Pagi ini Shin bangun dengan keadaan kepala berdenyut. Luka di kepalanya tidak bisa dianggap enteng. Shin mendengkus, dia pasti akan membalas perbuatan dua anak tersebut. Tidak akan dia biarkan bocah itu lolos begitu saja dan mengganggu Aira lagi.
Shin keluar kamar, udara pagi terasa dingin menusuk tulang. Di langit awan bergumpal-gumpal, pertanda sebentar lagi turun hujan. Dirinya baru menyadari jika sekarang sudah masuk musim penghujan. Siap-siap saja jika hari-harinya akan banyak terkurung di panti.
Shin berbalik ke dalam kamar, menarik handuk lalu pergi ke kamar mandi. Sama seperti kamar mandi di tempat anak perempuan, satu kamar mandi rame-rame.
Shin yang sejak bayi tinggal di panti sudah terbiasa. Seoal-olah panti ini rumahnya sendiri meskipun jauh di relung hati terdalam dia sering membayangkan bagaimana rasanya tinggal di rumah sendiri.
Pasti berbeda dengan panti yang hiruk pikuk dan nyaris memecahkan batok kepala. Tidak ada drama berebut makanan atau tidur dalam satu kamar dengan banyak ranjang.
Shin tidak berharap ada yang mengadopsinya. Pikirnya siapa yang menginginkan dirinya. Orang tuanya saja membuang dia ke tempat ini.
Dinginnya air langsung membasahi tubuh anak lelaki itu. Shin sama sekali tidak terganggu. Setelah selesai membersihkan diri dan berganti pakaian, dia pergi ke halaman depan.
Jam menunjukkan pukul tujuh pagi, itu artinya sebentar lagi waktunya sarapan. Shin terus berjalan sampai di depan pagar. Lalu-lalang kendaraan sudah mulai ramai. Menghidupkan kembali kota kecil ini.
"Shin!"
Shin berbalik badan dan hatinya langsung menghangat kala dilihatnya Aira berlari mendekat. Anak perempuan itu tampak sudah rapi dengan rambut ekor kuda. Memakai mini dress dipadu lejing warna hitam.
"Jangan lari-lari nanti kau bisa jatuh," tegur Shin ketika Aira sudah berdiri di hadapannya.
Aira tertawa pelan seraya mengatur napas yang tersengal. Setelah membantu di dapur dia segera mencari sahabatnya itu. Aira khawatir jika luka di kepala Shin membuat anak laki-laki itu tidak dapat bangun pagi ini.
"Bagaimana keadaanmu. Kepalamu masih sakit?" Aira mengulurkan tangan hendak menyentuh kepala Shin yang dililit perban.
Shin menangkap tangan Aira seraya tersenyum. "Aku sudah merasa lebih baik. Apa kau mencemaskanku?" Shin balik bertanya.
Senyum di bibir Aira mengembang. Anak perempuan secantik peri dalam dongeng itu meremas tangan Shin, "Tentu saja aku khawatir. Kau terluka karena menolongku. Bagaimana jika kau mati? Mama dan Papa sudah tidak ada. Aku tidak mau jika kau pun pergi." Wajah Aira berubah sendu.
Melihat itu Shin menjadi tak tega. Untuk pertama kali dalam hidupnya ada seseorang yang menginginkan dan membutuhkannya. Dada Shin bengkak oleh rasa bahagia. Dia seperti mendapat suntikan semangat agar tetap hidup.
"Aku tidak akan mati," kata Shin terdengar seperti sebuah janji.
"Benarkah?" Aira tersenyum lebar menampakkan deretan giginya yang putih dan terawat.
Shin mengangguk dan membalas senyuman Aira. Sejak mengenal Aira, entah kenapa Shin jadi sering tersenyum, padahal yang dilakukan gadis itu tidak ada yang istmewa.
"Baiklah Shin, ayo, kita sarapan."
"Ayo!"
Aira dan Shin berjalan bersisian menuju ke aula. Dalam hati Shin bertekad akan terus hidup agar bisa bersama dan menjaga Aira. Dia sudah memilih Aira, apa pun akan dia lakukan agar senyum di bibir Aira tak pudar.Di rumahnya, Dion baru saja selesai sarapan. Pria berusia 45 tahun tersebut tampak sedang memikirkan sesuatu. Dia sebenarnya memegang sebuah amanah dan wasiat dari mendiang kakaknya bahwa semua warisan dan harta peninggalan kedua orang tua Aira, adalah milik anak perempuan itu.
Mila, Mama Aira meminta pada Dion untuk menyerahkah warisan tersebut ketika Aira berusia 20 tahun. Sebelum itu, maka Dion yang menyimpannya. Pergunakan seperlunya untuk keperluan hidup Aira.
