Kulaju mobil dengan kecepatan tinggi, melesat menembus angin dan panasnya terik matahari. Setelah pamit pulang pada Om Johan. Aku ingin cepat sampai ke tempat di mana aku bisa seluasa membaca surat dari Hyun Joon. Pantai adalah satu-satunya tujuan. Lama kaki ini tidak menyentuh pasir dan bui ombak.
Kepergian Hyun sudah menyempurnakan rasa sakitku. Mungkin, bisa saja aku mati secara perlahan karena jeratan rindu.
Perjalanan berjam-jam dari kontrakan pinggir kota di mana Hyun pernah tinggal bersama teman-temannya, kini aku sudah sampai di tempat tujuan.
Pantai yang indah.
Tetapi keindahan itu terlihat biasa saat ini. Tak seindah dulu saat aku dan Hyun berlari menerjang ombak, saling melempar pasir di antara embusan angin dan gelak tawa.
Aku bertelanjang kaki menyusuri pantai, meninggalkan jejak kaki di atas pasir yang tersapu omba, bui-buinya mencium kaki, menggelitik geli.
"Aira!"
Seseorang memanggilku. Suara Hyun Joon.
Refleks aku mencari sumber suara, memutar bola mata. Tapi tak ada siapa-siapa. Pantai ini cukup sepi, hanya ada beberapa orang yang datang, itu pun sangat jauh dari tempatku berdiri.
Hyun?
Ah, aku lupa. Bukankah ia sudah pergi?
Itu hanya suara ombak menghantam karang, gema-gema dari riuh berbagai suara alam. Hyun tak mungkin tiba-tiba muncul di sini.
Dia sudah benar-benar pergi.
Meninggalkanku ....
Air di sudut mata kembali menetes. Beberapa kenangan tentang Hyun terputar kembali. Kami hampir tak pernah bepergian jauh atau menjelajahi beberapa tempat wisata, yang kami sukai hanya memandang laut terhampar luas dari atas batu karang.
"Berteriaklah sekuat-kuatnya di sini, maka bebanmu akan hilang," ucap Hyun saat itu.
"Aku menyukai pantai, laut yang biru, pasir putih, bui-bui ombak, serta anginnya yang kencang." Hyun menatapku, "Dan warna senja yang memukau, seperti pesonamu, Aira."
Mataku terpejam mengingat kembali suara lembut Hyun. Jika aku tahu kebahagiaan itu hanyalah semu, aku tak mungkin terlalu dalam mencintainya. Tapi ketulusan Hyun seakan nyata, dia benar-benar memberi cinta tak biasa.
Tidak, cinta itu salah!
Aku membuka mata, mengambil lipatan surat dalam tas kecil yang menyelempang di bahu. Sebuah surat dari kekasiku, Hyun Joon.
Kurebahkan tubuhku di atas pasir, kedua tanganku terangkat di depan wajah membuka lipatan kertas pelan-pelan. Kedua mata mulai mengeja kata perkata.
Ada melelehan hangat keluar dari sudut mata menyentuh daun telinga. Riuh debur ombak menyamarkan isak. Berkali-kali aku mencoba menahan sesak, namun tetap napasku tersengal.
Dear,
Aira kekasihku ....
Aku tahu, kau akan berlari mengadu pada senja. Di pantai kita. Sebelumnya, aku akan katakan, rinduku selalu untukmu.
Aira ...
Jika saat ini kau melihat rona merah senja, kau harus tahu bahwa keindahannya tidaklah lama. Senja akan kembali keperaduannya meninggalkan gulita dan desau angin pantai yang dingin menusuk kulit hingga ke tulang.
Jika kau melihat sepasang jejak kakimu di atas pasir, kau pun sudah mengerti bahwa ombak akan menyapunya hingga pasir kembali merata.
Begitu pun dengan takdir kita.
Seindah apapun kisah cinta yang pernah tercipta, sekuat bagaimanapun usaha kita, jika Tuhan tidak menggariskan takdir kebersamaan kita untuk menyatu hingga menua, kau paham betul memaksa bukan tindakan mulia.
