[Aku sudah ada janji dengan kekasihku. Maaf] Aku mengirim pesan penolakan. Berharap ia bisa mengerti.
Bukankah Dewa tidak suka dengan perjodohan ini? Lalu, kenapa mengajakku bertemu? Aneh.
[Kalo gak mau, gua samperin ke rumah lo, dan bilang ke bokap lo ... kalau gue ditolak]
What??
Gila, kenapa Dewa senekat itu? Benar-benar kekanakan!
[Dengar, Dewa yang terhormat. Kekasihku akan datang kerumah untuk bertemu ayah. Ia akan melamarku!"] Mati dia! Biar tahu bahwa aku tak sudi dijodohkan dengannya. Lihat saja, Dewa akan tersadar saat melihat ayah menerima Hyun Joon.
Rupanya Dewa masih keras kepala. [Ayah lo udah janji ke gua, kalo dia gak bakal nerima cowok lain selain gua. Lagian, belum tentu lamaran cowok lo itu bisa langsung disetujui, kan?]
Jari-jari tanganku mengcengkram ponsel di tangan dengan geram. Bibir ikut komat kamit mengutuknya. Kau lihat? Sikapnya membuatku mual ingin segera muntah.
Aku tak ingin lagi membalas pesan busuknya itu, tapi ia terus menerorku.
[Ntar malem siap-siap gua jemput, ya]
Mataku terpejam, menahan emosi yang hampir meledak-ledak tak terkendali. Bagaimana perasaan Hyun Joon saat melihat Dewa juga ada di rumah untuk menjemputku makan malam, lalu ayah dengan suka cita menyambut kedatangan Dewa kemudian memerintahkanku untuk menerima ajakannya?
Aku bisa gila karena ulah Dewa! Ini masih pagi, bahkan tubuhku masih terbaring di bawah selimut, haruskah kulalui hari ini dengan perasaan kacau?
Sepertinya, aku butuh ide untuk menyingkirkan Dewa.
Aku mengingat Salsa, ia seorang model majalah dewasa yang banyak diidolakan para lelaki tanah air khususnya penikmat majalah seronok tersebut. Salsa tidak hanya memiliki lekuk tubuh seksi berkulit kuning langsat yang keindahannya nyaris sempurna, ia pun terkenal memiliki senyuman yang memikat.Jangan tanya berapa banyak laki-laki yang menggila karenanya, hanya saja Salsa tak pernah peduli soal ketenaran.
Baru ini aku merasa diuntungkan mempunyai seorang sahabat seperti Salsa, sebelumnya aku malas berurusan dengan gadis berambut lurus itu karena sering merayuku untuk terjun di dunia permodelan, tapi sekarang aku akan meminta bantuannya untuk mendekati Dewa.
Awalnya Salsa menolak saat aku menghubunginya dan meminta bantuan soal rencanaku. Namun akhirnya ia menyerah. Tentu saja bukan karena aku bersikap setengah memohon dengan nada kesedihan yang luar biasa, tapi karena sejumlah uang yang kutawarkan. Anggap saja aku memberinya hadiah karena sudah mau membantuku.
Setelah model seksi itu menyetujui, aku segera menghubungi Dewa dengan mengiriminya sebuah pesan.
[Jangan datang ke rumah nanti malam, tunggu aku di Avec Moi, jam 7 malam. Aku akan datang]
Pesan terkirim dan sudah terbaca, tidak menunggu lama Dewa membalas pesanku dengan emoticon tersenyum lebar, dan banyak kecupan.
Menjijikkan!
Tetapi aku merasa lega saat ini, setidaknya pikiran tentang Dewa sudah teratasi, ia akan menungguku di sana dengan perasaan yang aku sama sekali tak peduli. Sengaja kupilih restoran favorit Salsa, restoran yang menyajikan menu salad yang enak. Bagi seorang model, memilih makanan itu penting untuk tetap menjaga penampilan tetap ideal. Avec Moi sebenarnya bukan tempat khusus orang yang ingin diet, di sana banyak menyediakan makanan khas Barat, makanan Prancis misalnya.
"Semoga Salsa tidak dibuat jengkel oleh Dewa," doaku dalam hati. Tak bisa kubayangkan wajah Dewa seperti apa saat yang datang bukan aku, tapi Salsa. Tapi aku yakin, Salsa bisa dengan mulus mengatasi semuanya. Jangankan Dewa, laki-laki berhati sedingin salju pun dapat ia cairkan dengan mudah.
