"Tante, Serena ...," panggil Romeo saat ia baru saja kembali setelah untuk sekian kali seringnya main tanpa tujuan. Serena yang sedang memeriksa ulang pekerjaannya hanya melirik sekilas sebelum kembali menatap layar laptop di depannya.
Serena duduk di meja makan, fokus menata ulang jadwal kerja bosnya untuk satu minggu ke depan.
"Masak nggak?" Romeo menyeret kursi meja makan di depan Serena lantas duduk santai seolah tak ada beban. Ya memang, ia bahkan tak peduli Serena sendiri sudah makan atau belum, gimana di kantor dan hal lainnya.
"Lo nggak bisa lihat ada makanan nggak di meja." Serena sinis.
Romeo meletakkan uang di depan Serena, lembaran seratus ribuan sebanyak lima puluh lembar. "Uang nafkah buat lo bulan ini," tukas Romeo.
Serena tak peduli, ia terus fokus.
"Gue bisa buktiin kalau gue mampu nafkahin lo walau nggak kerja, kan?" Dengan bangga dan sombong ia berkata sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi.
"Gue nggak butuh," tolak Serena mentah-mentah. "Lo mau nafkahin gue?" tantang Serena, ia lalu tersenyum dingin. "Kerja. Ngapain gue terima duit nafkah dari lo yang minta ke orang tua. Lo pikir gue nggak tau."
"Apa salahnya. Lo kan tau pernikahan ini terjadi karena Mama yang minta. Papa Mama juga nggak masalah sokong gue. Masalahnya di mana?" balas Romeo tak mau kalah.
"Eh, Meo. Mending lo pikirin deh, urusan kuliah lo yang nggak jelas. Lo pikir gue bangga lo mampu nafkahin gue sebanyak yang lo bisa tapi bukan dari keringet lo. Dan, lo tadi bilang pernikahan ini karena Mama Lita sakit. Itu tau. Jadi duit ini lo ambil balik, lo balikin ke Mama Papa lo. Gue bisa hidupin diri gue sendiri. Sadar kan, kalau pernikahan ini cuma syarat dan nurutin Mama Lita. Kalau Mama Lita sembuh, gue bakal minta kita cerai!" tegas Serena. Romeo tertawa meremehkan, ia menyugar rambutnya yang sudah memanjang, malas dicukur, buat apa toh ia tak berniat ke kampus apalagi kerja.
"Yakin lo nggak mau? Gue ambil balik." Dengan santai Romeo mengambil uang itu lagi.
"Ambil! Gue mampu. Pergi sana! Ganggu gue kerja!" omel Serena saking kesalnya. Romeo beranjak, ia berjalan ke kamarnya dengan santai. Serena masa bodoh, pekerjaannya lebih penting.
Jam sepuluh malam, Serena baru selesai merapikan pekerjaannya. Ia bersiap tidur tetapi melakukan rutinitas skin care terlebih dahulu sambil menonton TV.
Romeo masuk dengan cepat, wajahnya panik. "Mama pulang! Udah di bandara!" teriak Romeo.
"Hah!" Serena berdiri dengan cepat. Ia lalu buru-buru memoles krim wajah setelahnya ia merapikan kamarnya sementara Romeo sibuk mengangkut koper berisi pakaiannya. Kamar yang ditempati Romeo harus kosong, karena sudah direncanakan, ia siap jika kondisi ini terjadi tak perlu lama-lama beberes.
Serena memindahkan foto pernikahan yang ia sembunyikan di balik lemari pakaian dipasang pada dinding kamar. Ia juga memasukkan baju Romeo ke lemarinya.
"Apalagi ... apalagi yang kurang, Meo!" pekik Serena panik.
Romeo ngos-ngosan, ia sembunyikan kopernya di samping lemari mepet tembok. "Udah kayaknya," jawabnya.
Kurang dari satu jam mobil mertua Serena tiba, keduanya menyambut di teras depan rumah sambil tersenyum lebar. Romeo sudah mandi walau buru-buru.
"Mam," sapa Romeo sambil menuntun Lita yang sumringah akhirnya bisa pulang.
"Apa kabar kamu, Sayang," tukas Lita seraya mencium pipi Romeo.
