Beranda / Rumah Tangga / Jodohku Calon Kakak Iparku / Banyak Waktu untuk Melakukan

Share

Banyak Waktu untuk Melakukan

Penulis: Isti12
last update Terakhir Diperbarui: 2023-11-06 09:49:33

Berbaring dengan mata terbuka menatap langit-langit kamar, Arandra menyentuh bibir bawahnya dengan jemari lentiknya–dengan pikiran yang tertuju entah kemana.

Mungkin mengingat kembali bagaimana semua cerita ini dimulai.

Ketika Axellino mengutarakan niatnya untuk menikahinya pada kedua orang tuanya, Arandra tidak bisa menggambarkan kegembiraannya saat itu. Dia sangat bahagia. Tapi semua kegembiraan itu lenyap karena satu kejadian tidak terduga. Padahal pernikahan sudah di depan mata. Semua persiapan sudah dilakukan. Cincin sudah dibeli, gaun sudah dipesan, dan undangan hanya tinggal disebar. Tapi semuanya harus dibatalkan karena kecelakaan yang menewaskan Axellino.

Ya, calon pengantin pria meninggal dunia karena kecelakaan mobil. Arandra masih ingat dengan jelas bagaimana rapuhnya dia saat Axellino meninggal.

Lelaki itu adalah satu-satunya orang yang Arandra punya–ketika Ibu dan Ayahnya tidak memiliki banyak waktu untuknya. Tidak sekalipun dia merasa sendirian ketika lelaki itu ada bersamanya.

Kepergiannya membuat Arandra benar-benar terpuruk–sampai kemudian Anggy datang dan membujuknya agar bersedia menikah dengan Alexander. Putra pertama keluarga William–kakak dari Axellino.

"Ibu tahu kau sangat sedih atas kepergian Axel. Karena Ibu juga sedih. Dia anak Ibu." Anggy berkata sambil mengusap kepalanya saat itu. Wajahnya dipenuhi air mata ketika mengatakannya. "Tapi, Nak... kau harus bisa mengikhlaskan Axel. Dia pasti terluka jika melihatmu seperti ini."

Arandra menunduk. Dia menghapus air matanya–meski bulir bening itu terus saja keluar. "Selama ini hanya Axel yang selalu bersamaku. Sekarang aku sendirian."

"Kau memiliki Ibu. Kau memiliki Ayah," balas Anggy dengan cepat. "Kau tidak sendirian, Arandra. Kau masih memiliki kami. Kau adalah anak kami."

Arandra menggeleng. "Axel sudah tidak ada. Bagaimana bisa aku tetap menjadi anak Ibu dan Ayah?" ucapnya lirih.

Arandra merasa memiliki takdir yang sangat buruk. Kepergian Axellino membawa banyak luka untuknya. Wanita itu menunduk dalam–sebelum kepalanya terangkat dengan cepat mendengar jawaban Anggy.

"Menikahlah dengan Alex," ucap Anggy sungguh-sungguh. "Dengan begitu kau akan tetap menjadi anak Ibu. Kau bisa tinggal bersama Ibu."

Awalnya Arandra menolak–karena dari awal, Arandra hanya ingin menikah dengan Axellino. Arandra hanya mencintai Axellino.

Tapi Arandra kemudian berpikir. Hanya keluarga William yang benar-benar memperlakukannya dengan baik. Terutama Arthur dan Anggy. Mereka menyayanginya dengan tulus. Arandra seperti memiliki keluarga lain–di saat keluarganya sendiri lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja.

Alasan itu yang membuat Arandra akhirnya menerima pernikahan ini.

Arandra menghela napas panjang. Merasa lelah. Pada tubuhnya, juga kepalanya yang tidak berhenti berpikir. Dia memejamkan mata. Tubuhnya yang terasa sangat lelah membuat kantuk dengan cepat mengambil alih. Arandra nyaris tertidur ketika pintu kamar terdengar dibuka dari luar.

Arandra tahu itu Alexander. Tapi dia tidak membuka matanya. Tidak bergerak sedikitpun–seolah ingin menunjukkan bahwa dia sudah tertidur.

Entah kenapa Arandra berpura-pura tidur, di saat seharusnya dia bangun. Ini adalah malam pertama mereka. Tapi sepertinya...Arandra belum siap untuk melakukannya.

"Kau tidak berganti pakaian?"

Arandra tidak menanggapi. Kelopak matanya masih dia tutup dengan rapat.

