Share

Galaknya Serena

Selamat membaca lagi ya, jangan lupa tinggalkan jejak.

_________

"Meo," cicit Serena. Romeo tersenyum lebar. Disampingnya ada sosok wanita cantik sepantaran suami Serena itu. Bodynya juga aduhai walau terbalut kemeja pres body juga celana jeans ketat. Jangan lupakan sepatu hak tinggi yang semakin menambah jenjang penampilannya.

"Ngapain kamu di sini?" tegur Romeo lagi. Serena mengerutkan kening. 'Kamu' sejak kapan Romeo mengubah panggilan menjadi resmi begitu?

"Oh, lagi temani Pak Erik. Direktur perusahaan tempat aku kerja. Pak Erik, kenalkan, ini su--" Serena diam saat Erik sudah mengulurkan tangan ke Romeo yang disambut cepat oleh lelaki muda itu.

"Romeo."

"Erik."

Serena melihat wanita disisi Romeo tampak terus diam dengan pandangan tak suka ke arahnya. Ingin rasanya Serena tegur saat itu juga tapi urung karena ia sedang bersama Erik, harus jaga sikap, dong.

"Aku lanjut. Nanti aku telpon kamu." Tanpa basa basi lagi Romeo berjalan meninggalkan Serena dan Erik yang hanya bisa mengikuti pandangan ke arah Romeo dan wanita itu berjalan. Tujuannya tempat pakaian juga, sepertinya Romeo mau membeli baju baru. Tetapi, kenapa tidak ajak Serena? Malah wanita lain dan siapa itu?

"Suami kamu santai sekali lihat kamu pergi dengan saya. Apa tidak masalah di rumah?" Erik terlihat tak enak hati.

Serena terkekeh pelan sambil menutup mulutnya lalu mengajak Erik berjalan ke arah kasir.

"Jangan dipikirin, Pak, suami saya itu terbuka kok pikirannya. Kami sama-sama membebaskan urusan masing-masing. Lagi pula perempuan tadi teman kuliahnya."

Erik menghentikan langkahnya berjalan. "Kuliah?" tekan Erik. Serena melotot, ia lupa jika harus merahasiakan jika Romeo masih kuliah dan pemalas.

"Iya, Pak, tapi dia kerja, kok. Punya usaha sama teman-temannya." Serena tersenyum lebar.

"Bukan kamu yang nafkahi dia, kan?" Erik terlihat ragu dengan jawaban Serena.

"Bukan, Pak. Setelah ini apa ada yang mau Pak Erik beli lagi?"

Erik menggeleng. Ia berjalan kembali tapi melirik ke Serena yang memalingkan pandangan.

***

Serena pulang ke rumah, ia melihat Romeo sudah pulang juga. Setelah menutup pintu ruang tamu, Serena melangkah langsung ke kamarnya.

"Bos lo tadi, tuh, Tante?" tegur Serena hingga membuatnya berhenti melangkah menaiki anak tangga menuju ke kamar. Ia tolehkan kepala ke kanan, melihat Romeo bertelanjang dada dengan berpeluh. Tampaknya baru selesai olahraga di taman belakang rumah walau tak luas.

"Iya, lah!" jawab Serena judes. "Keren, kan?" sambungnya.

"Ya ... buat standar laki-laki sukses, oke, lah." Romeo menandaskan air mineral di botol yang ia pegang.

"Meo, Mama Lita gimana kondisinya?" Mendadak Serena ingat mama mertuanya. Jika mama kandungnya biarlah, melihat ia menikah dengan Romeo saja sudah tampak bahagia.

"Stabil. Kenapa?" Romeo menempelkan bokongnya di tepi meja makan.

"Gue rasa, kita nggak bisa tinggal di sini terus. Rumah ini terlalu besar dan gue kurang nyaman."

Romeo mengerti, ia mengangguk pelan lantas melempar botol kosong ke tempat sampah tanpa meleset. Ia berjalan ke arah Serena yang bersandar pada pagar tangga bercat hitam.

"Lo mau kita tinggal di mana? Apartemen? Nggak, deh! Bukan tipe gue tinggal di kotak hamster."

Serena berdecak. "Kotak hamster lo bilang. Justru di apartemen mobilitas gue gampang. Gue bisa cari yang deket kantor. Kerjaan gue padat asal lo mau tau, Meo. Gue aspri CEO terkenal, perusahaan besar, bos utama gue Pak Erik yang nggak jarang gue juga ikut bantuin dia biar kerjaan lancar."

"Oh, karena Erik." Romeo bersilang tangan di depan dada. Serena memutar malas bola matanya.

"Lo mana tau, sih, Meo. Sibuknya dunia kerja. Kuliah lo aja nggak beres."

"Gue bisa nafkahin lo, Tante. Kenapa urus kuliah gue!"

Serena lanjut berjalan menaiki anak tangga, tapi ia berhenti lagi saat tinggal selangkah tiba di lantai atas. "Karena jadi sarjana itu penting buat gue! Bagus lanjut gelar master! Bagi gue pendidikan hal utama." Serena memalingkan wajahnya dari Romeo dengan cepat, secepat langkahnya masuk ke kamar lalu ia banting pintu.

Romeo tertawa meremehkan, ia kembali ke halaman belakang, masih ada satu sesi olahraga yang belum ia lalukan sebelum nanti harus bertemu dengan teman-teman satu tongkrongannya. Anak-anak komplek juga walau beda RT.

Saat malam tiba, Serena yang malas masak karena memang kurang bisa masak, memilih membeli makan malam saja. Tak ia dapati Romeo di dalam rumah.

Di garasi, sepeda motor Romeo tak ada, hanya mobil sedan Serena yang terparkir rapi di sana.

