Share

Chapter. 3

"Aira?" Terdengar suara Ibu memanggil, sejurus aku menghentikan mimik konyolku dan menoleh pada Ibu. Malu.

Oh, Tuhan, tidak hanya ibu, tapi ayah dan kedua orang tua Dewa ternyata sejak tadi memperhatikanku. Ujung mataku mencuri pandang ke arah Dewa. Sialan! Ia bersikap layaknya pemuda sopan dan ... sok cool!

"Dewa, jangan buat Nak Aira kesal, dong. Kamu itu kan calon suaminya," celetuk Bu Nugroho pada Dewa. Wanita itu terdengar sangat anggun, seanggun penampilannya yang masih terlihat cantik di usianya saat ini. Aku menyukai warna bibirnya. Merah muda keunguan sangat serasi dengan warna kebaya yang ia pakai. Sama cantiknya dengan kebaya dan sanggul kecil ibu, aku pikir mereka tidak hanya satu selera soal masakan, tapi juga soal penampilan.

Dewa hanya melengos saat mendengar teguran dari ibunya, muka jutek terus ia pamerkan padaku tak ada bedanya dengan anak perempuan sedang PMS. Namun bukan sikap laki-laki itu yang membuatku gusar, tapi keputusan ayah secara tiba-tiba.

"Aku ingin anak-anak kita segera melakukan acara pertunangan, atau kita langsung menikahkannya saja. Saya sudah tak sabar ingin menimang cucu, lagipula usia Aira bukan anak remaja lagi. Dia sudah cukup usia untuk menjadi seorang istri. Bagaimana pendapat kalian?" Ayah menatap kami semua. Tidak ada yang menolak selain suara hatiku terus meronta. Kudengar Pak Nugroho serta istrinya menyetujui usulan ayah.

"Jadi ... kita langsung tentukan tanggal, kapan kira-kira hari yang cocok."

"Ayah, tunggu!" Dadaku bergemuruh, berdegub-degub tak menentu. Ini tidak adil bagiku, mereka sibuk mengatur tanggal pernikahan sementara aku berkutat dengan perasaan.

Semua mata memandang ke arahku.

"Beri aku waktu untuk berpikir. A-aku ... aku perlu bicara dengan ayah." Suaraku terbata, aku takut menyinggung perasaan orang tua Dewa.

"Banyakan drama lo," bisik Dewa nyaris tak terdengar. Aku tahu dia pun merasakan hal sama, bedanya dia tidak begitu serius mencegah pernikahan ini. Kubiarkan ia mencicit tak jelas.

Ayah menarik napas dalam, dan mengeluarkannya perlahan. Ia mengerjap  sambil berucap tegas, "Tidak Aira, ini waktu yang tepat untuk memutuskan tanggal pernikahan kalian. Kapan lagi? Mengingat Ayah dan Pak Nugroho sama-sama sibuk musim kemarau ini, banyak yang harus ditangani."

"Sudahlah, Pak. Kasih kesempatan Aira berpikir dulu, siapa tahu ada hal serius yang ingin anakmu bicarakan," timpal Ibu mendamaikan perasaanku. Aku sangat berterima kasih pada ibu, ayah terlihat berpikir sejenak dan akhirnya menyetujui.

Yang lebih melegakan, Pak Nugroho ikut menyetujui saran ibu. "Benar, Pak Baskoro. Kami pun setuju, sebaiknya kasih waktu untuk Aira berpikir. Kapan saja nanti waktunya, kami siap. Dewa pasti juga maklum."

Dewa?

Ah, terserah dengannya. Aku tak butuh pemakluman dari laki-laki itu. Pikiranku terus tertuju pada Hyun Joon.

Kurasa ayah tak ada pilihan lain, sebagai kepala keluarga, ia harus menunjukkan sikap bijaksana. Sejauh ini, aku masih sangat menghargai dan menghormatinya. Sangat.

     Acara silaturahmi selesai, keluarga Pak Nugroho sudah pamit pulang setengah jam lalu. Ibu cukup puas dengan jamuannya saat melihat Bu Nugroho berucap senang kalau ia sangat menikmati masakan ibu dan keramahan yang sama seperti dulu. Begitupun ayah, belum pernah aku melihat ia menatap seorang teman sedemikian hangat. Seperti disembuhkan dari jeratan rindu.

