Air mataku sudah mengering, aku tersadar saat mendengar dering ponselku berbunyi. Mataku mengerjap-ngerjap, kulihat jam dinding menunjukkan pukul 02:20 dini hari.
Rupanya aku tertidur setelah menumpahkan semua sesak dan sesal dalam rongga dada.
Aku meraih ponsel di atas meja rias, dan kembali membaringkan tubuh di atas kasur. Penasaran, siapa yang menelepon sepagi ini.
"Salsa?" Aku membekap mulut.
"Ra, dari mana aja, atuh?? Baru angkat telepon Salsa." Suara manja Salsa terdengar merajuk.
Oh, ya Tuhan! Aku baru ingat kalau Salsa kusuruh menemui Dewa jam 7 malam di Avec Moi. Bagaimana dengan kencan kejutan mereka?
"So-sorry, Sa," ucapku serak.
"Kamu kenapa, Ra? Sakit, yah?" tanya Salsa khawatir. Ah, paling dia cuma basa-basi.
Aku menjawab pelan, "Aku baik-baik aja, Sa." Aku berbohong. Mana mungkin kuceritakan perihal kejadian tadi malam pada Salsa.
"Syukurlah, deh. Eh, Ra, ternyata Dewa itu romantis juga, yah. Awalnya dia itu cuek pisan, sok judes gitu, tampang songong ... tapi lama-lama dia asik juga, hihii," cerocos Salsa panjang lebar. Aku tak peduli, bahkan tak ingin mendengar tentang laki-laki itu. Tapi aku cukup terkejut saat model seksi itu meneruskan ceritanya.
"Kamu kok nggak mau sama cowok seromantis Dewa. Dia itu kan penulis, kata orang ... penulis itu romantis!"
Dewa seorang penulis? Haks! Aku tak percaya, mana ada cowok sekaku dia pandai nulis.
"Dia janji katanya mau bikinin puisi buat Salsa. Duuuh, gemes euy! baru ini Salsa nemuin cowok sekeren Dewa." Salsa memekik manja. Gadis itu tak banyak berubah, selalu heboh dengan hal-hal kecil yang menurutku biasa.
Tapi mendengar Dewa itu laki-laki romantis, rasanya menjanggal di hati.
Dasar pujangga sialan!
Aku mematikan ponsel setelah mengatakan pada Salsa tubuhku lelah dan ingin kembali melanjutkan mimpi yang tertunda. Padahal yang sebenarnya aku benci membahas sosok Dewa dan semua tentang dia.
***
Sebelum hangat matahari pagi menerobos cela-cela jendela kamar, aku sudah bersiap-siap untuk bertemu Hyun Joon hari ini. Aku yakin hatinya terluka lebih parah dibanding dengan hatiku. Semoga pertemuan ini sedikit dapat menyembuhkan rasa nyeri yang tertanam.
Sedikit tergesa aku keluar kamar, menuruni anak tangga lalu memanggil ibu yang sedang sibuk di dapur bersama Bik Sarah.
"Ibu, aku harus pergi pagi ini," pamitku pada ibu, kulihat ratu di rumah ini sedang menggoreng sesuatu. Sementara Bik Sarah sibuk membuat kue kering favorit keluarga kami. Kue Nastar yang enak.
Ibu menoleh ke arahku sebentar. "Baiklah, jangan pulang terlambat, ya."
"Iya, Bu," jawabku cepat, "aku hanya ingin bertemu Hyun Joon."
Ibu mematikan kompor, sepertinya kegiatan menggoreng sudah selesai. Pelan kaki ibu melangkah mendekat ke arahku.
"Nak, maafin ayah, ya. Ibu tahu perasaanmu, memang sulit rasanya menerima hinaan di depan mata. Tapi kita tidak bisa membencinya, ayahmu mungkin sedang khilaf mengingat akhir-akhir ini dia sibuk dengan usahanya yang sedang bermasalah." Ibu menghela napas, "Sekuat apapun usahamu, ayah tetap dengan pilihannya." Ibu nampak sulit bernapas saat mengucapkan kalimat terakhirnya.
Aku menggigit bibir bawah kuat-kuat, tak sanggup kubahas tentang ayah dan sikapnya. Itu membuatku sakit. Diamku bukan berarti membenci tapi aku belajar menahan sabar.
Kukecup kening ibu, "Aku berangkat." Aku membalikkan badan melangkah menuju pintu keluar rumah. Tapi sesaat langkahku terhenti saat ibu mengatakan sesuatu.
