Share

Mimpi Sederhana

Hari itu hari Selasa, hari pertama di musim semi. Alexander kembali ke Spanyol setelah menyelesaikan doctoral degree-nya di Amerika.

Alexander seharusnya masuk ke dalam mansion–menemui orang tuanya yang pasti sudah menunggunya–setelah keluar dari helikopter yang mendarat di helipad mansion. Tapi suara tawa yang samar-samar terdengar di telinganya, membuat lelaki itu mengubah arah. Dari ambang pintu, Alexander berbalik, berjalan ke arah halaman samping mansion.

Di sana terdapat kebun bunga milik Anggy. Ibunya itu memang sangat menyukai bunga. Karena itu ayahnya membuat kebun bunga itu untuk ibunya. Terdapat berbagai macam bunga, berwarna-warni dan mekar dengan cantiknya.

Tapi bukan itu yang menjadi fokus Alexander. Melainkan seorang perempuan yang ada di kebun bunga itu. Suara tawa yang didengarnya itu keluar dari bibirnya.

"Axel, ayo senyum." Perempuan itu mengarahkan ponsel yang dibawanya di depan wajah Axellino. Sepertinya ingin memotretnya.

"Ara, kenapa kau melakukan ini padaku?" Axellino menekuk wajahnya, meminta dikasihani. Sementara perempuan yang dipanggil Ara itu malah tertawa–setelah menyelipkan bunga yang beberapa saat lalu dipetiknya ke sekitar telinga Axellino.

"Kau terlihat sangat cantik. Aku harus mengabadikannya." Perempuan itu tidak memperdulikan wajah tertekan Axellino. Dia bahkan terus tertawa.

Dari kejauhan, Alexander menyadari betapa cantiknya perempuan itu. Rambut panjangnya tergerai indah di bawah cahaya matahari sore. Saat dia tertawa, suaranya mengalunkan ketenangan yang membuat Alexander mendamba.

"Lihat ini!" Perempuan itu berseru ceria sembari menunjukkan foto Axellino yang telah diambilnya.

"Itu terlihat sangat mengerikan, Arandra. Hapus sekarang."

"Tidak mau. Aku akan mengunggahnya ke media sosial." Arandra menjulurkan lidahnya. Berniat menjahili Axellino. Arandra lari dari jangkauan lelaki itu yang ingin mengambil ponselnya. Tapi dia kemudian langsung menghentikan langkah.

Tatapan mereka bertemu. Alexander terpaku. Dan tiba-tiba saja jantungnya menjadi berdetak cepat.

Alexander sendiri bingung dengan apa yang sedang terjadi pada dirinya. Perasaan seperti ini tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Hanya dengan melihat bola mata coklat cerah itu, setiap aliran darahnya seolah berhenti detik itu juga.

Lalu Alexander mulai menyadari perasaan apa yang dia rasakan saat itu. Alexander menyukainya. Dia menyukai perempuan itu di detik pertama mata mereka bertemu.

Ibunya memang benar ketika dia berkata, bahwa Arandra sangat mudah untuk dicintai. Karena Alexander bisa dengan mudah mencintainya.

"Kau tidak akan meninggalkanku seperti Axel kan?"

Alexander tersadar dari lamunan panjangnya. Arandra sekarang sedang mendongak, menatapnya dengan air mata yang membasahi wajahnya. Sementara kedua tangannya masih melingkar di pinggang Alexander.

"Tidak akan pernah." Alexander menjawab dengan nada tegas sembari mengusap air mata Arandra dengan jemarinya.

Sekarang tidak akan dia biarkan setetes air mata pun jatuh dari mata cantik ini. Sungguh. Alexander sudah benar-benar jatuh cinta pada wanita ini. Dia pikir harus menahan keinginannya untuk memiliki Arandra, di saat dia tahu bahwa Arandra adalah kekasih adiknya. Alexander sangat bersyukur, Tuhan sangat baik dengan menjadikan wanita ini berakhir sebagai miliknya–meski harus dengan mengambil adiknya terlebih dahulu.

Terkadang Alexander merasa menjadi orang yang sangat jahat. Muncul setitik rasa senang di antara rasa sedihnya saat kehilangan adiknya. Karena kepergian Axellino, kesempatan untuk memiliki Arandra menjadi terbuka lebar. Meski Alexander bisa saja merebut Arandra dengan mudah– entah itu dengan memaksa atau apa–karena Alexander selalu mendapatkan apa yang dia inginkan. Tapi dia tidak mungkin melakukannya. Dia tidak bisa merebutnya dari adiknya sendiri.

