, hmm?" Bagas membungkuk sedikit dan membisikkan kata-kata itu di telinga Lintang. Suaranya rendah, dalam dan menggoda, penuh nada ingin berdamai.

Jari-jari Lintang tiba-tiba mengepal kuat, membuat duri mawar menusuk kulitnya hingga berdarah. Rasa sakit di ujung jari Lintang tetap tidak mampu menutupi rasa mual yang meluap dari dalam hatinya.

Lintang menurunkan tangannya. Tangkai-tangkai mawar pun berjatuhan ke tanah.

Bagas menyadarinya dan mengangkat tangan Lintang. Dia mengerutkan kening melihat luka di jari Lintang.

Bagas membungkuk, hendak mengisap darah yang masih mengalir dari luka di jari Lintang.

Wajah Lintang langsung berubah ketika ujung jarinya menyentuh bibir hangat pria itu.

Bagaimana mungkin, setelah tiga hari bersama Jeny, Bagas masih bisa berpura-pura penuh kasih di depannya tanpa sedikit pun merasa bersalah?

Bibir Bagas itu, entah sudah berapa kali mencium bibir Jeny?

Membuat mual. Terlalu membuat mual.

Lintang bereaksi dengan cepat dan sigap. Dia langsung menampar wajah Bagas yang tampan dan tegas itu.

Telapak tangan Lintang terasa kebas.

Pria itu tidak bereaksi sedikit pun. Dia hanya menatap Lintang dengan wajah dingin. Sorot mata Bagas begitu dingin tak terlukiskan.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jodoh dari Masa Lalu   Bab 100

    Lintang membalas:[Apakah aku puas atau nggak, itu nggak penting. Yang penting adalah apakah Pak Indra puas.]Orang itu tidak membalas.Pak Indra kemungkinan tidak puas. Bagaimanapun, putri tunggalnya sudah sangat menderita oleh kejadian ini selama tiga tahun terakhir.Gilang kemungkinan besar tidak akan bisa menghadiri pernikahan Bagas besok.Bagaimana kelanjutan malam ini, Lintang tidak ingin mengurusi, karena besok dia masih harus menghadapi pertarungan lain yang lebih berat.Setelah selesai mandi, Lintang berbaring di tempat tidur. Pikirannya kacau, tetapi kesadarannya sangat jernih.Hingga malam di luar jendela perlahan berubah menjadi abu-abu samar dan sampai penata rias datang mengetuk pintunya, Lintang sama sekali tidak merasa mengantuk.Bagas semalam mabuk. Pak Ardi mengaturnya untuk menginap di kamar lantai bawah.Bagas juga sudah dibangunkan oleh penata rias pagi-pagi sekali. Hal pertama yang dilakukan Bagas setelah terbangun adalah menelepon Lintang. Bagas menyadari jika ke

  • Jodoh dari Masa Lalu   Bab 99

    Lintang mengakui jika memilih Bagas dan baru melihat sifat aslinya setelah tujuh tahun, adalah keputusan yang bodoh."Meski bodoh, itu tetap kebodohan yang berani! Lebih baik dari pada beberapa orang yang merangkak di sudut gelap, nggak berani menghadapi hati mereka sendiri, nggak berani mencintai wanita yang mereka cintai."Faris menatap Lintang dengan wajah serius. Suasana langsung menjadi dingin mencekam.Lintang tahu, dia sudah menyentuh titik kelemahan Faris.Lintang bahkan berilusi jika pria ini akan bergegas mencekiknya.Ketika dua orang saling menatap, salah satu dari mereka pasti akan kalah.Sejujurnya, Lintang merasa sangat rapuh sekarang.Namun, Lintang tidak ingin kalah.Akhirnya, Faris-lah yang pertama mengalihkan pandangannya. Dia berbalik dan berjalan menuju ujung lorong.Lintang mengerucutkan bibirnya. Dia menatap sosok Faris yang tampak sedikit kesepian. Dalam hati Lintang tidak ada sedikit pun rasa menang.Lintang diam-diam berdiri di tempat. Ekspresinya agak merasa b