***
Senja akhirnya menyapa setelah kulewati hari yang terasa sangat lambat, jam dinding pun terlihat enggan berputar. Membuatku menghabiskan waktu seharian di kamar, bahkan turun ke dapur untuk sekedar mengisi perut saja aku malas. Beruntung, masih ada stok minuman dan camilan dalam kulkas di kamar, seperti roti, sereal, buah-buahan, cokelat dan yogurt. Itu pun aku hanya menghabiskan sepotong roti dan memilih minum air putih saja.
Ibu sempat mengkhawatirkanku, tapi kujelaskan padanya bahwa mood-ku sedang buruk. Jika sudah begitu, tidak ada keinginan lain selain mengurung diri di kamar.
Sebentar lagi malam datang, aku sudah rapi sejam yang lalu, rambut panjang bergelombang kusanggul kecil dan menyelipkan jepit bunga sakura berwarna merah muda di atasnya, anak-anak rambut kusisir rapi, namun membiarkan sedikit rambut di sela telinga menjutai bergelombang membuat wajah yang kurias natural menjadi terlihat anggun. Aku terus mematung di depan cermin, jari-jariku meraba bahan blus yang kukenakan sangat lembut dan nyaman dipakai, dipadu dengan rok panjang sedikit mengembang di bagian bawah agar penampilanku terlihat lebih sopan.
Berkali-kali mengulum senyum, seakan Hyun Joon ada di hadapanku. Sebelumnya aku hampir tak pernah memoles wajah dengan make up tebal saat berkencan dengan Hyun, berpenampilan casual sering jadi pilihan. Kalaupun sedikit dandan, aku suka riasan natural membuatku nyaman dan tidak mencolok.
"Aku lebih suka melihat gadis berpenampilan sederhana dan sopan, tapi tetap terlihat mempesona di mataku," ucap Hyun Joon saat itu. Ketika aku mencoba menggodanya dengan penampilan bak model kelas atas. Berpakaian mahal dan terbuka hingga menampilkan lekuk tubuh, ide gila itu aku dapatkan dari Salsa. Tentu saja yang kudapatkan hanya rasa malu di hadapan Hyun Joon. Sementara Salsa tertawa keras setelah mendengar cerita memalukan itu. Sial!
***
"Kamu terlihat sangat cantik, Nak," puji Ibu saat melihatku menuruni anak tangga setelah keluar dari kamar. Bulu mata lentik ibu mengerjap pelan, senyumnya mengembang.
"Ibu juga cantik." Kukecup kening dan punggung tangan wanita berdarah ningrat itu setelah sampai di hadapannya. Aku tertawa geli melihat ibu terus menatapku.
Seketika, Ibu berbisik menggoda, "Matamu berbinar bahagia, Nak. Sungguh istimewakah laki-laki itu untukmu?"
"Sangat, Bu. Seperti aku mencintai diriku sendiri. Atau ... seperti Ibu yang tak ingin terpisah dari Ayah," jawaku lembut pada Ibu. Tapi ada ketegasan dan penekanan dalam kalimat itu. Bahwa aku tidak bermain-main dalam sebuah hubungan.
Ibu tersenyum penuh arti, tangan kanannya menyentuh daguku. "Bahagialah selalu, Aira. Apapun yang terjadi. Kedewasaan seseorang bukan dilihat dari seberapa tua usianya, tapi bagaimana ia dapat menyikapi setiap persoalan-persoalan hidup," tutur Ibu.
Aku mengangguk takzim. Sungguh beruntungnya aku memiliki ibu, itu selalu membuat suasana hati menjadi tenang.
Ibu menyentuh tanganku, sejajar kami melangkahkan kaki menuju ruang tamu, di mana ayah sudah ada di sana. Laki-laki berkumis tipis itu terlihat sibuk menelepon asistennya membicarakan perihal keberangkatan ke luar kota malam ini. Ia mengatakan akan segera siap-siap sebelum mengakhiri telepon. Kulihat, ayah cepat memasukkan ponsel dalam kantong celana setelah melihatku dan ibu mendekat.
"Aira, berapa lama lagi orang itu datang. Lima menit lagi jam 7. Waktu Ayah tidak banyak." Ayah terlihat gelisah. Kakinya berjalan mondar-mandir dengan kedua tangan tersilang di dada.
"Namanya Hyun Joon, Ayah." Aku mengingatkan. Semoga ayah tidak tersinggung.
"Apa dia bukan orang Indonesia?" Satu alis Ayah terangkat, gerakan lakinya pun terhenti. Ia menatapku meminta penjelasan.