Mungkin saja sebentar lagi kebahagiaan ayah dan ibu akan sirna setelah mendengar pengakuanku.

"Katakan, Aira. Apa yang ingin kamu bicarakan?" Ayah duduk dengan punggung tegak di sofa ruang tamu. Matanya terus menatapku lekat dengan rahang mengeras. Tidak ada seulas senyum di bibirnya yang kehitaman.

Ibu ikut menunggu, ia duduk di sisi ayah. Selamanya begitu terus mendampingin ayah. Sebagai istri ia tidak terlalu banyak berperan, semua keputusan terbaik ada di tangan ayah.

"Yah, aku tak ingin dijodohkan," ucapku lemah, "aku ... sudah ada laki-laki pilihan sendiri  untuk jadi calon suamiku." Percayalah, aku mengucapkannya tak luput dari doa-doa dalam dada, agar ayah bisa memahami perasaanku.

Tegas, Ayah bertanya, "Siapa laki-laki itu?"

"Namanya Hyun Joon, jika ayah ingin aku segera menikah, ia siap datang melamarku dalam waktu dekat ini." Lidahku mulai lancar berkata-kata, mungkin berkat kegigihanku demi masa depan yang bahagia bersama Hyun Joon. Apalagi? Aku tak mungkin pasrah menerima kenyataan.

Hening, tak ada respon dari kedua orang tuaku dalam beberapa menit. Bibir ibu bergerak ingin bersuara tapi ia urungkan saat melihat lirikan tajam ayah.

"Suruh dia datang," perintah Ayah, "besok jam tujuh malam sebelum Ayah berangkat ke luar kota, tidak datang berarti kesempatan gagal." Nada bicaranya tidak ramah, terdengar menantang daripada suruhan.

"Baiklah, Ayah. Aku akan memberitahunya. Tapi aku mohon, jangan sakiti perasaannya jika nanti ayah tidak menyukainya." Aku menarik napas dalam, "Demi aku." Tidak banyak yang kuharapkan dari ayah, dia memberiku kesempatan untuk mempertemukan Hyun Joon dengan ayah saja sudah membuatku sangat senang.

Tidak ada kebahagiaan lain selain menikah dengan kekasih hati pilihan sendiri, bukan laki-laki dari perjodohan meski begitu terasa dekat. Bukan karena takut hubungan tidak akan bertahan lama, tapi ketakutan yang tidak bisa kubayangkan sebelumnya, karena tak bisa mencinta.

"Memangnya sejak kapan kamu punya pacar, Nak?" tanya Ibu kebingungan, memang selama ini aku tak pernah bercerita pada ibu, apalagi pada ayah. Tadinya aku akan memperkenalkan Hyun Joon pelan-pelan, tapi ternyata perjodohan ini membuat langkahku lebih cepat mengungkap semuanya.

Pertanyaan ibu membuat air mataku hampir luruh, tanpa menjawab pertanyaan, aku menghambur ke arahnya. Tangan ibu merentang meraih tubuhku dalam dekap, kutenggelamkan kepala dalam-dalam di dada ibu, mencium aroma tubuhnya adalah obat pendamai jiwa. Aku lupa, kapan terakhir aku mengadu perihal rasa pada wanita tangguh ini.

Telapak tangan ibu mengelus rambut panjangku hingga ke punggung, mengecup kening berkali-kali sambil berucap kata sayang yang hanya aku bisa mendengar. Persoalanku tidaklah mudah, seorang ibu pasti bisa ikut merasakan apa yang anaknya rasakan, karena ikatan batin sangat kuat.

Jelas kudengar langkah kaki ayah bergerak menjauh, meninggalkanku yang masih terguguh dalam pelukan ibu.

Adakah ayah memiliki rasa yang sama?

***

     Dadaku selalu berdesir lembut setiap kali ingin menghubungi Hyun Joon. Getar rasa itu terlalu kuat hingga menciptakan dentum-dentum dalam rongga dada begitu cepat. Tak pernah aku mencintai seseorang sehebat ini, bukan hanya pesona parasnya yang mampu melelehkanku, tapi sifatnya yang berbeda.

Beberapa kali aku menekan nomor teleponnya, tapi tidak terhubung. Rasa khawatir mulai menjalariku, bagaimana jika ponselnya mati sementara aku harus segera memberitahunya? 

Aku mengingat-ingat, nomor siapa yang bisa dihubungi.

