Share

Melvin, bukan Erik

Jangan lupa tinggalkan jejak ya

_________________

Serena mendorong mundur tubuh Romeo. Ia membawa piring berisi nasi goreng ke meja makan. Kesal karena makan malamnya diganggu, ia letakkan begitu saja tanpa lanjut makan.

Romeo mengambil alih, ia habiskan nasi goreng Serena yang berlalu meninggalkannya sendirian.

Hari kerja bagi Serena harus dipersiapkan sebaik mungkin. Ia atur pakaian hingga sepatu yang akan dikenakan. Senin pagi ia harus mendampingi bosnya menjemput klien dari luar kota, bersama Erik juga ke bandara. Persiapan selesai, Serena lanjut mandi dan bersiap.

Masih dengan rambut setengah basah yang ia keringkan dengan hair dryer, terdengar suara pecahan barang di dapur. Segera Serena berlari, ia melihat Romeo meringis sambil memegang telunjuk jari tangan kirinya.

"Mecahin apa lo?" tegur Serena datar.

"Mug. Mau bikin kopi." Romeo membilas telunjuknya, darah masih mengucur. Serena jongkok, ia punguti bekas pecahan mug lalu dimasukkan ke kantong plastik, lanjut ia sapu ke dalam pengki serpihan mug supaya yang terinjak. "Hari ini ngampus?" Serena ingat jika Romeo harus mulai serius kuliah. Papa mertuanya sempat meminta Serena selalu menyemangati Romeo.

"Nggak."

"Kenapa lagi? Lo udah lama nggak ke kampus."

"Gampang, ntar aja." Romeo menuju ke kotak P3k yang ada di sudut dapur. Perlahan ia berikan obat luka ke telunjuknya, ia meringis, luka sobeknya terlihat lumayan lebar.

"Terserah lo, deh." Serena membuang plastik berisi pecahan mug ke dalam tempat sampah. Ia beralih membantu Romeo mengobati luka. Serena membuka kasa juga plester. Romeo diam, ia memperhatikan dengan seksama bagaimana Serena rapi membalut lukanya.

Wangi banget bini gue, batin Romeo.

Serena selesai memasang kasa dan plester. Ia memutar tubuhnya berjalan meninggalkan Romeo yang masih diam di tempat.

"Gue mau berhenti kuliah! Mau ganti jurusan!" teriak Romeo. Serena abaikan, tak peduli, baginya urusan pekerjaannya lebih utama.

Lanjut berdandan, Serena terus memastikan penampilannya sempurna. Apalagi ia langsung menuju bandara demi mempersingkat waktu juga menghindar macet.

Tas tangan merek ternama ia bawa, setelan kantoran dengan kemeja pas dengan tubuhnya, celana panjang juga sepatu hak tinggi warna krem, membuat padu padan pakaiannya yang didominasi warna putih tulang begitu berkelas.

Rambut panjangnya ia gerai setelah di blow membentuk ujung rambut bergelombang juga bervolume.

Romeo masih duduk santai seraya makan sereal dengan susu sambil nonton TV. Ia melirik Serena yang berjalan ke arah gantungan kunci untuk meraih kunci mobil.

"Gue balik malem. Kerjaan gue padat." Hanya itu, Serena tak pamit seperti layaknya seorang istri, dengan santai berjalan meninggalkan Romeo ke arah garasi yang mengunyah makanan tapi pandangan mengekor istrinya.

Romeo beranjak cepat setelah meletakkan mangkok ke atas meja di depannya. Ia lompati sofa supaya cepat menuju garasi.

Serena hendak membuka pintu mobil sedan merahnya saat Romeo menarik tangan kanan Serena.

"Apaan, Meo!" bentak Serena.

Romeo mengecup kening Serena. "Hati-hati, Tante. Pulang bawa oleh-oleh, ya."

Ya ampun, bukannya bikin hati Serena meleleh, malah mendidih. Serena mendorong kening Romeo menjauh, ia lantas kembali membuka pintu mobil dan duduk di balik kemudi. Betapa terkejutnya saat Serena melihat alat pengukur bensinnya kosong.

"Lho, kok!" pekiknya.

"Sorry, semalem gue pinjem sebentar mobil lo. Gue udah izin tapi lo pules banget tidurnya. Makasih ya, Tante Serena." Romeo berjalan meninggalkan Serena yang kesal. Pagi-pagi harinya sudah mulai buruk, jika mengantri di pombensin, akan membutuhkan waktu lama lagi dan mengacaukan waktu yang sudah Serena atur.

Benar saja, ia terlambat tiba di bandara. Setelah memarkirkan mobilnya, buru-buru ia menemui bosnya juga Erik di depan lobi bandara terminal domestik.

"Permisi! Maaf! Maaf!" ucap Serena saat ia terpaksa berlari menerobos orang-orang yang lalu lalang.

Bosnya yang seorang CEO wanita menatap kesal ke Serena. "Maaf, Bu, tadi saya isi bensin dulu," tukasnya sambil mengatur napas. Erik hanya tersenyum melihat Serena kelelahan.

"Atur dengan baik waktu kamu. Status kamu sudah menikah jadi mau nggak mau semua dipersiapkan apalagi sebelum berangkat bekerja." Kembali Serena mendapat wejangan dari CEOnya. Serena hanya mengangguk.