"Aku tidak terbiasa melepas pakaian seorang perempuan dengan lembut. Lebih cepat jika langsung merobeknya. Hanya saja gaun yang kau pakai itu dari Ibu. Aku bisa dimarahi jika merusaknya."

Arandra berusaha untuk tidak mendengar perkataan Alexander. Dia tahu bahwa diam adalah pilihan terbaik.

"Kau mau aku melepaskannya untukmu? Aku akan melakukannya selembut yang aku bisa."

Arandra mendengar suara langkah kaki yang melangkah mondar-mandir.

"Ara..."

Suara lelaki itu terdengar semakin dekat. Sebelum kemudian ranjang bergerak saat beban tubuh yang lain menimpanya. Kedua tangan Arandra yang berada di atas dada mengepal dengan samar. Menunggu dengan mata yang masih terpejam erat.

Namun selama Arandra menunggu, hanya ada keheningan–yang membuatnya malah menjadi was-was. Dia pikir dia tidak akan bisa tidur malam ini di saat alarm tanda bahaya terus menyala di kepalanya. Bagaimana jika Alexander merealisasikan rencana jahatnya sekarang?

Namun tidak lama kemudian, bahkan tidak sampai lima menit, Arandra benar-benar terlelap–di saat dia hanya pura-pura sebelumnya.

Tapi Arandra masih merasakan sebuah tangan menyentuh punggungnya. Menariknya bangun dengan lembut. Lalu tubuhnya terasa dingin untuk sesaat, sebelum kembali hangat. Sesuatu yang nyaman melingkupi tubuhnya. Mungkin Arandra sedang bermimpi sekarang.

*****

"Saya tidak menyangka Nyonya Arandra malah menikah dengan kakaknya Tuan Axel."

Arandra menolehkan kepalanya sekilas pada Rosaline–pelayan yang bersama Arandra sejak kecil–yang tengah menyisir rambutnya. Rosaline hanya berkata, tapi entah kenapa ada efek menyakitkan ketika mendengarnya. Dia seolah kembali diingatkan tentang Axellino.

"Kenapa panggilanmu berubah? Panggil saja seperti biasanya." Arandra tidak memberikan tanggapan pada apa yang seharusnya ditanggapi. Wanita itu malah membahas yang lain. Berkata dengan nada kesal.

"Nyonya Arandra kan sudah menikah. Saya tidak bisa memanggil Nyonya seperti biasanya. Saya takut Tuan Alexander marah."

"Alex memarahi mu?" Lagi, Arandra memberikan tanggapan pada yang bukan seharusnya ditanggapi.

Tapi Rosaline menggeleng dengan cepat. "Apakah Nyonya ingin tahu sesuatu?"

Arandra menatap Rosaline dari kaca meja rias di depannya. Dahinya berkerut.

"Beberapa hari sebelum meninggal, saya sempat berbincang dengan Tuan Axel." Rosaline seperti menerawang ke hari itu. Ketika dia dan Axellino sama-sama menunggui Arandra yang sedang dirawat di rumah sakit. "Tuan Axel berkata kepada saya, jika ada laki-laki lain yang dia percaya untuk menjaga Nyonya Arandra di dunia ini, maka laki-laki itu adalah Tuan Alex."

Arandra tersentak. Dia menoleh cepat pada Rosaline. Benarkah Axel pernah berkata seperti itu?

"Saya memang tidak mengenal dengan baik Tuan Alexander. Tapi saya yakin dia laki-laki yang baik. Buktinya adalah perkataan Tuan Axel sendiri. Tuan Axel sangat mempercayai kakaknya."

Arandra terdiam. Kehilangan kata untuk disampaikan.

"Saya sempat merasa khawatir sebelumnya. Tetapi sekarang saya tahu, Nyonya Arandra akan aman bersama Tuan Alexander. Tuan Alex pasti akan menjaga Nyonya dengan baik. Sama seperti Tuan Axel menjaga Nyonya."

Benarkah? Kenapa mendengar semua ini memunculkan rasa bersalah di hatinya? Dia pura-pura tidur–sebelum akhirnya benar-benar tertidur–untuk menghindar dari apa yang seharusnya dilakukan pasangan pengantin di malam pertama mereka.

Semalam Arandra tidak bermimpi ketika Alexander menggantikan pakaiannya. Karena saat dia bangun pagi ini, gaun pengantin yang melekat di tubuhnya sudah berganti dengan sebuah piyama. Alexander membantunya mengganti pakaiannya–tanpa melakukan apapun. Sementara Arandra tidur dengan nyenyak.

