Share

Tidak Aman untuk Jantung

Seluruh tubuhnya terasa sakit!

Arandra tidak pernah merasa seburuk ini bangun di pagi hari. Tubuhnya terasa remuk, pening di kepala, dan mata yang sulit terbuka karena kantuk– membuatnya sampai enggan hanya untuk sekedar membuka mata.

"Morning, sweetheart."

Sebuah suara yang berat dan maskulin terdengar bersamaan dengan usapan lembut yang terasa di puncak kepalanya. Membuat Arandra tidak bisa menahan diri untuk tidak membuka mata.

Arandra memaksa kelopak matanya yang terasa berat agar terbuka. Kepalanya menoleh ke samping dengan gerakan lambat. Melihat Alexander sudah duduk di tepi ranjang didekatnya. Menatapnya dengan senyum hangat yang tampak di mata.

"Aku membawakan mu sarapan. Ayo bangun dulu dan makan. Nanti kau bisa sakit jika melewatkan sarapan."

Arandra melirik sebuah mangkuk di atas nakas yang diletakkan Alexander sebelumnya. Wanita itu kemudian bergerak sedikit untuk mengubah posisi berbaringnya, tapi rasa sakit menyengat langsung terasa di beberapa bagian tubuhnya. Arandra meringis.

"Apa seburuk itu?"

Mendengar pertanyaan Alexander, Arandra mengabaikan rasa tidak nyaman di tubuhnya sejenak untuk memberikan tatapan kesal pada lelaki itu. Kenapa dia masih bisa bertanya seperti itu?

Tentu saja sangat buruk. Seluruh tubuhnya terasa sakit–tapi rasa malu mungkin lebih mendominasi. Ketika dia melihat pantulan dirinya di cermin dekat ranjang, jejak merah ada di mana-mana. Leher, pundak, dada, membuat Arandra langsung menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut–enggan melihat lebih. Alexander memang sangat jahat padanya.

Memberikan lelaki itu kendali untuk mengakhiri 'permainan' yang dia mulai adalah sebuah kesalahan.

Alexander menyentuhnya tiada henti. Melakukannya berulang kali seolah tidak ada hari esok. Alexander terus berjanji bahwa dia akan berhenti, tapi nyatanya dia tidak berhenti sama sekali. Mungkin hanya sampai ketika Arandra jatuh tertidur, atau pingsan, lelaki itu baru menghentikan apa yang dia lakukan.

Arandra jadi bertanya-tanya, apa Alexander menikahinya hanya untuk ini?

"Maafkan aku."

Arandra keluar dari pikirannya untuk kembali menatap Alexander. Sekarang tatapan menyesal yang tampak di matanya.

Alexander bersungguh-sungguh dengan ini. Dia tahu bahwa semalam dia telah lepas kendali. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Arandra telah benar-benar menghilangkan kewarasannya.

Wanita ini membuat benak Alexander dipenuhi kebahagiaan, karena dia sepenuhnya telah menjadi miliknya. Apalagi mengetahui semalam jika dirinya adalah yang pertama bagi Arandra.

Alexander sempat merasa lesu– terus berpikir tentang apa saja yang sudah dilakukan Axellino pada Arandra. Tapi mengetahui ini dia menjadi lega. Alexander seharusnya memang tidak perlu merasa khawatir, karena adiknya itu memiliki jiwa pelindung yang kuat.

"Kau menyiksaku. Tubuhku terasa sakit semua," gumam Arandra dengan tatapan ke arah lain. Bibirnya yang mengerucut membuat Alexander menarik sudut bibirnya. Dia malah tertawa di saat seharusnya merasa kasihan.

"Maafkan aku, hm? Aku berjanji tidak akan melakukannya lagi."

Kali ini Arandra menatapnya. "Sungguh?"

Alexander mengangguk, tapi setelah itu dia berkata, "Tapi jika aku memang bisa menahannya," ucapnya dengan seringaian di bibirnya. "Karena sepertinya tidak akan bisa, Ara. Sekarang saja aku sudah menginginkanmu lagi."

Lalu sebuah pukulan keras di lengan Alexander diberikan oleh satu tangan Arandra yang dikeluarkan dari selimut, bersama dengan teriakan yang memekakkan telinga. Dan Alexander malah tertawa semakin kencang.

*****

Arandra berdiri di balkon kamar sendirian. Dengan telapak tangan yang terulur ke depan, wanita itu menyentuh butiran salju yang turun dari langit.