Lihatlah, kekasihku.
Burung-burung akan kembali pulang jika gelap sudah datang. Ia akan masuk dalam sangkar atau kembali ke sarang. Tak ada bedanya denganku, tak ada lagi cahaya apalagi warna-warna di sana, maka kuputuskan kembali ke Korea. Di tanah kelahiranku.
Aku mengutuk diriku sendiri, mengapa sepayah ini. Aku patut kau katai pengecut, atau orang paling bodoh sedunia, Aira.
Meninggalkanmu ... adalah keputusan tak adil bagimu. Tapi tindakan yang tepat sebagai pilihanku. Ayahmu benar, aku terlalu bermimpi, seharusnya tak kuucap soal mimpiku di hadapan ayahmu. Itu membuatku tampak lebih bodoh.
Percayalah, aku pun sangat tersiksa. Mungkin juga akan mati bersama waktu yang tersisa.
Terimalah laki-laki yang dijodohkan oleh ayahmu, agar kau bahagia.
Demi aku, Aira.
Kau akan hidup seperti para ratu, memiliki anak-anak yang lucu. Tak perlu bersusah payah menemani kesulitan-kesulitan hidupku.
Kumohon. Jadilah gadis yang dapat membahagiakan hati kedua orang tua.
Demi hidupmu di masa depan.
Aku,
Hyunmu.
Kau tahu rasanya sakit yang berlebih-lebih itu seperti apa? Bukan lagi berdarah, ngilu, atau pedih sedemikian rupa, tapi rasa yang sudah tidak merasakan apapun lagi. Mati.
Aku kembali pulang ke rumah, sebelum matahari sore benar-benar tenggelam. Aku tak tahu bagaimana paras dan penampilanku setelah berjam-jam berjemur di pantai dengan cuaca panas membakar, lalu merendam tubuhku dalam air laut sampai mata memerah. Kulit berubah jadi hitam akibat sengatan matahari, pakaian kotor dan bau air laut.
"Aira," panggil Ibu terlihat cemas saat melihatku masuk ke rumah, "ya, Tuhaaan. Kamu kenapa, Nak?" Tangan ibu memegang kedua pundakku, kedua matanya menatap keheranan.
"Sudahlah, Bu. Aku baik-baik saja. Sekarang aku butuh istirahat." Kucium kening Ibu, lalu meninggalkannya. Aku belum ingin bercerita apapun dengannya, yang aku butuhkan hanya kasur, aku diserang rasa lelah.
"Aira, ayah sudah pulang. Jangan lupa turun saat makan malam!" teriak Ibu dari bawah bersamaan saat aku hendak menutup pintu kamar dan menguncinya.
Ayah sudah pulang, cepat sekali? Tidak seperti biasanya memakan waktu berminggu-minggu kalau ada kegiatan penting di luar kota.
Kuletakkan tas kecil di atas meja dan segera kuhempas tubuh di atas kasur sambil menggeliat nikmat.
Bola mataku menyapu ruangan, kamar ini sangat berantakan, entah kapan aku sadar ingin membersihkannya. Rasa malas dalam diriku berlipat-lipat semenjak ... ayah mengacaukan semuanya.
Kuraih ponsel dalam laci dan segera menyalakannya. Sejak pagi benda itu memang semgaja kutinggal. Saat ponsel menyala, suara pesan terdengar saling tindih, begitu cepat dalam jumlah banyak. Yang paling mencolok, ada 30 pesan dari Dewa dan notifikasi banyak panggilan masuk.
Sinting!
Semua pesan mengatakan hal sama, bahwa dia ... rindu!
Perutku jadi mual, bisa-bisanya dia mengirim pesan kurang ajar. 30 pesan berisi sama. Dia pikir aku tidak bisa baca?
Aku membuka pesan dari Salsa, gadis itu menagih utang padaku. Ya, aku nyaris lupa untuk membayar jasanya karena sudah membantuku menemui Dewa. Sejujurnya, aku rugi banyak karena laki-laki sialan itu.
