Share

Jodohku Dokter Galak
Jodohku Dokter Galak
Penulis: Ry-santi

Bab 1

Dengan kecepatan tinggi, motor matic bercat hitam meliuk-liuk melewati kendaraan lain dengan lincah bak pembalap internasional. Sesekali dia melirik dengan was-was jarum jam yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam kurang lima belas menit. Beberapa kali bibir yang tak sempat dipulas lip cream itu mengumpat dan berteriak hingga pengendara yang mendengar menoleh terkejut.

Dia membelokkan motor ke arah pintu masuk area rumah sakit besar nan megah yang berseberangan dengan bangunan mal yang berada di daerah Wonokromo, Surabaya. Sesampai di parkiran, dia berlari ke arah pintu belakang UGD yang bisa terhubung langsung dengan lorong yang mengarah ke rawat inap. Orang-orang di sekelilingnya melihat dengan tatapan aneh seraya menunjuk gadis yang mengenakan seragam merah maroon.

"Mbak, helmnya!" tunjuk salah satu lelaki sambil tertawa.

Ah, helm sialan! rutuk gadis itu dalam hati tak menyadari masih mengenakan helm.

Dia melepas pelindung kepala yang cukup besar daripada kepalanya dan lebih cocok digunakan oleh pengendara laki-laki dibandingkan dengan dirinya yang cungkring akibat menjalani masa kuliah yang penuh derita. Matanya membelalak mendapati sosok tinggi yang mengenakan seragam sama sedang membawa beberapa kertas. Ditarik lelaki berambut sedikit jabrik yang juga satu kelompok shift untuk masuk ke dalam ruangan gelap berisi brankar-brankar kosong.

"Awakmu nang endi ae, Tin? Digoleki Bu Fero!"

(Kamu ke mana saja, Tin? Dicari Bu Fero!)

"Keturon aku... ngantuk mari garap makalah... wong e ngamuk enggak?"

(ketiduran aku, ngantuk habis kerjakan makalah... orangnya marah enggak?)

Lelaki dengan kacamata minus itu mengangguk lalu keluar dan celingukan. "Ayo keluar, aku tadi bilang kalau-"

"Dek mahasiswa!" seru seorang wanita paruh baya yang berdiri tak jauh dari dua siswa magang yang bersembunyi di ruang brankar. Raut wajah menyeramkan dengan tangan terlipat di dada membuat mereka berdua bagai tikus yang kepergok mencuri ikan.

Lelaki berkacamata menarik temannya yang berpenampilan berantakan seraya menunduk dan berbisik agar segara meminta maaf kepada penyihir-sebutan dari mahasiswa yang telah merasakan penderitaan di instalasi gawat darurat. Apalagi ini malam pertama mereka untuk jaga malam, bukannya memberi kesan baik justru mendatangkan petaka. Dulu, mereka berdua pernah mendengar isu dari kelompok lain yang sudah praktik di sini, hasilnya pun tidak beda jauh dari nilai B- dan angka tujuh puluh yang merupakan standar kelulusan, namun pihak dosen pembimbing diberi ceramah panjang lebar seraya menyebutkan nama mahasiswa yang tidak pernah disiplin dalam menjalani praktik yang justru mencuri-curi kesempatan untuk tidur di saat perawat dan dokter lain begadang melakukan berbagai macam tindakan.

"Dari mana kamu kok baru muncul?" tanya Fero dengan tatapan tajam menghunus dada mahasiswa yang kini memilin ujung baju seragamnya. "Valentina Rossi..." dia membaca papan nama yang dikenakan oleh si mahasiswa magang. "Saya bisa melaporkan-"

"Maaf, Bu!" jawab Valentina sambil memohon ampun kepada sang penyihir yang bisa saja menyulap nilainya menjadi C bahkan D. Huruf ketiga alfabet itu merupakan huruf terseram yang bisa menurunkan IPK-nya, apalagi selama masa magang seperti ini banyak anak-anak yang berlomba-lomba mencari muka untuk meningkatkan nilai IPK mereka. "Saya ... saya tadi... ban saya bocor. Saya tidak sempat mengabari Okin karena tidak punya pulsa dan kuota. Ma-maaf, Bu ..."

Wanita yang mengenakan pensil alis cukup tebal hingga mirip karakter sinchan itu hanya bisa menatap iris mata Valentina, mencoba mencari letak kebohongan yang disembunyikan oleh mahasiswa tingkat akhir. Tidak satu kali dua kali dia menerima alasan klise dan akhirnya akan diulangi lagi dan lagi. Padahal sebagai perawat yang dituntut disiplin, proses magang seperti inilah ketepatan waktu mereka diuji. Jika hal seperti ini saja sudah dilanggar, maka dipastikan saat bekerja nanti akan jadi pemalas.