Hendro!

Aku masih ingat, pernah menyimpan nomor si berisik itu di ponselku, Hyun Joon yang memberikannya, ia katakan kalau ponselnya sering mati secara tiba-tiba, nomor teman satu kosnya mungkin bisa membantu jika aku perlu.

Senyum dibibirku mengembang, aku berdiri di ambang jendela yang terbuka sambil menatap bulan purnama bersinar bulat sempurna. Tangan kananku menggenggam ponsel yang masih menunggu panggilan diterima.

"Helooo." Suara Hendro terdengar nyaring, membuatku terkejut dan tertawa kecil. 

Tak tahan aku ingin menggodanya, "Hai." Aku menyapa dengan nada genit. Entah dia mengenali suaraku atau tidak.

"Jangan bilang mau cari Hyun Joon. Dia lagi sibuk." Hendro ternyata sudah menyimpan nomorku, gagal sudah mengerjainya, aku mengulum senyum.

"Sibuk apa?" tanyaku penasaran. Keningku mengerut, biasanya jam-jam sekarang waktunya ia beristirahat di kamar, atau keluar untuk makan malam bersama teman-temannya. Aku mulai gelisah.

"Sibuk merindukanmu, Sayang," ucap seseorang yang aku tahu itu bukan suara Hendro. Aku bisa mengenali suara laki-laki itu hanya dengan embusan napasnya.

"Hyun Joon," panggilku tertahan.

Tiga tahun bersama tapi riuh dalam tetap sama. Malah semakin menjadi-jadi mengingat ia akan melamarku besok.

Helaan napas Hyun Joon terasa begitu dekat di telingaku. "Aira, jangan bilang kamu juga rindu, sama seperti yang aku rasakan saat ini." Deru napas itu semakin terdengar memburu.

Oh, Tuhan!

"Hyun, besok ayah mengundangmu datang ke rumah, jam tujuh malam. Bersiaplah, Hyun. Selamatkan hubungan kita, tunjukkan pada ayah kalau kita benar-benar saling mencintai."

"Aku pasti akan datang, Aira. Tunggu aku." Suara Hyun Joon terdengar mantap. Mendengar suaranya, seketika mataku terpejam, aku membayangkan ia ada di depanku saat ini. Ia menyentuh anak rambutku dan membelainya lembut. Mata cokelat kebiruan, hidung mancungnya terasa begitu dekat. Bibir sensualnya yang basah pun membuatku ingin ...

"Aira," panggil Hyun Joon, "kamu masih di sana, kan?"

"Aira ... "

"Aira?"

Aku mendengar Hyun Joon memanggil namaku berkali-kali, menikmati suaranya dan deru napasnya. Katakan, aku gila karena laki-laki itu, si seniman pencuri hati.

"Aira, aku harus mempersiapkan lukisanmu malam ini, agar bisa kubawa ke rumahmu besok malam." Lembut suaranya bercampur resah, ada sesuatu yang membuatnya seakan tak percaya diri.

Kembali aku menyadarkan diri bahwa Hyun Joon tidak sedang di hadapanku, ia ada di seberang sana tengah berjuang mempersiapkan karya terbaiknya. "Baiklah, Sayang. Jangan menyerah untukku." Aku mengakhiri percakapan, Hyun sendiri mengecup keningku. Oh, tentu saja ia mengecup ponsel milik Hendro.

Cinta benar-benar membuat orang menjadi sinting!

Sambungan telepon sudah terputus. Yang tertinggal hanya rindu. Udara malam mulai terasa dingin menyentuh kulit, gulitanya semakin memekat. Kututup daun jendelan dan mulai merebahkan tubuh di atas kasur, menatap langit-langit kamar seakan ada senyum Hyun di atas sana.

Malam terasa jauh lebih panjang, lebih lambat dari malam-malam sebelumnya, aku tak sabar ingin bertemu Hyun Joon datang menjemput mimpi-mimpi kami.

      Aku berharap pagi ini suasana hatiku baik-baik saja, tanpa beban dan tanpa paksaan. Tentu saja itu hanya ekspektasi, kenyataannya bayang-bayang mengerikan terus mengikuti.

Sebuah nomor baru masuk sebagai pesan, dan sialnya ternyata itu chatt dari Dewa. Ia ingin mengajakku 'Dinner' di luar nanti malam.


Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status