Sekilas aku melirik ibu, dia pun terlihat sama gugupnya denganku. "Hyun Joon blasteran, Yah. Ibunya asli Indonesia dan ayahnya asal Korea Selatan. Tapi Hyun menyukai Indonesia untuk tinggal." Bibirku sedikit bergetar. Aku tak sanggup menatap wajah ayah.
"Bisa jadi dia anak hasil hubungan gelap. Kebanyakan Orang Asing datang ke Indonesia hanya untuk mempermainkan gadis-gadis Indonesia yang lugu dan polos. Kamu tidak akan paham soal itu, Aira."
"Tidak, Ayah! Tidak dengan orang tuanya Hyun Joon," tukasku cepat. Ayah sudah berlebihan menilai orang yang belum ia kenal, dan itu membuatku sakit.
Ayah mendengkus kesal, "Kamu sudah mulai keras kepala, Aira!" Ayah melangkah ke arahku, kedua manik mantanya membesar. Ia menunjukkan kemarahan di dalam sana, Ayah kembali berkata, "Suatu saat kamu akan mengerti, Aira. Apa yang terlihat terkadang bukanlah yang sebenarnya."
Aku tak menjawab lagi, mengunci mulutku rapat-rapat dan berusaha menenangkan diri. Meski dalan hati aku tetap menolak tuduhan ayah. Kulihat ibu hanya bisa meremas-remas jari, ia takkan mungkin ikut dalam perdebatan kecilku dengan ayah. Ia begitu menghormati suami sedemikian rupa. Padahal ibu tahu, seperti apa perasaanku saat ini. Ayah sudah melontarkan pikiran buruk tentang Hyun sedangkan rupa wajahnya saja ayah belum pernah melihatnya.
Saat ini, aku hanya bisa berdoa agar kekasihku lekas datang. Ia bisa menunjukkan pada ayah yang sebenarnya.
Pagi-pagi sekali aku dan Dewa bermaksud untuk mencari kontrakan lagi. Aku pikir, menyewa rumah itu mudah, ternyata cukup sulit. Tak semudah yang dibayangkan. Aku jadk tahu bagaimana perasaan mereka yang masih belum memiliki hunian, dan harus terus berpindah-pindah tempat tinggal.Kami memasuki sebuah perkampungan yang tak jauh dari pasar tradisional. Aku berpikir, betapa menyenangkannya bila aku berbelanja di pasar itu, mengubah pola hidup yang tadinya senang belanja ke supermarket, berpindah ke pasar tradisional.“Semoga kali ini kita berhasil,” kataku pada Dewa, Dewa hanya bergumam sebagai respon.Motor kami memasuki gang-gang perkampungan. Mataku terus melihat kanan-kiri melihat barangkali ada rumah kosong yang bertuliskan 'dikontrakkan'.“Coba ke sini.” Aku menunjukk ke sebuah gang yang cukup lebar. Dewa tak banyak bicara seperti biasa. Dan aku senang dengan sikapnya kali ini.Dewa membelokkan
“Tak masalah. Pastikan ia baik-baik saja. Aku pikir ia memang sengaja menjebakmu untuk kenikmatan dirinya sendiri.”“Mungkin lo bener, Ra. Tapi gua nggak berpikir begitu. Tiara adalah anak orang nggak mampu. Sejak kecil ia tinggal di panti asuhan. Seandainya ia norak, matre, ya memang karena hidupnya begitu, serba kekurangan. Beda kayak lo yang memang terlahir dari keluarga berada. Bedanya, lo belum ngerasain yang namanya hidup melarat. Gua sendiri, pernah diposisi Tiara di masa kecil gua. Hidup serba kekurangan.” Dewa memasukkan kedua tangannya ke saku celana.Aku merasa tertohok. Kata-kata Dewa benar adanya. Mungkin aku tidak pernah merasakan kekurangan seperti itu. Tapi bukan itu maksudku, aku hanya tak ingin Dewa dimanfaatkan oleh Tiara.Aku tak menimpalinya lagi, tanganku mulai memerik beberapa tangkai mawar merah. Kucium wangi bunga itu, sambil memejamkan mata. Aku teringat banyak kata mutiara yang sering kudengar, bahwa seorang wan
Aku mengerutkan dahi. Duduk di samping Ayah. Pikiranku mulai ke mana-mana, apa mungkin Dewa menceritakan keributan kecil beberapa jam lalu? Tapi rasanya tak mungkin.“Aira, apa benar kamu mau tinggal di rumah kontrakan di perkampungan?” tanya Ayah dengan suara beratnya.Syukurlah, bukan soal Dewa yang ia bicarakan.“Benar, Yah. Aku ingin hidup mandiri. Lagipula, tak ada salahnya kan tinggal di rumah sewaan?”Ayah terkekeh. “Ya, jelas tidak salah. Tapi lucu. Nak Dewa itu kan sudah punya rumah sendiri. Besar, mewah, kok kamu malah milih rumah di perkampungan? Memangnya tidak senang diboyong ke sana?” Ayah mencari manik mataku, ia seperti mencari jawaban di sana. Aku menggigit bibir.“Aku ... aku hanya ingin suasana baru saja, Yah. Berbaur dengan masyarakat. Sepertinya akan lebih menyenangkan dibanding harus tinggal di kompleks, di balik tembok tinggi di dalam rumah mewah yang serba ada.”