Serena memilih berjalan kaki menuju ke penjual nasi goreng langganan, tak jauh, hanya ke jalan utama yang berjarak lima ratus meter kurang lebih.

Ia melewati depan rumah kedua orang tuanya, tempat ia lahir dan tinggal selama ini. Sekarang ia tinggal di rumah Lita yang dulu paling anti ia lewati karena ada Romeo si anak jail yang membuatnya emosi.

"Ma," panggil Serena dari depan pagar. Mamanya tak lama berjalan keluar rumah.

"Eh, Ser, kok ke sini? Mana suami kamu?" Mama celingukan.

"Nggak tau ke mana. Mama masak, nggak?" Serena dan Mama bicara terpisah pagar rumah yang tertutup setinggi dagu Serena.

"Nggak. Mama beli tadi. Papa lagi mau jajan."

"Oh, yaudah. Serena ke depan, deh, beli nasi goreng." Serena melambaikan tangan ke mamanya yang menatap heran.

"Serena!" panggil mamanya. Serena menoleh ke belakang, arah pagar.

"Jangan lupa, kasih cucu buru-buru ke Mama Papa, ya! Semangat, Nak!" Mama mengepalkan tangan ke udara. Senyum merekah, Serena hanya bisa membalas dengan senyuman juga.

Ia berjalan kaki lagi, memakai celana training panjang, kaos longgar juga sandal jepit andalan. Tak tampak Serena seorang wanita karir yang berkelas. Ia memang begitu, di rumah ya ngegembel aja.

"Bang, nasi goreng ayam bakso satu, pedes, ya." Serena berdiri di sisi penjual.

"Siap, Mbak. Duduk, Mbak," tukas penjual. Serena duduk. Ia menguncir tinggi rambut panjangnya lalu memainkan ponsel. Terdengar gelak tawa dari arah kiri, warung kopi tampak ramai. Serena menyipitkan kedua matanya saat melihat Romeo ada diantara gerombolan teman sebaya lelaki itu.

Nasi goreng sudah dibungkus, Serena bawa dengan kantong plastik yang ia tenteng. Saat melewati warung kopi, Serena mulai mendengar suara sumbang gerombolan anak-anak komplek teman Romeo.

"Cieee...! Manten baru lewat! Tante Serena jemput suaminya, ya!" teriak salah satunya. Masih mahasiswa juga.

"Mampir sini Tante Serena! Lakinya seret balik, Tan! Nakal, nih, ngomongin adegan ranjang terus!" sambung lainnya.

"Tante Serenaaa... mampir sini, Tan, masa suaminya dicuekin." Kalimat ledekan itu terus sambung menyambung hingga membuat Serena emosi.

Ia menghentikan langkah kakinya, memutar arah jalan ke arah warung kopi dengan meja panjang warna putih.

Brak! Serena menggebrak meja sangat kerat. Ia tatap tajam semua orang.

"Elo ... elo ... elo ... elo ... elo dan elo semua!" geram Serena. "Lo lupa siapa gue di sini, hah!" omelnya keras. Tak ada senyum ramah apalagi hangat. Serena menyingsingkan lengan kaos longgarnya seraya tersenyum remeh.

"Lo semua nggak usah ledekin gue dengan kalimat nggak guna kayak gitu! Lo semua urus kuliah lo semua yang mogok! Lo urus masa depan lo semua dari pada nongkrong dan teriak-teriakin gue dengan kalimat nggak bagus kayak tadi!" Dengan begitu geram Serena menatap satu persatu. Sedangkan Romeo memalingkan wajah seraya meneguk kopi pesanannya. Masa bodoh Serena mau bilang apa.

"Ya elah, Mbak Serena, masih judes aja," keluh salah satunya.

"Heh! Boim! Lo mau gue ceburin ke comberan lagi! Lo mau gue sambit pake mangga Papa gue! Lo nggak kapok udah gue kasih pelajaran dari dulu karena mulut jail lo! Pikirin kuliah lo! Jaga sikap lo! Lo ngomong sama perempuan dan lebih tua! Lo mau gue seruduk motor lo di jalan biar lo nyungsep ke tempat sampah, hah!" Serena menaik turunkan napasnya cepat. Dadanya kembang kepis.

Ia terkekeh sinis. "Sekali lagi gue denger lo semua ngeledik gue atau adek gue dengan kalimat-kalimat kayak tadi. Gue bikin perhitungan ke elo semua!" tunjuk Serena. "Lo ingat baik-baik!" Serena pergi dari sana. Ia memang kesal sekali. Kadang anak-anak tetangganya walau beda RT saat berkumpul suka seenaknya bicara. Hal itu membuat Serena selalu emosi jiwa.

Sesampainya di rumah, baru saja memindahkan nasi goreng ke atas piring, Romeo pulang. Ia lempar kunci motor seenaknya ke atas sofa. Serena hanya melirik sepintas lalu membawa piring ke sofa ruang TV.

"Lo biasa aja harusnya tadi pas negur mereka. Gue yang nggak enak, Tan." Romeo berdiri di depan Serena, menghalangi TV yang sedang ditonton istrinya.

"Minggir, nggak!" galak Serena.

Romeo diam. Masih berdiri menghalangi.

"Mereka taunya kita suami istri harmonis," lanjut Romeo. Serena masa bodoh, ia mulai makan, mengabaikan ocehan Romeo.

Seketika, Romeo mendekat cepat. Membuat Serena terdorong bersandar dengan posisi setengah tiduran di atas sofa. Romeo menahan kedua bahunya dengan kedua tangan.

"Meo!" bentak Serena. Romeo mengecup bibir Serena dua kali lalu tersenyum.

"Tante Serena ngegoda banget galak kayak tadi," cengir Romeo diakhiri kedipan sebelah mata.

bersambung,

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status