"Aira, titip salam untuk Hyun Joon."
Sudut bibirku terangkat, menciptakan seulas senyum, "Akan aku sampaikan, Bu," jawabku ringan.
***
Sudah berapa bulan terakhir ini, tetes hujan masih belum bersedia menyirami bumi. Aku terburu-buru keluar dari mobil setengah berlari menyusuri gang sempit menuju kontrakan Hyun Joon, menghindari sengatan matahari dan debu-debu tanah yang retak. Sekilas kusapu pandangan, terlihat sepi, barangkali semua orang malas keluar rumah karena panas. Padahal waktu masih pagi, tapi sudah seperti tengah hari.
"Aira?" panggil seseorang dari arah belakang.
Aku menoleh, ternyata Om Johan. Kedua matanya menyipit melihatku, nampak aneh, ditambah mimik muka terlihat kaku.
"Om." Aku memicingkan mata karena silau, "Om Johan, aku ingin bertemu Hyun Joon. Dia ada?" tanyaku ingin tahu.
Kening Om Johan mengerut, lalu pelan dia berucap, "Ayo ikut aku."
Aku mengikuti langkah Om Johan yang berjalan mendahului. Perasaanku tak enak, aku melihat garis kesedihan di wajah Om Johan saat melihatku.
Langkahku tidak secepat Om Johan, dia sudah terbiasa melewati gang sempit berbatu dan berdebu. Mataku terus memperhatikan rumah-rumah di sini, memang cukup memprihatinkan tinggal di pinggiran kota. Wajar saja Hyun tak pernah mengajakku melihat tempat tinggalnya bersama teman sesama pelukis, Hyun bilang, daerah sini bukan hanya kumuh dan kotor, tapi banyak bahayanya karena sebagian yang tinggal para preman jalanan.
"Di sinilah tempat tinggal kami, Aira." Om Johan berhenti di depan sebuah pintu kontrakan berwarna hijau muda. Aku menatap bangunan itu, bukan kontrakan-kontrakan panjang berbaris banyak pintu-pintu seperti pada umumnya, tapi sebuah rumah. Rumah desain gaya lama tapi terlihat cukup rapi dan bersih di banding rumah-rumah lainnya.
Om Johan mengajakku duduk di kursi bambu di teras rumah kontrakanya. Ia menyalakan puntung rokok lalu menghisapnya dalam-dalam.
"Hyun Joon tampak muram sepulang dari rumahmu, Aira. Kami, teman-temannya tak banyak berbuat. Tapi sebagai lelaki, ia memiliki harga diri." Asap rokok mengepul dkeluar dari mulut dan hidung Om Johan. Lalu menghilang disapu angin.
Aku sedikit terbatuk.
"Kau mungkin tak tahu, Aira. Berapa banyak dana yang Hyun habiskan untuk melukis wajahmu yang cantik, dia bekerja keras untuk itu." Wajah Om Johan menatapku lekat. Aku tahu kemana arah pembicaraannya sekarang.
"Aku tak tahu kejadiannya akan sangat menyakitkan bagi Hyun, Om. Aku sendiri pun sangat terpukul." Rasa nyeri menyelusup dalam rongga dada, kejadian malam kemarin membuat hatiku kembali remuk.
"Bagus kau sudah datang ke sini, Aira. Setidaknya nanti kau akan tahu alasan Hyun kembali ke Korea."
"Jangan becanda, Om!" seruku tak percaya, "Hyun tak mungkin pergi." Suaraku tercekat dan pikiranku mulai kacau. Aku benci kata-kata pergi, tapi justru kata itu keluar dari mulutku sendiri.
Om Johan tetap bersikap tenang menyesap asap rokok lalu mengembuskannya tinggi-tinggi. Rahangnya mengeras dengan sorot mata memerah.
"Hyun tidak akan pergi jika posisinya tidak dihina oleh ayahmu. Baru kali ini dadaku ikut panas melihat pemuda sebaik Hyun Joon dirobek harga dirinya. Kau tahu, siapa yang mengantar Hyun Joon saat datang ke rumahmu? Itu aku. Aku sengaja menyewa mobil temanku untuk Hyun. Kau tidak melihatku karena aku tetap diam dalam mobil," tutur Om Johan terdengar sedikit keras, "seandainya posisiku sebagai Hyun, aku akan mengambil keputusan yang sama. Lebih baik meninggalkanmu dari pada dipatahkan sedemikian rupa. Kami memang orang-orang miskin yang terbuang. Mengais rezeki dari jalanan, dari tempat ke tempat menjual buah karya hasil tangan kami sendiri. Makan makanan halal dibeli dari uang yang didapatkan secara halal, hidup kami cukup bahagia menjadi seorang seniman. Lalu, apa masalah ayahmu, Aira? Dia seorang pengusaha sukses yang sombong!"