"Baik, Mam."
Lita melepaskan gandengan tangan Romeo, ia beralih memeluk Serena dengan sangat bahagia.
"Mama Litaaa!" pekik tertahan Serena. Keduanya berpelukan erat. Serena mengajak mama mertuanya ke dalam sementara papa menahan Romeo karena ingin bicara empat mata di teras rumah.
Lita duduk di sofa, memperhatikan Serena yang sibuk membuatkan minuman hangat untuk semuanya.
"Ma, Serena jarang masak, sibuk banget, jadi nggak ada makanan, maaf ya," cengir Serena seraya membawa nampan ke ruang TV. Ia letakkan empat cangkir di atas meja kaca.
"Beli aja, ngapain masak kalau kamu capek kerja. Romeo gimana, lancar kuliahnya?"
Serena kelu, jujur atau tidak ia jawabnya.
"Lancar, Ma. Mama gimana, kok pulang nggak bilang-bilang? Kamar Mama jadi buru-buru tadi Serena pasang spreinya." Serena duduk di samping Lita.
"Kondisi Mama jauh membaik, Ser. Makanya Mama mau pulang. Papa juga udah capek kerja on line, banyak kerjaan yang mengharuskan Papa turun tangan."
Serena tersenyum tipis, Lita mengkerutkan kening. "Capek ya, Ser, hadapin kelakuan Romeo?"
"Nggak, Ma, biasa aja. Lagian Serena udah tauuu banget sifat Romeo dari kecil, jadi nggak ada masalah. Mama mau makan apa? Biar Serena beli. Eh, tapi Mama nggak ada pantangan, kan?"
"Nggak. Aman, Ser. Cuma nggak boleh sering makan goreng-gorengan sama bakar. Jangan beli, tadi Mama udah mampir beli makanannya kok. Sama Pak Mul nanti diturunin. Serena ...."
"Ya, Ma," jawab Serena tenang.
"Udah hamil belum?"
Seketika Serena melotot, ia tak mungkin bilang selama ini tidur terpisah dengan Romeo. Boro-boro hamil, baru sekedar hampir terjadi saja, itu juga keduanya langsung tersadar.
***
Hela napas panjang terdengar dari keduanya, pandangan mereka sama tertuju pada satu arah, yaitu langit-langit kamar.
"Mama Papa nggak akan pergi lagi, pengobatan Mama bisa dijalanin di sini, gimana, nih, Meo," cicit Serena.
"Ya gimana," toleh Romeo. Keduanya tidur satu ranjang tapi dibatasi guling oleh Serena.
"Jujur aja deh, kalau kita--"
"Nggak!" Romeo sudah berada di atas tubuh Serena, menahan tubuh dengan kedua tangan supaya tak menindih Serena.
"Apaan, sih, lo! Pindah!" omel Serena. Romeo diam, ia terus menatap dalam kedua iris mata Serena. "Meo," geram Serena.
"Hum?" Romeo mendadak mau menjaili Serena.
"Minggir, nggak!" pelotot Serena.
"Nggak mau," tolak Romeo sambil tersenyum.
"Ck." Serena memalingkan wajah. Ia mendengar ponselnya berbunyi, dengan cepat ia mendorong tubuh Romeo hingga jatuh ke samping, masih di atas ranjang.
"Halo, ya, Pak," jawab Serena. Romeo duduk sambil memperhatikan Serena. "Ah, itu, bisa, Pak. Nanti saya atur jadwalnya biar bisa meeting bareng, Pak Melvin mau direstoran jepang yang seperti biasanya atau-- oh, yang itu, baik, Pak. Nanti saya atur."
Serena berjalan mondar mandir perlahan sambil tersenyum. "Sudah tadi, Pak. Terima kasih perhatiannya, selamat malam Pak Melvin," jawab Serena lantas meletakkan kembali ponsel di atas meja rias.
Ia naik ke atas ranjang, merapikan posisi bantal dan guling lagi. "Bos lo?" Romeo masih duduk bersila di atas ranjang bertanya kepada istrinya.
"Yup!" Serena memiringkan tubuh memunggungi Romeo.
"Ngapain?"