"Baik, saya maafkan," kata Fero membuat secercah sinar terpancar di wajah Valentina. "Tapi, jangan tidur sampai besok pagi. Lalu, semua pasien di P2, kamu yang kerjakan dan Okin di P3."

Mulutnya sudah menyentuh lantai, tapi dia sudah tidak bisa membantah daripada harus mendapatkan hukuman. Setidaknya tersisa waktu sekitar delapan jam lagi sebelum pergantian shift, lagipula biasanya di hari minggu seperti ini UGD tidak seberapa ramai.

Ups! Valentina menepuk bibirnya mengucapkan kalimat haram.

"Oh iya, besok pagi setelah turun jaga kalian serahkan resume askep kepada saya karena CI kalian sedang cuti melahirkan," titah Fero membuat keempat mata mahasiswa di depannya mencuat. Sementara Fero tersenyum miring dan meninggalkan dua anak itu kembali ke ruangannya.

"Mati awak dewe ..." Valentina jatuh terduduk, lemas mendengar penuturan Fero. Padahal CI-clinical instructor-nya adalah alumni kampus yang dikenal sangat berbanding terbalik dengan si penyihir. Bahkan tidak pernah memberatkan tugas dan murah nilai. Jika pembimbing klinik sudah dipegang oleh Fero, maka sudah dipastikan nilai apa yang akan didapat Valentina.

"Sudah yuk kita kerja, nanti diomelin lagi, Tin," sergah Okin menarik lengan Valentina. "Aku ke P3 dulu ya, selamat berjuang di P2!"

###

"Dek, ambil darah!"

"Dek, EKG dulu pasiennya, terus pasang infus!"

"Dek, Ambilin hasil laboratnya pasien ini dong."

"Dek, pasang kateter!"

"Dek, anter ke radiologi dulu ya."

"Masa gini aja enggak bisa? Kamu ners kan? Masa belum diajarin sih?"

Panggilan kebangsaan yang sangat familiar di telinga mahasiswa magang seperti Valentina memang akan terus terdengar sampai akhir shift. Bahkan dia tidak sempat bernapas sedikit saat pasien berdatangan seperti lebah yang mengerumuni madu. Valentina sedikit menyalahkan dirinya sendiri setelah mengucapkan kata haram walau hanya dalam hati.

Kata-kata saru yang tidak boleh diucapkan oleh siapapun yang magang maupun bekerja di bagian instalasi gawat darurat sebagai garda terdepan rumah sakit. Alhasil, sampai menjelang pukul tiga pagi, Valentina masih berkutat dengan salah satu pasien kecelakaan motor, mengantar ke bagian radiologi untuk dilakukan skrining di bagian kepala, mencegah adanya cidera otak karena pasien sempat pingsan saat perjalanan ke rumah sakit.

Usai mengantar ke bagian radiologi, Valentina langsung disuruh mengantarkan sampel urin dan mengambil hasil darah ke laboratorium oleh salah satu perawat laki-laki bertubuh tinggi kurus seperti tiang bendera. Dia menerima dengan mata yang sudah memerah menahan lelah, tak menanggapi ucapan perawat berbaju ungu itu untuk cepat-cepat ambil hasil laborat. Valentina berjalan menyeret kakinya yang terasa pegal ke ruang laboratorium yang bersebelahan dengan ruang radiologi seraya menguap lebar di balik masker medis yang menggantung di bawah hidung.

"Masih empat jam lagi dan aku belum sempat ngerjakan resume," keluh Valentina memandang jam di tangan kiri."Ah ... mataku ngantuk banget ... besok harus presentasi lagi."

Di saat dia menguap tuk kesekian kalinya, tak sengaja seorang laki-laki mengenakan scrub seragam medis berwarna biru muda menabraknya hingga sampel urin terjatuh ke lantai dan mengenai sedikit kain yang dikenakan.

"Jangkrik!" rutuk lelaki itu kesal menyadarkan alam bawah sadar Valentina.

Mereka bertatapan sejenak, selanjutnya gadis berambut pendek sebahu itu mendengkus sambil mengolok bahwa si lelaki tidak mempunyai penglihatan jelas walau sudah memiliki empat mata.

"Ups! Matanya masih kurang?" ejek Valentina.