"Cukup, Om. Jangan katakan lagi. Kumohon ...." Aku sudah sangat sesak mendengar ucapan Om Johan, semua salah ayah. Ia sudah menciptakan luka begitu dalam di hati semua orang.
Berkali-kali kuusap air mata, terisak-isak sampai tenggorokan terasa sakit.
Hyun Joon.
Aku tak menyangka ia tega pergi, meninggalkanku dan membawa rasa pahit itu sendiri.
Hyun Joon.
Laki-laki tangguh yang pernah kukenal. Laki-laki yang sangat aku cintai.
Aku tak sanggup lagi berkata-kata, tubuhku gemetar dan tungkai kaki terasa lemas.
Om Johan berdiri dari kursi bambu, ia membuka kunci pintu kontrakan, membuka pintunya lebar-lebar.
"Masuklah kalau ingin lihat," suruh Om Johan pelan. Ia sendiri sudah masuk lebih dulu.
Sekali lagi aku mengusap mata, lemas tubuhku beranjak dari tempat duduk berjalan gontai masuk ke kontrakan.
Aroma parfum Hyun Joon tersebar ke seluruh ruangan, aku membekap mulut, menahan kembali derai air mata yang terus luruh tak berjeda. Hyun Joon meninggalkan aroma tubuhnya untukku.
"Hyun memberikan parfum miliknya untukku, aku menyukai wanginya." Om Johan seakan bisa membaca pikiranku, "Lihat semua peralatan melukis Hyun Joon terakhir kali. Masih belum sempat ia rapikan. Dia bilang, semuanya untuk Hendro."
Aku melihat satu gulungan kanvas yang masih tergulung sepanjang dua meter dalam bungkusan plastik, bersandar di dinding paling ujung. Canvas yang sudah di blok hitam sudah dipasang span kayu dan beberapa cat oil, serta tumpukan kuas beragam jenis dan ukuran.
Pandanganku beralih pada sebuah lukisan kecil, lukisan abstrak yang unik. Jemariku tergerak menyentuh permukaannya, meraba pada setiap warna.
"Apa Hyun Joon meninggalkan alamat tinggalnya di Korea?" Aku menoleh pada Om Johan yang berdiri di belakangku.
"Tidak, Aira. Tapi dia menitipkan sebuah surat untukmu."
Sejurus aku menurunkan tangan. Berbalik menghadap Om Johan. "Surat?"
Laki-laki berkumis itu melipat kedua tangannya di dada, ia tersenyum kecil ke arahku.
"Ya, surat perpisahan. Seharusnya pagi ini aku datang ke rumahmu untuk mengantarkan surat dari Hyun, tapi aku malas harus mengetuk pintu rumah orang kaya. Jadi, aku menunggumu saja yang datang," jelas Om Johan tanpa rasa bersalah.
"Mana suratnya?" Aku menjulurkan tangan meminta surat itu. Om Johan seketika berpesan, "Bacalah sesampainya di rumah. Jangan di sini."
"Kenapa?" Aku mendelik. Meminta penjelasan padanya.
"Jangan tanya kenapa, Aira. Seorang perempuan sering bertindak berlebihan bila dihadapkan yang menurut para pria itu biasa dan tak patut dipermasalahkan. Jadi, aku takut kau pingsan setelah surat itu dibaca." Om Johan mengambil sesuatu dari dalam saku kemejanya. Sebuah kertas terlipat rapi tanpa amplop.
"Om Johan tau isinya?"
"Tentu."
"Tidak sopan!"
"Hyun meminta pendapatku tentang suratnya sebelum ia pergi. Ada yang salah?"
Aku menggeleng, kupikir diam-diam dia membacanya. Kuambil surat yang disodorkan oleh Om Johan dengan tanganku gemetar, kemudian lipat kertas cepat kumasukkan dalam tas kecilku.
"Terima kasih, Om. Untuk semuanya." Aku berucap lirih dalam sisa-sisa isak tangis.
"Tidak perlu berterima kasih, Aira. Semoga kau selalu bahagia."