Aku benci ayah, lalu Hyun Joon. Hati terluka. Tak ada harapan lagi untuk bisa bahagia, jadi aku memutuskan untuk mengikuti kainginan Ayah apapun yang ia perintahkan untukku nanti.
***
Ini sudah waktunya makan malam, selesai mandi air hangat dan berpakaian rapi aku turun ke bawah menuju dapur, ayah dan ibu mungkin sudah menungguku di meja makan.
"Ayo, duduklah, " suruh Ibu sesampainya aku di dekat meja makan. Banyak menu yang ibu sajikan sore ini, menu favorit keluarga. Sementara ayah sudah duduk rapi menatap hidangan.
"Aira, duduklah. Ada yang ingin ayah sampaikan." Ayah mempersilakanku duduk di hadapannya. Ibu sendiri duduk di samping ayah sambil mengisi piring ayah dengan nasi dan lauk pauk. Lalu mengisi piringku setelah aku duduk.
"Ayah lihat kamu masih murung, apa kabar laki-laki itu?" tanya Ayah, sendok di tangannya mulai terangkat ke mulut.
"Hari ini Aira menemuinya, entah apa yang terjadi. Yang jelas Ibu lihat matanya sembab dan pakaiannya sangat kotor." Ibu menjawab lebih dulu, ia menatap ke arahku.
Ibu?
"Kenapa?" tanya Ayah entah ditujukan untukku atau Ibu.
Aku masih diam. Bingung mau jawab apa.
"Entah, Ibu ndak tau," jawab Ibu, "lebih baik kita makan dulu saja, ya. Baru nanti kasih kesempatan Aira buat ngomong. Ayo, Sayang kita makan." Seperti biasa Ibu selalu mengerti aku.
Ayah makan sangat lahap, tidak ada yang berubah darinya, tetap bersemangat dan percaya diri. Ibu pasti sangat senang melihat Ayah seperti ini.
"Dimakan, jangan cuma bengong." Suara Ayah mengejutkanku. Aku baru sadar nasiku masih penuh di piring sedangkan Ayah sudah selesai makan. Begitu juga dengan Ibu. Mereka seperti lomba, sangat cepat. Atau barangkali aku yang lambat.
"Iya, Yah." Aku mulai menyendokkan nasi ke mulut. Mengunyahnya pelan.
"Aira, Ayah mau minta maaf." Ayah berucap pelan, "Soal kemarin malam, jujur ... Ayah pulang cepat karena pikiran Ayah tidak tenang. Ayah mengaku salah atas sikap tidak baik Ayah terhadap--."
"Tidak perlu minta maaf Ayah, Ayah tidak salah. Akulah yang salah karena sudah bersikeras ingin menikah dengannya," potongku cepat. Aku tak ingin Ayah menyebut nama seniman itu saat ini.
Alis ibu bertaut, ia menatapku seakan meminta penjelasan.
"Ibu, kumohon jangan pandang aku seperti itu." Aku membalikkan sendok dan garpu di piring pelan-pelan, perutku sudah merasa kenyang.
"Muka kamu pucat, Nak," tukas Ibu, dan langsung disetujui oleh Ayah.
"Pelukis itu sudah kembali ke Korea. Apalagi yang aku harapkan, Bu? Seseorang yang hatinya terluka oleh orang lain, ia bisa juga dengan tega menyakiti hati orang lain." Akhirnya aku berani mengatakan perihal kepergian Hyun Joon. Mataku memanas, seharusnya aku tidak menceritakan hal ini di hadapan Ayah.
Firasatku benar, Ayah menginterogasiku, "Kapan dia pergi?"
"Belum lama ia pulang dari rumah kita, Ayah. Ia pergi membawa rasa kecewa yang teramat dalam." Sejurus aku menatap wajah Ayah.
Wajah laki-laki di hadapanku langsung tertunduk. "Seharusnya dia tidak pergi jika benar-benar mencintaimu, Aira. Sangat terlihat pengecut."
"Ayah," panggil Ibu tertahan.
Aku tersenyum getir saat Ibu berusaha ingin menegur Ayah.
