Mendengar tangisan Aira, Shin memaksa membuka mata.
Dengan kepala masih berdenyut, Shin menatap Aira lama, dan entah perasaan dari mana tangan Shin terangkat ingin merengkuh gadis itu.Namun, urung ia lakukan. Shin menurunkan lagi tangannya.
"Apa kau kesakitan?" Shin bertanya seraya melepas kacamata menaruh di dashboard.Aira tak menjawab kecuali isak tangisnya yang terdengar menyayat hati.
Shin tak lagi bertanya ketika Aira tak menjawab pertanyaannya. Shin hanya menunggu sampai tangis Aira reda.
Pemuda itu merasakan perasaan asing menyusup ke dalam hatinya saat ia menyadari betapa rapuh gadis yang saat ini sedang duduk di sebelahnya dengan bahu berguncang.
Siapa kamu sebenarnya?
Apakah karena amnesia akibat kecelakaan yang ia alami sepuluh tahun lalu telah mengakibatkan dirinya melupakan gadis ini?
Shin takut sekali saat ia terbangun dengan sosok berbeda hari itu. Memorinya beberapa tahun belakangan
Tiba di rumah, seperti perkataan Alika tadi. Dokter cantik itu sedang menata makan siang di meja. Melihat Shin masuk, ia pun tersenyum."Kau datang tempat waktu, Shin." Alika melepas apron dan melangkah mendekati lelaki yang telah menikahinya dua tahun lalu itu.Mereka tak pernah pacaran, menikah karena dijodohkan. Semua bermula dari persahabatan orang tua keduanya.Saat bertemu Shin pertama kali di rumah sakit, Alika langsung jatuh hati pada segala pesona yang lelaki itu miliki.Shin yang tak banyak bicara dan terkesan tertutup, tapi justru menjadi daya tarik bagi Alika yang tak suka dikejar-kejar.Wanita cantik berusia 29 tahun itu langsung mengiyakan saat mami dan papinya mengatakan tentang perjodohan ia dan Shin."Kenapa Shin, kau nampak pucat?""Kepalaku agak sakit. Sepertinya butuh istirahat sebentar. Kau boleh makan lebih dulu."Alika mengangguk dan meraih jaket Shin.Alika sudah terbiasa dengan
"Aku bertahan hanya untuk menunggu Shin datang memenuhi janjinya. Kenyataannya Shin tidak akan pernah lagi datang padaku, Mia. Dia sudah memiliki rumah untuk pulang. Aku merasa konyol menyia-nyiakan waktu selama ini," lanjut Aira dengan perasaan getir. Aira tidak tahu siapa yang harus ia salahkan. Shin atau dirinya sendiri? Ia yang setia memegang janji dan akhirnya terluka atau Shin yang melupakan semua? Entahlah. Ini terlalu rumit dari pada rumus-rumus matematika. Untuk pertama kali Aira jatuh cinta sekaligus patah hati. Salahkah jika ia mencintai Shin? Setahu Aira cinta itu fitrah bagi setiap insan. Gadis itu mengusap ujung mata dan mengalihkan pandangan ke arah buku diary miliknya. Di sana Aira menuliskan apa yang ia rasakan selama masa penantian dan yang ia alami di panti ini. Buku itu saksi bisu jika hidup yang Aira jalani tak mudah. Namun, cintanya pada Shin telah memberi suntikan semangat luar biasa. Aira ber
Drg Shin Farzan sedang melakukan tindakan tambal gigi pada seorang pasien laki-laki yang mengeluh sakit gigi sejak beberapa bulan lalu. Sebenarnya menjaga kesehatan gigi tidak hanya dilakukan dengan menyikat gigi secara rutin, tetapi juga harus mengunjungi dokter gigi minimal enam bulan sekali. Shin menggunakan bor dan alat lain untuk menghilangkan kerusakan dan membersihkan rongga, agar nantinya dapat diberikan penambal gigi. Profesi ini sudah ia jalani sejak beberapa tahun lalu dan Shin menikmati pekerjaannya. Ia merasakan kepuasan tersendiri ketika dapat membantu banyak orang. "Baiklah, sudah selesai." "Terima kasih, Dok." "Sama-sama." Shin menjabat tangan pasien itu lalu tersenyum tipis. Kemudian ia mencuci tangan dan melepas kacamata. Pikiran Shin masih dibayangi Aira.Ada satu sisi dalam diri dokter muda itu yang menginginkan agar mencari tahu siapa sebenarnya gadis cantik itu? Namun, Shin juga m
"Shin, apa itu kamu?"Aira seperti kehilangan akal sehat. Gadis itu membuka gerbang dan berlari menerobos hujan tanpa alas kaki. Ia yakin bahwa tadi Shin memanggil namanya. Aira takut Shin pergi lagi dan tak kembali.Aira terus berlari tak tentu ara mengabaikan jika dirinya sudah basah kuyup, bahkan kakinya mulai terasa perih."Keluarlah, Shin. Temui dan bawa aku pergi dari sini," lirih Aira di antara rinai yang jatuh kian menderas.Setelah beberapa waktu akhirnya ia kelelahan. Gadis cantik itu berjongkok di pinggir jalan sembari memeluk tubuhnya sendiri.Meski udara dingin menusuk hingga ke tulang, Aira tetap bergeming. Agaknya gadis ini ingin mati sebab hipotermia.Barangkali hal itu yang ia nanti-nantikan.Namun, sesaat kemudian, Aira tidak merasakan lagi titik-titik hujan menimpa tubuhnya.Apa hujan sudah berhenti?Di depannya, rinai masih turun. Aira mengangkat kepala dan saat itu ia me