Karena itu, Alexander tidak ingin memberitahukan ini pada siapapun. Cukup dirinya sendiri yang tahu–alasannya menikahi Arandra.

"Sekarang bersiap-siaplah." Alexander melepaskan pelukannya setelah mengusap sisi kepala Arandra singkat.

"Siap-siap kemana?" Arandra mengernyit.

"Kemana saja yang kau inginkan. Anggap saja sebagai bulan madu kita," jawab Alexander sembari mengedipkan mata.

Dia memang sudah merencanakan liburan ini sebelumnya. Satu minggu lagi, karena masih banyak pekerjaan di kantor yang harus dia selesaikan. Tapi tidak ada salahnya mempercepatnya–untuk menghilangkan rasa sedih Arandra karena orang tuanya.

*****

"Setelah pulang nanti, kalian harus sudah memberikan kabar baik untuk Ibu, oke?"

Arandra tampak bingung. "Kabar baik apa?" tanyanya tidak paham. Wanita itu sudah siap dengan mantel coklat tebal dan syal yang melingkar di lehernya. Sementara Alexander berdiri di sampingnya. Mengenakan mantel dengan warna senada.

"Seorang cucu untuk Ibu dan Ayah." Anggy mengedipkan mata, sebelum tertawa melihat raut wajah menantunya yang tampak tersipu.

Arandra sudah cukup malu ketika Alexander tiba-tiba saja mengajaknya pergi–untuk bulan madu. Sekarang ibu mertuanya malah berkata seperti itu.

"Ayo." Alexander mengulurkan tangan. Arandra melambaikan tangan pada Arthur dan Anggun sebelum meraih uluran tangan Alexander. Membiarkan lelaki itu menggandeng tangannya. Membawanya memasuki mobil.

"Kita mau ke mana?" Arandra membuka suara setelah mobil yang mereka naiki keluar melewati gerbang besar dan kokoh mansion.

"Ada tempat yang ingin kau kunjungi?" Alexander balik bertanya. Meski sudah memikirkan beberapa negara sebagai destinasi liburan untuk mereka, dia ingin mengetahui tempat yang ingin istrinya tuju.

"Eung...." Sembari menatap jalanan kota Barcelona yang tertutup salju melalui jendela mobil, Arandra tampak berpikir. Sebelum kemudian menatap Alexander. "Switzerland?"

"Kenapa ke sana?"

"Dulu aku pernah memiliki keinginan untuk tinggal di Albinen bersama kedua orantuaku." Arandra tersenyum ketika mengatakannya. "Ayah hanya akan bekerja di ladang dari pagi sampai siang. Lalu Ibu di rumah memasak untuk kami. Kemudian di sore hari, kami menghabiskan waktu bersama-sama. Bukankah itu sangat menyenangkan?"

Ekspresi wajah Arandra terlihat begitu senang ketika dia menceritakan impiannya tersebut. Istrinya hanya ingin menjalani kehidupan sederhana di pedesaan kecil bersama kedua orang tuanya.

Alexander tahu seperti apa sibuknya kedua orang tua Arandra. Mereka bekerja, bekerja, dan terus bekerja tanpa memperdulikan sekitarnya. Mengabaikan Arandra yang masih membutuhkan perhatiannya.

Seseorang pernah berkata; satu-satunya perbedaan antara orang kaya dan orang miskin adalah bagaimana mereka menggunakan waktu mereka. Orang kaya sama-sama tahu bahwa waktu mereka adalah salah satu sumber daya yang paling berharga. Mereka menghabiskan waktu mereka untuk bekerja, mencapai tujuan yang diinginkan agar cepat tercapai.

Tidak salah jika Arandra menginginkan kehidupan sederhana. Karena dengan itu, akan lebih banyak waktu yang bisa dia habiskan bersama dengan kedua orang tuanya.

"Apakah kau mau tinggal di sana bersamaku?"

Arandra menatap bola mata Alexander sedikit lebih lama. Bingung dengan jawaban dari pertanyaan yang tiba-tiba itu. Sebelum kemudian dia tertawa lucu.

"Memangnya kau bisa tinggal di pedesaan kecil? Menjadi petani dan hidup sederhana?" Nada Arandra terdengar mengejek. Tanpa berpikir pun, sudah jelas Alexander tidak akan mau. Kenapa dia mau hidup susah di saat dia bisa hidup dengan bergelimang harta?

"Tidak masalah asal itu bersamamu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status