Share

Ch.4 Masalah Hati

Cecil terpincang-pincang masuk ke dalam kantor, beberapa rekan sejawatnya sesekali bertanya mengenai hal yang tengah menimpa gadis itu.

"Cil, lo kenapa?" Sherly yang melihat teman dekatnya meringis kesakitan-pun menghampiri dengan segera.

"Insiden kecil, lo punya obat merah nggak sih. Lumayan perih nih." Jawab Cecil meringis.

"Bentar, gue ambilin di belakang." Gadis yang menempati posisi administrasi itu berlari meninggalkan ruangan.

"Cecil, kamu kenapa?"

"Hah! em ... Itu, anu-" Cecil seketika menjadi linglung ketika seorang lelaki menghampirinya.

"Bar, ikut gue bentar yuk, makan siang." Seorang wanita berusia 27 tahun muncul tanpa terduga di belakang Barra, Viola namanya. Wanita yang sering kali bermasalah dengan rekan-rekan kantor lainnya, ia acap kali membuat kegaduhan pada orang yang tidak ia sukai, termasuk Cecilia.

Cecilia membulatkan matanya, ia malas jika harus berurusan dengan wanita berambut pirang tersebut. Bukan pirang karena blasteran, melainkan ia sering kali mengganti warna rambutnya seminggu sekali demi dibilang 'cantik' oleh beberapa orang.

"Aku baru saja selesai makan siang La, maaf ya. Mungkin lain kali, kita bisa makan siang bersama." Jawab lelaki berusia 25 tahun yang bernama Barra Rafeyfa. Lelaki itu menempati divisi marketing dan berkedudukan sebagai Manager.

Cecil enggan ikut nimbrung obrolan mereka, lebih tepatnya malas, karena Cecil tak luput dari pantauan mata Viola.

"Oh baiklah, besok kita makan siang bersama. Lo, jangan lupa ya." Wanita menyebalkan bagi Cecil itu akhirnya menghilang dari penglihatannya.

"Cecil, kamu kenapa? Tadi, belum sempat kamu jawab pertanyaanku." Barra mengulangi pertanyaanya lagi.

"Nggak Bar, gue nggak apa-apa kok, afair kecil aja tadi."

Sherly berlari dengan gesit membawa sebuah kotak yang bergambar palang merah. "Ini Cil, lo obatin sendiri ya. Gue dipanggil ke ruangan si bos."

"Oh, okey. Makasih banyak ya Sher."

"Sini, aku bantuin." Lelaki yang memakai kacamata itu tetiba langsung berlutut di depan Cecil.

"Eh, Bar. Nggak usah, gue bisa sendiri kok." Cecil merasa rikuh mendapati Barra kini bersimpuh di hadapannya.

"Udah nggak apa-apa kok, sini. Tahan sedikit ya, mungkin akan sedikit perih. Aku bersihkan dulu lukanya." Barra masih bersikeras untuk membantu mengobati luka gadis yang beberapa hari lalu ia taksir.

Barra, mengungkapkan perasaannya pada gadis berambut panjang itu, ia menyatakan ingin menjadi kekasih hati seorang Cecilia. Tapi, Cecilia enggan memberikan jawaban untuk Barra. Gadis itu biasanya akan menolak dengan tegas dan tidak butuh waktu lama untuk memberikan jawaban. Tapi, itu sepertinya tidak berlaku untuk Barra. Cecilia menggantungkan perasaan Barra, ia sendiri belum menemukan jawaban yang tepat untuk lelaki tersebut.

Barra memang lelaki dambaan hampir 90 persen wanita. Keperibadiannya yang tanpa cela, fisik serta wajah rupawan yang tiada duanya. Membuat Cecil benar-benar bingung jawaban apa yang tepat untuk orang seperti Barra. Cecilia tidak pernah sekalipun menjalin hubungan dengan lawan jenis sebelumnya, maka dari itu, ia bingung harus seperti apa memulai hubungan jika ia menerima Barra nantinya.

"Cecil, apa kamu baik-baik saja?" Barra menatap mata gadis itu.

"Iya, gue baik. Kenapa?" Jawab Cecil begitu yakin.

"Ponselmu berdering dari tadi. Apa kamu tidak mendengarnya?" Jawab Barra tersenyum, ia sekaligus memberikan sentuhan terakhir pada luka Cecil dengan perban.

"Ah, iyakah? Sorry-sorry, mungkin volumenya terlalu rendah, jadi gue nggak kedengeran." Alasan yang nyeleneh dan sekenanya Cecil ucapkan pada Bara. Padahal, gadis itu sedang menikmati indahnya pemandangan wajah manis lelaki di depannya itu.