Aku tak bergeming.
"Aku hanya berpesan, jangan salahkan takdir, jangan membenci keadaan. Yang terjadi biarlah berlalu, kau kuras air mata pun tetap tak akan membalikkan waktu."
Kulaju mobil dengan kecepatan tinggi, melesat menembus angin dan panasnya terik matahari. Setelah pamit pulang pada Om Johan. Aku ingin cepat sampai ke tempat di mana aku bisa seluasa membaca surat dari Hyun Joon. Pantai adalah satu-satunya tujuan. Lama kaki ini tidak menyentuh pasir dan bui ombak.Kepergian Hyun sudah menyempurnakan rasa sakitku. Mungkin, bisa saja aku mati secara perlahan karena jeratan rindu.Perjalanan berjam-jam dari kontrakan pinggir kota di mana Hyun pernah tinggal bersama teman-temannya, kini aku sudah sampai di tempat tujuan.Pantai yang indah.Tetapi keindahan itu terlihat biasa saat ini. Tak seindah dulu saat aku dan Hyun berlari menerjang ombak, saling melempar pasir di antara embusan angin dan gelak tawa.Aku bertelanjang kaki menyusuri pantai, meninggalkan jejak kaki di atas pasir yang tersapu omba, bui-buinya mencium kaki, menggelitik geli.
Beberapa hari setelah perbincangan di meja makan itu, sesuai janji Ayah, tanggal pernikahanku dengan Dewa sudah ia diskusikan dengan keluarga calon besan. Aku hanya pasrah, kukatakan berulangkali pada Ayah jangan lagi bertanya soal tanggal dan sebagainya, aku tak ingin direpotkan hal semacam itu. Hari ini, besok, lusa, atau kapanpun aku siap. Asal Ayah bahagia aku menikah dengan Dewa. Tidak hanya Ayah, Dewa pun terdengar ceria saat ia meneleponku. "Gua nggak nyangka lo akhirnya mau nikah sama gua." Suara Dewa penuh percaya diri yang tinggi. Orang stress! "Gua masih inget waktu lo ngancam gua soal perjodohan kita. Gampang banget lo nyerahnya. Hahaa." Lagi lagi dia membangkitkan emosiku. Aku sudah tak tahan untuk terus diam mendengar ocehannya. "Ter-se-rah!" Tanpa menunggu respon, sambungan sudah kumat
Aku nyaris kehilangan fokus saat menyetir mobil saat perjalanan pulang, hubungan Dewa dan Salsa sangat menggangguku. Entah, sampai di mana keakraban mereka, yang jelas aku bisa melihat dari sorot mata gadis yang berprofesi model itu ada rasa kagum pada Dewa. Aku paham betul, bagaimana rona wajahnya ketika jatuh cinta."Salsa ngak bakal peduli sama cowok kalau Salsa gak suka." Salsa pernah mengatakannya padaku setahun lalu, saat ia mengacuhkan Mas Doni, seorang fotografer yang berpenampilan necis.Malam ini, aku melihat kepedulian Salsa terhadap Dewa, ia nampak cemas dan khawatir. Hanya saja rasa itu sedikit tertutup.Sialan! Kenapa aku terus memikirkan Dewa dan Salsa. Apa aku mulai menuntut kesetiaan Dewa karena akan jadi suamiku nanti? Benarkah begitu? Hahaa. Ini gila!Aku tergelak, sudah lama aku kehilangan sensasi rasa cemburu. Selama berpacara dengan Hyun Joon, seniman k
"Aira." Suara Ibu terdengar cemas dalam telepon, "Kamu di mana, Nak?""Ibu ... aku sedang bersama Dewa sekarang. Kami perlu bicara mengenai pernikahan nanti," jelasku pada Ibu, benar saja kudengar ibu menghela napas lega."Yah, Aira lagi sama Dewa," adu Ibu berbisik pada Ayah. Biasanya Ibu dan Ayah memang sering berbincang sebelum tidur di teras rumah."Baguslah, Bu. Mereka pelan-pelan harus saling mengenal." Suara Ayah membuatku sedikit menahan napas."Bu, sudah dulu, ya. Kecup sayang buat Ibu." Aku mematikan sambungan telepon setelah mendengar Ibu membalas kecup sayang dariku. Sejak kecil hingga saat ini, kebiasaanku sering mengabari Ibu setiap terlambat pulang tak pernah berubah.Tak lama aku melihat Dewa keluar dari pintu caffe dengan membawa napan makanan, bibirnya tersenyum ke arahku.Dasar bucin!Aku melempar pandangan ke lain arah, berpura-pura ti
