Share

Ada Alexander untuk Arandra

"Ibu meminta pelayan untuk menghilangkan bawang bombay di tortillanya ketika memasaknya. Jadi kau bisa memakannya."

Arandra mengangkat wajah, menatap Anggy yang duduk di depannya. Arthur duduk di kursi paling ujung. Sementara dia sendiri duduk di sebelah Alexander.

"Semua makanannya juga tidak menggunakan cabai, karena kau tidak bisa memakan makanan pedas." Anggy kembali bersuara. "Oh iya, kau tidak boleh memakan yang ini. Di dalamnya ada udangnya. Kau kan alergi udang." Dia menunjuk satu masakan yang terdapat udang di dalamnya.

Arandra mengangguk-angguk. Anggy tahu apa yang dia sukai dan tidak sukai, apa yang dia bisa makan dan tidak bisa makan. Dia terlihat sangat memperhatikan Arandra. Berbagai perasaan muncul di hatinya. Terharu, tersentuh, dan juga senang.

Anggy memang seperti itu. Tapi Arandra tetap selalu menikmati perhatiannya. Dia tersenyum senang–sebelum senyum itu dengan cepat lenyap hanya karena satu pesan masuk dari Ibunya.

[Ibu dan Ayah harus kembali ke Korea sekarang, karena pekerjaan. Maaf, sayang. Kita akan bertemu setelah kita kembali ke Spanyol, oke?]

Tanpa memberikan balasan, Arandra menyimpan kembali ponselnya. Wajahnya tertekuk.

Alexander meliriknya. Melihat Arandra yang mengaduk-aduk makanan di piring tanpa memakannya. "Ada apa?" tanyanya menyadari perubahan emosi pada wajah Arandra.

Suara Alexander tidak berusaha ditahan sehingga Arthur dan Anggy pun bisa mendengarnya. Mereka memfokuskan tatapan pada Arandra.

Arandra menggeleng. "Ibu dan ayahku kembali ke Korea," ucapnya pelan. Wanita itu menghela napas samar. "Aku sudah selesai. Boleh aku ke kamar dulu?" Dia menatap Arthur dan Anggy bergantian.

Anggy menatapnya lekat sebelum memberikan anggukan. Dan tidak butuh waktu lama untuk Arandra langsung berdiri. Berjalan keluar dari ruang makan dengan langkah lesu.

Alexander menatap punggung Arandra ketika Anggy berkata, "Aku kasihan pada anak itu. Lucas dan Riana selalu sibuk pada pekerjaannya. Mereka seperti lupa jika masih memiliki seorang putri yang butuh diperhatikan," ucap Anggy dengan helaan napas.

"Kau kan tahu sendiri Arandra bukan anak yang mereka harapkan terlepas dari bagaimanapun cantik dan baiknya anak itu." Arthur memberikan tanggapan. Dia mengelap bibirnya dengan sapu tangan. Sudah selesai sarapan.

"Tidak peduli Arandra memiliki tubuh yang lemah, atau tidak bisa menjadi apa yang mereka inginkan, tidak seharusnya Lucas dan Riana mengabaikannya seperti itu. Mereka memang keterlaluan."

Sementara Arthur dan Anggy berbicara, Alexander mendengarkan dalam diam. Tangannya yang berada di bawah meja terkepal.

"Arandra sudah banyak disakiti oleh keluarganya sendiri," ucap Arthur, sebelum pandangannya dia fokuskan pada Alexander. "Ayah harap kau bisa menjaganya dengan baik. Jangan coba-coba untuk menyakitinya. Karena Ayah benar-benar akan marah padamu jika sampai melakukannya," katanya serius.

Alexander mengangguk, mantap. Tidak ada keraguan. "Tapi aku ingin bertanya satu hal." Dia menjeda kalimatnya sebelum melanjutkan. "Tidakkah Ayah dan Ibu merasa sudah dimanfaatkan oleh keluarga Genovan? Mereka mengalihkan tanggung jawabnya pada Arandra kepada keluarga kita, di saat mereka sendiri tidak pernah melakukan tanggung jawabnya padanya."

"Memang benar." Arthur mengangguk dengan santai.

"Lalu?" Kedua alis Alexander tertaut. "Kenapa menerimanya masuk ke keluarga kita?"

"Karena Ibu dan Ayah sudah jatuh cinta padanya." Anggy yang menjawab. "Arandra mudah sekali dicintai. Ketika Axel membawanya pertama kali ke rumah ini, Ibu dan Ayah langsung begitu saja menyukainya." Dia tersenyum kecil, mengingat wajah lugu Arandra. Hingga senyum itu berubah menjadi senyum pedih. "Adikmu juga sangat mencintai Arandra. Jadi tidak ada alasan untuk kami tidak menerimanya."

Alexander terdiam– seolah tengah memikirkan sesuatu di kepalanya.

"Sekarang Ayah yang tanya padamu."

Alexander mengarahkan bola matanya pada Arthur. Tatapannya bertanya.

"Apa yang membuatmu mau menikah dengan Arandra? Ibumu hanya meminta sekali. Tapi kau langsung menyetujuinya."

Dan Alexander kembali terdiam. Bola matanya bergerak ke kiri dan ke kanan– mencoba menghindari tatapan menyelidik Arthur. Karena dia tidak bisa menjawab, dan juga tidak ingin menjawabnya.

*****

Lagi-lagi mereka mengingkari janji. Padahal Arandra sudah biasa dengan itu. Tapi tetap saja dia merasa sedih.

Meski pernikahan kemarin bukan menjadi pernikahan yang dia inginkan, tapi Arandra tidak sabar menunggu hari itu. Karena semua keluarganya akan berkumpul, dan ibu serta ayahnya akan pulang.

Lucas dan Riana memang pulang. Satu hari sebelum acara pernikahannya. Tapi Arandra belum sempat berbicara dengan mereka, karena mereka yang lebih sibuk dengan acara pernikahannya.

Setiap Arandra akan berbicara, mereka seolah memiliki banyak alasan untuk menghindar. Sejak dulu, kedua orangtuanya memang orang yang sibuk. Tapi mereka masih bisa meluangkan sedikit waktu mereka untuknya. Berbeda dengan sekarang. Arandra merasa diabaikan oleh mereka.

Hingga hari ini, mereka berkata akan menemuinya. Tapi sekali lagi, alasan yang sama yang membuat perkataan itu hanya menjadi perkataan belaka.

Arandra memang sangat menyedihkan. Dia sudah tahu ini akan terjadi, tapi masih saja berharap pada orang tuanya.

Wanita itu menunduk lesu. Duduk di bibir ranjang dengan wajah murung ketika Alexander membuka pintu.

Arandra menolehkan kepalanya. Mendongak menatap Alexander–matanya berkaca. Sementara Alexander berhenti di tengah ruangan. Menatap Arandra balik, lekat.

"Kemarilah. Aku akan memberikanmu pelukan."

Air mata Arandra menetes. Dan tidak membutuhkan waktu lama untuk wanita itu bangkit, berlari, sebelum melingkarkan kedua tangannya di tubuh Alexander. Alexander memeluk tubuh kecil itu, sembari berbisik,

"Tidak apa-apa, Ara. Kau tidak membutuhkan kedua orang tuamu, karena sudah ada aku disini. Kau bisa jadikan aku sebagai bahu sandaranmu." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status