Cecil mengambil ponsel yang berada di dalam tasnya. [Ya, Hallo]

[Minggu besok pulang ke rumah, atau Papa Mama yang akan mengunjungimu ke sana nanti malam.] Cecil mendadak merinding mendengar penuturan suara lelaki paruh baya dari sambungan telepon.

[Ta- tapi Cecil minggu besok-]

[Jadi memilih Papa menumuimu di sana?]

Cecil melotot, akan lebih runyam jika kedua orang tuanya mengunjungi ke tempat tinggalnya. [Okey, Cecil pulang weekend besok.]

[Good.]

Sambungan terputus, biasanya orang tua akan basa-basi menanyakan kabar terlebih dahulu pada anaknya yang jauh dari rumah. Tapi, tidak berlaku untuk Cecil. Orang tuanya akan to the point mengutarakan apa maksud mereka menghubungi anaknya.

"Orang tuamu akan datang, Cil?" Tanya Barra langsung berdiri ketika tugasnya telah usai.

"Oh enggak Bar, gue yang akan pulang minggu besok. Udah lama juga sih nggak balik rumah." Cecil menarik kursi kosong di sebelahnya, dan diberikan pada Barra. "Duduk Bar."

"Thanks, berapa lama kamu nggak pulang? Kamu asli Surabaya kan ya?" Barra menarik kursinya untuk lebih dekat dengan Cecil.

"Huum." Cecil merasa akan ada perbincangan serius antara mereka. Cecil bingung, jika tebakannya benar kali ini, Barra akan meminta kepastian jawaban akan pernyataan perasaannya kemarin, maka habislah gadis itu. Ia sama sekali belum siap memberikan jawaban pada lelaki berkaca mata tersebut.

"Cil, apa belum ada jawaban untuk pernyataanku kemarin?"

Bingo, tebakan Cecil memang tidak pernah meleset. Ia berusaha berpikir dengan keras, berkali-kali ia meremas tangannya sendiri untuk memikirkan alasan yang akan ia berikan pada Barra.

"Cecil! Dipanggil Miss Rosa, lo disuruh ke ruangannya, sekarang."

Sedikit terbantu dengan datangnya Viola kembali saat itu, meskipun hati kecil Cecil risih jika harus berurusan dengan wanita tersebut. "Oke, gue akan segera ke sana." Tak lupa Cecil berpamitan pada Barra. "Sorry Bar, kita lanjutin nanti ya. Lo tau sendiri kan, Miss Rosa seperti apa orangnya."

"Oh, iya Cil nggak apa-apa kok. Siapa tau, aku mendapat jawaban yang menarik setelah keluar dari ruangannya Miss Rosa nanti."

Cecil melihat ada guratan kekecewaan pada wajah lelaki 25 tahun tersebut. Manager marketing yang sudah dua tahun mengabdikan dirinya pada perusahaan itu bangkit dan pergi meninggalkan Cecilia.

Dengan tertatih Cecil berjalan menuju ruangan Miss Rosa, wanita yang terkenal tidak menyukai keterlambatan satu detikpun itu tidak seperti biasa memanggil Cecil ke ruangannya. Ia lebih memilih menemui langsung ke ruangan Cecil jika ada perlu.

Tok... Tok... Tok

"Masuk." Suara khas serak-serak basah terdengar mempersilahkan gadis itu untuk masuk ke ruangan. "Duduk. Hey, kamu kenapa pincang begitu? Terus, itu kenapa baju kamu pakai jaket segala." Kepala divisi itu keheranan menatap Cecil.

"Iya Miss, tadi waktu makan siang ada insiden kecil. Tapi, ini sudah membaik." Cecil terpaksa memakai alas kaki karet, mengingat sepatunya patah sebelah.

"Are you sure?"

"Iya Miss, aku baik-baik saja. Ada apa Miss Rosa memanggil saya?"

"Lebih baik kamu pulang saja setelah ini, istirahatlah di rumah. Dua jam lagi juga pulang, nanti aku yang bertanggung jawab untuk kepulanganmu yang mendadak ini." Meskipun Miss Rosa terkenal orang yang disiplin mengenai waktu, tapi beliau mempunyai iba hati yang tinggi. Dengan note, jika beliau melihat bukti di depan matanya sendiri.

"Ah iya, terima kasih Miss."