  • Jodoh dari Masa Lalu   Bab 98

    "Pak Faris, Anda tinggal di lantai berapa? Aku bantu tekan tombol lift-nya."Faris tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya mengangkat tangannya dan menekan tombol lantai 32, lalu menarik kembali tangannya.Meskipun diam, kehadiran Faris sangat terasa.Lintang terdiam. Lintang pun mengangkat tangannya dan hendak menekan nomor lantainya, tetapi lampu di lantainya sudah menyala.Lintang tertegun untuk sesaat."Pak Faris, kamu juga tinggal di lantai 32?"Faris tetap diam."Kebetulan sekali." Suara Lintang terdengar agak canggung.Pria itu tidak menjawab. Lintang juga kehilangan minat.Dalam hati, Lintang diam-diam mengagumi para pelaku perang dingin itu. Bagaimana mereka bisa menahan diri untuk tidak berbicara dengan orang lain?Butuh waktu cukup lama bagi lift untuk mencapai lantai 32. Ruangan sempit itu hanya berisi mereka berdua. Suasana begitu hening hingga Lintang merasa suara napasnya sendiri bisa terdengar begitu jelas.Mereka tidak bisa terus terjebak dalam ketegangan seperti ini.Enta

  • Jodoh dari Masa Lalu   Bab 97

    Sopir memarkir mobil di depan Hotel Mahira. Lintang tidak menunggu pria itu keluar untuk membukakan pintu, melainkan membukanya sendiri dan keluar dari mobil."Terima kasih, Pak Faris. Maaf merepotkan."Meskipun mereka berdua tidak bertukar kata selama perjalanan, Lintang tetap merasa perlu menunjukkan sopan santun.Pria yang duduk di dalam mobil itu tidak mengatakan sepatah kata pun.Lintang sedikit mengerucutkan bibirnya. Dia dengan sadar menahan diri untuk tidak melanjutkan percakapan. Lintang pun menutup pintu mobil dengan lembut.Namun, saat pintu hampir tertutup, orang di dalam mobil itu mendorongnya hingga terbuka.Lintang terkejut untuk sesaat. Faris sendiri membungkuk dan keluar dari mobil.Faris berjalan melewati Lintang tanpa ekspresi. Mata hitamnya yang dalam terlihat dingin dan penuh rasa tidak peduli, seakan menyiratkan, "Jangan dekat-dekat!".Lintang melihat Faris masuk ke hotel. Lintang tampak terkejut untuk sesaat. Kemudian, Lintang buru-buru mengikutinya dan bertanya.

  • Jodoh dari Masa Lalu   Bab 96

    Lintang tercekat mendengar kata-kata Faris. Dia merasa ada udara kotor yang terhimpit di tenggorokannya."Pak Faris, coba ke depannya kurangi menjilat bibirmu."Faris melirik Lintang dengan bingung.Lintang tetap tersenyum, tetapi menggertakkan giginya. "Aku takut kamu akan meracuni diri sendiri dengan menjilat bibirmu."Faris sangat tahu bagaimana situasi Bagas, tetapi masih saja "mengucapkan selamat" padanya!Lintang menarik napas dalam-dalam. Jika dia tidak mengetahui perselingkuhan Bagas dan Jeny pada beberapa saat sebelum pernikahan, setiap "ucapan selamat" dari orang-orang yang mengetahuinya, kemungkinan besar akan dianggap Lintang sebagai ejekan atas kebodohannya.Jika Lintang baru menyadari semuanya setelah pernikahan, ucapan "selamat" itu akan berubah menjadi pedang yang menusuk jantungnya.Untungnya, Lintang sudah mengetahui semuanya, sehingga tidak memberi kesempatan bagi orang-orang itu untuk menusuknya.Pria yang duduk di samping Lintang tertawa pelan. Cahaya lampu dari lu

  • Jodoh dari Masa Lalu   Bab 95

    Lintang mengerucutkan bibirnya dengan putus asa. Matanya sekilas menunjukkan rasa canggung dan emosi yang agak rumit. Kemudian, Lintang cepat-cepat menepuk pipinya, berusaha untuk menyadarkan diri dan melangkah pergi.Saat berjalan, Lintang baru menyadari jika tiang tempat dia bersandar juga dipenuhi dengan banyak ukiran manusia kecil yang sedang berhubungan intim.Wajah Lintang langsung memerah dan dia buru-buru berjalan meninggalkan tempat itu.Lintang sama sekali tidak bisa mengapresiasi seni perilaku manusia primitif di dinding ini!Saat Lintang keluar dari hotel dengan wajah memerah, sopir Faris sudah memarkir mobil di pintu masuk.Melihat Lintang keluar, sopir itu melangkah ke samping mobil, tersenyum pada Lintang dan memberi isyarat "silakan."Faris sudah berada di dalam mobil.Cahaya lampu jalan di luar jendela masuk ke mobil, menyinari profil Faris yang tegas dan membuat sebagian besar wajah Faris tertutup bayangan.Tampan dan misterius.Dua kancing di kerah kemeja yang sempat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status