Sedetik pun tatapan Aira tak lepas dari wajah Shin yang sesekali meringis kala Pak Imam mengobati kepalanya. Aira menggigit bibir bawah, menyesal tak dapat berbuat apa-apa sekadar meringankan penderitaan sahabatnya itu. Aira menggeser duduk, tangannya terulur mengelap muka Shin menggunakan saputangan pemberian mendiang mamanya.
Setelah Pak Imam selesai memasang perban di kepala Shin, laki-laki paruh baya itu keluar menyisakan Shin dan Aira.
Aira tiba-tiba menahan napas dan mencengkeram erat tangan Shin saat dia melihat dua orang anak laki-laki yang melukai Shin memasuki panti. Aira takut mereka akan berbuat jahat seperti tadi.
"Shin, mereka ada di sini," bisik Aira dengan nada mendesak ke telinga remaja lelaki itu. "Bagaimana jika mereka melukaimu lagi?" Jelas Aira tak hanya mencemaskan dirinya.
Dia cemas kalau anak-anak itu kembali mencari masalah. Anak perempuan secantik peri dalam cerita dongeng itu merapal doa dalam hati. Agar apa yang dia takutkan tidak terjadi. Sungguh, kejadian tadi nyaris merontokkan jantungnya.
Shin mencoba duduk dan mengabaikan rasa sakit yang mendera kepalanya. Dia menghadap Aira yang mendadak dada Shin sesak melihat jejak air mata di pipi mulus anak perempuan itu.
"Aku akan menjagamu Aira," ujar Shin sungguh-sungguh.
"Tapi ... bagaimana kalau kau sampai terluka lagi?" kata Aira tanpa mengalihkan tatapannya pada kedua anak laki-laki yang sedang tertawa, duduk membelakangi mereka. Aira tidak pernah berada dalam situasi ini jadi dia sulit beradaptasi.
Shin mengulas senyum tipis. "Jangan khawatir, aku akan baik-baik saja, Aira"
Aira memandang Shin heran. Apa telinganya tak salah dengar. Baik-baik saja bagaimana, sedangkan barusan Shin mendapatkan luka begitu. Dia tak ingin Shin mengorbankan diri lagi demi melindunginya.
Sudah cukup dia melihat remaja lelaki itu terluka. Aira tak tega jika ada orang lain yang terluka karenanya. Dia merasa tak seistimewa itu sehingga ada orang yang berkorban untuknya yang hanya yatim-piatu.
Aira menatap Shin lekat, dan yang dia dapati hanya kesungguhan di wajah remaja tampan itu.
Aira berpikir dan bertanya dalam hati mengapa Shin baik sekali padanya? Apakah seperti ini rasanya bila memiliki kakak laki-laki.Pertanyaan itu berkelindan di kepala dan hanya terbenam di dalam sana. Aira beruntung dapat sahabat sebaik Shin, meskipun dia sedih karena telah dicampakkan keluarganya, setidaknya sekarang ada Shin bersamanya.Aira menghela napas panjang dan membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, lalu berubah pikiran. Dia pun memilih bungkam.
Aira melihat Shin menguap. Dia memukul pelan kepalanya. Kenapa dia sampai lupa kalau Shin butuh istirahat.
"Shin tidurlah. Nanti kuantarkan makan malammu."
Shin mengangguk. "Terima kasih."
Aira segera meninggalkan kamar Shin kembali ke kamarnya sendiri. Dia butuh mengganti baju dengan yang lebih bersih setelah baju yang dia kenakan kena darah Shin.
Ketika Mia muncul membawa sepotong bolu hangat di tangannya, anak perempuan itu langsung mendekati Aira.
"Bagaimana keadaan, Shin?"
"Dia sedang istirahat," ujar Aira seraya menyisir rambut.
"Syukurlah." Mia mengembuskan napas lega. Dia khawatir jika sampai Shin meninggal. Tak ada lagi yang akan melindungi dirinya dan Aira, khususnya Aira.
"Ini kubawakan kue, makanlah. Setelah itu kita harus ke dapur untuk membantu menyiapkan makan malam," kata Mia.