Tamu yang ditunggu belum muncul juga, ternyata pesawatnya delay. Bosnya Serena harus segera kembali ke kantor, akhirnya ia memerintahkan Serena menemani Erik hingga klien tiba dan segera diajak ke kantor. Serena patuh, ia mengantar kepergian bosnya dengan menaiki mobil alparth mewah warna putih dari depan lobi. Kembali ia berdiri bersama Erik.

"Ser, udah sarapan?"

"Belum, Pak, baru minum teh aja tadi. Pak Erik mau saya belikan makanan?"

Erik menggeleng. "Kamu jangan panggil saya Erik, terlalu formal dan itu kalau urusan kerjaan, kalau lagi berdua seperti ini, panggil saya Melvin.

"Kok gitu?" Kening Serena berkerut.

"Saya lebih suka kamu panggil saya dengan nama tengah saya. Lagian keluarga saya juga seringnya panggil saya Melvin," sambungnya.

"Tapi saya kan bukan keluarga dekat atau--" Serena diam saat Erik atau Melvin tersenyum seraya berjalan perlahan meninggalkan Serena.

"Pak! Mau ke mana! Pak Er-- eh, Pak Melvin!" Serena membuntuti, Melvin menoleh ke arah Serena.

"Kita sarapan dulu, masih lama pesawat mereka datang," ajak Melvin lantas kembali berjalan mendahului Serena. Sebagai asisten pribadi, Serena tau di mana posisi ia berjalan. Tak boleh sejajar dengan atasan dan selalu di sebelah kiri. SOP itu ia terima dan tau semenjak bekerja di perusahaan itu. Masalah posisi berdiri di kanan atau kiri sama saja, hanya, Serena merasa jika sebelah kiri memudahkannya berbicara atau berbisik di saat bosnya sedang berjabat tangan dengan seseorang. Sehingga tidak menghalangi mengganggu fokus saat bosnya berbicara juga gestur tubuh terlihat jelas tanpa halangan.

Melvin duduk di sofa beludru warna hijau botol yang ada di kedai kopi itu. Terlihat ekslusif. Pastinya, seorang bos tak akan mau atau jarang berada di tempat biasa.

"Pak Melvin kopinya apa?"

"Americano saja dan sandwich tuna untuk makanannya. Kamu bebas pilih, Ser."

"Baik, Pak." Serena ke meja pemesanan, ia asik membaca menu yang terpasang di atas meja pembuat kopi. Ia komat kamit sendiri bingung memilih, Melvin tersenyum menatap tingkah Serena. Sekejap ia sadar jika Serena sudah menjadi istri orang lain.

Melvin duduk memangku satu kaki ke kaki lainnya. Kancing jas terbuka, supaya tak terlalu sesak saat duduk. Ia menatap macbook di atas pangkuannya. Memerhatikan grafik saham perusahaan yang semakin tinggi.

Mengelola perusahaan besar yang juga sahamnya go public, membuat Melvin melupakan soal cinta. Apalagi menikah. Usianya matang yang ia jalani, hanya menjadi angka tanpa realita berumah tangga.

"Pak Melvin." Serena meletakkan pesanan Melvin di atas meja. Serena kembali ke meja pemesanan untuk mengambil pesanannya lalu duduk bersama direktur utama perusahaan itu.

"Kenapa kamu pesan itu? Yakin bisa bikin kamu kenyang?" Melvin menunjuk ke sepotong kue bolu. Untuk minuman, Serena memesan es americano.

"Saya tidak biasa sarapan pagi, Pak," cengirnya.

"Oh, kalau gitu sandwichnya kita bagi dua. Saya tidak mau anak buah saya kelaparan." Melvin memotong sandwich tuna pesanannya menjadi dua bagian dengan menggunakan pisau.

Ia melirik Serena yang tampak terkejut sedangkan Melvin mengukir senyuman.

"Kamu menikah sudah lama, ya, Ser?" lirik Melvin. Ia duduk bersandar kembali, lalu meneguk hot americano dari cangkir berwarna hijau tua.

"Lumayan," jawab Serena diakhiri senyuman.

"Belum hamil?" sambung Melvin.

"Hhh?!" Serena terkejut. "Maksud Pak Melvin?"

Melvin tersenyum tipis. "Nothing." Ia menggigit sandwich, Serena merasa diperhatikan sangat rinci oleh bosnya hingga membuat ia salah tingkah sendiri.

"Di kantor, kamu terkenal galak, Ser. Apa kamu tau?" Melvin menyodorkan sandwich potongan lainnya ke Serena. Dengan menganggukkan kepala Serena meraih dari atas piring kecil.

"Tanggapan kamu apa? Saya dengar yang incar kamu banyak, mereka syok tau kamu nikah. Juga ... saya."

Serena hampir melemparkan makanan yang baru ia gigit saking terkejutnya. Melvin memberikan selembar tisu ke Serena.

"Saya kalah cepat sama anak muda itu. Saat saya baru pulang dari Zurich dan Boston, bos kamu kasih tau kabar kalau kamu menikah mendadak."

Serena menunjukkan senyum terpaksa, ia merasa tersudutkan sekarang.

"Kamu tidak hamil duluan, kan?" Melvin mencondongkan tubuh ke hadapan Serena. Kedua mata Serena melotot, ia menggeleng cepat dengan mulut penuh makanan. Melvin kembali mundur, duduk bersandar lalu tersenyum mengangguk.

Pak Melvin aneh, mau ngapain dia. Ada niatan apa sama gue? batin Serena.

bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status