Share

Albinen dan Malam Pertama

"Apa kau senang?" tanya Alexander pada istrinya.

Pada akhirnya mereka berdua sampai di Albinen di jam sepuluh pagi dengan jet pribadinya. Dan Arandra tidak membuang waktu untuk langsung menjelajahi desa dengan pemandangan pegunungan yang indah itu.


Pemandangan desa Albinen yang tertutup oleh salju merupakan hal yang sangat indah untuk dinikmati. Arandra tidak berhenti berdecak kagum di setiap kakinya melangkah. Damai dan tenang. Terasa sangat menyenangkan ketika dia bisa menghirup udara pegunungan yang segar sambil memanjakan matanya dengan pemandangan pegunungan Alpen yang spektakuler.

Arandra menoleh pada Alexander yang tengah menoleh padanya juga, lalu mereka berdua sama-sama tersenyum.

"Tentu saja!" jawab Arandra sembari mengangguk antusias. Dia mengayun-ayunkan tangannya yang terus digenggam Alexander sepanjang jalan.

Sejak mereka memutuskan untuk menjalani pernikahan mereka seperti pernikahan pada umumnya, Alexander benar-benar berubah. Tatapan tajam dan menakutkan di matanya, sudah tidak ada lagi setiap mata mereka bertatapan. Alexander menjadi lebih hangat. Kata-kata yang keluar dari mulutnya juga terasa menyentuh. Arandra sampai bingung harus menanggapinya seperti apa.

Mungkin Alexander hanya berusaha menepati kalimat yang dia katakan sendiri. Jadi, Arandra juga akan melakukannya.

"Axel pernah berjanji padaku, bahwa dia akan membawaku kemari setelah kami menikah. Tapi aku malah datang kesini bersamamu," ucap Arandra dengan kekehan kecil–yang mungkin tidak sadar dengan apa yang dia katakan. Wanita itu terbawa suasana pada pemandangan yang dia lihat.

Dan Alexander, dia menghentikan langkah. Membuat Arandra juga otomatis menghentikan langkah. "Ada apa?" tanyanya dengan mata mengedip bingung.

Alexander tidak merespon. Gantinya dia hanya mengeratkan genggaman tangannya pada Arandra sebelum kembali berjalan.

Arandra sempat menaikkan alis. Tapi kemudian mengedikkan bahu, mengikuti langkah Alexander.

Seharian itu mereka menjelajahi Albinen. Menghabiskan waktu untuk mengeksplorasi jalur Egguweg–menemukan rute yang disediakan oleh pengelola mengenai beragam cara menggunakan tanaman herbal, menemukan spot menarik yang merupakan lokasi kupu-kupu berwarna-warni, kadal serta binatang lainnya, mencaritahu tentang informasi mengenai kawasan unik dari pondok kayu tua, juga mempelajari bagaimana dinding batu dibangun dan dibentuk. Mereka juga menjelajahi Ngarai Dala–jembatan mata air panas di Leukerbad. Selain itu tidak lupa melakukan wisata kuliner di sepanjang jalan.

Lalu di akhir hari, Alexander dan Arandra berhenti di tempat terdekat di mana mereka bisa melihat pegunungan Alpen.

"Alex, berdirilah di sana. Aku akan memotretmu," pinta Arandra semangat. Wanita itu mengangkat kamera ponselnya. Meminta Alexander untuk berdiri di tempat yang ditunjuknya–di mana pegunungan Alpen menjadi latar belakangnya.

Sayangnya Alexander menolak. Lelaki itu menggeleng. "Tidak mau. Biar aku saja yang memotretmu."

"Kenapa tidak mau? Axel tidak pernah menolak jika aku ingin memotretnya."

Alexander terdiam. Lagi-lagi Arandra membawa-bawa nama Axellino. Apa wanita ini tidak sadar apa yang dirinya rasakan sebenarnya ketika dia terus menyebut nama adiknya di depannya?

*****

Hari sudah beranjak malam ketika mereka kembali ke rumah–yang sebelumnya sudah Alexander beli untuk tempat menginap mereka selama beberapa hari di Albinen.

Alexander melepas seal belt yang membelit tubuh Arandra, sebelum menyelipkan tangannya di punggung dan lipatan lutut istrinya–mengangkatnya dan menggendongnya dengan pelan. Takut membangunkannya.

Arandra sudah tertidur sejak dalam perjalanan. Alexander membawanya masuk ke dalam rumah. Membaringkannya di ranjang dengan hati-hati.

