Share

Banyak Waktu untuk Melakukan

Berbaring dengan mata terbuka menatap langit-langit kamar, Arandra menyentuh bibir bawahnya dengan jemari lentiknya–dengan pikiran yang tertuju entah kemana.

Mungkin mengingat kembali bagaimana semua cerita ini dimulai.

Ketika Axellino mengutarakan niatnya untuk menikahinya pada kedua orang tuanya, Arandra tidak bisa menggambarkan kegembiraannya saat itu. Dia sangat bahagia. Tapi semua kegembiraan itu lenyap karena satu kejadian tidak terduga. Padahal pernikahan sudah di depan mata. Semua persiapan sudah dilakukan. Cincin sudah dibeli, gaun sudah dipesan, dan undangan hanya tinggal disebar. Tapi semuanya harus dibatalkan karena kecelakaan yang menewaskan Axellino.

Ya, calon pengantin pria meninggal dunia karena kecelakaan mobil. Arandra masih ingat dengan jelas bagaimana rapuhnya dia saat Axellino meninggal.

Lelaki itu adalah satu-satunya orang yang Arandra punya–ketika Ibu dan Ayahnya tidak memiliki banyak waktu untuknya. Tidak sekalipun dia merasa sendirian ketika lelaki itu ada bersamanya.

Kepergiannya membuat Arandra benar-benar terpuruk–sampai kemudian Anggy datang dan membujuknya agar bersedia menikah dengan Alexander. Putra pertama keluarga William–kakak dari Axellino.

"Ibu tahu kau sangat sedih atas kepergian Axel. Karena Ibu juga sedih. Dia anak Ibu." Anggy berkata sambil mengusap kepalanya saat itu. Wajahnya dipenuhi air mata ketika mengatakannya. "Tapi, Nak... kau harus bisa mengikhlaskan Axel. Dia pasti terluka jika melihatmu seperti ini."

Arandra menunduk. Dia menghapus air matanya–meski bulir bening itu terus saja keluar. "Selama ini hanya Axel yang selalu bersamaku. Sekarang aku sendirian."

"Kau memiliki Ibu. Kau memiliki Ayah," balas Anggy dengan cepat. "Kau tidak sendirian, Arandra. Kau masih memiliki kami. Kau adalah anak kami."

Arandra menggeleng. "Axel sudah tidak ada. Bagaimana bisa aku tetap menjadi anak Ibu dan Ayah?" ucapnya lirih.

Arandra merasa memiliki takdir yang sangat buruk. Kepergian Axellino membawa banyak luka untuknya. Wanita itu menunduk dalam–sebelum kepalanya terangkat dengan cepat mendengar jawaban Anggy.

"Menikahlah dengan Alex," ucap Anggy sungguh-sungguh. "Dengan begitu kau akan tetap menjadi anak Ibu. Kau bisa tinggal bersama Ibu."

Awalnya Arandra menolak–karena dari awal, Arandra hanya ingin menikah dengan Axellino. Arandra hanya mencintai Axellino.

Tapi Arandra kemudian berpikir. Hanya keluarga William yang benar-benar memperlakukannya dengan baik. Terutama Arthur dan Anggy. Mereka menyayanginya dengan tulus. Arandra seperti memiliki keluarga lain–di saat keluarganya sendiri lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja.

Alasan itu yang membuat Arandra akhirnya menerima pernikahan ini.

Arandra menghela napas panjang. Merasa lelah. Pada tubuhnya, juga kepalanya yang tidak berhenti berpikir. Dia memejamkan mata. Tubuhnya yang terasa sangat lelah membuat kantuk dengan cepat mengambil alih. Arandra nyaris tertidur ketika pintu kamar terdengar dibuka dari luar.

Arandra tahu itu Alexander. Tapi dia tidak membuka matanya. Tidak bergerak sedikitpun–seolah ingin menunjukkan bahwa dia sudah tertidur.

Entah kenapa Arandra berpura-pura tidur, di saat seharusnya dia bangun. Ini adalah malam pertama mereka. Tapi sepertinya...Arandra belum siap untuk melakukannya.

"Kau tidak berganti pakaian?"

Arandra tidak menanggapi. Kelopak matanya masih dia tutup dengan rapat.

"Aku tidak terbiasa melepas pakaian seorang perempuan dengan lembut. Lebih cepat jika langsung merobeknya. Hanya saja gaun yang kau pakai itu dari Ibu. Aku bisa dimarahi jika merusaknya."

Arandra berusaha untuk tidak mendengar perkataan Alexander. Dia tahu bahwa diam adalah pilihan terbaik.

"Kau mau aku melepaskannya untukmu? Aku akan melakukannya selembut yang aku bisa."

Arandra mendengar suara langkah kaki yang melangkah mondar-mandir.

"Ara..."

Suara lelaki itu terdengar semakin dekat. Sebelum kemudian ranjang bergerak saat beban tubuh yang lain menimpanya. Kedua tangan Arandra yang berada di atas dada mengepal dengan samar. Menunggu dengan mata yang masih terpejam erat.