Aira tak bertanya lagi langsung melahap sepotong kue bolu itu. Dia harus cepat-cepat agar ada waktu menemani Shin.
Saat Aira dan Mia tiba di aula, dua orang anak laki-laki yang melukai Shin sedang duduk berhadap-hadapan di kedua ujung meja makan panjang dan melempar-lemparkan remah-remah roti ke atas meja.
Aira melotot ke arah mereka, tapi cepat-cepat Mia menarik lengannya menuju dapur. Jangan sampai timbul masalah lagi.Di sebuah rumah mewah, seorang perempuan cantik sedang memeluk pigura dengan bahu berguncang. Sepuluh tahun sudah mendiang putranya pergi akibat kecelakaan saat mereka liburan di Bali. Sang anak meninggal terseret ombak.
Semangat perempuan itu terpuruk setelah kejadian nahas itu. Meskipun dia tersenyum dan tertawa, tapi di matanya ada kabut luka. Perempuan cantik itu meletakkan kembali pigura di tangannya ke atas lemari."Mama kangen, Nak," gumamnya.
Dia berjalan menghampiri jendela. Teringat akan usulan suaminya sebulan lalu agar mengadopsi anak. Mungkin dengan adanya anak hari-harinya lebih bewarna. Begitu pendapat suaminya. Dia kembali memikirkan ide itu malam ini.
Aira berbaring dan berusaha melemaskan otot-otot tangan dan kakinya. Dia membayangkan mamanya sedang duduk di pinggir tempat tidur sambil membacakan buku cerita.
Memikirkan hal itu membuat mata Aira berembun. Dia teramat merindukan mama dan papanya.
Aira menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan lewat mulut.Di sini tak ada siapapun yang bisa melindunginya, kecuali Shin. Aira menutup mulutnya berusaha agar suara tangisnya tak membangunkan yang lain. Terkadang dia ingin menyerah, tapi pesan orang tuanya bagai alarm baginya.
Mama dan papa ingin dia tumbuh dengan baik. Menjadi wanita
Salihah. Aira juga berpikir bahwa dia harus menjadi amal jariyah untuk mendiang ke dua orang tuanya. Hanya itu yang bisa dia lakukan sebagai wujud terima kasih atas jasa mama dan papa.Aira mengusap air matanya menggunakan punggung tangan. Mendadak dia teringat sesuatu. Tuh, kan, dia lupa mengantarkan makan malam Shin. Buru-buru Aira turun dari tempat tidur.
Setengah berlari Aira ke dapur mengambil makanan. Semoga saja masih ada sisa makanan, batinnya.
"Shin, kau sudah tidur?" Aira mengetuk pintu kamar Shin berkali-kali.
Tak ada jawaban. Dia mulai dilanda rasa bersalah membuat Shin tertidur dengan perut lapar.
"Shin!"
Tak lama pintu terbuka. Shin berdiri dengan wajah pucat.
"Ini makan malammu. Maaf ... aku lupa." Aira meringis dan merasa bersalah. Dia tadi banyak berpikir sampai melupakan sahabatnya.
"Terima kasih." Shin mengambil piring dari tangan Aira lalu kembali masuk ke kamar.
"Cepat sembuh, Shin," kata Aira sebelum Shin menutup pintu.