Meskipun harta itu tidak terlalu banyak, tapi cukup untuk masa depan ponakannya. Dion mengembuskan napas berat.
Harusnya dengan harta itu Aira tak perlu tinggal di panti, tapi Meriyam, istrinya telah meminta dia memakai dulu uang itu. Toh, dalam wasiat itu tidak disebutkan jika harus diberikan saat ini juga.
Dion tak berkutik. Dia terlalu enggan ribut dengan Meriyam jika menolak keinginan wanita itu. Lagi pula Meriyam benar, mereka hanya meminjam. Nanti jika sudah waktunya Aira menerima uang itu maka akan dia kembalikan.
Meriyam tertawa senang. "Harusnya dari kemarin kamu setuju."
Dion menatap kesal pada istrinya. Salah dirinya memilih pendamping hidup matre seperti Meriyam.
"Kau pikir mudah memutuskan. Aku takut salah menggunakan harta anak yatim," kata Dion.
"Halah. Engga usah naif kamu. Kita juga minjam doang bukan nyolong. Sekarang yang penting kita bisa bayar tunggakan rumah dan mobil. Memang kalo engga pakai uang ini, kamu mau dapat uang dari mana?" ejek Meriyam seraya tertawa pelan.
Penghasilan Dion dari pekerjaan sebagai pegawai bank tidaklah cukup mengimbangi gaya hidup hedonisme dirinya dan anak-anaknya. Karena itu, Meriyam menjadi kurang puas bersuamikan Dion.
Dia iri pada teman-temannya yang hidup bergelimang harta. Beruntung sekali nasib mereka dapat suami kaya. Mau beli apa saja tinggal minta. Tidak seperti dirinya. Mau apa-apa, harus ribut dulu.
Dion bangkit, dia tidak mau berdebat sepagi ini. "Akhir pekan aku mau menjenguk Aira."
"Jangan sering-sering menjenguknya. Nanti anak itu minta pulang ke rumah ini!" Meriyam berkata dengan ekspresi kesal.
Shin meletakkan pena di atas meja lalu menatap Alika. Dapat ia ilihat mata istrinya itu merah dan sedikit bengkak meskipun sudah ditutupi Alika dengan riasan tipis. Melihat keadaan Alika yang sedikit kacau Shin merasa bersalah namun yang paling mengejutkan adalah kata-kata yang baru saja wanita itu lontarkan kepadanya. Dengan begini Alika menempatkan ia pada posisi sulit. "Alika, kita akan membicarakan ini di rumah." Alika berdiri di seberang meja dengan meletakkan kedua tangan bertumpu pada sisi meja. "Aku sudah memikirkannya sejak semalam Shin dan aku tidak tahan untuk mengatakannya. Kamu tidak bisa kembali ke masa lalu bagaimanapun masa lalu sudah jauh tertinggal di belakang. Dan lihat aku! Akulah masa depanmu," ujar Alika dengan suara serak. Sungguh ia ingin menangis lagi dan lagi tetapi Alika tidak mau tampak lemah dan cengeng di depan Shin. Ia tidak mau menyerah dengan keadaan ini. Shin mengembuskan napas kasar lalu menundukkan kepala, tidak lagi menatap Alika. Karena ia ti
Pagi itu diawali dengan suasana canggung melingkupi Shin dan Alika setelah percakapan mereka semalam. Baik Shin maupun Alika tidak ada yang memulai obrolan terlebih dahulu sampai Shin pergi ke rumah sakit mereka masih belum bicara. Alika tidak tahu memulai, jadi ia membiarkan semuanya. Hatinya masih sakit dan itu ulah Shin.Alika pergi ke dapur, menyeduh teh dan membuat roti panggang. Ia sarapan seorang diri. Rasanya tidak menyenangkan seperti saat ia sarapan ditemani Shin. Alika ingin menangis lagi. Semalam ia hanya tidur tidak lebih dari dua jam. Lingkaran di bawah mata menunjukkan semua. Alika yang mendapatkan siff siang berdiam diri di rumah dengan tidak bersemangat."Kenapa semua jadi rumit?" Alika menyesap tehnya dengan pertanyaan yang banyak di kepala.Ia dilanda penasaran ingin tahu siapa gadis yang telah merebut hati suaminya. Bohong jika Alika tidak cemburu dan baik-baik saja. Ia dan Shin sudah terikat pernikahan secara agama maupun hukum. Ego Alika terpancing. Ia ingin me