Mengedarkan pandangan, lelaki berperawakan tinggi itu menarik tangan Valentina dan menempelkan ke lantai yang sudah berceceran urin pasien. Valentina memekik jijik, menarik tangan dan mengusapkannya ke baju si lelaki.

"Sinting!" umpat Valentina.

Lelaki berkacamata itu melepas baju atasnya, menyisakan kaus putih yang melekat pas di dada atletis itu. Lantas dilempar asal baju birunya mengenai muka Valentina. "Cuci!"

Gadis itu tidak terima dan melontarkan balik. "Punya tangan kan?"

Si lelaki masih tidak mau menerima baju kotornya, memberikan secara paksa pada si gadis keras kepala. Bahkan aroma dari cairan ammonia itu mulai menyengat jika tidak cepat-cepat dicuci dan diberi pewangi.

Valentina yang sudah berada di batas ambang kesabaran pun menjatuhkan baju tak berdosa itu ke lantai, menginjak dan menggesek-gesekkan ke cairan kencing pasien seperti layaknya kain pel yang tidak berguna.

"Oh, main kasar ... " tantang lelaki itu lalu berjalan cepat menuju ruang tindakan P2 di mana ada seorang perempuan yang ditakuti oleh mahasiswa perawat. Sudah hampir empat tahun dia mengabdi di rumah sakit ini dan hampir mengenal semua tenaga medis yang bertugas, apalagi dia dikenal dekat dengan beberapa tenaga medis di sana.

Orang-orang yang tengah sibuk melakukan tindakan medis kepada pasien, menoleh ke arah sosok rambut pendek sebatas kerah itu dengan tatapan beraneka macam. Ada yang bertanya-tanya mengapa dia mengenakan kaus putih yang begitu melekat di badan yang terlihat atletis, ada yang menerka jika dia baru saja terbangun dari tidur, dan ada pula yang menebak jika dia terkena sial dari aroma pesing yang mulai tercium.

Dia melangkah ke arah Fero yang sedang memegang sebuah rekam medis dengan sorot mata penuh tanda tanya. "Maaf, Bu Fero, mahasiswa nersnya tolong didisiplinkan lagi."

Kerutan di kening yang sedikit lebar milik Fero seketika muncul, dia menggeleng pelan mengisyaratkan bahwa tidak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh dokter PPDS itu.

"Maaf, Dok, maksudnya?" tanya Fero.

Valentina muncul di ujung pintu masuk P2 dengan membawa baju biru yang sudah tidak karuan bentuknya, menyusul dokter yang akan mengajukan protes dan bisa membuat nilainya seketika merosot. Dan di saat yang bersamaan, Fero langsung paham dengan sikap mahasiswa yang sudah datang terlambat malah membuat kekacauan lagi.

"Dia!" tunjuk dokter yang sudah naik pitam itu kea rah sosok Valentina. "Sudah menumpahkan cairan urin ke baju saya, Bu."

"Sa-saya kan-"

"Valentina..." geram Fero gemas ingin mengajukan complain kepada dosen kampus mahasiswa itu. Shift belum berakhir, tapi dia sudah membuat kesalahan fatal yang sangat dia benci. Lantas, chief yang harus mengawasi ners itu meminta maaf kepada sang dokter PPDS dan berjanji akan memberi hukuman tambahan dan menyampaikan masalah ini kepada pihak kampus.

Bibir tipis lelaki itu menyeringai, melirik si gadis yang kini memohon ampun kepada chief yang terkenal galak. Kemudian, dia meninggalkan ruangan P2 dengan langkah panjang dan harus membersihkan diri walau terpaksa menghabiskan satu botol sabun cair sekali pun. Bahkan jika bisa, dia ingin berendam air hangat untuk mengusir kuman-kuman yang bisa saja menempel di tubuhnya dari sampel kencing pasien yang tidak tahu riwayat penyakit.

Ditarik kaus putih yang masih melekat di badan dengan ekspresi jijik saat sampai di ruang istirahat khusus dokter. Melepas begitu saja dan membuangnya ke tempat sampah, aroma tak sedap tercium memenuhi kamar yang memiliki dua tempat tidur susun itu. Diraih botol parfum dari dalam tas ransel hitam yang tergeletak di atas kasur pertama dan menyemprotkannya secara sembarangan tak peduli bahwa parfum seharga lima ratus ribu yang baru dia beli kemarin, habis tak tersisa.

"Dasar nenek lampir, rakyat jelata,"gerutunya meraih handuk dan pergi ke kamar mandi. "Tunggu aja pembalasanku."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status