Pagi ini Shin bangun dengan keadaan kepala berdenyut. Luka di kepalanya tidak bisa dianggap enteng. Shin mendengkus, dia pasti akan membalas perbuatan dua anak tersebut. Tidak akan dia biarkan bocah itu lolos begitu saja dan mengganggu Aira lagi.Shin keluar kamar, udara pagi terasa dingin menusuk tulang. Di langit awan bergumpal-gumpal, pertanda sebentar lagi turun hujan. Dirinya baru menyadari jika sekarang sudah masuk musim penghujan. Siap-siap saja jika hari-harinya akan banyak terkurung di panti.Shin berbalik ke dalam kamar, menarik handuk lalu pergi ke kamar mandi. Sama seperti kamar mandi di tempat anak perempuan, satu kamar mandi rame-rame.Shin yang sejak bayi tinggal di panti sudah terbiasa. Seoal-olah panti ini rumahnya sendiri meskipun jauh di relung hati terdalam dia sering membayangkan bagaimana rasanya tinggal di rumah sendiri.Pasti berbeda dengan panti yang hiruk pikuk dan nyaris memecahkan batok kepala. Tidak ada drama bereb
Aira merasakan usapan pelan di kepalanya. Saat dia membuka mata, saat itu pula Shin tersenyum kepadanya. Aira buru-buru bangkit. Dia menarik Shin duduk."Kau dari mana saja? Aku sampai ketiduran karena capek nyariin kamu." Aira cemberut. Anak perempuan penyuka warna ungu itu tampak kesal jika Shin pergi meninggalkannya. Sejujurnya dia merasa takut."Hanya mencari udara segar. Aira, bukankah besok kau mulai sekolah?" Shin juga sekolah formal tetapi dia lebih banyak bolos.Entahlah, menurutnya belajar itu tidak menarik. Meskipun berulang kali dia dipanggil pengurus panti. Diberikan nasihat baik-baik sampai teriakan makian. Shin hanya menulikan telinga. Besoknya dia mengulangi lagi."Iya benar. Maukah kau menemaniku ke sekolah, Shin?" Aira menatap Shin penuh harap."Baiklah jika itu maumu.""Yeah. Makasih.""Kau tidak marah pada pamanmu?"Aira memutar duduk jadi menghadap Shin. "Emm, awalnya aku sedih mengapa P
Bab 6: Tragedi 2Melihat itu mata Aira membulat sempurna. Mulutnya sedikit terbuka dengan dada berdebar kencang seperti dadanya mau meledak. Betapa kasarnya Pak Tomo kepada anak kecil, batinnya.Mengapa lelaki yang dianggap ayah oleh anak-anak panti itu tega berbuat demikian. Lagi-lagi ia tidak menemukan jawaban apa pun. Aira berlari menghampiri Mia. Dipeluknya sahabatnya itu dan dapat ia rasakan tubuh Mia bergetar hebat.Mia meringkuk bagai trenggiling dan mulai menangis. Dia merasakan kepalanya berdenyut sakit. Beruntung kesadarannya masih ada. Ia dan Aira sama-sama menangis disebabkan rasa sakit juga memikirkan nasib mereka akan bagaimana caranya terlepas dari Pak Tomo.Mia takut sekaligus benci pada lelaki berkepala botak itu. Dari sejak ia tinggal di panti, Mia tidak begitu suka pada Pak Tomo. Karena lelaki tua itu acap kali memandangnya seperti seolah-olah sedang mengulitinya."Mia kamu tidak apa-apa?" tanya Aira setelah mam
Bab7: Bertemu LagiShin berdiri kaku di hadapan sepasang suami istri yang sedang bicara dengan pemilik panti. Sejak sejam lalu sudah diputuskan bahwa mereka mau mengadopsi Shin dan menjemputnya besok pagi.Perasaan Shin tak menentu. Ia sedih karena harus meninggalkan Aira seorang diri. Tadinya, Shin menawarkan kepada pasangan suami istri itu apakah mau mengadopsi satu lagi anak perempuan. Dengan begitu, dirinya dan Aira tetap bisa bersama."Maaf, kami hanya butuh satu orang anak," jawab si istri lembut.Shin tahu si pemilik panti sengaja mengirimnya keluar dari panti ini karena insiden semalam."Baik, Bu. Kami akan kembali lagi besok.""Ya, besok kupastikan Shin sudah siap berangkat. Biarkan hari ini dia berkemas dulu," ujar pemilik panti ramah."Kalau begitu kami permisi dulu. Terima kasih." Sepasang suami istri itu berlalu meninggalkan panti dengan mobil mewahnya.Shin melangkah gontai keluar ruangan. Susah