Malam Kian larut. Jam hampir menunjukkan tengah malam. Di luar baru saja turun hujan, menambah syahdu malam ini. Malam dingin, sedingin suasana hati Shin. Di ruang tamu, tercipta kecanggungan dan keheningan yang merambat antara Shin dan Alika. Untuk pertama kali dalam hidup mereka merasakan kecanggungan seperti ini, seolah-olah rasa canggung itu akan membunuh keduanya. Suasana ini sangat tidak nyaman. Bagaimana mungkin dua orang yang tinggal bersama selama tiga tahun tiba-tiba seperti orang asing yang baru saling mengenal hari ini. Alika menantikan apa yang akan disampaikan oleh Shin dengan dada bertalu-talu. Tidak biasanya Shin mengajaknya bicara seserius ini, kecuali ketika pemuda itu melamarnya. Hanya saat itu saja. Melihat dari gelagatnya, Alika menebak jika apa yang akan disampaikan Shin kali ini adalah sesuatu yang serius sehingga suaminya itu tidak dapat menunggu sampai esok hari. Padahal dari raut wajahnya jelas sekali Shin kelelahan Di tengah rasa penasarannya itu Alika be
Aira nyaris tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Bisakah Shin mengulangi lagi? Sehari ini ia sudah terkejut beberapa kali. Shin benar-benar tidak memberikan ia kesempatan untuk pulih dari keterkejutannya.Bagaimana Shin bisa memintanya untuk menikah, sedangkan Aira tahu sekali bahwa pemuda itu telah memiliki seorang istri.Apakah Shin sedang mempermainkan perasaannya? Mencoba memberikan penghiburan?"Hentikan leluconmu itu, Shin," ujar Aira setelah ia bisa menguasai diri. Ini lelucon yang sangat tidak lucu."Saya tidak pernah bercanda dengan perasaan saya Aira. Mari kita menikah." Sekali lagi Shin menegaskan pernyataannya barusan.Aira terperangah, bagaimana ini mungkin. Apakah yang akan Shin lakukan. Menceraikan istrinya dan menikahi ia, begitu? Pikirannya itu membuat perut Aira mual. Ia memang mencintai Shin tetapi ia tidak sejahat itu merusak rumah tangga yang sudah dibina oleh dokter itu selama ini. Cintanya kepada Shin murni.Apa yang pemuda itu pikirkan sekarang? Jika Aira
"Sudahlah Shin. Hentikan semua ini. Percuma kita membahasnya sekarang. Sudah sangat terlambat. Bagaimanapun sekarang kamu sudah menikah, dan aku harus terus melanjutkan hidup ini."Aira mennyeja air mata dan mencoba berdiri. Ia tidak menatap Shin. Untuk kesekian kali hatinya patah. Shin yang berdiri di hadapannya saat ini memang orang yang sama yang ia cintai, tetapi bukan seseorang yang bisa ia miliki.Cintanya kepada Shin,tidak didukung oleh takdir. Yang terbaik bagi ia sekarang adalah melupakan pemuda itu."Pergilah Shin, pergi dan kembalilah kepada istrimu."Aira ingin beranjak masuk rumah, tetapi Shin dengan cepat meraih pergelangan tangannya. Aira sontak terkejut lalu berbalik. Shin sedang menatapnya dengan mata merah."Lepaskan Shin! " desis Aira. Ia menatap pergelangan tangannya dan Shin secara bergantian."Saya belum selesai bicara Aira. Meski terlambat tapi saya ingin mengatakannya sekarang."Shin menatap Aira dengan sorot penuh permohonan. "Saya mohon sebentar saja."Aira m
Shin dan Aira masih berdiri berhadap-hadapan. Dua orang berbeda gender itu sibuk dengan pikiran masing-masing. Namun yang paling dirasakan oleh Aira adalah keterkejutan. Saat ini Shin ingin sekali memeluk dan menyatakan cintanya kepada Aira. Rasa yang ia pendam selama bertahun-tahun. Shin selalu ingin melakukan itu, tetapi pemikiran rasionalnya selalu menang. Ia tidak akan membiarkan perasaannya menghancurkan semua. Untuk Aira dan juga Alika. Shin sangat menyadari jika saat ini istrinya adalah Alika, namun tidak dengan cintanya. Waktu dan keadaan tidak akan bisa menghapus cintanya kepada Aira. Tidak akan pernah sebab nama Aira seperti tato di hatinya. Meski Shin hilang ingatan, namun jauh di lubuk hatinya, ia merasa bahwa ada hilang dari dirinya. Rasa itu telah menyiksanya sekian tahun tanpa ia tahu penyebabnya. Sekarang ia telah menemukan jawaban atas pertanyaannya itu. Ternyata itu adalah Aira. "Shin darimana kamu tahu rumah aku?" Akhirnya Aira bertanya. Rasanya ia akan mati kar