"Ngajak gue jalan!" jawab Serena asal.
"Gue nggak izinin."
Serena melirik kesal. "Dih, lo siapa! Suami sementara doang. Gue mau tidur, jangan ganggu." Serena bergelung selimut sementara Romeo menyambar ponselnya yang ia simpan di bawah bantal.
Ia mengetik pesan ke seseorang lalu ikut merebahkan diri, keduanya saling memunggungi, terlelap dalam keadaan memikirkan jalan keluar supaya Lita tak kecewa jika pernikahan itu hanya sementara.
Di kamar mewah apartemen, Melvin duduk sambil terus tersenyum setelah berbicara dengan Serena, ia teguk wiski di gelas bening lalu meletakkan di atas nakas.
Ia menyukai Serena, tapi tak bisa merebutnya karena Serena istri seseorang. Biarlah Melvin tetap bisa dekat dengan Serena walau memakai alasan pekerjaan. Melvin sendiri curiga, pernikahan Serena mendadak, hamil pun tidak, lalu apa? Dengan tekat bulat Melvin akan mencari tau apa alasan dibalik pernikahan Serena yang sangat kilat.
bersambung,
Perjalanan mencapai kesuksesan tidak lah mudah, berliku bahkan berdarah-darah dapat terjadi. Proses memang butuh waktu, kesabaran dan tetap tekun menjadi kuncinya.Memasuki bulan kelahiran, sudah dipastikan Serena akan operasi. Romeo tetap bekerja sebagai ojek online karena tak mau menerima bantuan tawaran kerja dari siapapun.Perkara dengan papanya masih berlanjut, pria itu sudah menikah lagi tanpa Romeo pun Serena datang. Mau dibujuk seperti apa, Romeo tak akan bergerak datang."Kamu nggak kasihan sama Papamu, Meo?" Serena sedang merapikan pakaian bayi ke dalam koper. Esok ia dijadwalkan operasi sesar."Nggak." Romeo menjawab tegas."Susah ya kasih pengertian ke anak muda," sindir Serena diakhiri kekehan. Romeo hanya berdecak. Ia bangkit, meraih jaket ojol lantas memakainya."Hari ini aku narik sebentar, sampe siang, terus pulang."Serena mengangguk. Ia peluk suaminya memberi semangat, sedangkan Romeo bersandar manja di bahu sang istri."I love you," bisik Romeo."Love you more," ba
Malam-malam bisa jalan berdua, Serena menggamit lengan Romeo saat mereka selesai makan malam di warung tenda yang menyajikan menu soto daging. Tak lupa ia membeli minuman manis supaya segar tenggorokannya."Jangan kebanyakan minum manis, Ser," tegur Romeo."Dikit aja." Serena menyedot jus jeruk sunkies."Ser, buat makan sehari-hari gimana? Nebeng orang tua?" Romeo tak enak hati, harus merepotkan kedua mertuanya."Ada aku, cukup kok gajiku buat tambahin biaya dapur." Dengan santai Serena menjawab, keduanya berhenti berjalan di depan taman air mancur komplek, sengaja dibuat supaya bisa jadi tempat para warga berkumpul karena dihias lampu warna warni yang cantik.Pandangan Romeo lurus ke depan. Ia berpikir sampai kapan harus serumah dengan mertua, ia juga mau punya tempat tinggal sendiri walau sewa. Tak ingin meminta bantuan papanya juga, kegengsian Romeo sangat tinggi, ia harus berhasil dengan kakinya sendiri bagaimanapun juga. Belajar dari masa lalu dan kesalahan, tak akan kembali ia t