Sudah pukul sepuluh lewat sepuluh menit, Dewa belum juga pulang. Sedangkan ia sudah berjanji hanya menemani Tiara sebentar. Huh!Aku sudah mulai bosan menunggu. Dua jam lalu aku sudah mandi dan sarapan. Menonton acara Televisi sendirian membuatku kembali menguap. Tidak ada pilihan lain selain tidur. Melanjutkan perjalanan ke alam mimpi. Kurebahkan tubuh di atas sofa dan memejamkan mata. Berharap saat terjaga nanti Dewa sudah di rumah.Sialnya, aku sama sekali tidak bisa tidur!Aku mengecek ponsel, tidak ada pesan apa pun dari Dewa. Seketika aku 'iseng' melihat nomor kontak Hyun, rindu untuk mengiriminya pesan. Tapi aku takut Dewa berpikir buruk jika mengetahui aku mencoba kembali menjalin komunikasi. Memangnya apa salah kalau aku hanya bertanya kabar?“Hai, apa kabar?” tanyaku melaui pesan singkat. Terkirim. Dadaku berdebar menunggu jawaban.Tidak ada balasan dalam beberapa menit, hingga lebih dari lima belas menit aku menunggu ponselku
Dewa meninggalkanku untuk menemui Tiara. Aku memandang Televisi yang menampilkan acara lawak. Tapi kali ini aku sama sekali tidak merasa terhibur. Pandanganku lekat pada layar Televisi, namun pikiranku terus tertuju pada pertemuan Dewa dan Tiara.Rupanya cukup lama Dewa menemui wanita hamil itu, aku sudah menunggu selama tiga puluh menit. Dudukku sudah mulai gelisah, apa yang mereka bicarakan?“Ra, kita nginep di sini dulu ya, malam ini.” Tiba-tiba Dewa muncul dan mengatakan itu.Aku bergeming. Menginap? Bisa-bisa aku tak bisa tidur dengan nyenyak kalau menginap di sini.“Gimana? Besok sore sepulang dari cari kontrakan pulang deh ke rumahmu.”“Rumah orangtuaku, oke?” ralatku cepat, dan Dewa terkikik mendengarnya.Dewa menghempaskan badan di sofa, sangat dekat denganku. Ia melihat ke arahku dengan tatapan ... entah, aku malas beradu pandang dengannya.“Ra, b
Aku pikir, kami akan pulang ke rumah, tapi ternyata ia mengajakku ke rumahnya di kompleks Tubagus.Satpam rumahnya cekatan membuka gerbang mempersilakan motor kami masuk, kemudia gerbang tertutup kembali. Aku segera turun, melepas helm dengan kasar.“Jangan harap aku mau bonceng kamu lagi, kalau kamu ngebut.” Aku membenahi rambutku yang sudah awut-awutan. Dewa sudah mirip ketua geng motor saat di jalanan. Bukannya sadar diri Dewa malah tersenyum geli.“Cewek segalak lo takut ngebut? Baru tau gua,” ledek Dewa menyebalkan. Ia memasukkan kunci motor di saku jaket. Lalu melenggang masuk ke rumahnya meninggalkanku.“Kenapa harus ke sini?” Aku menggumam sendiri, melangkah cepat menyusul Dewa.Untuk pertama kalinya aku ke sini. Menginjakkan kaki di rumah suamiku. Suami? Ah, rasanya masih terasa aneh menyebutnya sebagai suami dan aku istrinya. Pernikahan ini seperti lelucon atau drama yang dibuat-buat.Rumah mewah