"Ayah benar, Bu. Untuk itu ... aku ikhlas jika Ayah ingin segera menikahkanku dengan laki-laki pilihan Ayah," tegasku tanpa ragu. Membuat wajah Ayah sedikit terangkat dan sorot aneh di mata Ibu. Aku tahu keduanya hampir tak mempercayai ucapanku barusan.
"Aku lelah, Bu. Boleh aku kembali ke kamar?"
"Aira." Ayah buka suara, "Bersiaplah, Ayah akan segera tentukan tanggal pernikahan kalian."
Ayah melipat kedua tangan di atas meja. Ia menatapku serius. Kami beradu pandang dalam beberapa detik.
"Aku sudah siap kapan saja pernikahan itu dilakukan." Pandanganku mengabur, aku sudah membuka pintu penderitaan untukku sendiri.
Sekuat tenaga kutahan dorongan air mata berdesakan ingin keluar, segera aku beranjak dari kursi dan melangkah keluar dari dapur. Setengah berlari menaiki tangga menuju kamar.
Tuhan,
Aku tak tahu bagaimana cara hilangkan benci tanpa dendam, dan menumbuhkan bahagia tanpa paksaan.
Pagi-pagi sekali aku dan Dewa bermaksud untuk mencari kontrakan lagi. Aku pikir, menyewa rumah itu mudah, ternyata cukup sulit. Tak semudah yang dibayangkan. Aku jadk tahu bagaimana perasaan mereka yang masih belum memiliki hunian, dan harus terus berpindah-pindah tempat tinggal.Kami memasuki sebuah perkampungan yang tak jauh dari pasar tradisional. Aku berpikir, betapa menyenangkannya bila aku berbelanja di pasar itu, mengubah pola hidup yang tadinya senang belanja ke supermarket, berpindah ke pasar tradisional.“Semoga kali ini kita berhasil,” kataku pada Dewa, Dewa hanya bergumam sebagai respon.Motor kami memasuki gang-gang perkampungan. Mataku terus melihat kanan-kiri melihat barangkali ada rumah kosong yang bertuliskan 'dikontrakkan'.“Coba ke sini.” Aku menunjukk ke sebuah gang yang cukup lebar. Dewa tak banyak bicara seperti biasa. Dan aku senang dengan sikapnya kali ini.Dewa membelokkan
“Tak masalah. Pastikan ia baik-baik saja. Aku pikir ia memang sengaja menjebakmu untuk kenikmatan dirinya sendiri.”“Mungkin lo bener, Ra. Tapi gua nggak berpikir begitu. Tiara adalah anak orang nggak mampu. Sejak kecil ia tinggal di panti asuhan. Seandainya ia norak, matre, ya memang karena hidupnya begitu, serba kekurangan. Beda kayak lo yang memang terlahir dari keluarga berada. Bedanya, lo belum ngerasain yang namanya hidup melarat. Gua sendiri, pernah diposisi Tiara di masa kecil gua. Hidup serba kekurangan.” Dewa memasukkan kedua tangannya ke saku celana.Aku merasa tertohok. Kata-kata Dewa benar adanya. Mungkin aku tidak pernah merasakan kekurangan seperti itu. Tapi bukan itu maksudku, aku hanya tak ingin Dewa dimanfaatkan oleh Tiara.Aku tak menimpalinya lagi, tanganku mulai memerik beberapa tangkai mawar merah. Kucium wangi bunga itu, sambil memejamkan mata. Aku teringat banyak kata mutiara yang sering kudengar, bahwa seorang wan
Aku mengerutkan dahi. Duduk di samping Ayah. Pikiranku mulai ke mana-mana, apa mungkin Dewa menceritakan keributan kecil beberapa jam lalu? Tapi rasanya tak mungkin.“Aira, apa benar kamu mau tinggal di rumah kontrakan di perkampungan?” tanya Ayah dengan suara beratnya.Syukurlah, bukan soal Dewa yang ia bicarakan.“Benar, Yah. Aku ingin hidup mandiri. Lagipula, tak ada salahnya kan tinggal di rumah sewaan?”Ayah terkekeh. “Ya, jelas tidak salah. Tapi lucu. Nak Dewa itu kan sudah punya rumah sendiri. Besar, mewah, kok kamu malah milih rumah di perkampungan? Memangnya tidak senang diboyong ke sana?” Ayah mencari manik mataku, ia seperti mencari jawaban di sana. Aku menggigit bibir.“Aku ... aku hanya ingin suasana baru saja, Yah. Berbaur dengan masyarakat. Sepertinya akan lebih menyenangkan dibanding harus tinggal di kompleks, di balik tembok tinggi di dalam rumah mewah yang serba ada.”