Apakah Arandra salah? Di saat kepalanya sedang berpikir keras, pintu terbuka dari luar. Alexander masuk dengan peluh membanjiri kaos polo yang dikenakannya. Sementara kakinya dibalut celana jogger hitam. Baru selesai dari lari pagi.

Arandra tidak tahu jika pelayan tidak memberitahunya. Lelaki itu sudah tidak ada saat Arandra membuka mata.

Alexander menarik headset dari telinganya. Melemparnya ke ranjang sembari memberikan anggukan kecil pada Rosaline yang pamit undur diri. Sudah selesai menyisir rambut Arandra. "Sudah selesai mandi?" tanyanya yang kemudian menoleh pada Arandra.

Arandra mengangguk kecil.

"Turunlah dulu. Ibu dan Ayah sudah menunggu untuk sarapan. Aku akan mandi sebentar," ucap Alexander. Lalu berjalan ke kamar mandi, sebelum berhenti ketika Arandra memanggil.

Arandra membasahi bibirnya. Ragu untuk berkata. "Semalam seharusnya menjadi malam pertama kita. Tapi aku malah tidur. Maaf...," ucapnya pelan. Takut Alexander marah.

"Tidak masalah. Kita bisa melakukannya kapan saja. Besok, nanti, atau bahkan sekarang. Ada banyak waktu untuk melakukannya."

Arandra mengangkat wajahnya. Jawaban Alexander terdengar santai.

"Benar kan?"

Pipi Arandra tiba-tiba memanas. Wanita itu menyembunyikan wajahnya dengan menunduk. Tapi sebuah anggukan diberikannya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jodohku Calon Kakak Iparku   Sempurna

    "Alexander! Pulang sekarang! Arandra akan melahirkan!"Alexander memacu kakinya secepat mungkin. Berlari menyusuri koridor rumah sakit setelah melewati satu jam perjalanan.Jadi ini saatnya...Setelah melalui sembilan bulan yang panjang–mereka yang masih beberapa kali bertengkar perihal masalah yang sama, Arandra yang beberapa kali kesakitan, dan Alexander yang terus diliputi ketakutan–sekarang akan berakhir. Dan semuanya akan baik-baik saja."Bagaimana Arandra?" tanya Alexander cepat begitu sampai di hadapan Anggy dan Arthur yang duduk di depan ruang persalinan. Napasnya tidak beraturan."Arandra di dalam. Cepat temani dia," kata Arthur pelan sembari menepuk bahu putranya. Sementara Anggy masih duduk dengan kepala tertunduk–berdoa untuk keselamatan menantu dan kedua cucunya.Alexander menarik napas dalam. Dia berjalan memasuki ruangan tempat Arandra akan melahirkan. Degup jantungnya berpacu dengan keras, serta tangannya yang men

  • Jodohku Calon Kakak Iparku   Bicara dan Bukti

    Arandra menunduk dengan kedua tangan tertaut. Punggungnya menempel di kepala ranjang, selimut menutupinya kakinya yang diposisikan lurus. "Maaf, Ibu. Pesta kejutan untuk ayahnya jadi batal karena aku," katanya merasa bersalah.Sejak Arandra bangun, Anggy sudah ada di sini dengan tatapan kesal pada Arandra Dia tidak mengatakan apapun, hanya diam saja. Jadi tidak salah jika Arandra berpikir wanita itu marah padanya."Kau pikir Ibu kesal karena itu?" balas Anggy dengan nada bicara garang.Arandra lantas mengangkat kepalanya, mendongak menatap Anggy yang berdiri di sebelah ranjang dengan kedua tangan terlipat di dada."Kau hamil. Sampai sudah berapa bulan itu? Tapi Ibu tidak tahu sama sekali," sindir Anggy. Arandra membuka bibirnya, baru tahu kenapa Ibunya kesal seperti itu. Dia menarik sudut bibirnya, tersenyum merasa bersalah. "Aku ingin memberitahu Ibu dan Ayah. Tapi belum ada waktu," berinya alasan."Belum ada waktu?" Anggy berd