Alexander tidak langsung beranjak. Dia duduk di tepi ranjang–di samping kepala Arandra–dan menatap wajahnya lama.

Memiliki wanita ini adalah suatu keberuntungan bagi Alexander. Tapi sepertinya...dia tidak akan bisa benar-benar memilikinya ketika Arandra masih tidak bisa melupakan Axellino.

Alexander tahu seharusnya dia tidak merasa cemburu. Axellino adiknya sendiri, dan demi Tuhan, dia sudah tiada. Alexander benar-benar terlihat jahat jika seperti ini.

Tapi perasaan tidak senang itu muncul begitu saja setiap Arandra menyebut nama Axellino. Semua karena Alexander terlalu mencintainya. Wanita ini adalah segalanya baginya meski dia tidak pernah mengungkapkannya pada Arandra– karena itu lebih baik. Lebih baik Arandra tidak pernah mengetahui isi hatinya.

Alexander mengulurkan tangan untuk membelai wajah Arandra. Tapi dia kemudian terkejut ketika tiba-tiba saja tangan Arandra bergerak menyentuh tangannya.

Alexander pikir istrinya akan bangun. Ternyata tidak. Arandra hanya menempelkan tangan Alexander lebih rapat ke wajahnya sebelum tidur kembali. Tapi tidak lama Alexander melihatnya meringis sebelum mengeluarkan igauan tidak jelas.

"Axel, aku mencintaimu...."

Alexander membeku. Bahkan dalam tidurnya, masih nama Axellino yang istrinya ucapkan.

"Axel, jangan pergi...."

Bulir bening keluar dari mata Arandra yang terpejam. Rahang Alexander menegang. Lelaki itu memejamkan mata, berusaha menetralkan emosinya.

"Jangan menangis. Aku disini," bisik Alexander pelan.

Tapi kata-katanya ternyata tidak berhasil membuat Arandra tenang. Wanita itu membuka matanya perlahan. Mengerjap beberapa kali sebelum bola matanya mengarah ke sekitar. Lalu berhenti pada Alexander.

"Kita sudah ada di rumah?" Arandra memastikan dengan nada pelan.

Alexander mengangguk. Dia mengusap kepala Arandra. "Tidurlah."

Arandra diam untuk waktu cukup lama, sebelum dia menggeleng. "Aku...sudah tidak mengantuk," katanya sembari bergerak bangun. Alexander membantunya. Lalu wanita itu menatap jam di dinding. Masih pukul tujuh malam.

"Aku akan berganti pakaian," ucap Arandra pelan, sebelum turun dari ranjang. Masuk ke dalam kamar mandi.

Alexander menatap punggungnya, menghela napas. Lelaki itu menaikkan kakinya ke ranjang. Bersandar di kepala ranjang sebelum mengambil iPad di atas nakas. Berniat menyibukkan diri dengan pekerjaan–di saat tidak ada hal lain yang bisa dia lakukan di tempat ini.

Ceklek!

Mendengar suara pintu terbuka, Alexander tetap pada posisinya. Matanya terus fokus pada layar iPad yang menampilkan banyak angka.

"Alex...."

Karena namanya dipanggil, Alexander mendongak ke arah sumber suara. Pada istrinya–yang membuatnya langsung membeku. Apa yang dia lihat ini?!

"Ara?"panggil Alexander terkejut.

Tapi Arandra tidak menyahut. Di bawah tatapan Alexander yang intens padanya, wanita itu berjalan ke arah ranjang dengan langkah pelan–yang memberinya lebih banyak waktu untuk merasa malu. Wajahnya yang bersemu merah dia coba sembunyikan dengan terus menunduk.

"Apa yang kau lihat?" tanya Arandra ketika dia bergerak naik ke sisi ranjang yang masih kosong. Dia mencondongkan sedikit tubuhnya ke arah Alexander–mengintip layar iPad di pangkuan lelaki itu. Terlihat penasaran–tapi sebenarnya sedang salah tingkah dengan tatapan menusuk Alexander.

"Apa yang kau lakukan, Ara?" Nada suara Alexander terdengar rendah. Sungguh! Dia lelaki normal! Bahkan hingga sekarang dia belum melupakan setiap bagian tubuh Arandra ketika dia membantu menggantikan pakaiannya saat itu.