Namun selama Arandra menunggu, hanya ada keheningan–yang membuatnya malah menjadi was-was. Dia pikir dia tidak akan bisa tidur malam ini di saat alarm tanda bahaya terus menyala di kepalanya. Bagaimana jika Alexander merealisasikan rencana jahatnya sekarang?

Namun tidak lama kemudian, bahkan tidak sampai lima menit, Arandra benar-benar terlelap–di saat dia hanya pura-pura sebelumnya.

Tapi Arandra masih merasakan sebuah tangan menyentuh punggungnya. Menariknya bangun dengan lembut. Lalu tubuhnya terasa dingin untuk sesaat, sebelum kembali hangat. Sesuatu yang nyaman melingkupi tubuhnya. Mungkin Arandra sedang bermimpi sekarang.

*****

"Saya tidak menyangka Nyonya Arandra malah menikah dengan kakaknya Tuan Axel."

Arandra menolehkan kepalanya sekilas pada Rosaline–pelayan yang bersama Arandra sejak kecil–yang tengah menyisir rambutnya. Rosaline hanya berkata, tapi entah kenapa ada efek menyakitkan ketika mendengarnya. Dia seolah kembali diingatkan tentang Axellino.

"Kenapa panggilanmu berubah? Panggil saja seperti biasanya." Arandra tidak memberikan tanggapan pada apa yang seharusnya ditanggapi. Wanita itu malah membahas yang lain. Berkata dengan nada kesal.

"Nyonya Arandra kan sudah menikah. Saya tidak bisa memanggil Nyonya seperti biasanya. Saya takut Tuan Alexander marah."

"Alex memarahi mu?" Lagi, Arandra memberikan tanggapan pada yang bukan seharusnya ditanggapi.

Tapi Rosaline menggeleng dengan cepat. "Apakah Nyonya ingin tahu sesuatu?"

Arandra menatap Rosaline dari kaca meja rias di depannya. Dahinya berkerut.

"Beberapa hari sebelum meninggal, saya sempat berbincang dengan Tuan Axel." Rosaline seperti menerawang ke hari itu. Ketika dia dan Axellino sama-sama menunggui Arandra yang sedang dirawat di rumah sakit. "Tuan Axel berkata kepada saya, jika ada laki-laki lain yang dia percaya untuk menjaga Nyonya Arandra di dunia ini, maka laki-laki itu adalah Tuan Alex."

Arandra tersentak. Dia menoleh cepat pada Rosaline. Benarkah Axel pernah berkata seperti itu?

"Saya memang tidak mengenal dengan baik Tuan Alexander. Tapi saya yakin dia laki-laki yang baik. Buktinya adalah perkataan Tuan Axel sendiri. Tuan Axel sangat mempercayai kakaknya."

Arandra terdiam. Kehilangan kata untuk disampaikan.

"Saya sempat merasa khawatir sebelumnya. Tetapi sekarang saya tahu, Nyonya Arandra akan aman bersama Tuan Alexander. Tuan Alex pasti akan menjaga Nyonya dengan baik. Sama seperti Tuan Axel menjaga Nyonya."

Benarkah? Kenapa mendengar semua ini memunculkan rasa bersalah di hatinya? Dia pura-pura tidur–sebelum akhirnya benar-benar tertidur–untuk menghindar dari apa yang seharusnya dilakukan pasangan pengantin di malam pertama mereka.

Semalam Arandra tidak bermimpi ketika Alexander menggantikan pakaiannya. Karena saat dia bangun pagi ini, gaun pengantin yang melekat di tubuhnya sudah berganti dengan sebuah piyama. Alexander membantunya mengganti pakaiannya–tanpa melakukan apapun. Sementara Arandra tidur dengan nyenyak.

Apakah Arandra salah? Di saat kepalanya sedang berpikir keras, pintu terbuka dari luar. Alexander masuk dengan peluh membanjiri kaos polo yang dikenakannya. Sementara kakinya dibalut celana jogger hitam. Baru selesai dari lari pagi.

Arandra tidak tahu jika pelayan tidak memberitahunya. Lelaki itu sudah tidak ada saat Arandra membuka mata.

Alexander menarik headset dari telinganya. Melemparnya ke ranjang sembari memberikan anggukan kecil pada Rosaline yang pamit undur diri. Sudah selesai menyisir rambut Arandra. "Sudah selesai mandi?" tanyanya yang kemudian menoleh pada Arandra.

Arandra mengangguk kecil.

"Turunlah dulu. Ibu dan Ayah sudah menunggu untuk sarapan. Aku akan mandi sebentar," ucap Alexander. Lalu berjalan ke kamar mandi, sebelum berhenti ketika Arandra memanggil.

Arandra membasahi bibirnya. Ragu untuk berkata. "Semalam seharusnya menjadi malam pertama kita. Tapi aku malah tidur. Maaf...," ucapnya pelan. Takut Alexander marah.

"Tidak masalah. Kita bisa melakukannya kapan saja. Besok, nanti, atau bahkan sekarang. Ada banyak waktu untuk melakukannya."

Arandra mengangkat wajahnya. Jawaban Alexander terdengar santai.

"Benar kan?"

Pipi Arandra tiba-tiba memanas. Wanita itu menyembunyikan wajahnya dengan menunduk. Tapi sebuah anggukan diberikannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status