  • Jodohku Calon Kakak Iparku   Pemikiran Jahat

    Kelopak mata Arandra bergerak-gerak karena terusik oleh kecupan-kecupan yang mendarat di wajahnya. Perlahan dia membuka mata, lalu mendapati Alexander di depannya dengan sebuah senyuman tipisnya."Kau sudah pulang?!" Arandra langsung bangun, menerjang Alexander dan langsung memeluknya sambil tertawa riang. Alexander terkekeh kecil. "Rapatnya tadi lebih lama dari biasanya. Jadi aku pulang telat," beritahunya. "Aku menghubungimu beberapa kali. Tapi kau tidak mengangkatnya."Arandra menyengir. "Aku tidur.""Sepanjang hari?"Arandra mengangguk. "Aku bermain sebentar dengan Zzar tadi. Setelah itu kembali tidur."Alexander mengusap puncak kepala Arandra sambil mengamati wajahnya. "Wajahmu kenapa pucat?" Lelaki itu memperhatikan wajah Arandra dengan teliti, baru menyadarinya.Kening Arandra berkerut. "Memangnya iya?" Dia menyentuh wajahnya sendiri–memeriksa tanpa melihat wajahnya. "Tapi aku baik-baik saja. Mungkin karena terlalu banyak tidur," jawabnya asal. Alexander berdecak, dia akan me

  • Jodohku Calon Kakak Iparku   Tidak Bisa Lagi Marah

    Arandra sedikit mendongakkan kepala untuk menatap wajah Alexander. Lelaki itu berbaring di sebelahnya–menyangga kepalanya dengan satu tangan di saat tangannya yang lain mengusap kepala Arandra."Tidur," kata Alexander dengan raut tenangnya sembari terus mengusap kepala Arandra. Sudah cukup dia marah pada wanita ini. Alexander tidak bisa terus melakukannya. Arandra selalu memiliki cara untuk menghentikan amarahnya.Arandra memperlihatkan deretan giginya yang tersusun dengan rapi–tersenyum cerah. Lalu dia menempelkan wajahnya di dada Alexander, memejamkan matanya."Aku sangat menyayangimu, Ara."Arandra membuka lagi matanya, menatap Alexander. Lalu sebelah tangannya terangkat, menyentuh rahang Alexander."Alex..." Arandra menatap serius Alexander. "Aku berjanji akan melahirkan mereka dengan selamat. Mereka berdua akan baik-baik saja sampai dilahirkan nanti."Alexander mengangguk dengan senyum kecil. "Dan kau juga harus baik-baik saja," ucapnya menambahkan.Arandra tidak memberikan tangg

  • Jodohku Calon Kakak Iparku   Candaan Penyebab Masalah

    "Sebuah teori menyebutkan bahwa Ayah akan lebih cenderung merawat anaknya dengan lembut dan penuh kasih sayang jika anak tersebut mirip dengannya." Kening Arandra berkerut membaca sebuah kalimat dalam buku yang sedang dibacanya. Arandra merebahkan tubuhnya dengan posisi telungkup–mencari posisi yang lebih nyaman untuk membaca. Namun menyadari apa yang dia lakukan, wanita itu langsung beranjak bangun lagi.Arandra mengusap perutnya dengan gumaman permintaan maaf. Kemudian dia melirik Alexander yang berada di sofa dengan posisi setengah berbaring. Matanya terpaku pada ponsel di tangannya. Arandra tersenyum. "Kalian harus mirip dengan Alex ya ketika sudah lahir nanti," gumam Arandra, berbicara pada kedua anaknya. Alexander yang sempurna. Mereka harus mirip dengannya. "Kenapa?" tanya Arandra ketika kemudian Alexander menolehkan kepala ke arahnya. Di saat wanita itu yang sejak tadi memandangi Alexander, dia malah yang bertanya dengan santainya.Alexander mengarahkan kembali matanya pada

  • Jodohku Calon Kakak Iparku   Mencari Jawaban Pasti

    Alexander menampilkan wajah datar di saat matanya menatap tanpa berkedip layar monitor yang memperlihatkan dua janin seukuran buah stroberi. Mereka kembar. Karena itu Arandra menyebut kata 'mereka' dalam kalimatnya sebelumnya.Apakah Alexander merasa senang? Dia tidak tahu. Setelah kehilangan anaknya yang pertama, sekarang Tuhan menggantinya dengan memberikannya dua sekaligus. Tapi apakah harus dengan taruhan nyawa Arandra? Lebih baik tidak perlu. Alexander hanya membutuhkan Arandra. "Apakah jenis kelamin bayinya sudah bisa diketahui?!"Bola mata Alexander melirik Arandra yang berbaring di ranjang–tampak antusias dengan pertanyaan yang diajukannya pada dokter. "Belum ya, Mrs. Alexander. Jenis kelamin bayinya baru bisa diketahui setelah sekitar 16 minggu kehamilan."Lalu tampak Arandra mengerucutkan bibirnya sebagai tanda kecewa atas jawaban yang diberikan dokter perempuan itu. Hanya sebentar ketika kemudian wanita itu mendongak–menatap Alexander yang berdiri di samping kepalanya den

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status