"Shin, kenapa kau basah seperti ini?"Alika balik lagi ke kamar mengambil handuk, lalu diberikan kepada suaminya. Alika dibuat heran. Shin kan pakai mobil, tapi kenapa bisa basah kuyup?"Terima kasih. Tadi aku menolong seseorang," ujar Shin seraya mengeringkan rambut.Sampai detik ini sebenarnya ia tetap tak tenang.Shin mengkhawatirkan Aira. Ia takut gadis itu sakit atau kenapa-kenapa. Perasaan aneh yang seharusnya tidak ia miliki pada gadis asing. Mereka hanya kebetulan bertemu sebanyak dua kali tetapi rasanya Shin sudah mengenal lama gadis cantik itu."Kau selalu baik hati Pak Dokter," seloroh Alika lalu menuntun Shin ke kamar mandi.Alika tak perlu bertanya siapa sosok yang telah ditolong sang suami.Ia dan Shin tidak pernah ingin mendetili urusan satu dan lainnya.Sesantai itu hubungan mereka. Mungkin jika orang lain tahu bagaimana mereka menjalani pernikahan ini, mereka akan berpikir rumah tangga pasangan do
Pagi ini Aira bangun dengan kepala pening dan tubuh menggigil. Kehujanan semalam mengakibatkan ia demam. Apa yang Shin khawatirkan terjadi.Padahal hari ini Aira ada jadwal ke penerbit mengecek novel sedang proses terbit. Awal bulan seperti ini ia akan sangat sibuk. Selain menjadi penulis, Aira juga harus ke panti jompo. Sudah sejak beberapa tahun lalu ia menjadi relawan di sana.Tumbuh dan besar tanpa orang tua, membuat Aira teramat merindukan sosok keduanya. Di panti jompo itulah ia melepas rindu meski mereka yang di sana bukan orang tua kandungnya, akan tetapi mereka menyayangi Aira seperti putri mereka sendiri."Aira, ini sudah siang dan masih berselimut?"Mia masuk dan menyibak selimut Aira. Membuat gadis cantik itu menarik lagi selimutnya hingga mencapai dada."Hei, kau kenapa?"Mia nemempelkan punggung tangan di dahi Aira. "Kau demam, Ai. Tunggu aku ambilkan sarapan dan obat."Namun, baru saja Mia mau keluar
Shin terhanyut dalam alur cerita yang disuguhkan sang novelis. Tanpa terasa ia sudah menghabiskan sepuluh menit menekuri bacaannya.Shin menutup novel itu dan mengembuskan napas lewat mulut. Ia seperti baru saja dibawa ke sebuah cerita yang seolah-olah tokoh dalam cerita itu adalah dirinya sendiri. Shin pun tidak tahu mengapa ia bisa merasa seperti itu."Dok, ada pasien mau membersihkan karang gigi," ujar Nurse Nara sopan."Baik, sebenar."Shin meninggalkan novel itu di meja. Ia merasa akhir-akhirnya pikirannya tidak stabil. Mimpi menakutkan itu lebih kerap hadir, menerornya sepanjang malam. Namun, Shin tidak akan lagi membiarkan dirinya terjebak pada berbagai pertanyaan yang serupa teka-teki.Ia akan mencoba mengurai dan menemukan benang merah atas kegelisahannya. Bermula sejak ia bertemu Aira, maka Shin akan meminta gadis itu jujur apa mungkin di masa lalu mereka saling mengenal.Shin mulai menyadari satu hal, jika ia dan Aira sama-sama be
Shin?" ujar Mia setelah dapat menguasai diri. Dia tidak menyangka jika Shin yang berdiri di depannya sekarang sama dengan Shin yang dulu pernah tinggal di panti ini. Penampilan Shin jauh berubah. Sekarang lebih borjuis dan tampan sekali. Agaknya Shin hidup dengan baik di luar sana. Namun, meski sekarang Shin sudah sukses seperti yang pernah Aira ceritakan, bukan alasan pemuda itu mencampakkan Aira. Mia akan memberitahu Shin kebenarannya dan membuat dokter itu sadar jika dia adalah pelindung Aira. "Shin, ada perlu apa kemari?" ujar Aira masih berdiri di sisi Mia. "Oh, maaf, aku belum mencuci jaketmu jika kau ingin mengambilnya." Aira tersipu ketika menyadari Shin sedang menatapnya lekat. Tatapan itu masih sama seperti itu, bedanya sekarang tidak ada lagi pijar yang biasa Shin tampilkan saat mereka berdua saja. "Ada yang ingin aku tanyakan. Duduklah dulu." Aira dan Mia saling pandang, lalu mereka mengambil tempat duduk