Lalu apa dia akan tetap bisa tenang di saat melihat Arandra keluar dari kamar mandi dengan sebuah lingerie yang tidak bisa dengan benar menutupi tubuhnya ? Dari mana istrinya mendapat baju kekurangan bahan seperti itu?

"Aku akan berganti pakaian jika kau tidak suka," cicit Arandra. Dia hanya ingin menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri–dan ini cara pertama yang dia lakukan untuk memulainya.

Anggy yang memberikan pakaian ini saat dia membantunya mengemas koper. Butuh waktu berpikir sangat lama untuk Arandra menimbang-nimbang–sebelum kemudian memakainya. Karena ibu mertuanya berkata, Alexander akan menyukainya.

Arandra bahkan menekan rasa malunya dengan mengenakan pakaian memalukan ini di depan Alexander. Tapi sepertinya Alexander tidak menyukainya.

Arandra menggeser tubuhnya. Berniat turun dari ranjang ketika Alexander dengan cepat meraih pundaknya. Mendorongnya hingga berbaring terlentang di bawahnya.

Alexander baru saja menggumamkan ini sebelumnya; bahwa dia tidak akan 'menyentuh' Aranda–di saat hati wanita itu masih belum bisa menjadi miliknya. Alexander tidak ingin memaksa.

Tapi sepertinya sekarang...dia akan melanggar apa yang sudah dikatakannya sendiri.

"Aku sudah menahan diri selama ini. Tapi sekarang tidak lagi," gumam Alexander, sebelum kemudian mendekatkan wajah, mengikis jarak di antara mereka–dengan mata birunya yang berkilat penuh hasrat.

Lalu, Alexander menempelkan bibir mereka. Memberikan ciuman lembut dan manis di bibir Arandra. Kemudian berhenti ketika Arandra mulai kehabisan napas.

"Ara."

Tubuh Arandra lemas. Dadanya naik turun dengan cepat, sementara tatapannya terkunci pada Alexander.

"Aku akan memberikanmu kesempatan untuk berpikir. Jika kau berubah pikiran, aku akan berhenti disini."

Deru napas lelaki itu menerpa wajah Arandra ketika mengatakannya. Dia tidak sadar bahwa untuk sesaat tatapannya kosong–seolah tengah memikirkan dengan baik ucapan Alexander.

Arandra yang memulai ini–dan dia sudah memutuskan tidak akan berhenti. Tidak peduli Arandra mencintainya atau tidak, itu sudah menjadi tugasnya sebagai seorang istri.

Arandra terdiam sesaat. Dia membasahi bibirnya yang mendadak terasa kering hanya untuk mengatakannya–di saat dia memergoki tatapan Alexander mengikuti lidahnya. Arandra meneguk ludah. "Tidak perlu berhenti," gumamnya nyaris tidak terdengar.

Kalimat itu memberikan arti bahwa–Arandra telah memberikan izin untuk menyentuhnya. Karena itu, tidak menunggu detik selanjutnya untuk Alexander mencium bibir Arandra lagi.

Arandra memejamkan mata dan mempercayai Alexander sepenuhnya. Dia mengalungkan lengannya di leher Alexander di saat lelaki itu membelai bibir bawah Arandra–menggodanya untuk terbuka.

Lidah Alexander lalu mulai mendesak. Napasnya makin cepat, dan entah sejak kapan Arandra membuka mulutnya–memberi akses untuk Alexander. Membiarkan lidahnya menjelajahi tiap inchi mulutnya. Di saat yang sama jemari Alexander bergerak merobek pakaian tipisnya dalam sekali hentak.

Arandra memejamkan mata dengan erat. Membuang muka, malu. Sementara tangan Alexander mengusap punggung Arandra–merapatkan tubuh mereka sehingga tidak ada lagi jarak yang tersisa.

Bola mata Alexander sudah tertutup kabur gairah. Bibir panas lelaki itu beralih turun membelai rahang dan sampai di leher. Lelaki itu menciumnya tepat di sana, menggigiti kulitnya sampai Arandra merintih, lalu mengecup bagian yang dia gigit itu seolah untuk mengucapkan maaf.

Alexander tidak melewatkan satupun bagian tubuh Arandra. Napas Arandra menjadi memburu. Kedua tangan wanita itu mencengkeram dengan erat punggung Alexander.

"Kau yang memulai ini, dan biarkan aku yang mengakhirinya, Ara. Aku berjanji, aku tak akan pernah menyakitimu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status