Sekalipun hawa dingin terasa menusuk di kulitnya, tapi Arandra tidak berniat beranjak dari sana. Salju. Arandra sangat menyukainya. Dia bisa betah berdiam diri hanya untuk memandangi butiran putih itu. Meski setelahnya, wanita itu mungkin akan sakit.

Di sini juga lebih baik, daripada harus berada di dalam–bersama Alexander yang 'aneh'.

"Ck! Apa yang kau lakukan disini? Tubuhmu bisa membeku."

Tiba-tiba suara geraman terdengar dari belakangnya. Arandra belum sempat menoleh ketika sebuah selimut tebal melingkupi tubuhnya. Disusul dengan dua tangan kokoh yang memeluknya dari belakang.

Arandra sempat menegang untuk beberapa saat sebelum tubuhnya kembali rileks.

"Apa yang kau lakukan disini, hm?" ulang Alexander dengan gumaman. Kepalanya dia letakkan di pundak Arandra, sementara tangannya memeluknya semakin erat.

Arandra menggeliat kecil merasakan napas hangat Alexander yang menerpa lehernya.

"Alex..., disini dingin," kata Arandra, yang Alexander berikan respon berupa kekehan kecil.

"Aku tahu disini dingin," balas Alexander sembari bergerak memutar tubuh Arandra untuk menghadapnya. Arandra mendongak. "Mau menghangatkan diri bersama?" tawarnya.

Arandra mengerjap beberapa kali, sebelum menyadari tatapan Alexander yang membuatnya bergidik.

"Mau?"

"Tidak mau!" seru Arandra. Berusaha melepaskan diri–tapi bahkan tidak bisa sedikitpun bergerak, karena Alexander tidak membiarkannya lepas dari kungkungan kedua lengannya.

"Aku hanya ingin mengajakmu duduk didekat perapian agar tubuhmu hangat. Ada apa dengan respon mu itu?" tanya Alexander dengan senyum tertahan di bibirnya. "Memangnya apa yang kau pikirkan dengan menghangatkan diri? Kau tidak berpikir menghangatkan diri sama dengan kita melakukan–"

"Aaa! Jangan berbicara!" Arandra langsung menutup bibir Alexander dengan telapak tangannya sebelum lelaki itu menyelesaikan kalimatnya. Kakinya dihentakkan, wajahnya memerah–antara kesal dan malu.

Bagaimana Arandra bisa berpikiran positif jika melihat tatapan jahil dan mesum dari sorot mata Alexander? Lelaki itu seperti melihatnya sebagai mangsa yang siap diterkam.

Arandra tidak tahu apa yang terjadi pada lelaki itu. Tidak salah bukan jika dia menganggapnya menjadi aneh? Karena Alexander benar-benar berbeda seratus delapan puluh derajat dari saat pertama kali mereka bertemu. Tidak ada lagi Alexander yang dingin dan selalu terlihat cuek di depannya. Dia berubah menjadi laki-laki mesum.

"Aku hanya bercanda, Ara. Kau terlalu berlebihan." Alexander menggeleng dengan tawa yang mengudara. Menggoda istrinya seperti ini ternyata bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan untuknya.

Arandra mengerucutkan bibir kesal. Dia membuang wajah ke samping. Tidak lagi berusaha melepaskan diri, karena Alexander masih menahan tubuhnya di antara kedua lengannya.

"Kemari." Alexander meraih tangan Arandra. Membawanya masuk, duduk di sofa yang ada di depan perapian yang telah menyala.

Alexander duduk di sebelahnya. Menggesek-gesekan kedua telapak tangannya, sebelum mengurung tangan mungil Arandra dengan telapak tangannya yang besar itu. "Merasa hangat?"

Arandra mengangguk setelah beberapa detik tidak memberikan respon. Raut kesal di wajahnya perlahan menghilang, menguap entah kemana digantikan dengan raut bingung.

Bingung dengan sikap Alexander. Lelaki dingin itu bisa berubah menjadi hangat dengan cepat. Lalu tiba-tiba menjadi mesum. Terkadang sangat serius, dan bisa sangat perhatian seperti sekarang.

Arandra sepertinya harus menghindar dari lelaki ini. Karena dari beberapa sikap Alexander padanya–tidak aman untuk kesehatan jantungnya.

Seperti sekarang. Tanpa sebab yang jelas, jantungnya tiba-tiba berdecak cepat dengan sendirinya. Sangat aneh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status