Sudah pukul sepuluh lewat sepuluh menit, Dewa belum juga pulang. Sedangkan ia sudah berjanji hanya menemani Tiara sebentar. Huh!Aku sudah mulai bosan menunggu. Dua jam lalu aku sudah mandi dan sarapan. Menonton acara Televisi sendirian membuatku kembali menguap. Tidak ada pilihan lain selain tidur. Melanjutkan perjalanan ke alam mimpi. Kurebahkan tubuh di atas sofa dan memejamkan mata. Berharap saat terjaga nanti Dewa sudah di rumah.Sialnya, aku sama sekali tidak bisa tidur!Aku mengecek ponsel, tidak ada pesan apa pun dari Dewa. Seketika aku 'iseng' melihat nomor kontak Hyun, rindu untuk mengiriminya pesan. Tapi aku takut Dewa berpikir buruk jika mengetahui aku mencoba kembali menjalin komunikasi. Memangnya apa salah kalau aku hanya bertanya kabar?“Hai, apa kabar?” tanyaku melaui pesan singkat. Terkirim. Dadaku berdebar menunggu jawaban.Tidak ada balasan dalam beberapa menit, hingga lebih dari lima belas menit aku menunggu ponselku
Dewa meninggalkanku untuk menemui Tiara. Aku memandang Televisi yang menampilkan acara lawak. Tapi kali ini aku sama sekali tidak merasa terhibur. Pandanganku lekat pada layar Televisi, namun pikiranku terus tertuju pada pertemuan Dewa dan Tiara.Rupanya cukup lama Dewa menemui wanita hamil itu, aku sudah menunggu selama tiga puluh menit. Dudukku sudah mulai gelisah, apa yang mereka bicarakan?“Ra, kita nginep di sini dulu ya, malam ini.” Tiba-tiba Dewa muncul dan mengatakan itu.Aku bergeming. Menginap? Bisa-bisa aku tak bisa tidur dengan nyenyak kalau menginap di sini.“Gimana? Besok sore sepulang dari cari kontrakan pulang deh ke rumahmu.”“Rumah orangtuaku, oke?” ralatku cepat, dan Dewa terkikik mendengarnya.Dewa menghempaskan badan di sofa, sangat dekat denganku. Ia melihat ke arahku dengan tatapan ... entah, aku malas beradu pandang dengannya.“Ra, b
Aku pikir, kami akan pulang ke rumah, tapi ternyata ia mengajakku ke rumahnya di kompleks Tubagus.Satpam rumahnya cekatan membuka gerbang mempersilakan motor kami masuk, kemudia gerbang tertutup kembali. Aku segera turun, melepas helm dengan kasar.“Jangan harap aku mau bonceng kamu lagi, kalau kamu ngebut.” Aku membenahi rambutku yang sudah awut-awutan. Dewa sudah mirip ketua geng motor saat di jalanan. Bukannya sadar diri Dewa malah tersenyum geli.“Cewek segalak lo takut ngebut? Baru tau gua,” ledek Dewa menyebalkan. Ia memasukkan kunci motor di saku jaket. Lalu melenggang masuk ke rumahnya meninggalkanku.“Kenapa harus ke sini?” Aku menggumam sendiri, melangkah cepat menyusul Dewa.Untuk pertama kalinya aku ke sini. Menginjakkan kaki di rumah suamiku. Suami? Ah, rasanya masih terasa aneh menyebutnya sebagai suami dan aku istrinya. Pernikahan ini seperti lelucon atau drama yang dibuat-buat.Rumah mewah