Aku terbangun dengan air mata sudah mengering di pipi, rupanya cukup lama aku tertidur setelah jarum jam menunjuk di angka lima sore.Perutku mulai keroncongan, wajar saja jam segini sudah terasa lapar, sejak siang aku belum makan. Badan rasanya sangat lemas.Aku mengenakan baju kaos dan rok selutut dengan rambut panjangku yang sengaja tergerai selesai keramas, aroma shampoo dan conditioner semerbak harum. Sedikit polesan bedak di wajah dan memerahkan bibir dengan lipstik tipis-tipis."Nah, itu dia!” Ibu menunjuk ke arahku saat melihat aku menuruni tangga.Aku baru sadar, orang-orang di rumah ini sangat ramai. Mereka terlihat sibuk menyusun dan mengangkat barang-barang.Di sana, di samping Ibu berdiri sosok laki-laki bertampang sok keren dengan senyuman khasnya. Kulihat, Ayah sudah di duduk di ruang tamu menemani calon besannya.&nb
"Selamat ya, Ra. Semoga cepet cerai!" bisik Salsa saat ia menyalamiku. Mata genitnya melirik Dewa di sampingku yang terus memamerkan senyum pasta giginya pada para tamu undangan."Gila!" desisku melototi Salsa. Gadis ini sinting luar biasa, meski tidak suka dengan perjodohan ini tapi tak pernah terbersit sedikitpun untuk bercerai. Aku tidak suka menyakiti hati orang dengan kejam.Salsa mengulum senyum. "Salsa cuma becanda atuh, dih baperan. Hihiii."Aku memutar bola mata, malas menanggapi candaan Salsa. Aku kurang suka bergurau semacam itu. Melihatku cuek, dia akhirnya sadar diri untuk segera menyeret langkah menjauh dan mulai mengincar sesuatu untuk bisa ia kunyah.Beruntung hanya Salsa yang hadir di resepsi pernikahan ini, itu pun Dewa yang mengundangnya secara langsung, seandainya semua teman-temanku dan Dewa ada, entah seperti apa pesta ini. Bisa kacau dengan segala celotehan tak mengenakkan. Jauh dar
Di mana dia? Di mana pelukis itu!"Hyun Joon!" Aku berteriak sekuat tenaga, di depan lukisan dan di depan banyak orang."Hyun Joon!" panggilku kembali, "ini aku ...." Suaraku mulai melemah dan terasa serak.Tak ada tanda-tanda batang hidung laki-laki blasteran itu di sini. Ah, aku benar-benar gila. Bagaimana kalau Dewa melihatku? Aku segera tersadar dengan status baru sebagai istri anak dari sahabat Ayah. Dewa sudah sah menjadi suamiku saat ini.Segera kulap air mata dan berhenti menangisi sesuatu yang mustahil untuk bisa kuulang kembali. Berusaha tegar, dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Kutarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan.Huufth! Sudahi kegilaan ini, Aira!Orang-orang itu mulai bubar, satu persatu melangkah pergi meninggalkanku."Kakak cantik, lukisan itu benar-benar mirip Kakak." Seorang anak kecil sekitar umu
"A-aku minta maaf atas kekacauan ini. Aku mengaku salah, Ayah. Seharusnya ini tidak terjadi." Aku menarik napas dalam. "Dewa, maafkan aku. Kamu boleh menghukumku jika mau, bukankah aku istrimu? Aku datang ke tempat itu hanya ingin meminta penjelasan kenapa ia pergi meninggalkanku. Kamu tahu aku mencintainya, Ayah dan Ibu tahu aku mengharapkannya, hanya Ayah dan Ibu mertua yang kurasa belum mengerti, bahwa Hyun Joon pernah datang melamarku dan Ayah menghinanya.""Aira!" seru Ayah, napasnya naik turun begitu cepat."Lanjutkan," perintah Ayah mertua, "saya ingin mendengar."Aku tersenyum getir, "Ayah mertua, inilah yang terjadi. Meski aku sebelumnya telah memiliki kekasih, dan berharap laki-laki itulah yang menjadi suamiku, tapi aku tak berdaya. Ayah lebih penting bagiku, Ayah segalanya ...." Tenggorokanku terasa ada yang menghalangi, "Hyun pergi tanpa kabar setelah luka yang ia terima, Aku sudah