"Meo, bangun ... kamu jalan jam berapa?" Serena duduk di tepi ranjang, ia sudah selesai mandi juga berpakaian. Jam masih diangka lima pagi, karena Tira sedang menginap di rumah temannya, ia ke kantor berangkat sendiri.Romeo bergeliat, ia buka matanya perlahan lalu tersenyum. Bukannya langsung beranjak, ia justru mendusalkan wajah ke arah perut Serena.Ia ciumi perut buncit Serena begitu penuh kebahagiaan. Perlahan, Romeo duduk, ia menyapa Serena dengan belaian di kepala lantas segera ke kamar mandi.Serena keluar kamar, ia kaget karena papanya sudah berdiri di depan kamar. "Romeo?" Tatapan papa begitu datar.Hanya bisa senyam senyum yang ditunjukkan Serena. "Papa mau ngomong sama suamimu." Lalu papa turun ke lantai bawah. Serena menutup pintu lagi, tadinya ia mau menyiapkan kopi untuk Romeo."Meo," ketuk Serena ke pintu kamar mandi. Pintu terbuka, Romeo masih dalam keadaan basah kuyup, belum selesai mandi. "Papa mau ngomong sama kamu," tukasnya. Romeo mengangguk. "Aku tunggu di bawah
Serena menutup pagar, ia gandeng Romeo masuk ke dalam rumah. Duduk bersama di ruang tamu.Kepala Romeo tertunduk dalam dengan kedua tangan saling meremas. "Aku nggak sangka Papa bisa secepat ini mau dekat sama perempuan lain, Ser. Gampang banget Papa lupain Mama!" Emosi Romeo mulai muncul. Serena meraih jemari tangan suaminya yang saling meremas keras."Papa butuh temen, emang kamu udah tau siapa ceweknya? Bukan ani-ani atau cewek kegatelan, kan?!" Kalimat Serena membuat Romeo menoleh cepat ke arahnya. "Barang kali, namanya jaman sekarang," sambung Serena."Perempuannya Bu Hartoyo, janda RT delapan. Ibunya Fadlan. Musuh aku waktu SMP sampe SMA, mantan pacarnya Tira," tukas Romeo."HAH!" Serena teriak kencang sekali. Romeo mengusap kasar wajahnya."Kayak nggak ada pilihan lagi Papa, kan?! Aku nggak masalahin Bu Hartoyo! Aku masalahin anaknya. Si Fadlan itu males! Dia kerjanya game melulu! Yang ada morotin Papa!" kesal Romeo."Emang kamu nggak males," cicit Serena yang masih bisa dideng
Serena seolah membatu, setiap hari Romeo datang sekedar memberikan makanan dan tak lupa uang seadanya. Kini, kehamilan Serena sudah masuk bulan kelima, perutnya sudah mulai tampak membuncit.Saat berjalan terlihat tonjolan pada perutnya yang mampu membuat mata tetangga jelatan alias siap menggosipkan dirinya untuk kesekian kalinya."Mbak, gue drop di perempatan deket kantor lo aja, ya," ujar Tira seraya mengeluarkan mobil dari dalam garasi."Iya," tukas Serena seraya masuk ke dalam mobil. Serena kembali bekerja, di rumah saja membuatnya justru bosan. Karena kehamilannya, ia tak lagi menjadi aspri dari Moza, tapi ia pindah ke bagian keuangan.Bagus Serena cepat belajar, ia juga tak malu bertanya jika ada hal yang membingungkan.Serena dan Tira melewati rumah tetangga yang suka bergosip. Ia mulai kesal namun Tira meminta mengabaikan. Berita ia hamil bukan dengan Romeo hingga ia dibilang cerai lalu menjadi simpanan Om-om juga marak disebar."Mbak, udah coba ngobrol sama Romeo?" Tira meme
Halo, kembali lagi ketemu saya, maaf lamaaa nggak update. Semoga kalian masih mau membaca karya ini ya, terima kasih.****Romeo diam, ia merenungi semuanya. Di dalam hati, ia tau Serena yang sudah membuatnya jatuh cinta sejak keduanya kecil. Petualangan cinta Romeo sendiri dengan perempuan lain hanya basa basi, tak serius. Hanya Serena yang bisa mengikat hatinya."Gue harus mulai dari mana?" gumamnya merutuki diri karena laki-laki seharusnya bekerja keras demi membahagiakan diri sendiri dan wanita yang dicintai. Bukan seperti dirinya yang seenaknya sendiri.Bergelut dengan hati, membuat Romeo meneteskan air mata akibat terlalu santai selama ini. Kini ia akan menjadi seorang ayah, ada tanggung jawab baru yang harus diemban.Bekerja dengan papanya, bisa saja. Tetapi bagi Romeo yang berprinsip keras jika ia bisa berdiri di kaki sendiri tak akan mau menikmati fasilitas kemudahan itu.Grup chat SMA ia buka, ia mencoba menghubungi temannya satu persatu yang dekat dengannya dulu. Mencari lo