"Hm... Begini Cecil, selamat ya untuk kenaikan karir kamu." Ucap kepala Devisi atau Manager HRD itu sembari mengulurkan tangannya.

"Hah?! Kenaikan karir Miss?" Cecil terbata-bata mengulurkan tangannya. Ia menerima ucapan selamat dari wanita di depannya itu.

Wanita itu mengangguk dan tersenyum, "Iya, kamu akan menempati posisi Supervisor HRD, bukan lagi Staff. Sekali lagi, selamat ya Cil atas kerja kerasmu selama ini."

"Thanks, Miss."

"Pulanglah, istirahat di rumah. Kalau besok belum juga enakan, izin terlebih dahulu. Jangan lupa kabari aku." Wanita itu berdiri dan berjalan menghampiri Cecil, ia membantu gadis itu untuk berdiri.

"Sekali lagi, terima kasih Miss. Saya, akan pulang lebih cepat hari ini."

"Hati-hati di jalan, Cil"

***

[Cil, lo pulang duluan ya? Kok nggak bilang-bilang gue?] Sherly langsung memprotes Cecil ketika panggilannya tersambung.

[Iya Sorry Sher, mendadak sih tadi. Miss Rosa yang ngijinin pulang. Ini gue masih di jalan. Ada apa?] Cecil mengeraskan suara ponselnya, karena ternyata earphone-nya tertinggal di rumah.

[Ditungguin Barra tau, lo sih nggak bilang-bilang dulu.]

[Astaga ya Tuhan, gue lupa. Tapi, kenapa dia nggak ngehubungin gue sendiri?]

[Lo yakin nggak nge-blok nomor dia? Barra bilang, nggak bisa ngehubungin lo semenjak hari itu sih.]

Cecil berpikir sejenak, bibirnya ke kanan dan ke kiri, [Ah gue sepertinya salah nge-blokir nomor deh. Ntar, gue cek lagi deh. Sampein aja, ntar malem gue telfon dia. Udah dulu ya, gue lagi di jalan nih, kaki gue nyeri banget buat nginjek rem.]

[Oh oke, gue sampein. Lo hati-hati di jalan. Bay]

"Argh... sial! Kaki gue kenapa jadi sakit begini sih. Eh Loh, awas!!"

Derrr....

Mobil Cecil menyeruduk sebuah mobil yang berhenti di lampu lalu lintas. "Stupid!! Cecil" Gadis itu memaki dirinya sendiri. Karena kakinya yang terlampau sakit untuk menginjak rem kuat-kuat, alhasil ia kini harus mengganti rugi atas peristiwa penyerundukan yang ia sebabkan.

"Ya Ampun, ini bagaimana ini, saya harus bagaimana ini?" Sang empunya mobil keluar dari pintu kemudi, ia langsung melihat separah apa mobilnya yang tertabrak.

Cecil merasakan ngilu yang luar biasa di kaki kirinya, tapi ia paksakan untuk keluar dari mobil dan bertanggung jawab atas apa yang telah ia sebabkan. "Ma- maaf Pak, saya benar-benar tidak sengaja. Kaki saya lagi sakit, jadi saya sedikit terganggu saat menginjak rem. Bapak tenang saja, ini kartu nama saya, Bapak bisa hubungi saya nanti ketika Bapak membawa mobil ke bengkel, biar saya yang bertanggung jawab untuk semuanya. Dan ini, saya tidak membawa uang cash banyak, hanya ini yang saya punya saat ini." Cecil memberikan uang sepuluh lembar uang ratusan ribu.

"Eh, kaki Neng Geulis sakit?" Bapak itu kini memperhatikan lutut Cecil yang terbungkus perban.

"Iya Pak, maafkan saya. Ini uangnya di terima dulu Pak. Saya janji, saya yang akan mengganti semua biaya saat di bengkel nanti."

"Nggak usah Neng, ini bukan mobil Bapak. Ini mobil majikan Bapak, nanti saya sampaikan sama majikan Bapak soal ini. Saya ambil kartu namanya saja ya. Biar, Bapak berikan pada majikan Bapak."

"Matilah gue." Cecil mengemu kalimatnya. "Ah iya Pak, sekali lagi maafkan saya ya Pak. Sampaikan maaf saya pada tuannya Bapak juga."

"Baik Neng, Neng hati-hati di jalannya ya."

Cecil hanya mengangguk dan kembali masuk ke dalam mobilnya. "Ya Tuhan, sial banget hari ini gue." Cecil kembali melajukan mobilnya perlahan setelah mobil yang ada di depannya berjalan terlebih dahulu.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status