Aira merasakan seolah-olah panah melesat tepat ke jantungnya. Menancap kuat, lalu ditarik paksa. Hal itu menimbulkan rasa sakit yang Aira sendiri tak yakin bisa menangani kesakitan itu. Apa yang lebih menyakitkan daripada dilupakan orang terkasih. Namun, rasa sakit atas penantiannya selama bertahun-tahun ini dikalahkan oleh perasaan rindu nan membuncah. Rindu akan sebuah pertemuan yang sering hadir dalam asanya. Mata Aira memanas diikuti tubuhnya yang gemetar. Antara percaya dan tidak Shin ada di depannya sekarang. Ya Tuhan. Jika ini mimpi biarkan ia tak bangun lagi. Aira tak mau berpisah lagi dengan Shin mesti itu hanya dalam mimpi. Ia ingin bersama pemuda itu hari ini esok dan nanti. Setiap waktu tak ada yang terlewat tanpa memikirkan Shin. Dalam solatnya, Aira tak alpa menyelipkan nama cinta pertamanya itu. Rindu yang dia pupuk tumbuh subur, menyemak dan tak tertolong lagi. "Kamu tidak mengenal saya?" tanya Ai
Tiba di rumah sakit, Aira didorong menggunakan kursi roda dan dibawa keruangan untuk diperiksa.Selama waktu itu Aira hanya diam. Sesak di dadanya tak berkurang sama sekali. Dibanding kaki, hatinya jauh lebih sakit. "Dokter Shin, bukannya hari ini Anda libur?" Seorang perawat cantik menyapa Shin yang berada di ruang tunggu. "Benar, tapi tadi aku tak sengaja membuat seorang gadis jatuh dari sepeda. Sekarang dia sedang diperiksa Dokter Rian." Perawat cantik tadi tersenyum lalu menoleh pada pintu ruangan yang terbuka.Tak lama tampak Aira muncul seraya menggerakkan kursi roda. Melihat itu Shin langsung menghampiri dan membantu mendorong kursi roda gadis itu. "Dokter, apa ini gadis yang kamu maksud?" tanya perawat itu menatap Aira dan merasa kagum akan kecantikan gadis itu. "Iya. Aku akan mengantarnya pulang dulu, Rin." Rina mengangguk, tapi kemudian ia berkata, "Apa Dokter tak mau menemui Dokter Alika? Beliau sud
Mendengar tangisan Aira, Shin memaksa membuka mata.Dengan kepala masih berdenyut, Shin menatap Aira lama, dan entah perasaan dari mana tangan Shin terangkat ingin merengkuh gadis itu. Namun, urung ia lakukan. Shin menurunkan lagi tangannya."Apa kau kesakitan?" Shin bertanya seraya melepas kacamata menaruh di dashboard. Aira tak menjawab kecuali isak tangisnya yang terdengar menyayat hati. Shin tak lagi bertanya ketika Aira tak menjawab pertanyaannya. Shin hanya menunggu sampai tangis Aira reda. Pemuda itu merasakan perasaan asing menyusup ke dalam hatinya saat ia menyadari betapa rapuh gadis yang saat ini sedang duduk di sebelahnya dengan bahu berguncang. Siapa kamu sebenarnya? Apakah karena amnesia akibat kecelakaan yang ia alami sepuluh tahun lalu telah mengakibatkan dirinya melupakan gadis ini? Shin takut sekali saat ia terbangun dengan sosok berbeda hari itu. Memorinya beberapa tahun belakangan
Tiba di rumah, seperti perkataan Alika tadi. Dokter cantik itu sedang menata makan siang di meja. Melihat Shin masuk, ia pun tersenyum."Kau datang tempat waktu, Shin." Alika melepas apron dan melangkah mendekati lelaki yang telah menikahinya dua tahun lalu itu.Mereka tak pernah pacaran, menikah karena dijodohkan. Semua bermula dari persahabatan orang tua keduanya.Saat bertemu Shin pertama kali di rumah sakit, Alika langsung jatuh hati pada segala pesona yang lelaki itu miliki.Shin yang tak banyak bicara dan terkesan tertutup, tapi justru menjadi daya tarik bagi Alika yang tak suka dikejar-kejar.Wanita cantik berusia 29 tahun itu langsung mengiyakan saat mami dan papinya mengatakan tentang perjodohan ia dan Shin."Kenapa Shin, kau nampak pucat?""Kepalaku agak sakit. Sepertinya butuh istirahat sebentar. Kau boleh makan lebih dulu."Alika mengangguk dan meraih jaket Shin.Alika sudah terbiasa dengan