“Kenapa, lo? Sadar udah bikin kesalahan?” lirih Tira. Ia dan Romeo masih berdiri di depan rumah tanpa pagar itu.“Gue mau ngobrol sama Serena. Banyak yang perlu gue sampaikan.”“Apa? Cerai?” Tira memalingkan wajah sambil berdecak sinis.“Bukan urusan lo, Ra. Sini biar gue yang kas—““Lho, Meo,” suara papa terdengar dari teras. Romeo menyambar plastik dari tangan Tira lantas berjalan mendekat.“Pa,” sapa Romeo tak lupa menyalim tangan.“Kok di sini? Tira kasih tau alamat rumah ini, ya?” Papa menatap Tira yang menggelengkan kepala.“Meo lewat jalan tembusan ke rumah baru, Pa. Terus lihat mobil Tira, jadi Meo berhenti dulu.” Romeo tersenyum tipis.“Emang rumahnya di mana sekarang? Rumah lama kosong, ya? Papa udah lama nggak ngobrol sama Papamu. Sibuk kerja,” tukas papa Serena sedih lama tak bicara dengan sahabatnya.“Itu, Pa. Lewat jalan itu, belok kiri, udah sampai. Selama ini Meo lewat gerbang utama di ujung depan sana, tadi iseng lewat jalan lain, ternyata ….”“Kita tetanggaan lagi!”
Tira sedang di kampus saat Serena memintanya jemput. Buru-buru adiknya segera ke lokasi yang Serena beritahu. Di tengah jalan, tepatnya lampu merah Tira melihat Romeo dengan motornya berhenti di sisi kanannya. “Meo!” panggil Tira. Romeo menoleh namun tatapannya sangat dingin. “Lo kemana aja! Mbak Rena nyariin! Lo block nomer dia!” teriak Tira. Romeo hanya diam, tak mau menjawab. “Tiga bulan, Meo. Lo jauhin Kakak gue!” lanjut Tira masih berteriak. Lampu berganti hijau, secepat mungkin Romeo menarik gas lantas melaju jauh. Tira kesal, ia hanya bisa memukul kemudi saking emosinya.Serena diam saja, masih duduk di tempatnya. “Mbak,” sapa Tira. Serena mendongak, Tira berdiri di hadapan Serena, ia sudah tau maksud tatapan kakaknya tanpa perlu menjelaskan. “Ayo pulang,” ajaknya.“Gue takut, Ra,” resah Serena.“Kita hadapi, ya, Mbak.” Tira merangkul Serena. Kakaknya memang menjadi murung apalagi sejak meninggalkan apartemen dua bulan lalu dan memilih kembali ke rumah orang tuanya. Tetapi ruma
Mama Lita masih tak sadarkan diri, penyakitnya kambuh secara mendadak. Romeo dan Serena bolak balik ke rumah sakit guna mengunjungi Lita yang tak merespon.“Mama kenapa begini, Ma, maafin Romeo, Ma,” lirih Romeo sambil mengusap wajah Lita. Kedua orang tua Serena juga selalu datang setiap hari. Mereka masih tak paham kenapa Romeo dan Serena begitu sedih juga dirundung penyesalan.“Mbak, lo baiknya sama Romeo jujur ke Mama Papa kita juga. Jangan nambah masalah baru.” Tira memberi saran, Serena yang dijemput Tira dari kantornya untuk langsung ke rumah sakit hanya bisa menganggukkan kepala.“Gue takut, Ra,” lirih Serena dengan suara bergetar. Ia juga menggigit kuku jarinya saking dilanda khawatir.“Berdoa aja semoga Tante Lita membaik kondisinya. Gue masih penasaran siapa yang bocorin rahasia ini. Perlu dicari tau?” tukas Tira sepintas sebelum fokus kembali ke jalanan di depannya.“Iya, gue juga nggak habis pikir. Romeo memang lagi ada yang suka sama dia, Michelle namanya, tapi kan baru k